Kerinduan yang Mengurai

1710 Kata
POV 3   Achila dan beberapa orang di dalam ruangan membelalak menatap sosok yang berbaring di atas tumpukan kain itu mulai bergerak-gerak. Dimulai dari tangan, mata mengerjap, dan beberapa anggota tubuh lainnya. Tampaknya Darien sedang berusaha keluar dari alam bawah sadar. Benar, ia pasti sudah mendengar ungkapan memilukan sang ayah. Hingga kini, ia tidak sabar melihat sosok yang sekian tahun dirindukannya itu. “Ayo, Nak! Berusahalah. Kau pasti bisa melawan sisi burukmu itu. Jangan kalah! Kau yang seharusnya mengalahkan dia!” seru Julio, bersitegang menyaksikan gerakan tangan sang anak. “Tampaknya ia sedang bertarung dengan dirinya sendiri di dalam sana.” Acacio berkomentar sambil memegang dagu. “Begitulah. Sudah saya katakan dari awal bahwa Darien adalah jenis Akila istimewa. Tidak mungkin dia kalah dengan sisi kelamnya sendiri. Jika dia mampu mengendalikan sisi buruknya nanti, saya yakin dia akan menjadi sangat kuat, seperti Julio.” Dokter Elasmus menjelaskan. Usai pada tahap pertama, Darien kemudian mengerang geram agar bisa mengambil alih tubuhnya. Mungkin pada saat itu, dia sudah muak dikuasai dirinya yang lain. Sebenarnya bukan hanya Akila yang memiliki sisi kelam, tetapi manusia biasa juga memilikinya. Hanya saja, ini sedikit berbeda dari manusia. Jikalau sisi kelam manusia biasanya berupa sifat sombong, dan beberapa sifat buruk lainnya, maka tidak dengan Akila. Sisi kelam mereka bahkan lebih buruk daripada itu. Sisi tersebut bisa menjadi jiwa kedua, entah, ataukah kepribadian kedua dari ras Akila. Achila menggigit bibir, menampilkan wajah tegang, sedangkan detak jantung telah bertambah cepat dua kali lipat. “Achila.” Acacio menepuk bahu gadis itu hingga membuatnya terhenyak. “Jangan khawatir. Darien akan selamat. Dia akan kembali menjadi Darien yang kita kenal,” lanjut Acacio, menenangkan Achila. Achila hanya mengangguk pelan menyetujui perkataan Acacio. Erangan Darien semakin lama semakin keras. Tubuhnya bergetar, tetapi ia memberontak. “Maafkan ayahmu ini, Nak.” “Baiklah, begini saja. Saya punya ide untuk mengembalikan Darien seperti semula. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkannya seperti ini,” cetus Dokter Elasmus. “Bagaimana, Pak Tua?” “Kita butuh darahmu, Julio. Kau adalah ayah Darien. Saya yakin jika kita menyuntikkan darahmu ke dalam tubuh Darien, itu bisa membuatnya semakin bertenaga. Mengetahui bahwa usia Darien masih sangat muda, jadi sel-sel di dalam darahnya belum mampu mengalahkan bakteri-bakteri jahat itu. Saya takut jika pada akhirnya sel-sel kekebalan tubuh Darien kalah dan termakan bakteri jahat itu.” “Baiklah, Pak Tua. Aku bersedia. Silakan, lakukanlah apa pun itu.” Julio berdiri. “Kalau begitu, Achila, tolong kau ambilkan alat-alat di lab saya,” perintah sang dokter kepada Achila. Gadis itu segera melangkah. “Jadi, hal itu dapat dilakukan, Dok?” tanya Acacio kemudian. “Iya, itu bisa kita lakukan karena gen Darien berasal dari Julio. Dan ini bisa menjadi langkah untuk memperkuat sistem sel-sel di dalam tubuh Darien.” “Lalu, kenapa kita tidak melakukannya dari awal, Pak Tua?” Dokter Elasmus tersenyum miring tanpa membalas pertanyaan Julio. “Dokter, aku kembali.” Achila yang telah kembali dari lab, lalu memberikan peralatan yang dibutuhkan sang dokter. “Terima kasih,” ucap Dokter Elasmus. “Baiklah. Semoga ini berhasil. Julio, berikan lenganmu.” Sang ayah dari Darien melakukan apa yang diperintahkan sang dokter. Satu silinder darah dari gen Akila murni telah didapatkan, yang kemudian akan disuntikkan ke tubuh Darien. “Acacio, Julio. Tolong kalian tahan Darien.” “Baik!” jawab kedua pria tersebut serentak. Julio menahan bagian tubuh Darien di samping kiri, kemudian Acacio di samping kanan. Dokter Elasmus menyuntikkan darah melalui leher Darien. Tak berselang lama setelah darah masuk ke dalam saraf-sarafnya, Darien mulai menjerit serta berontak membabi buta. Namun, Acacio dan Julio berusaha keras agar Darien tidak lepas dari belenggu mereka. “Tenaganya kuat sekali,” komentar Acacio sembari menahan lelah. “Tenaga ini belum seberapa. Jangan sampai kau lepaskan!” Sembari memberontak, Darien membuka mata. Bukan bola mata biru yang tampak. Ya, bola matanya masih tetap menghitam seperti pada saat itu. “SIALAN!” pekik lelaki yang tengah dikuasai jiwa kelamnya itu. “Lepaskan aku! Kubunuh kalian!” “Darien, he! Sadarlah!” Acacio tak bisa lagi menahan pemberontakan lelaki itu, hingga akhirnya pasrah melepaskan lengan itu. “Oh, tidak. Achila, Dokter, keluarlah!” Gadis beserta dokter mengikuti perintah Julio karena mereka tahu situasi bisa makin rumit jika tetap berada di dalam. Sementara itu, Acacio di sana terbaring akibat tenaga Darien yang amat sangat kuat. “Darien! Sadarlah!” kata Julio, masih menahan tubuh sang anak. “Sialan kau!” Darien berhasil melepaskan lengan kanan dari belenggu Julio, lantas melayangkan tinju sekeras-kerasnya. Mengenai wajah Julio. Julio terpental, dan terempas di dinding tanah. Lagi-lagi, Achila bergeming melihat adegan yang sangat sulit ia percaya di depan mata. Darien, lelaki yang berhati baik itu, akankah menjadi iblis selamanya? Tidak. Dengan segala keyakinan, Achila menerobos masuk ke dalam ruangan. Ditatapnya Darien dengan tajam. Lelaki itu ikut menatap Achila. “Siapa kau, Gadis?” tanya iblis Darien, “Tampaknya kau juga sudah siap mati?” “Darien ... ini aku,” lirih Achila. Iblis Darien melesat ke hadapan Achila, melayangkan tinju. Namun, sebelum tinju mencapai wajah gadis bermata almond itu, ia memekik, “Darien! Ini aku Achila!” Tinju lelaki itu seketika berhenti. Nyaris saja wajah si gadis penyok oleh hantaman kuat Darien. “Ini aku Achila.” Gadis itu mengulangi ucapannya dengan lirih. Tanpa keraguan sedikit pun, Achila memeluk Darien dengan erat. Tangannya melingkar di pinggang lelaki itu. “Tolong, keluarlah dari dalam sana. Darien yang aku kenal tidak pernah ingin membunuh siapa pun. Hatinya begitu baik dan mulia.” Secara perlahan, Darien mulai menurunkan tinjunya. Sedikit demi sedikit, mata hitamnya memudar dan berubah menjadi biru langit yang indah. Wajahnya datar. “A ... chila ....” Darien berlirih seraya menyambut dekapan gadis itu dengan hangat.   ***   “J-jadi ... kau adalah ayahku?” “Benar, Darien. Akulah Julio, ayah yang telah menelantarkan hidupmu bahkan semenjak kau masih berada dalam kandungan. Maafkan aku, Nak,” sesal Julio sembari menunduk. Darien terdiam sejenak melihat raut penyesalan sosok yang selama ini dirindukannya itu. “Aku tidak akan memintamu untuk memaafkan—“ Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Julio tercekat oleh pelukan anaknya yang begitu tiba-tiba. “Kau tidak perlu meminta maaf, Ayah ....” Momen mengharukan antara ayah dan anak ini berlangsung beberapa saat. Semua yang ada di dalam ruangan termasuk Alexio yang baru saja datang, ikut bahagia serta terharu. Mereka mungkin dapat membayangkan bagaimana pengorbanan yang dilakukan Darien selama ini hanya untuk mencari keberadaan sosok ayahnya. Setelah situasi mengharukan itu berakhir, sang ayah menceritakan alasannya yang melarikan diri dari sangkar. Pun alasannya meninggalkan Darien hidup tanpa orang tua. Ya, meskipun pada umumnya ras Akila tidak mengenal kasih sayang. Namun, ingatlah bahwa Akila sejenis Julio merupakan ras Akila yang berbeda dari yang lainnya. Mereka punya perasaan layaknya manusia normal, tetapi lebih kuat dari segi fisik dan tenaga. “Jadi, apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Nak? Kau sudah menemukan aku yang selama ini kau cari. Lantas, apakah kau akan melanjutkan mimpimu untuk mendamaikan dunia ini?” tanya Julio kepada Darien. “Iya. Itu sudah menjadi tekadku bahkan semenjak aku diperlihatkan keadaan bumi yang begitu indah ini. Dunia ini seharusnya menjadi surga bagi semua orang.” “Benar apa yang kau katakan, Nak. Kalau begitu, mari kita sejahterakan dunia ini bersama-sama.” Julio merekahkan senyuman. “Ya. Sebelum itu, aku ingin bertemu dengan ibuku. Di mana dia berada?” “Kami tinggal di sebuah bukit yang tiada satu orang pun tahu.” “Bolehkah aku berkunjung ke sana? Aku bahkan sudah lupa bagaimana wajah ibuku.” “Ada satu hal yang pasti, Darien. Mata ibumu begitu cantik, sama seperti milikmu.” “Bukankah kau juga memiliki mata yang sama sepertiku?” “Ya, benar.” Julio menghela napas panjang, lalu tersenyum pasrah. “Aku masih punya pertanyaan untukmu, Yah.” “Apa itu?” “Adakah ras Akila jenis keempat selain kita?” “Ada, tetapi aku belum tahu keberadaan mereka. Dari desas-desus yang pernah kudengar, mereka hidup di sebuah pulau kecil di seberang Daratan Asterovos ini.” “Begitu, ya. Kalau begitu, setelah aku menemui Ibu, bagaimana jika kita pergi ke pulau itu? Aku ingin mengumpulkan mereka dan meminta untuk membantu kita.” “Sepertinya ini akan menarik,” cetus Alexio tiba-tiba. Dia tersenyum miring. “Benar. Ini bisa menjadi kartu as kita untuk mengalahkan para petinggi Kota Plataia,” komentar Acacio. “Dan itu bisa membantu saya melanjutkan penelitian.” Dokter Elasmus tersenyum. Sementara itu, Achila hanya tersenyum pasrah. Lega sudah perasaannya sebab melihat Darien kembali seperti biasanya.   ***   Kota Plataia   “Ini tidak bisa dibiarkan, Robert. Para pemberontak sudah mulai bergerak dan telah membunuh beberapa pasukan serta petinggi. Bahkan, mereka berhasil melenyapkan Gola,” ucap seorang pria berambut pirang bernama Luxter. “Kita harus menyiapkan segalanya. Sepertinya, kita juga harus memaksa ilmuan kita untuk menciptakan pasukan yang lebih kuat dari Akila. Dan juga menciptakan senjata yang lebih hebat dari Akila Own.” “Benar, Robert. Kalau begitu, kau pergilah ke laboratorium. Minta semua ilmuan untuk menciptakan serum yang lebih kuat lagi. Kita tidak mungkin kalah selama masih memegang kendali atas ras Akila.” “Baiklah. Saya pamit.” Robert kemudian keluar dari ruangan Pemimpin Luxter. Luxter, merupakan pria berusia 60 tahun yang telah menjabat sebagai petinggi Kota Plataia selama kurang lebih 30 tahun. Dan Robert merupakan wakilnya. Penindasan yang dilakukan Kota Plataia terhadap kota-kota lain sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu. Para petinggi Kota Plataia berpikir bahwa tidak ada kota lain yang bisa menyaingi kecanggihan teknologi mereka. Bukan hanya kepada penduduk kota lain, bahkan jika penduduk Kota Plataia sendiri tidak taat terhadap kebijakan, para petinggi tak segan-segan menjatuhkan hukuman mati. Di Kota Plataia, tidak ada satu orang penduduk pun yang boleh hidup dalam kemiskinan. Bagi mereka, kemiskinan merupakan pelecehan terhadap sistem yang berlaku. Maka dari itu, mereka menetapkan suatu kebijakan yang mengharuskan satu orang dalam sebuah keluarga bekerja untuk para petinggi. Entah, menjadi b***k ataupun menjadi pasukan militer yang siap mati kapan pun. Dengan begitu, semua penduduk di Kota Plataia dijamin tidak akan pernah kelaparan atau jatuh dalam kemiskinan.   ***   “Aeka! Aku pulang.” Julio masuk ke gubuk reyot miliknya. Ia kemudian membangunkan Aeka—sang istri—yang belum juga bangun di pagi ini. “Julio? Kau sudah pulang.” Aeka beranjak bangkit dari kasurnya yang lusuh. “Siapa yang kau bawa—“ Aeka merasa tidak percaya, lantas berlinanglah air matanya.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN