Perasaan yang Lemah

1660 Kata
POV 3   Robert melompat dari helikopter dan berdiri beberapa meter di hadapan Darien. Lelaki berkumis—Robert—memperhatikan penampilan Darien yang gagah perkasa dari ujung kepala hingga ujung kaki. “Siapa kau?” Darien menaikkan level kewaspadaannya. Ia sudah menyadari bahwa lelaki di hadapannya itu tidak bisa dianggap remeh. “Aku hanya pemeran antagonis dalam kisah ini. Dan kau? Pasti pahlawannya, kan?” “Aku tidak mengerti dengan perkataanmu. Yang pasti kau musuhku, kan?” “Ya, bisa dibilang begitu.” Robert mengelus dagunya yang ditumbuhi oleh janggut tipis pirang. “Kau lumayan keren juga.” Darien memasang kuda-kuda, siap bertarung dengan Robert apa pun risiko yang akan didapatkan. Meski begitu, Robert masih tampak santai dan bernapas tenang. “Oh, ayolah jangan buru-buru. Kita ngobrol santai dulu, bagaimana? Atau mulai perkenalkan dirimu dulu.” Darien lalu kembali ke wujud semula tanpa zirah dan pedang. “Aku Darien, atau bisa kau panggil dengan Akila666.” “Sudah kuduga kau Akila yang kabur dari sangkar waktu itu. Sudah lama sekali ternyata. Ah, tapi dari awal aku memang sudah merasakan bahwa kau itu berbeda dari semua Akila di sangkar.” “Aku tidak pernah melihatmu di Kota Plataia. Siapa kau sebenarnya?” “Kau tidak perlu mengenalku. Yang pasti, aku adalah orang tertinggi di Kota Plataia. Kau memang tidak pernah melihatku, tapi aku sering kali memperhatikanmu dari kejauhan. Dan harapanku sekarang terwujud. Kau adalah lawan setimpal yang dikirimkan Dewa untukku.” Robert lantas menyeringai. Ia membuka kancing seragam merahnya satu per satu, kemudian melepas dan membuangnya ke sembarang tempat. “Orang tertinggi di Kota Plataia?” Darien terhenyak, dan dengan cepat matanya mengenali ciri khas seorang Akila sepertinya. Mata biru, kemudian otot-otot yang menyeruak, menyembul tanpa sedikit pun lemak itu menandakan bahwa pria di hadapannya adalah ras Akila juga. “Kau—“ “Ya, kau benar. Aku adalah seorang ras Akila dan juga petinggi di Kota Plataia.” “Kau seorang ras Akila katamu?” Darien geram dan mengernyitkan gigi sekuat tenaga. “Lantas kenapa kau malah menyiksa kami, kawan-kawan rasmu? Kenapa?!” “Itu adalah hukum alam, Darien. Kalian yang lemah memang harus dikorbankan untuk yang kuat.” “Jangan bodoh! Yang kuat seharusnya melindungi yang lemah. Kau bahkan mengurung kami di sangkar busuk itu. Meracuni pikiran kami hingga buta dengan—“ “Buta? Maksudnya perasaan? Ras Akila memang tidak punya perasaan, Darien. Kau lupa? Atau perlu aku ingatkan lagi apa yang pernah kalian lakukan di medan perang? Membunuh lawan yang tidak bersalah dengan keji dan ganas. Terimalah kenyataan bahwa kita ras Akila bukan manusia, Darien.” “Biadab!” desis Darien yang mengepal tangannya kemudian sekuat tenaga, menahan amarah yang telah mencuat. “Akui saja. Kita bukan manusia, Darien. Kau belum juga sadar? Hanya dengan melihat sosok iblismu tadi saja, sudah cukup membuat semua orang ketakutan. Lihat di sekelilingmu, mereka dihantui rasa takut karena kau.” Robert kembali memancing amarah Darien. Ya, berbicara soal perasaan adalah umpan yang sangat berkualitas dan cepat untuk melumpuhkan semangat Darien. “Kaulah yang iblis di sini.” “Lalu, bagaimana dengan kepala dan tubuh prajurit militer kami yang ditemukan dalam keadaan mengenaskan? Bagaimana kau bisa menjelaskan? Bahkan otak mereka terpisah dari cangkangnya. Apakah manusia melakukan hal seperti itu? Katakan padaku, Darien. Katakan!” Darien kembali membelalak seketika mengingat kejadian sadis beberapa bulan silam. Ya, itu ulahnya. Dia yang membantai pasukan militer Kota Plataia dengan keji. Mengamuk dan membabi buta. Memisahkan usus dari perut, atau bahkan memisahkan otak dari kepala mereka. Tidak dimungkiri juga bahwa pada saat itu Achila dan Alexio takut kepadanya. Tubuh lelaki Akila murni tersebut roboh. Tulang-tulang sendi lututnya terasa lumpuh dan akhirnya bersimpuh. “Ya, seperti itu. Renungkanlah semua dosa-dosamu, Darien. Semua yang kau lakukan tidak pantas disebut sebagai manusia. Mereka—para manusia—tidak melakukan hal mengerikan seperti apa yang pernah kau laku—“ “Darien!” Seseorang berteriak dari kejauhan dan membuat Darien menolehkan pandangannya ke kanan. Achila, si gadis manis yang selalu setia mengiringi perjalanannya. “Jangan termakan kata-katanya! Kau itu manusia yang paling mulia. Kau bahkan sudah susah payah mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan kami!” teriaknya lagi untuk menyadarkan Darien dari pikiran buruknya. “Siapa dia? Kekasihmu?” Robert tersenyum licik, mulai menjejakkan langkah ke arah Achila. Achila sadar bahwa dirinya sedang dalam ancaman. Oleh karenanya, ia berlari dan mencari perlindungan di samping Alexio. Lelaki bertopi koboi berwaspada, melindungi Achila di belakangnya. “Oh, kau punya bodyguard, Nona Kecil?” Meski begitu, Robert tidak berhenti dan terus berjalan. Alexio melayangkan tendangan ke wajah petinggi Kota Plataia tersebut. Akan tetapi, Robert menangkap kaki panjang Alexio yang kemudian membantingnya dengan kasar. “Kau lemah sekali,” ucap Robert sembari melakukan pemanasan, meregangkan beberapa ototnya. Sedang Alexio berbaring lemah dan mengeluarkan darah di sekitar mulut. “Sialan ….” Demi membantu Alexio dan Achila, prajurit Akila mencoba menyerang dengan sisa tenaga mereka. Perbedaan besar telah terjadi antara mereka dengan Robert. Ya, meskipun pada akhirnya mereka adalah Akila murni, tetapi satu pun dari mereka belum dapat menguasai kekuatan tersembunyi Akila yang disebut dengan Sisi Lain. Hasilnya, semua prajurit Akila dibantai habis-habisan hingga tidak satu pun dapat berkutik dan menyerang balik. Robert bergelak renyah menyaksikan betapa menyedihkan para Akila di sini yang bahkan tidak dapat berbuat apa-apa membantu kawan mereka. “Hei, Darien! Kau lihat? Tidak ada satu pun di sini yang bisa mengalahkanku. Tidak satu pun kawan-kawanmu bisa menandingi kekuatanku. Apa kau juga begitu?” Darien di sana masih tenggelam bersama pikiran buruknya tentang Akila dan manusia. “Darien! Tolong aku!” teriak Achila yang berhasil diringkus oleh Robert. Pria bertubuh tinggi dan kekar itu membelenggu kedua tangan gadis kumal di belakang punggung dan membekap mulutnya. “Kau yakin tidak ingin menyelamatkan gadis ini, Darien?” Robert menjilat pipi Achila. Gadis kumal terus berontak, tetapi tak mampu melepaskan diri. Tubuhnya kecil, tenaganya juga terbatas. Mana mungkin bisa melepaskan diri dari belenggu pria berotot itu. “Achila ….” “Darien, kau adalah harapan kami. Tolong, jangan patah semangat.” Darien menolehkan pandangannya, kemudian melihat Acacio yang berlumur darah memaksakan diri menghampirinya demi memberikan semangat. “Bagi kami kau adalah seseorang yang pantas disebut sebagai Dewa. Kau adalah penolong kami, Darien.” Acacio meletakkan tangan kanan pada bahu Darien. “Percayalah bahwa kau adalah manusia terbaik yang pernah kami kenal.” Acacio menatapnya dengan lamat, memberikan kepercayaan sepenuhnya bahwa lelaki Akila itu mampu menyelamatkan mereka yang sedang berada dalam kesusahan. “Tidak semudah itu. Karena pasukan Kota Plataia belum sepenuhnya diturunkan ke medan ini.” Luxter—pemimpin Kota Plataia saat ini—berjalan mondar-mandir di hadapan Acacio dan Darien. “Sebentar lagi kalian akan musnah bersama dengan kota ini.” Acacio kembali geram mendengar ungkapan Luxter yang begitu angkuh. “Aku tahu, kau pasti tidak menyangka akan jadi seperti ini. Tapi Kota Plataia akan mencatat sejarah baru untuk peradaban.” “Kau saksikan sendiri, Darien? Iblis yang sebenarnya adalah mereka yang merenggut kebahagiaan orang lain. Bahkan mereka lebih keji dari iblis.” Acacio menatap tajam penuh amarah. Ia bahkan tampak seperti ingin mencabik-cabik Luxter jika mampu dan punya kekuatan super seperti Darien. Suara pesawat jet dan helikopter yang beterbangan di langit mengalihkan perhatian Acacio dan semua orang. Benar kata Luxter, bahwa serangan gelombang kedua akan dijatuhkan lagi hingga Kota Eleusina rata dengan tanah. Satu pesawat jet telah meluncurkan amunisi dan memporak-porandakan bangunan pemerintahan Kota Eleusina. Kemudian diikuti oleh pesawat lainnya yang terus menyerang tanpa henti. Robert dan Luxter menyeringai, lalu tertawa bergelak.   ***   “Setelah sekian lama, sekarang kita akan beraksi di medan perang lagi,” ucap salah seorang prajurit seraya mengenakan zirah logam. “Iya, benar. Apa boleh buat, orang itu sudah berjasa besar bagi kota kita. Aku sudah menduga kalau hari ini pasti akan datang juga.” Kota Eretium, merupakan sebuah kota tentram yang pernah dipersatukan oleh Darien dan kawan-kawannya ternyata telah mendengar kabar burung bahwa Kota Eleusina tempat Darien berada sedang dalam masalah besar. Tentu saja, untuk memenuhi janjinya dulu, Alexander bersama Aconteus selaku pemimpin kota tersebut akan membantunya menghadapi Kota Plataia. “Nah, Alexander. Apa kau yakin kita bisa membantu lelaki itu mengalahkan Kota Plataia? Atau malah akan menjadi beban saja?” tanya Aconteus. “Tentu saja ini demi menepati janji kepada mereka. Meskipun tidak banyak membantu, yang penting kita tunjukkan kepedulian kepada mereka. Juga sebagai rasa terima kasih telah menjadikan Kota Eretium damai dan tentram seperti sekarang ini,” jelas Alexander yang kemudian melepas jubahnya dan diganti dengan zirah cemerlang serta paten. “Aku harap saat ini mereka baik-baik saja. Pemimpin Kota Plataia itu sangat licik. Kau tidak lupa kan bagaimana wakil pemimpin kota itu membantai semua prajuritmu dulu, Alexander?” “Iya, aku sangat ingat. Dia kuat layaknya seorang ras Akila.” “Nah, itu dia. Aku kadang berpikir bahwa dia memang ras Akila. Tidak salah lagi. Aku tidak yakin lelaki itu bisa mengalahkan—“ “Ssst. Bicara apa kau, Aconteus? Kita tidak tahu bagaimana perkembangan kekuatan Darien sampai saat ini. Kita berharap saja dia sudah bertambah kuat sejak pergi dari kota ini.” “Maaf, kau benar, Alex. Aku yakin dia sudah bertambah kuat sekarang.” Keduanya lalu melangkah menuju markas prajurit pada Eretium Militer Building yang bersebelahan dengan gedung pemerintahan. “Semua pasukan, atur barisan!” Alexander berdiri tegap dan didampingi Aconteus. Sedang para prajurit mengatur barisan dengan rapi yang kemudian memberi hormat. “Bagaimana? Apa kalian sudah siap bertempur melawan kota yang paling ditakuti di seluruh peradaban ini?” tanya Alexander kepada seluruh pasukan. “Iya, kami siap! Demi mendapatkan kedamaian dan kesejahteraan. Demi membantu mereka yang lemah. Kami siap mati di medan perang.” “Bagus. Kalau begitu, siapkan senjata kalian.”   ***   Sedang Kota Eleusina semakin hancur. Kobaran api membuat suasana kota ini semakin memilukan. Harapan yang sebelumnya bergelora, kian menghilang. Pandangan telah buta arah. Langkah sang pemimpin telah tertatih. Sayang sekali, Darien kembali terpuruk karena perasaannya yang terlalu lemah. “Darien. Bagaimana kalau aku bunuh saja kekasihmu ini?” Robert kembali tertawa bergelak menyaksikan Darien yang semakin kalut dan kehilangan gairah.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN