POV 3
“Robert, sudah waktunya.”
Seorang pria dengan kumis pirang tebal yang menyatu dengan janggut bangkit dari singgasana yang empuk dan nyaman. Ia bersama Luxter melangkah ke sebuah kolam pemandian air panas di dalam gedung Kota Plataia.
Ia buka seragam berwarna merah yang sarat dengan simbol bintang di bahu. Tubuhnya kekar, dadanya bidang, urat-urat di setiap ototnya menyembul. Robert menenggelamkan diri pada kolam. Beberapa saat disandarkan punggungnya pada dinding kolam air panas tersebut.
Sementara itu Luxter hanya duduk sembari meneguk anggur dan menyesap rokoknya dengan khidmat.
“Jika kali ini Anderson kalah, maka tidak ada jalan lain lagi,” kata Robert dengan tenang. Helaan dan embusan napasnya sangat teratur. Ia seperti manusia tanpa beban pikiran.
“Iya. Sepertinya memang tidak ada cara lain. Anderson dan pasukannya tidak cukup kuat melawan iblis itu. Kalau kau, aku yakin tidak perlu prajurit membantumu untuk mengalahkannya. Ini seperti sebuah takdir, Robert.”
“Iya, kau benar. Ini takdir.”
Robert mendongakkan kepala sembari menerawang masa lalu. Dalam memorinya, seorang anak lelaki remaja yang dipenuhi oleh darah berusaha untuk bangkit, tetapi tak berdaya.
Kulitnya melepuh, wajahnya hampir tidak dapat dikenali. Rambutnya yang gondrong tampak kusam, dipenuhi oleh debu dan pasir.
“Apa kau mengingat masa—“
“Seperti biasa, Luxter,” potong Robert segera.
“Ingat, Robert! Kau adalah kartu as kota ini. Kau adalah Akila paling sempurna yang pertama kalinya kami temukan.” Luxter, pemimpin Kota Plataia, kemudian bangkit dan mondar-mandir. “Aku sudah tua dan sakit-sakitan, Robert. Jika kau berhasil mengalahkan sampah-sampah itu, kau akan menggantikanku. Aku sudah mempertimbangkan semuanya. Kota Plataia butuh seseorang yang tidak terkalahkan sepertimu.”
“Aku mengerti.” Robert keluar dari kolam dan berjalan untuk mengenakan seragamnya kembali. Ia lap tubuhnya dengan handuk putih lembut yang tersedia di atas meja ruangan luas ini.
“Sudah kuduga, seiring berjalannya waktu, seseorang yang setimpal denganmu akan hadir di dunia ini. Aku tahu kau senang dan sangat menantikan momen ini. Tapi, percayalah kalau kau lebih kuat darinya.”
“Tidak, Luxter. Insting Akila-ku mengatakan kalau lelaki itu sudah bisa menguasai jiwanya yang lain. Sama sepertiku. Selama ini, hanya aku yang bisa menguasai kekuatan terpendam itu, tapi nyatanya sekarang lawan setimpal itu telah dihadirkan oleh Dewa. Ini takdir Sang Dewa. Di dunia ini memang harus ada protagonis dan antagonis. Harus ada pahlawan dan penjahat. Hingga aku yakin di buku sejarah nanti, akulah yang menjadi penjahatnya. Akulah antagonis dalam kisah ini,” jelas Robert yang kemudian telah kembali rapi dengan seragamnya. Ia terlihat sangat berwibawa. Hampir mirip dengan Darien, meskipun pada akhirnya penampilan mereka bertolak belakang.
“Baiklah. Sudah waktunya kau check-up sekarang.” Luxter berjalan, kemudian Robert mengikuti langkah pemimpin kota tersebut ke sebuah laboratorium pemeriksaan ras Akila.
Robert merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Luxter memasang tensimeter pada lengan Robert untuk memeriksa tekanan darah.
“Soal pernyataanmu tadi. Menurutku antagonis dan protagonis itu tergantung dari sudut pandang seseorang. Meskipun menurut orang lain kau adalah penjahat, tetapi bagiku sendiri kau adalah pahlawan kami. Benar, bukan?” komentar Luxter sambil memperhatikan monitor di samping ranjang.
“Kali ini kau benar,” balas Robert yang kemudian menyunggingkan senyumnya.
“Baiklah, sudah selesai. Kau boleh bangun sekarang. Tekanan darahmu masih normal. Tidak ada yang aneh.”
Robert pun berdiri dan meregangkan beberapa bagian ototnya.
“Ngomong-ngomong, setelah aku, ada lagi kan Akila yang dulu pernah dicurigai sebagai Akila sempurna oleh para petinggi.”
“Iya. Ada sebuah catatan yang mengatakan bahwa kode Akila itu adalah 665. Jadi, sudah jelas Akila666 yang pernah lari dari sangkar itu adalah anaknya,” jelas Luxter yang kemudian merebahkan diri pada punggung kursi.
“Dan yang membuatnya lari dari sangkar ini adalah professor jenius itu?”
“Benar. Professor Elasmus. Dia banyak terlibat dalam kasus pelarian Akila itu.”
“Sayang sekali, seseorang yang jenius seperti dia harus melawan kebijakan Kota Plataia. Pada akhirnya dia sudah siap untuk mati.” Lantas Robert menyeringai seraya mengepal tangan kanan.
“Ingat, Robert! Tujuan Kota Plataia adalah menguasai dunia. Sejarah kota ini dulu merupakan kota yang kecil dan tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan, teknologi sederhana saja tidak bisa kami ciptakan. Namun, ketika masanya tiba, seseorang yang jenius lahir.
Seorang professor dengan ambisi kuat dalam mengembangkan teknologi untuk menghancurkan seluruh dunia, kecuali Kota Plataia. Seperti itulah awalnya Kota Plataia dapat menjajah kota-kota besar lainnya. Pemimpin-pemimpin terdahulu berjuang keras membangun kota ini agar tidak ada penduduknya yang menderita. Mereka hanya akan menderita jika melawan kebijakan yang sudah ditetapkan sejak zaman dulu. Ketetapan itu merupakan suatu kewajiban yang harus diabadikan dan tidak boleh diubah oleh pemimpin-pemimpin di kemudian hari,” tutur Luxter panjang lebar.
“Aku mengerti. Itu seperti sebuah kepercayaan bagi Kota Plataia, bukan? Jika ketetapan itu diubah, maka kejayaan kota ini juga akan sirna.”
“Betul. Ingatanmu memang kuat, Robert.” Luxter berdiri dan melangkah ke samping Robert. Ia meletakkan tangannya di bahu pria Akila dengan rambut pirang tersebut, menatapnya, lalu berkata, “Aku mengandalkanmu.” Luxter berlalu pergi.
“Dengan senang hati, aku akan menjadi protagonis dalam sejarah peradaban.” Robert terlihat pasti, tatapannya serius sehingga alis pirangnya saling bertautan.
***
Sementara itu di Kota Eleusina, pertarungan masih berlangsung. Darien yang telah berubah sepenuhnya menjadi jiwanya yang lain, berdiri dengan gagah. Pedang dua mata digenggamnya di tangan kanan. Ia seperti seorang kesatria legenda.
Percobaan 036 menatap heran ke arah Darien. Ia perhatikan penampilan lelaki itu. Mulai dari tanduk beserta nomor yang terpahat di keningnya.
“Sepertinya kau cukup kuat.” Percobaan 036 kembali bersemangat.
“Kau yakin bisa mengalahkanku?” tanya Darien percaya diri.
“Sialan! Kau meremehkanku? Hahaha!”
“Sama sekali tidak. Tapi, aku sangat yakin kau terlihat begitu rapuh di mataku.”
“b******n! Berani-beraninya—“
Percobaan 036 terhenti seketika. Ia tatap ke depan, tahu-tahu Darien telah menghilang. Iblis milik Kota Plataia tersebut akhirnya memuntahkan darah. Ia bersimpuh, kemudian menoleh secara perlahan ke belakang.
“Kau ….” Percobaan 036 melotot tidak percaya.
Darien ternyata jauh melebihi perkiraannya. Lelaki Akila itu jauh lebih cepat dibandingkan dengan Percobaan 036.
“Bagaimana bisa kau—“ Iblis itu memuntahkan darah untuk kedua kalinya. Ia tidak mengerti, padahal matanya masih tetap terjaga akan keberadaan Darien.
“Sudah kukatakan, kau tidak akan mampu mengalahkanku. Aku berada di tingkat yang lebih tinggi darimu.”
“Tidak mungkin! Tidak mungkin b******n sepertimu berada di tingkat yang lebih tinggi dariku!” Jelas saja, Percobaan 036 tidak terima dirinya dikatakan lebih rendah. Bahwa ia pernah mengeluarkan pernyataan, dirinya adalah evolusi terakhir dan paling sempurna dari segala makhluk di dunia ini.
Iblis tersebut bangkit secara perlahan, kemudian kembali menyorotkan tatapan ke arah Darien.
“Akan—“
Lagi, tetapi kini Percobaan 036 terpental, hingga tubuhnya terempas pada dinding pintu masuk kota. Ia lemah, tak berdaya. Tulang-tulangnya terasa patah, gigi-giginya yang semula rata, kini rontok dan kehilangan polanya. Napasnya terengah.
“b******n. Bagaimana bisa kau lebih kuat dari makhluk sempurna sepertiku?”
“Sempurna? Tidak ada makhluk sempurna di dunia ini. Kau hanya iblis yang haus darah. Kau menawarkan ketakutan dan keresahan kepada semua penduduk kota ini. Dan inilah akibatnya.” Darien menghentikan langkahnya beberapa meter dari tempat Percobaan 036 terkulai tak berdaya.
“Jika kau ingin memohon ampun, sekaranglah saatnya,” lanjut Darien. Ia begitu tenang. Sangat berbeda dengan dirinya yang biasa mengamuk dan membabi buta ketika melawan musuh-musuhnya.
“Memohon ampun? Jangan bercanda kau. Aku tidak akan memohon ampun pada makhluk rendahan sepertimu!”
“Oh, begitu. Baiklah. Kau ternyata memilih untuk mati hari ini juga.”
Darien memasang kuda-kuda kokoh layaknya kesatria berpedang. Ia arahkan bagian pedang yang runcing ke depan. Tak lama kemudian, angin berembus kasar, seperti mengelilingi tempat Darien berpijak. Pedang menyala ungu, menghasilkan kilatan-kilatan yang membuat siapa pun silau ketika menatapnya.
Sehingga dalam hitungan detik, pedang berhasil menembus perut Percobaan 036. Darien kembali mencabut pedang mengilapnya. Setetes pun darah tidak hinggap pada benda pipih dan tajam tersebut.
“Si … alan ….” Percobaan 036 sepenuhnya meregang nyawa. Tubuhnya hangus, kemudian berubah menjadi abu dan diterbangkan sang angin.
Semua mata tertuju pada Darien yang berdiri dengan gagahnya. Tidak terkecuali sepasang mata milik Anderson. Panglima itu tampak khawatir dengan nasibnya. Ia benar-benar tidak percaya iblis ganas seperti Percobaan 036 akan dikalahkan begitu mudahnya.
“Apa sekarang kau percaya dengan keberadaan Dewa?” Acacio membuka mulut kemudian setelah lama bungkam karena menyaksikan pertarungan antara Darien dan Percobaan 036.
“Tidak! Tidak mungkin!” Anderson berlari ketakutan. Ia melihat Darien seperti malaikat maut yang siap mengambil nyawa siapa pun dengan mudahnya dalam waktu singkat.
Melihat Panglima Anderson yang terbirit pergi, Acacio bergelak renyah. Ia benar-benar bahagia melihat panglima itu menampakkan wajah ketakutannya.
***
“Robert.”
Pria Akila yang menjabat sebagai wakil pemimpin Kota Plataia itu lalu membalikkan badan. Ia mengangguk kepada Luxter sebagai tanda bahwa telah siap menuju Kota Eleusina.
“Iblis yang diciptakan oleh Anderson sudah dikalahkan. Hawa keberadaannya lenyap tanpa sisa,” kata Luxter.
“Ya, begitulah. Dari awal dia tidak cukup kuat untuk melawan seorang ras Akila murni yang telah berhasil membangkitkan jiwa keduanya.”
“Hari ini adalah milik kita, Robert. Kalah ataupun menang, kita tetap akan menjadi pemenang.”
“Kau mau menggunakan itu lagi?” tanya Robert.
“Iya. Plataia tidak boleh dikalahkan oleh sampah-sampah i—“
“Tidak. Tolong, biarkan aku bertarung sampai mati. Aku sudah menanti-nantikan momen ini. Momen di mana aku bertemu dengan lawan yang setimpal. Hari ini sangat istimewa bagiku, Luxter. Aku mohon.”
Luxter menghela napas panjang, menundukkan kepala, kemudian berkata, “Baiklah. Tapi, ingat! Jika aku melihatmu dalam keadaan terdesak, aku terpaksa harus menggunakannya.”
“Aku akan menjadi pahlawan sejarah ini, Luxter. Sejarah ditulis oleh para pemenang.”
“Haha. Kau benar sekali. Kalau begitu, ayo!”
Keduanya pun melangkahkan kaki menuju Heli Pad dan terbang ke Kota Elesusina.
Darien masih berdiri dan bergeming di tempatnya. Ia tatap lamat para pejuang yang telah gugur. Betapa memilukan suasana di kota ini. Seperti biasa, Darien selalu punya perasaan kasihan kepada mereka yang telah berjuang, tetapi gagal.
Bagaimana dengan anak dan istri mereka?
Bagaimana dengan kerabat serta saudara yang telah menunggu kepulangan mereka?
Itulah beberapa pikiran yang dilontarkan Darien di dalam benaknya.
Tak berselang lama, sebuah helikopter mengalihkan pandangan Darien. Ia merasakan aura yang sangat kuat di dalamnya. Ia seperti telah menemukan sesuatu yang besar. Aura itu sama besarnya ketika ia melawan jiwanya yang kedua.
Ternyata dia benar-benar ada.
***