Cita-Cita Mendamaikan Dunia

1601 Kata
POV 3   “Nak, bersembunyilah di mana pun di ruangan ini. Ibu akan membantu ayahmu mengusir para penjajah di luar sana.” Wanita berusia lima puluh tiga tahun dengan t**i lalat di bawah sudut bibir sebelah kanan mencium kening anak gadisnya yang cantik. Sambil memegangi boneka teddy bear-nya, gadis itu menuruti perintah ibunya. Si gadis cantik melangkah berat menjauh dari sisi ibunya. Mencari tempat perlindungan. Sementara di luar rumah, perang semakin berkecamuk. Militer-militer biadab itu mengamuk tiada henti. Rakyat kota kecil ini dipaksa menjadi militer dadakan dan melawan. Bom dan granat dilempar ke tiap-tiap rumah. Hancur dan terbakar. “b******n!” Acius, pria yang merupakan ayah gadis cantik tadi tidak kuasa menahan sakit di hati. Emosi mencuat dan membidik setiap prajurit militer Kota Plataia. Satu per satu dapat ia lumpuhkan, bahkan ia bunuh sebab menancapkan peluru shotgun tepat di kepala mereka. Namun, dengan jumlah prajurit militer yang mencapai hampir ribuan, tidak mungkin segelintir orang lemah penduduk kota kecil ini dapat menang. Ya, setidaknya mereka bisa membela diri dan melakukan kewajiban sebagai seorang manusia. Satu granat tepat mendarat di belakang Acius. Menggelinding, hingga akhirnya terhenti pada pintu masuk rumahnya. Acius menoleh ke belakang. Bersamaan dengan itu Riesa—istrinya—membuka pintu dan berdiri. “Riesa! Jangan berdiri di sana!” Acius berlari demi menyelamatkan sang istri. Riesa menatap ke samping bawah, ada granat aktif yang ia lihat sehingga mengangkat langkah dan berlari. Akan tetapi, langkahnya tak sampai dapat menjauh dari titik ledak granat yang kemudian membuat pakaian dan kulitnya terbakar karena ledakan. “RIESA!” Acius yang berada beberapa meter di depan rumahnya terus berlari. Ia lihat sang istri telah bersimbah darah di kepala dan beberapa bagian tubuhnya. “Mau lari ke mana kau, Kijang Liar!” Seorang sniper melepaskan tembakan. Peluru menembus kaki kanan Acius. Ia terjatuh, shotgun yang digenggamnya juga jatuh cukup jauh dari jangkauannya. “Hahaha! Mati kalian.” “Rie … sa ….” “Acius ….” Kedua insan tersebut merupakan orang tua Achila, si gadis cantik yang sedang bersembunyi di dalam rumahnya. Sniper menghela napas pelan beberapa kali dan membidik kepala Riesa terlebih dahulu, lantas melepaskan tembakan. Wanita dengan rambut pirang bergelombang itu akhirnya meninggal dunia. Ia sepenuhnya tidak bernyawa, memejamkan mata selama-lamanya. Sedang Acius begitu pilu melihat cairan merah dari kepala sang istri bergelimang di tanah kering kota kecil ini. “Selanjutnya kau.” Sniper kembali mengatur napas, kini membidik Acius dan menembaknya tepat di bagian kepala. Achila terkejut saat telinganya menangkap suara tembakan. Hatinya seperti tahu bahwa suara tembakan itu benar-benar buruk. Oleh sebabnya, ia memberanikan diri keluar dari persembunyiannya di bawah ranjang kamar orang tuanya. Begitu sampai di ruang tamu, pintu yang beberapa waktu lalu masih bagus dan tertutup rapat, kini berlubang dan dipenuhi reruntuhan. Achila menatap nanar mayat kedua orang tuanya. Air bening di kedua maniknya menetes setitik demi setitik. Tangisnya pecah ketika langkahnya mengayun cepat menggapai mayat sang ibu. “Ibu!” Ia peluk tubuh ibunya yang telah menjadi bangkai. Jauh di atas sebuah tower, sniper membidik dan menyadari bahwa masih ada seseorang yang hidup. “Anak kecil? Oh, kau mayat selanjutnya.” Sniper kembali beraksi seperti biasa. Diaturnya senapan, kemudian membidik. “Maaf, Nona Kecil. Kau harus mati di usia dini.” Begitu menarik napas panjang, sniper melepas tembakan. Peluru melesat untuk menembus kepala Achila. Namun, seorang pria bertubuh besar bermata biru kemudian hadir sebagai perisai. Ia tangkis peluru yang hampir saja mengenai Achila dengan sebuah logam bekas. “Hei, di sini berbahaya. Kau sebaiknya pergi dan mencari kehidupan lain,” ucap pria kekar tersebut kepada Achila yang menatapnya lamat. “Ibuku … ayahku.” Achila sedih, pandangannya kosong. “Mereka sudah mati. Itu sesuatu yang wajar jika kau hidup di dunia yang sudah hancur ini. Siapa pun bisa mati dengan mudah. Begitu juga denganmu. Karena itu, kau harus pergi dari sini,” jelas lelaki itu yang menatap Achila dengan empati. Achila kemudian bangkit setelah beberapa detik menatap mayat orang tuanya, ia mengangguk dengan pelan. “Tapi kau siapa?” tanyanya pada lelaki bertubuh besar itu. “Julio. Ayo, kau harus pergi. Hiduplah.” Dengan begitu, Achila menjadi seorang gadis kumal yang mencoba bertahan hidup di dunia yang telah hancur. Ia singgah di banyak kota, tetapi hanya kehancuran yang ia temui hingga akhir bertemu dengan Darien, sang penolong. Sedang Julio menghabisi semua prajurit militer Kota Plataia hingga dalam pertarungan itu ia bertemu dengan sosok Robert. “Kau cukup kuat juga. Maka akulah lawanmu.” Robert melepas pakaiannya, bersiap bertarung melawan Julio. “Dari awal aku sudah tahu kalau Kota Plataia busuk itu sebenarnya dikendalikan oleh ras Akila sendiri. Kau benar-benar biadab karena tidak ingin membantu kawan-kawanmu yang terkurung dalam sangkar.” “Hahahaha. Mulutmu cukup lancang juga. Siapa namamu?” “Kau tidak perlu tahu namaku. Aku seorang pengkhianat di kotamu.” “Oh, baik. Kalau begitu, seorang pengkhianat itu seharusnya dilenyapkan dari dunia ini.” Julio dan Robert melakukan pertarungan dengan tangan kosong. Dibandingkan dengan Robert, Julio memang lebih terampil dalam bertarung. Namun, Robert punya senjata mematikan yang bahkan bisa menambah tenaganya ratusan kali lipat. Dan senjata itu ia beri nama dengan Sisi Lain. Saat Robert sudah kewalahan dengan perlawanan yang terus-menerus dilakukan Julio, maka ia mengaktifkan kekuatan tersembunyi tersebut. Tubuh Robert menyala-nyala. Sebuah energi berwarna hitam gelap mengelilingi tubuhnya, kemudian masuk dan membuat tubuhnya tumbuh jauh lebih besar lagi. “Apa itu?” Jelas Julio kebingungan karena tidak pernah melihat kekuatan semacam itu. “Ini adalah kekuatan khusus yang hanya dimiliki oleh Akila jenis keempat. Beryukurlah kau melihatnya hari ini.” Tubuh Robert bertransformasi dan membawa sebilah pedang serta perisai.   ***   “Ternyata kau sampah. Sama seperti yang lainnya. Aku seharusnya tidak berharap banyak padamu, Darien.” “Tidak! Darien bukan sampah. Dia penyelamat kami. Dia—“ Robert langsung mencekik leher Achila hingga napasnya terputus-putus. “Diam kau, jalang! Akan kuhabisi kau sekarang juga!” Tangan Robert semakin keras mencekik leher gadis tersebut. Achila hampir kehilangan napas. “Mati kau, jalang!” “Kita bertemu lagi, Robert.” Suara itu memancing Robert untuk menolehkan pandangan ke belakang sehingga cekikannya pada leher Achila melemah. Seorang lelaki yang pernah menjadi lawannya bertarung dulu hadir di kedua mata. Julio, ia sudah bangkit dengan beberapa luka gores di tubuh. Tanpa pikir panjang, Julio mengayunkan tinju dan mengenai wajah Robert dengan keras. Tangannya yang membelenggu Achila terlepas. Gadis itu berlari ke arah Darien selagi bebas. “Kurang ajar,” umpat Robert sambil mengelap darah yang keluar dari hidung lancipnya dengan tangan. “Kau masih lemah seperti yang dulu. Jika tanpa kekuatan tersembunyimu itu, aku pasti tidak akan bisa kau kalahkan,” tandas Julio sambil tersenyum miring melihat ekspresi wajah Robert yang menahan sakit. “Jangan sombong kau. Kalau begitu, mari kita lanjutkan pertarungan kita yang sempat terhenti.” Robert berlari, melayangkan tinju dan tendangan dengan cepat pada titik-titik lengah Julio. Namun, memang benar bahwa Julio masih lebih unggul dalam pertarungan jarak dekat dengan tangan kosong. Teknik martial arts lelaki yang merupakan ayah Darien itu jauh lebih rapi dan teratur. Gerakannya lembut dan lentur. Tidak seperti Robert yang terus menyerang secara membabi buta. Robert lebih mengandalkan energi daripada teknik bertarung. Oleh sebabnya, tingkah buru-burunya itu selalu dapat dimanfaatkan oleh Julio. Robert terengah-engah. Setelah beberapa menit berlalu ternyata pukulannya belum dapat mengenai Julio satu pun. Maka, ia tidak punya pilihan lain. “Kalau begitu, aku akan menggunakannya.” Robert memejamkan mata, fokus dan menghela secara teratur. Ia kumpulkan energinya pada satu titik. Ini teknik memanggil kekuatan tersembunyi yang ia sebut dengan Sisi Lain tersebut. “Kau sungguh curang. Lemah!” tandas Julio yang sangat benci melihat teknik kekuatan yang digunakan oleh Robert. Cahaya pekat kegelapan menelungkup tubuh kekar Robert. Seperti biasa setelah energi-energi kegelapan itu mulai terserap ke dalam tubuhnya, ia mulai bertransformasi. Tubuhnya dilengkapi oleh zirah logam yang cemerlang. Tanduk mulai muncul di sisi kiri dan kanan kepala. Kemudian tangan kiri memegang perisai bundar bercorak singa. Tangan kanan memegang pedang dua mata. Pedang berbentuk sama seperti milik Darien, hanya saja milik Robert sedikit lebih besar dan panjang, berwarna perak cemerlang. Semua mata di medan perang ini tertuju pada Robert. Ini gila! Jika dia punya kekuatan yang sama besarnya dengan milik Darien, maka siapa pun tidak akan bisa mengalahkannya kecuali Darien. Darien pun belum tentu dapat mengalahkan lelaki calon pemimpin Kota Plataia itu. Terasa sangat jelas perbedaan kekuatan keduanya. Robert menatap lamat Julio, mengambil ancang-ancang dan memasang kuda-kuda. Ia melesat dengan kecepatan tinggi, mengarahkan perisai dan mengayunkannya. Julio menyilangkan tangan di depan kepala, mencoba menangkis serangan Robert. Namun, ia sadar perbedaan kekuatannya sangat jauh. Alhasil, tubuh Julio terpental sejauh dua puluh meter ke samping pintu masuk kota. Sedang, bersamaan dengan itu, pasukan militer dari Kota Eretium telah sampai di Kota Eleusina. “Pasukan, berhenti!” Perintah Alexander yang berada pada barisan terdepan dengan kuda besi berteknologi tinggi. Ya, mesin-mesin itu sangat mirip dengan kuda. Mesin berwarna perak yang dilengkapi dengan Nitrous Oxide System yang terpasang di p****t kuda-kuda buatan tersebut. Aconteus, Alexander, beserta semua pasukannya meneliti sekeliling. Perasaan simpati kemudian hadir setelah mereka melihat bagaimana keadaan kota dan terkhusus Darien di sana yang tengah merenung. “Apa yang sedang terjadi di kota ini? Suasana ini rasanya aneh sekali,” gumam Aconteus. Ya, mereka merasa ada aura keputusasaan. Akan tetapi, yang jauh lebih besar bahwa suasana kekalahan sedang membalut Kota Eleusina. “Semua pasukan, bersiap menyerang! Musuh kita adalah pasukan Kota Plataia! Sebagian memberikan pengobatan dan evakuasi pada pasukan Kota Eleusina yang gugur!” Dengan dikeluarkannya perintah tersebut, maka perang kembali berlangsung. Separuh mengevakuasi prajurit yang gugur beserta penduduk kota yang tengah ketakutan. Separuhnya lagi mempertaruhkan nyawa demi membantu Darien, demi mewujudkan mimpi lelaki itu untuk mendamaikan dunia yang hancur ini.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN