Pertemuan

2144 Kata
Rasa takut serta kecemasan menyelimuti seluruh Kota Eleusina. Beratus-ratus militer terus berdatangan tanpa henti, memporak-poranda pasar kota tersebut. Dengan dua pendamping di kiri dan kanan, Acacio berjalan pelan menuju hiruk-pikuk. “Tuan-tuan. Mari kita bicarakan semuanya secara baik-baik terlebih dahulu,” ucap Acacio kepada seluruh pasukan militer dengan senyuman tipis. “Tidak bisa! Kami sudah diperintahkan untuk menghancurkan kota ini!” pekik salah satu pemimpin militer, menolak ajakan Acacio. “Ayolah, Tuan-tuan. Saya akan membayar berapa pun biaya demi kedamaian kota ini. Saya akan berbicara dengan para petinggi bila perlu,” ucap lagi Acacio. Luar biasa sekali. Dalam keadaan terdesak seperti ini, dia masih bisa mengulas senyuman. Tak lama kemudian, seorang lelaki berkumis, bertubuh tinggi dan besar dikawal beberapa militer, berjalan sombong menuju Acacio. Aku pun sudah tahu siapa lelaki itu karena pernah kulihat sebelumnya di Kota Plataia. Tentu saja, ia adalah salah satu orang berwibawa yang sudah bertahun-tahun merenggut kebebasan kami. “Baiklah. Kita bicarakan semuanya!” Orang berwibawa berhenti di hadapan Acacio. Setelah itu, dia dan seluruh pasukannya segera mengikuti Acacio dari belakang. Sepertinya, mereka akan membahas perihal tersebut di gedung pemerintahan kota. Aku masih bersembunyi di penginapan sambil terus mengawasi gerak-gerik pasukan militer orang berwibawa. Ini adalah situasi yang gawat bagiku dan Achila. Jika para militer sampai tahu keberadaan kami, serta tahu tentang Acacio telah membantu kami, mungkin kota ini tidak akan dapat diselamatkan. Kota ini kemungkinan besar dapat dibumihanguskan. “Darien! Apa yang harus kita lakukan sekarang? Jika mereka sampai tahu kita di sini, tamatlah riwayat kita,” ucap Achila, setengah berbisik. Tampak jelas bahwa gadis ini sangat panik dan khawatir. “Tidak apa-apa. Aku akan mencari cara untuk keluar dari kota ini.” Pernah terlintas di pikiranku untuk membantu mereka yang dihardik para militer. Mengalahkan para militer masih memungkinkan, tetapi apabila mereka telah mengerahkan ras Akila, sepertinya akan sangat buruk. Aku tidak mungkin bisa menang melawan ribuan ras Akila dan juga Sang Penakluk yang memiliki kekuatan luar biasa. Tak hanya dari segi fisik, tetapi Sang Penakluk sudah dilatih untuk menggunakan strategi pertarungan. “Ayo. Kita bisa keluar dari kota ini dengan cara mengendap-endap,” ujarku pada Achila, “Pakailah tudungmu dan tetaplah menunduk!” Kami segera berjalan menuju pintu keluar Kota Eleusina di arah timur. Kota Eleusina memang dijaga ketat para militer. Tidak menutup kemungkinan akan ada yang berjaga di pintu keluar. Setidaknya aku tahu kalau kota ini sudah dikepung dari berbagai sisi. Pasukan militer Kota Plataia tak terhingga jumlahnya. Sebab, mereka telah diberikan jaminan kehidupan sejahtera. Mereka dapat melakukan apa pun demi bisa membanggakan orang-orang berwibawa. Sesampainya di pintu keluar, ada empat militer tengah berjaga-jaga. Jika tidak bisa meloloskan diri, kami akan ditangkap ratusan militer. Aku tetap menunduk menyembunyikan wajah sembari terus berjalan. Hanya beberapa meter lagi sampai kami melewati pintu keluar. Namun, Achila yang berada di depanku tidak menyadari bahwa kain lusuhnya terseret menyapu tanah, sehingga secara tidak sadar ia pun menginjak ujung kain lusuh tersebut. Kain lusuh yang dijadikan sebagai jubah itu akhirnya terlepas dari tubuh Achila. Keempat militer secara bersamaan menyorotkan pandangan pada Achila, kemudian mengacungkan senjata. Mereka menyeringai dan melotot tajam seolah-olah mendapatkan hewan buruan yang telah lama mereka incar. “Siapa kau?!” Aku pun terhenti, tetapi terus tertunduk. Tentu saja, mereka memang belum melihat wajahku. Jadi, untuk sementara ini, aku mungkin bisa bersandiwara. “Hei! Cepat buka tudungmu! Tunjukkan wajahmu!” tegas salah satu militer sambil  meningkatkan kewaspadaan. Achila mulai panik. Digenggamnya tanganku dengan erat. “Saya hanya pedagang di kota ini, Tuan,” ucapku, berbohong. “Lalu, ke mana kalian akan pergi? Tidak ada yang boleh keluar selagi kami masih ada di sini!” “Baiklah, Tuan.” Aku berbalik badan, berjalan pelan sambil sesekali melihat ke belakang. Kulepaskan genggaman tangan Achila. Aku berubah pikiran dan dengan segera kulayangkan tendangan pada salah satu militer, sehingga tersungkur penuh luka. Dia terpental beberapa meter oleh tendanganku yang super bertenaga. Ketiga militer yang tersisa menembakkan amunisi, tetapi berhasil kuhindari beberapa tembakan seraya terus mendekat. Karena secara terus-menerus menembak secara brutal, mereka pun kehabisan amunisi secara bersamaan. Namun, tidak semudah itu. Salah satu militer berhasil menyandera Achila. Sebuah pisau kecil milik militer itu menempel di leher Achila. Satu goresan saja dapat membuatnya terluka. Aku terhenti, kemudian mengangkat kedua tanganku. “Jika kau berani mendekat, maka habislah gadis ini!” pekik si militer sambil menyeringai. Ketiga militer yang tadinya telah kehabisan amunisi mendekat, kemudian memborgol tanganku. “Huh! Ternyata dia ras Akila yang melarikan diri itu!” ujar salah satu dari mereka, lalu menendang perutku cukup keras. “Uhuk!” Aku terjungkal dan terbatuk-batuk. “Para petinggi sudah mengeluarkan perintah untuk membunuhnya. Bagaimana kalau kita habisi saja dia di sini?” “Iya, ide yang bagus!” “Apa kau masih punya amunisi?” “Masih tersisa beberapa.” Si militer berkulit hitam bersiap-siap menembakkan amunisi di kepalaku. “Tidak! Jangan laku—” “Diam kau, gadis jalang!” Achila meneteskan cairan bening itu lagi. Cairan bening yang bernama air mata. Bagaimanapun, aku yang sekarang sudah tahu apa arti ketika cairan bening itu keluar dari mata seseorang. Itu adalah tanda sebuah kesedihan dan ekspresi dari ketakutan Achila. Aku benar-benar tidak bisa memaafkan mereka yang telah melukai gadis tersebut. Namun, sudah tak ada yang dapat kami lakukan. Untuk melawan sebenarnya masih memungkinkan, tetapi entah mengapa aku tidak ingin melakukan itu. Jika melawan sedikit saja, mereka akan membunuh Achila, gadis kumal itu. Ras Akila memang memiliki tubuh yang kuat, selama amunisi atau senjata tajam tidak mengenai daerah vital, maka kami tidak akan terkalahkan. Sebuah rasa yang sebelumnya tidak pernah kurasakan kini bergelimang di dadaku. Aku masih belum mengerti apa artinya. Aku masih belum mengerti apa namanya. “3!” “2!” Aku memejamkan kedua mata, bersiap menyambut kematianku. Mungkin ini akhir dari hidupku. Selamanya aku tidak akan pernah melihat dunia yang damai dan indah. Birunya air laut, birunya langit, serta putihnya awan. Semua itu hanya ilusi semata untuk bisa dinikmati makhluk sepertiku. “1!” Tidak ada yang terjadi. Suasana tertelan keheningan. Yang terdengar jelas hanya helaan napas Achila yang tersengal. Secara perlahan kubuka mata, kemudian mendapati para militer itu kehilangan kepala. Darah segar bergelimang di tanah. Setelah menghadapkan wajah ke arah Achila, ia bergeming bak batu. Matanya terbelalak penuh kejutan dan terkesan sangat kosong. “Apa secepat itu kau ingin mati?” Terdengar sebuah suara di kejauhan. Di sebelah utara pintu masuk, seseorang dengan topi hitam berjalan santai. Dia mengembuskan asap dari rokoknya yang mengepul dan tersisa setengah batang. Sebuah senjata modern yang kira-kira sepanjang satu meter ditentengnya dengan tangan kanan. Lelaki bertopi itu mendekat padaku. Senjatanya bertransformasi menjadi sebuah pedang bermata tajam. Dengan hanya satu tebasan, borgol di tanganku terlepas olehnya. “Kau ... siapa?” tanyaku, menatap heran pada lelaki bertopi itu. “Aku adalah utusan Acacio. Ia memerintahkanku untuk menyelamatkan kalian. Astaga, si tua bangka itu memang seenaknya saja. Padahal aku sedang sibuk. Dasar.” “Jadi ... kau adalah sekutu kami?” Aku segera berdiri tegap menghadap si lelaki bertopi. “Entahlah. Yang pasti, aku hanya menjalankan perintah tuanku. Itu saja.” Lelaki bertopi menyalakan api rokok. “Dan tuanku bilang kau adalah ras Akila, benar?” “Yah, benar. Lalu, kenapa?” “Tidak ada. Aku juga kebetulan seorang Akila,” ucap si lelaki betopi, “walau memang tidak murni.” “Apa? Apa maksudmu dengan Akila tidak murni?” “Ya. Aku hanya kelinci percobaan yang gagal. Meski aku menyandang nama seorang Akila. Tapi, tubuh dan fisikku tidak sekuat Akila murni yang lahir dari perkawinan Akila dengan Akila,” jelas lelaki bertopi sembari menyesap rokoknya. “Jadi ... Akila juga bisa diciptakan secara tidak alami?” “Benar. Tapi, sayangnya itu tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Pada akhirnya, ras Akila buatan masih lebih lemah daripada Akila murni. Kami hanya bisa mengandalkan senjata ini untuk bertarung. Sementara itu, ras Akila murni, meski tanpa senjata pun mereka sudah kuat, bukan?” “Tapi, siapa orang yang menciptakan ras Akila itu?” “Ini adalah cerita lama. Selama perang masih terus merajalela di kota ini, beribu-ribu prajurit pemerintahan dikalahkan segelintir orang, yaitu ras Akila. Kami tidak pernah bisa memenangkan peperangan. Sampai suatu ketika, seorang profesor tua datang dan membantu kami. Dia berhasil membuat tiruan ras Akila. Meski ada perubahan dalam hasil perang, tetapi ternyata itu hanya sia-sia. Kami kalah dan menyerah pada pemerintahan Kota Plataia sialan itu dengan syarat, jika kami ingin mencipatakan kota ini damai, kami harus membayar biaya kedamaian itu sesuai jumlah yang mereka tentukan. Seenaknya saja!” “Pada akhirnya ini menyangkut tentang uang.” “Tidak hanya itu. Lambat laun, aku yakin para petinggi Kota Plataia akan meghancurkan kota ini. Kali ini, kami berhasil melakukan negoisasi dengan mereka. Namun, tidak menutup kemungkinan mereka menginginkan dunia ini sebagai milik mereka sendiri. Banyak kota lain yang sudah mereka renggut. Pemerintahan di kota-kota lain sudah mereka jatuhkan, sementara para rakyat dibiarkan menderita dan kelaparan. Mereka bukan manusia. Mereka tidak punya perasaan. Anak-anak dilatih sebagai prajurit mereka. Wanita-wanita diperlakukan dengan biadab hanya demi kepuasan mereka. Jika ada yang tidak menuruti perintah mereka, maka sudah tidak ada harapan untuk seseorang itu bisa hidup.” Lelaki bertopi kembali mengisap rokoknya. “Baiklah. Sudah saatnya aku pergi. Kalian segeralah pergi dari kota ini. Tapi, apa yang akan kau lakukan untuk saat ini?” “Entahlah. Aku hanya tidak ingin melihat perang lagi. Aku sudah lelah. Aku tak tahu apa yang selama ini kurasakan. Yang pasti, aku selalu dihantui bayang-bayang indah akan dunia ini,” jawabku berterus-terang. “Naif sekali. Aku baru tahu ada Akila senaif dirimu. Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau kau selamatkan dunia ini dari kehancuran? Itu tujuan yang hebat, bukan?” “Apa? Tidak mungkin. Bahkan aku tidak mengerti bagaimana dunia berjalan. Aku baru saja keluar dari sangkar dan tidak banyak mengerti tentang dunia.” “Kau bisa mempelajarinya sedikit demi sedikit. Kalau kau punya tekad, berjuanglah. Jangan hanya menyimpan keinginanmu di angan-angan. Kau hanya akan membusuk tanpa melakukan apa-apa.” Lelaki bertopi menatap teduh padaku sambil tersenyum miring. “Saat ini, bagaimana kalau kau bergabung dengan kelompokku saja?” “K-kelompok? Kelompok apa itu persisnya?” “Tuanku secara diam-diam membentuk sebuah kelompok revolusi untuk melawan para petinggi. Dengan bertujuan menjatuhkan petinggi Plataia, maka terbentuklah kelompok bernama Revolution Group. Di dalamnya banyak para Akila tidak murni sepertiku. Jika kau bersedia, kau pasti bisa menjadi harapan kami. Itu pun jika kau siap menjatuhkan pemerintahan Kota Plataia.” Tatap mata lelaki bertopi penuh keyakinan. Aku benar-benar tak pernah melihat tatapan yang menyala-nyala seperti miliknya sebelumnya. Ras Akila memang kuat, tetapi kami sama sekali tak punya tujuan yang jelas. Tidak seperti lelaki di hadapanku sekarang, dia terlihat sangat serius. “Ha ... rapan?” gumamku. “Benar. Kau mungkin bisa menjadi harapan umat manusia. Kau kuat. Dan dari yang kudengar, kau adalah Akila jenis keempat, yang baru pertama kali ada di dunia. Dengan menggabungkan kekuatan, aku yakin kita bisa menjatuhkan pemerintahan Kota Plataia untuk mendapatkan kebebasan yang selama ini kau cari.” Dia semakin menatapku dalam, penuh makna. “Kami berlatih setiap hari di sebuah markas rahasia dengan senjata ini. Bukankah senjata ini mirip dengan senjata modern yang khusus dibuat untuk ras Akila?” “Akila Own. Sangat mirip. Hanya saja sedikit berbeda di bagian tuas pengatur ledakan, dan bahkan Akila Own jauh lebih besar dan panjang.” “Ya. Hanya ukuran inilah yang cocok pada Akila tidak murni. Senjata Akila Own yang kau sebutkan tadi tidak cocok dengan kami. Itu terlalu besar dan menguras tenaga, sehingga jika digunakan oleh Akila tidak murni seperti kami akan menyebabkan kematian. Dasar, aku tidak habis pikir ada senjata seperti itu di dunia ini.” Aku tertegun memikirkan tawaran lelaki bertopi. Harapan, ya? Apakah benar ras keji dan biadab yang hanya bisa membunuh ini bisa menjadi harapan setiap orang? “Bagaimana? Ini tawaran bagus untukmu. Daripada kau terus berlari dari kejaran militer para petinggi, kau lebih baik belajar tentang dunia bersama kami. Kebebasanmu ada di tanganmu!” “Baiklah. Aku terima tawaranmu,” jawabku dengan yakin. “Kalau begitu, ayo ke markas kami. Ikuti aku!” *** Sebuah markas tersembunyi di bawah tanah. Pintu masuk markas berada di dalam bangunan penyembahan para Dewa. Dengan kedalaman kira-kira 50 meter, kami masuk dengan menuruni tangga. Di dalamnya terdapat para anggota revolusi seperti yang dikatakan lelaki bertopi bernama Alexio. Acacio tampak sedang melatih para pasukan. Di wajahnya terlihat sangat jelas cahaya kebijaksanaan. Dengan penuh antusias melatih seluruh pasukan. Mengajarkan teknik-teknik dalam berperang. Mengajarkan strategi-strategi dalam berperang. Namun, aku terpaku menatap satu pria tua renta yang tak asing di mataku. Pria tua bungkuk mengenakan jas putih. Dengan kacamata ber-frame gantung yang juga tampak tidak asing. Ya, si dokter tua dari laboratorium pemeriksa kesehatan ras Akila di Kota Plataia. Aku terkejut bercampur bingung. Apa yang terjadi? Yang kutahu, ia adalah dokter yang bekerja di bawah aturan orang berwibawa. Ia juga merupakan dokter yang menyuruhku melarikan diri dari sangkar. Dokter tua itu, ia tampak tersenyum dan tertawa dengan para Akila tidak murni. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN