“Berawal dari beberapa ratus tahun yang lalu, bumi telah digemparkan dengan berita perang di seluruh penjuru dunia. Penyebab perang bermula dari teknologi-teknologi senjata terbaru yang diciptakan khusus untuk pasukan militer. Seluruh negara berlomba-lomba untuk menjadi yang terdepan dalam bidang teknologi. Namun, hanya ada satu kota di negara ini yang berhasil menciptakan teknologi masa depan untuk memusnahkan seluruh peradaban, kecuali kota itu sendiri.
Pada awalnya, para ilmuan di penjuru dunia menciptakan robot-robot sebagai pasukan pendukung militer sekaligus membantu mereka di medan perang. Namun, pada akhirnya robot-robot yang diciptakan masih memiliki banyak kekurangan. Bahkan manusia biasa yang tidak pernah belajar cara memegang senjata pun dapat mengalahkan mereka dengan mudah. Robot mudah hancur, juga tidak memiliki pemikiran, sebab mereka hanya hasil dari pemikiran manusia. Ras Akila berbeda dengan semua itu.
Ini adalah sebuah cerita dari bermula lahirnya ras Akila.
Para petinggi Kota Plataia berambisi menguasai dunia. Mereka membumihanguskan lebih dari 100 negara di dunia dengan hanya bermodalkan sebuah senjata teknologi canggih yang disebut Invisible Destruction. Ini adalah semacam teknologi canggih yang mengandalkan kekuatan gelombang elektromagnetik.
Invisible Destruction dapat meledakkan segalanya, kemudian juga dapat membuat beberapa penyakit aneh yang dapat mengakibatkan kematian pada manusia. Partikel-partikel dari gelombang elektromagnetik inilah yang telah dikontaminasi menjadi sumber ledakan dan penyakit aneh. Akibatnya, seluruh manusia dan beribu-ribu gedung di dunia menjadi sasarannya.
Beberapa tahun berlalu semenjak terjadinya ledakan dan kematian manusia yang terserang penyakit aneh, maka lahirlah sekelompok ras yang disebut dengan Akila.
Akila sendiri tidak sengaja diciptakan. Beberapa manusia di muka bumi setelah bertahun-tahun mengemban penyakit aneh akibat radiasi elektromagnetik ini terlahir sebagai ras Akila. Dinyatakan ras Akila adalah ras terkuat karena tidak terpengaruhnya mereka dengan serangan yang telah dijatuhkan Kota Plataia. Oleh sebab itu, para petinggi kota Plataia mengumpulkan orang-orang terkuat itu di sebuah tempat. Mereka mengerahkan seluruh ilmuan di dunia untuk meneliti bagian tubuh ras Akila dan mengambil beberapa sample dari gen mereka. Para ilmuwan menemukan fakta yang mencengangkan.
Sekitar 1000 manusia yang dapat bertahan dari gelombang radiasi elektromagnetik diberikan vaksin untuk meredakan kulit mereka yang telah melepuh seperti baru saja terbakar api yang sangat panas. Kami para ilmuan melakukan eksperimen bertahun-tahun, kemudian mendapatkan kesimpulan bahwa ras Akila adalah revolusi dari manusia terdahulu.
Populasi manusia di dunia memang sudah berkurang pada saat perang berlangsung lama. Namun, seiring berjalannya waktu pasca perang, populasi manusia kian bertambah terus-menerus. Kota-kota yang hancur didirikan kembali. Ditata ulang. Akan tetapi, karena keegoisan para petinggi Plataia, kota-kota yang ditata ulang tersebut tidak bertahan lama. Mereka menghancurkannya kembali dengan senjata baru yang disebut dengan ras Akila bersama peralatan canggihnya bernama Akila Own. Itu merupakan senjata yang dapat mengukur seberapa kuat seorang Akila dan berapa energi yang mereka miliki.
Dengan begitu, maka dapat disimpulkan bahwa ras Akila adalah alat perang yang tidak sengaja diciptakan para petinggi Plataia.
Keadaan dunia ini persis seperti di zaman dahulu. Yang membedakan hanya teknologi yang semakin canggih. Namun, sebenarnya dunia tengah mengalami kemunduran pesat dari segi moral. Manusia semakin hari semakin menjadi binatang buas. Hanya untuk bertahan hidup, manusia terus saling membunuh, memperebutkan sepotong kentang kecil.”
Setelah mendengar cerita itu dari seorang dokter bernama Elasmus, yang juga merupakan profesor di laboratorium Kota Plataia, aku sama sekali tak bisa berkata-kata. Aku tak mengerti apakah cerita itu adalah kabar gembira atau kabar buruk. Jika perang tak ada, aku atau ras Akila pastinya tidak akan pernah terlahir ke dunia ini. Ah, semua ini semakin membuat kepalaku terasa sakit. Hanya dengan memikirkannya saja, aku tahu betapa sakit penderitaan yang dibebankan manusia sejak perang itu pecah.
“Hei, Darien! Kau kenapa?” Achila melambai-lambaikan tangan di depan wajahku sehingga membuatku tersadar dari lamunan tak berujung.
“Ah, tak apa. Aku hanya sedang memikirkan sesuatu,” ucapku setelah kesadaranku telah kembali. “Jadi, ras Akila sebenarnya adalah manusia? Tapi ... mengapa ras Akila kebanyakan tidak memiliki perasaan, Dok?”
“Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahwa Akila adalah revolusi dari manusia-manusia yang terkena dampak partikel-partikel elektromagnetik. Pada dasarnya manusia punya hati dan perasaan, tetapi mereka yang telah terkena dampak yang telah disebutkan tadi sebenarnya sudah kehilangan perasaan mereka. Karena menderita penyakit tersebut mereka hanya mengenal rasa sakit, kemudian perlahan kehilangan akal sehat mereka. Itu juga yang menyebabkan hasrat membunuh mereka sangat kuat. Pada dasarnya, ras Akila tak punya tujuan yang jelas di dunia ini. Maka, itulah kelemahan mereka sehingga dapat dimanfaatkan para petinggi Plataia,” jelas Dokter Elasmus.
“Satu hal lagi, Dok. Kenapa kau bisa ada di sini?”
“Saya sudah menduga kau akan melontarkan pertanyaan itu.” Elasmus menghela napas panjang. “Saya sebenarnya tidak begitu patuh kepada para petinggi Plataia. Alasan kenapa saya ada di sini karena kota inilah kampung halaman saya. Bagaimanapun juga, saya dilahirkan di kota ini dan dulu saya pernah membantu pasukan Eleusina dalam membentuk pasukan perang dengan menciptakan Akila tidak murni.”
“Nah, jadi dialah profesor yang juga menciptakan ras Akila tidak murni sepertiku. Sekarang kau sudah tahu apa tujuanmu, kan?” Alexio menimpali.
“Aku tidak menyangka Dokter Elasmus yang menciptakan pasukan ras Akila tidak murni.”
“Sayalah telah melakukan penelitian untuk membuat manusia normal menjadi ras Akila. Tapi, itu tidak sepenuhnya berhasil. Faktanya, serum yang saya ciptakan tidak bisa menyamai ras Akila murni.”
“Tapi ... itu artinya ras Akila sama saja dengan binatang buas, kan, Dok? Dan aku juga ....”
“Tidak!” potong sang dokter. “Kau sedikit berbeda dari mereka. Sudah pernah saya katakan bahwa kau adalah jenis istimewa dari semua Akila yang ada.”
“Kalau memang Darien adalah jenis istimewa, pasti ada sebabnya. Bukan begitu, Dok?” Achila menimpali yang sedari tadi fokus mendengar percakapan kami.
“Benar,” singkat sang dokter.
“Lalu, apa penyebabnya, Dok!”
“Sebelum kau melanjutkan pertanyaanmu lebih jauh lagi, saya hanya bisa mengatakan bahwa kau harus mencari di mana orang tuamu berada. Sebab, menurut saya hal yang paling berpengaruh adalah gen yang ada pada dirimu.”
“O-orang tua? Tapi ....”
“Kau tidak mengenal siapa mereka? Dan kau tahu bahwa ibumu sudah mati di medan perang?” potong dokter tua tersebut, kemudian mendekat padaku.
“Benar, Dok. Bukankah mereka sudah lama mati?”
“Tidak. Saya yakin pernah melihat sebuah laporan militer di Kota Plataia bahwa ada sepasang suami istri ras Akila yang telah melarikan diri. Sudah 15 tahun berlalu semenjak laporan itu dibumihanguskan. Namun, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Dan saya yakin mereka adalah orang tuamu yang telah lama hilang.
Lakukanlah perjalanan ke seluruh penjuru! Temukan mereka! Itu juga bisa membuatmu paham tentang perasaan manusia.”
“Itu benar, Darien! Kau harus belajar tentang dunia ini terlebih dahulu jika kau ingin membuat dunia menjadi damai.” Achila menimpali, kemudian melemparkan senyum dukungannya.
“Apa aku bisa melakukannya sendiri?” desisku, menatap kedua telapak tanganku.
“Kau tidak harus melakukannya seorang diri. Ya ampun, apa boleh buat.” Alexio bangkit dari posisi duduknya, kemudian membakar sebatang rokok dan mengisapnya dalam-dalam.
“Apa maksudmu?”
“Akila666. Tidak. Atau saya panggil kau dengan sebutan Darien.” Sang dokter tersenyum. “Kau sudah membuat kemajuan pesat dalam beberapa hari terakhir ini. Kau pergilah bersama Achila dan Alexio. Mereka akan menemani perjalananmu dalam menemukan orang tuamu. Sementara itu, saya akan terus berada di Kota Plataia. Saya akan membantumu dengan cara mengumpulkan informasi dari sana.”
***
Mentari telah terlahap cakrawala, sudah saatnya rembulan menampakkan sinarnya. Aku terduduk di beberapa anak tangga kuil tua, sembari memandangi langit jingga yang perlahan-lahan berubah menjadi kegelapan malam. Angin malam mulai berembus menyibakkan hawa dingin di sekitar.
Acacio terlihat berjalan pelan. Di kejauhan, ia mengulas sebuah senyuman bijaksana ke arahku.
“Jadi, esok sudah saatnya kau pergi dari kota ini, ya?” Acacio duduk di sampingku. Aku bergeser beberapa jengkal darinya, memberikan tempat yang luas.
“Ya. Aku rasa sudah seharusnya aku mengenal dunia ini,” ucapku yang kemudian menghela napas dalam. “Aku seperti bayi yang baru lahir saja. Seharusnya, jika aku dilahirkan di sebuah keluarga yang normal, aku pasti tidak akan menjadi seperti ini. Tapi, sudahlah. Aku yakin diriku dilahirkan ke dunia ini memiliki tujuan tertentu.”
“Darien. Kau adalah manusia istimewa. Saat ini, mungkin kau tidak akan dikenal siapa pun. Namun, saya yakin di hari esok kau akan menjadi satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan dunia ini dari kehancuran.” Acacio menepuk pundakku. “Saya juga percaya kau adalah seorang lelaki yang dititipkan Dewa untuk memperbaiki dunia yang hancur ini.”
“Apa mungkin ini yang disebut sebagai takdir? Keberadaanku di kota ini, kemudian pertemuan yang tak terencana ini?”
“Ya, itulah takdir dari Sang Dewa untukmu. Para Dewa mempertemukanmu dengan orang-orang yang akan setia menemani perjalananmu.” Acacio beranjak bangkit. “Tapi, pastikanlah satu hal bahwa kau akan kembali ke kota ini. Di sinilah kotamu, Nak. Bukan di Plataia, tapi di sini.”
Sebelum aku berhasil membalas perkataannya, ia berlalu pergi. Perlahan-lahan keberadaannya mulai terlahap jarak pandangku.
Memang, Acacio adalah pemimpin yang bijaksana. Mungkin perbedaan sudut pandanglah yang membuat namanya begitu buruk di mata rakyat. Aku sepertinya tahu apa yang membuat manusia begitu membingungkan. Karena punya hati dan perasaan inilah, maka manusia menjadi sulit dimengerti.
Umumnya, ras Akila tidak mengenal rasa peduli akan sesama. Mereka seperti sebuah benda yang dapat dikendalikan. Apa yang disebut perasaan, yang kemudian terbagi menjadi beberapa jenis yang disebut sifat pada manusia, tidak dimiliki ras Akila. Pada akhirnya, para Akila hanya sekelompok binatang yang dibesarkan untuk berburu semasa hidup mereka, kemudian patuh kepada pawangnya.
***
Dari Kota Eleusina, kami mengarungi daratan yang lebih pantas disebut gumpalan debu. Dengan perbekalan yang cukup dari Acacio, aku, Alexio, dan Achila melakukan perjalanan ke timur. Tentu saja kami harus berjalan kaki. Tak ada yang namanya kendaraan. Seperti yang sudah dijelaskan Dokter Elasmus, dunia sudah kembali ke zaman dahulu. Keadaan bangunan dan kota-kota sudah kembali seperti beribu tahun yang lalu.
Jika dulu para manusia berperang demi kemajuan dunia. Lalu, kenapa sekarang mereka berperang untuk menghancurkan dunia? Semua memang sulit dimengerti. Namun, aku yakin bisa menemukan jawabannya nanti dalam perjalanan ini.
Orang-orang yang dulu kaya raya, di dunia yang seperti saat ini, untuk dapat makan sekali dalam sehari saja sudah cukup. Mungkin tidak ada lagi yang namanya kesibukan dalam bekerja di sebuah ruangan mewah, karena sebagian orang sekarang bertahan hidup dengan cara berdagang. Pastinya sangat banyak perampok dan pencuri-pencuri kecil di tengah-tengah krisisnya dunia.
“Kita akan berjalan melewati daratan gersang ini beberapa mil ke depan. Untuk mencegah terjadinya hal yang tidak diinginkan, tetaplah gunakan penutup wajahmu. Jangan lepaskan! Pasukan Plataia kerap kali berkeliaran untuk patroli,” jelas Alexio.
Aku dan Achila mengangguk pelan, menyetujui saran Alexio.
Di kiri dan kanan yang tampak hanya beberapa bukit gersang yang dulunya mungkin adalah sebuah pemukiman. Terdapat material-material bangunan runtuh, hingga tertutupi debu tebal.
“Di sini dulu adalah pemukiman yang subur. Terdapat sebuah bukit yang ditumbuhi bermacam-macam buah dan sayuran,” ucap Alexio, menerangkan.
“Apa masih ada yang tinggal di daerah ini?” tanya Achila.
“Mungkin tempat ini ditinggali sekelompok perampok.”
Alexio berhenti berjalan. Aku dan Achila ikut menghentikan langkahku, menatap heran penuh tanda tanya.
Setelah Alexio meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya, aku menyadari bahwa sebuah suara langkah kaki terdengar di tebing sebelah kiri. Kuberikan sebuah pisau kecil pada Achila. “Pakai ini jika nyawamu sedang terancam!”
Dengan ragu Achila mengambil pisau yang dipenuhi darah kering itu dari tanganku, kemudian mengangguk pelan.
Aku maju selangkah ke hadapannya. Berposisi layaknya perisai gadis tersebut. Alexio yang berada beberapa langkah di depanku, tetap tenang mengembuskan napasnya secara teratur.
Tak lama kemudian, 4 orang lelaki bersenjata pedang tampak dari tebing di sebelah kiri. Kami tidak mengurangi kewaspadaan sedikit pun. Alexio bersiap mengatur senjata miliknya, kemudian membidik. Namun, kedua lelaki asing bersenjata itu mundur, menghilang tertelan tebing. Kedua lainnya melompat turun.
“Hei! Siapa kalian?!” pekik Alexio, sembari terus mengarahkan senjatanya kepada dua orang asing tersebut.
Pandanganku sibuk mencari-cari ke mana perginya dua orang asing lainnya.
“Serahkan barang-barang kalian!”
“Jadi, kalian perampok yang jadi pembicaraan di sekitar sini?” tanya Alexio.
“Kalau benar, memangnya kenapa?”
“Ah, tidak ada! Aku hanya ingin ....” Alexio melepaskan tembakan ke arah salah satu perampok, yang kemudian bergelimang darah. Kepalanya hilang terurai.
“b*****t!” pekik kawan si perampok setelah melihat temannya bergelimang darah, hingga tak bernyawa.
Si perampok mulai berlari sembari mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi. Namun, tetap saja senjata yang digunakan untuk pertarungan jarak dekat tidak bisa melawan senjata Alexio, yang merupakan tiruan Akila Own. Alhasil, d**a si perampok berlubang, dan bernasib sama seperti kawannya.
“Aarrgghh! Tolong aku, Darien!”
Setelah lama fokus pada Alexio tadi, aku sadar telah lengah terhadap musuh dua lainnya. Dan lagi-lagi menjadikan Achila sebagai sandera mereka.
“Hei, lepaskan gadis itu!” pekikku kepada si perampok.
“Memangnya aku akan dengan mudah melepaskannya? Jangan bodoh! Kalian telah membunuh dua kawan kami!”
“Jadi, kalian berdua ingin bernasib sama dengan kedua kawan kalian?” Alexio menatap tajam, menenteng senjatanya.
“S-siapa kalian sebenarnya?!” Si perampok tampak sangat gugup.
“Jika kalian tidak ingin mati di sini, lepaskan teman kami! Tapi, jika kalian sudah tidak sayang dengan nyawa kalian, maka ....”
“Baiklah! Baiklah! Kami menyerah!”
Si perampok melepas bekapannya dari Achila, kemudian mengangkat tangan. Menandakan bahwa mereka menyerah.
Dasar biadab!
Dasar biadab!
Aku akan mencincang kalian!
Sebuah suara di dalam dadaku terus-menerus terdengar. Sebenarnya, aku tak tahu suara siapa yang aku dengar tersebut. Yang lebih penting, aku seolah-olah merasakan api yang membara di dalam dadaku. Sehingga, secara tidak sadar aku sudah mendapati diriku sedang mencekik kedua perampok tersebut.
“Uhuk! Uhuk! L ... lepaskan!” Kedua perampok itu berontak sembari berusaha melepaskan cengkeraman tanganku.
“Hei! Darien! Sudah, lepaskan mereka!” pekik Achila.
Hampir saja jari-jari tanganku masuk ke dalam kulit leher mereka. Aku segera melepaskan tanganku sesuai yang dikatakan Achila. Mereka akhirnya terjungkal-jungkal, melarikan diri dari hadapan kami.
Aku menatap kedua tanganku lagi.
Lagi dan lagi. Ini terus terjadi.
Hasrat binatang ini tak pernah bisa kubuang meskipun aku telah mengetahui bahwa membunuh membuatku begitu menderita. Namun, aku beruntung seseorang bisa menarikku keluar dari kegelapan hati ini.
Achila, gadis kumal tersebut mampu menarikku, sehingga aku tidak kembali tenggelam ke dalam hasrat membunuhku. Tidak salah lagi, dia bisa menjadi penenang bagiku.
***