Perjalanan Menuju Kota Eleusina

1758 Kata
Cahaya mentari pagi telah bersinar terang. Setiap daratan kembali tampak seperti kumpulan debu. Aku melakukan perjalanan menuju kota terdekat dengan si gadis kumal. Meski setiap bangunan telah menjadi kepingan batu-bata, tetapi kota Eleusina masih begitu ramai. Kota Eleusina terkenal sebagai kota dagang. Setiap dari penduduk kota sebagian besar bekerja sebagai pedagang. Eleusina juga merupakan sebuah kota yang di mana pemimpin kotanya terkenal sangat baik dan bijaksana. Menurut si gadis kumal, pemimpin Kota Eleusina bernama Acacio ini tidak berasal dari orang berwibawa seperti kebanyakan pemimpin kota lainnya. Acacio, pemimpin Kota Eleusina dulunya adalah orang miskin, tetapi akibat perang merajalela, ia membentuk sebuah pasukan untuk melawan musuh-musuhnya. Pemimpin terdahulunya mati di tangan mata-mata yang menyusup dan menyamar sebagai sekutu. Pada akhirnya, dengan wasiat pemimpin terdahulu, Acacio diangkat sebagai penerus untuk memimpin Eleusina yang sejuk ini. Dengan bertudung sehelai kain lusuh, aku dan gadis kumal bernama Achila berjalan di antara keramaian pasar Kota Eleusina. Meski kedua mataku tak henti-hentinya menatap takjub pada kota damai ini, aku tetap berwaspada akan sesuatu yang bisa saja menjadi ancaman di sekitar. Sebuah kentang kecil menggelinding di hadapanku. Aku terdiam menatap heran. Kupungut kentang tersebut. Seorang anak lelaki berambut panjang berlari ke arahku, kemudian dengan lugas merampas kentang kecil dari tanganku. Bocah lelaki itu berlari tergopoh-gopoh. Tak lama kemudian, seorang pria tua dengan penutup kepala membawa sebuah tongkat kayu menghampiriku. “Hei! Kenapa kau biarkan bocah itu lari?” tanya si lelaki tua dengan napas tersengal-sengal. Sembari tertunduk menyembunyikan wajah, aku berkata, “Maaf. Apakah dia punya masalah denganmu?” Si lelaki tua menghela napas dalam-dalam. “Dia adalah pencuri yang berkeliaran di pasar ini. Setiap hari dia selalu mencuri kentang daganganku.” “Oh, begitu. Saya tidak tahu. Maaf,” ucapku, lalu melanjutkan perjalanan. Achila yang sedikit tertinggal di belakang, berlari kecil mengejar. “Kau bilang pemimpin kota ini adalah orang yang baik dan bijaksana. Tapi, mengapa masih ada pencuri di sini?” tanyaku pada Achila. “Begitulah manusia. Ada bermacam-macam tipe dan jenis manusia,” jawab Achila sembari terus melangkah. Menjadi sesuatu yang cukup rumit karena aku belum begitu paham dengan yang diucapkan gadis kumal. Manusia memiliki jenis dan tipe. Dengan begitu, apakah manusia sama halnya dengan ras Akila yang juga memiliki beberapa jenis? “Jadi, manusia juga punya jenis dan tipe?” “Iya, semacam itu. Aku memang tidak bisa menjelaskannya secara rinci padamu, tetapi dengan melihat dunia luar, kau mungkin akan mulai belajar sedikit demi sedikit,” ucap Achila bijak. Setelah apa yang terjadi malam itu, aku meminta Achila memperlihatkan seperti apa bentuk dunia luar. Oleh sebab itu, aku melakukan perjalanan ini guna mencari tahu perihal yang selalu memusingkan kepalaku selama ini. Ketakjubanku pada Kota Eleusina memang tak kunjung berakhir. Langit biru serta putihnya awan selalu membuatku ingin memandanginya. Indah. Merdunya kicauan burung sesekali menggapai telinga. Desir angin sejuk juga terasa sesekali, menyelinap ke dalam tubuhku. Sangat berbeda dengan sangkarku yang dulu, yang mana aku hanya bisa melihat langit yang tertutupi gumpalan debu. Begitu juga dengan medan perang, riuhnya bermacam-macam senjata yang begitu memekakkan telinga. Namun, tidak dengan Kota Eleusina. Di sini begitu tentram dan damai, persis seperti apa yang selalu terbayang di dalam mimpiku. Setelah berjalan cukup lama, kami singgah di sebuah bangunan tua yang katanya dulu merupakan tempat penyembahan para Dewa yang disebut dengan kuil. “Hei! Sampai saat ini, aku belum tahu namamu siapa. Karena kau sudah tahu namaku, sekarang giliranmu memberitahuku namamu,” ujar Achila tiba-tiba. “Nama, ya? Kami para ras Akila tidak punya nama. Kami hanya punya ini,” jawabku sembari memperlihatkan telapak tanganku pada Achila. “Ini adalah nomor kami. Kau bisa memanggilku dengan Akila666.” “Sepertinya itu tidak bagus. Terlalu panjang untuk sebuah nama panggilan.” Achila tampak berpikir. “Bagaimana kalau kupanggil kau Darien? Bagus, bukan?” “Darien? Terserah kau saja. Kau bisa memanggilku dengan sebutan apa saja,” jawabku pasrah. “Darien berarti untuk mempertahankan. Karena kau berkeinginan mempertahankan dunia yang damai, maka nama itu sangat cocok untukmu.” Achila pun tersenyum untuk kedua kalinya. “Ngomong-ngomong, apa kau lapar?” “Iya, sedikit merasa lapar.” “Kalau begitu, aku punya kentang yang sudah direbus. Aku bagi setengahnya untukmu.” Achila merogoh jubahnya kemudian. Ia mengeluarkan sebuah kentang berukuran 3 kali lipat kepalan tangan. “Hei, tapi ... bagaimana bisa kau mendapatkannya?” Aku mengernyit heran. “Maaf, tapi jika tidak mencuri kita tidak akan bisa makan. Aku mencurinya secara diam-diam saat kita ada di pasar Eleusina tadi.” Dibelahnya kentang menjadi dua bagian, kemudian memberikan setengahnya untukku. “Baiklah apa boleh buat.” *** Hari semakin gelap. Kami memutuskan bermalam di bangunan tua tempat penyembahan para Dewa tersebut. Achila sudah tertidur lelap sejak beberapa menit yang lalu sambil menyelimuti diri dengan sehelai kain lusuh. “Jadi, di dunia yang sudah hancur ini masih ada yang berkunjung di persinggahan para Dewa?” Sebuah suara menyadarkanku. Aku beranjak dari posisi tidur, kemudian mencari asal suara. Seorang lelaki paruh baya dengan jubah yang tampak sangat mewah berjalan pelan ke arahku. Sembari menengadah ke arah bangunan tua, ia berkata, “Tempat ini sangat bersejarah bagi umat manusia. Tapi, ketika perang merajalela, tempat ini sudah dilupakan semua orang.” “….” Aku bisu dan tetap waspada. “Jadi, siapakah Tuan yang masih dengan sukarela mengunjungi tempat ini?” Lelaki tersebut semakin mendekat seraya tersenyum bijaksana. “Aku bukan siapa-siapa. Dan siapa kau?” “Saya juga bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang pemimpin yang telah gagal membahagiakan para rakyat di kota ini.” Ia kembali tersenyum ramah. “Jadi, kau pemimpin kota yang bernama Acacio itu?” “Iya, benar.” “Mengapa kau bilang bahwa kau sudah gagal sebagai seorang pemimpin? Bukankah semua orang di kota ini mendapatkan kedamaiannya masing-masing?” “Benar apa yang kau katakan. Tapi, setelah menjalani semua ini, saya rasa para rakyat tidak menyukai saya. Mungkinkah ada yang kurang dari saya?” Lelaki bijaksana, yang merupakan pemimpin Kota Eleusina tersebut tersenyum pasrah, tetapi tampak jelas suatu kecemasan di dahinya. “Aku tidak begitu tahu soal pemerintahan. Tapi, menurutku dengan kehidupan damai dan tentram seperti ini saja, aku yakin bahwa semua orang sudah bahagia.” “Tidak, tidak. Semua orang memang terlihat bahagia, setidaknya untuk saat ini. Akan tetapi, ketika orang-orang dari kota barat sudah datang, itu artinya kami harus berusaha keras agar dapat membayar biaya demi ketentraman ini. Jika kami tidak membayar sesuai harga yang telah ditetapkan, maka anak-anak atau gadis-gadis di kota ini akan dipertaruhkan. Kemudian, keluarga mereka tidak dapat menerima hal seperti itu. Maka, yang tersisa hanya dendam di hati mereka," jelas Acacio. Aku paham sekarang. Hanya dari melihat wajahnya saja, aku bisa tahu dia tengah mengkhawatirkan sesuatu. “Sepertinya aku sudah bisa menangkap arti dari kata-katamu. Selain itu, yang kau sebutkan dengan kota barat itu di mana tepatnya?” tanyaku, lalu duduk di beberapa anak tangga pintu masuk bangunan tua. “Kota itu bernama Plataia, berjarak hanya beberapa mil dari sini. Para petinggi Kota Plataia tidak bisa diajak bernegosiasi. Jika saja kami tidak membayar biaya ketentraman ini, mereka pasti akan membumihanguskan Eleusina hingga tak tersisa.” “Bukankah kau dulu adalah seorang panglima perang? Lalu kenapa kau harus takut pada mereka? Jika kau memenangkan perang itu—” “Tidak semudah itu. Mereka memiliki pasukan iblis yang disebut ras Akila.” Aku terperanjat mendengar ungkapan Acacio. Aku sadar pada saat itu, bahwa Kota Plataia yang dimaksudnya ternyata adalah kota tempat orang-orang berwibawa berada. Ya, para petinggi kota Plataia adalah orang berwibawa yang memiliki kendali atas ras Akila. Semuanya memang sangat masuk akal, kota yang tidak tunduk terhadap aturan mereka akan segera dibumihanguskan. “….” Aku pun bergeming, tak tahu bagaimana harus membalas perkataan Acacio. “Kau juga adalah salah satu ras Akila, benar?” Aku terperangah kesekian kalinya. Bagaimana mungkin lelaki paruh baya di hadapanku ini mengetahui aku seorang ras Akila? “A-aku tidak akan—” “Jangan khawatir! Saya tidak berpikir kau akan melakukan tindakan yang buruk. Saya mengetahui sedikit tentang ras Akila. Dan saya yakin bahwa kau berusaha melarikan diri dari sangkar, kan?” Acacio duduk di sampingku. “Tetapi, saya tidak pernah tahu ada ras Akila yang berani melawan para petinggi Plataia. Dan juga, bukankah ras Akila tidak punya pikiran?” “Aku tidak begitu mengerti dengan ras Akila. Sepertinya, kebenaran tentang asal-usul dan sejarah kami sengaja disembunyikan para petinggi. Dan soal pertanyaanmu tadi, salah seorang dokter mengaku bahwa aku adalah jenis Akila keempat,” jelasku berterus terang. “Jenis keempat? Bukankah Akila hanya mempunyai tiga jenis?” Acacio mengerutkan dahi. “Benar. Awalnya, aku juga tidak percaya apa yang dikatakan dokter itu. Namun, menurut dokter, jenis Akila keempat adalah jenis terbaru dari Akila yang cenderung memiliki pikiran dan perasaan. Tidak seperti yang dikatakan dokter padaku, aku sama sekali tidak mengerti apa itu perasaan.” Suasana tertelan keheningan. Dingin malam semakin menusuk. Bulan tampak sudah semakin tinggi. “Baiklah. Ini sudah larut malam. Sangat dingin berada di sini. Jika kau berkenan menerima tawaran saya, apa kau mau tidur di sebuah penginapan? Kasihan gadis yang bersamamu itu jika kau tidur di sini.” Acacio bangkit dari posisi duduknya, masih menatapku penuh misteri. “Bagaimana?” lanjut Acacio memastikan. “Baiklah. Aku terima tawaranmu.” Dengan begitu, aku menerima tawaran pemimpin bijaksana tersebut. Karena tatap matanya tampak begitu meyakinkan bahwa ia adalah orang yang baik, pun melihat Achila sesekali menggigil kedinginan, aku tanpa ragu menerima tawarannya. Di sini aku cukup belajar tentang jenis dan tipe manusia dan apa yang dinamakan perasaan. Manusia punya banyak sekali jenis dan tipe menurut pada apa yang dikatakan Achila. Kemudian, perasaan adalah apa yang dimiliki masing-masing manusia. Namun, aku hanya bisa menebak-nebak bahwa mungkin saja kebaikan pemimpin bijaksana bernama Acacio tersebut bisa dikatakan sebagai perasaan yang tulus dalam membantu orang lain. ***   “Dasar bodoh!” Plak! Suara sebuah tangan berbenturan dengan tubuh manusia mencapai telingaku. Aku segera terbangun dari penginapan di sekitar pasar. Mengendap-endap, melangkah pelan, kemudian mendapati seorang wanita telah dihardik oleh beberapa militer. Seragam corak-corak hitam bercampur putih itu, tentu saja aku mengenalnya. Seragam tersebut merupakan seragam khusus pasukan militer kota Plataia. Benar. Kota Plataia adalah kota di mana orang-orang berwibawa berada. Tampak begitu jelas di kedua mataku, mereka melakukan hal kejam pada seorang wanita dan anak-anak. Barang-barang jualan para pedagang banyak yang tersungkur. Melihatnya begitu memuakkan. Lagi. Untuk kesekian kalinya, sesuatu di dalam dadaku terasa begitu menyesakkan. Sakit. Akibatnya amarah dan emosi pun memuncak. Lagi dan lagi? Rasa sakit tanpa luka ini, terjadi lagi? *** Catatan: [1] = Sangkar adalah tempat atau sebuah hutan yang dibuatkan khusus untuk ras Akila oleh para petinggi atau orang berwibawa. Sudah dijelaskan pada bab satu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN