POV 3
Usai melepaskan kerinduan yang bertahun-tahun telah membelenggu dirinya, sudah saatnya kini Darien melanjutkan misi. Tentu saja, ditemani Alexio, Achila, beserta sang ayah. Keempat manusia itu berencana mencari keberadaan Akila jenis keempat. Mereka berniat menguak misteri di balik keberadaan jenis keempat. Salah satu pertanyaan yang saat ini berada di benak Darien ialah, mengapa hanya sang ayah yang merupakan jenis Akila keempat, yang berhasil dimasukkan dalam sangkar ras Akila di Kota Plataia.
Berdasarkan pencarian informasi yang pernah dilakukan Julio, kelompok ras Akila keempat mengasingkan diri di sebuah pulau terpencil di seberang Daratan Asterovos. Oleh sebab itu, memang tidak mudah untuk menuju ke pulau itu karena akses jalannya yang tidak mudah. Mereka harus menyiapkan segala alat dan segala sesuatu yang diperlukan untuk bertahan hidup. Tentu, untuk urusan ini mereka dibantu Dokter Elasmus yang cerdas. Mereka dibekali sebuah alat seluncur bertenaga jet yang bisa mengantar mereka ke pulau terpencil tersebut. Alat seluncur hanya bisa ditumpangi satu orang, sehingga keempatnya masing-masing membawa kendaraan itu.
Jet Surf merupakan alat yang dibuat khusus Dokter Elasmus semenjak ia bekerja untuk Kota Plataia. Kendaraan itu biasanya digunakan hanya untuk berlatih serta digunakan para militer berpatroli di sekitar laut dan di beberapa daerah yang cukup jauh. Jet Surf ini dibuat dari karet, bisa dibawa ke mana saja. Untuk menggunakannya, seseorang harus memompa karet surf terlebih dahulu, dan memasang mesin jet ringan di bagian belakang.
Sebuah pulau terpencil berada di seberang Daratan Asterovos. Tempat tersebut tak banyak diketahui orang, termasuk orang-orang dari Kota Plataia. Oleh sebabnya, mungkin itu menjadi alasan ras Akila jenis keempat untuk bersembunyi di pulau itu.
“He, seberapa jauh kita akan menyeberang ke pulau itu, Ayah?” Darien bertanya sembari mulai merakit Jet Surf miliknya.
“Ayah tidak tahu seberapa jauh. Yang pasti, menurut kabar yang Ayah dengar dari orang-orang, seorang nelayan pernah menjelajah ke pulau itu dari terbit hingga terbenam matahari. Nelayan itu bercerita bahwa ada sekelompok manusia yang berbadan kekar dan besar serta memiliki bola mata biru.
“Ayah yakin yang mereka maksud adalah ras Akila jenis keempat, sama seperti kita, Darien,” terang Julio hingga ia selesai merakit Jet Surf-nya.
“Semoga saja yang dikatakan nelayan itu memang benar, Ayah,” balas Darien penuh harap.
“Baiklah, mari kita berangkat. Jet Surf sudah siap. Darien, kau hati-hatilah karena bersama Achila.” Alexio kemudian memegang kendali Jet Surf, menaikkan satu kakinya.
“Achila, peganganlah yang erat. Aku mungkin akan menggunakan kecepatan penuh agar cepat sampai di tujuan kita.” Darien mengingatkan.
“Iya.”
Achila dengan perlahan menggerakkan kedua tangannya, lalu melingkari pinggang Darien. Awalnya ia ragu, tetapi lelaki Akila itu meraih tangannya sebagai isyarat untuk berpegangan lebih erat lagi.
“Apa kau sudah siap, Achila?” tanya Darien dengan mimik wajah serius.
“Siap.”
Ketiga Jet Surf akhirnya melaju kencang membawa mereka ke tempat tujuan. Untung saja saat ini gelombang laut tampak normal. Setidaknya tidak ada tanda-tanda akan terjadi badai atau hal buruk yang tidak diinginkan.
***
“Dok, apa Anda yakin mereka bisa berhasil menemukan kawan-kawan mereka?” Acacio bertanya, kemudian mulai mengangkat secangkir teh hangat yang baru saja disajikan oleh Antonius.
“Menurut saya bukan suatu hal yang mustahil. Seperti yang kita tahu bahwa ras Akila jenis keempat merupakan jenis istimewa. Mereka punya perasaan seperti manusia, tetapi juga kekuatan fisik mereka lebih kuat daripada manusia. Dalam perihal berpikir, ras Akila jenis keempat jauh lebih cerdas. Itulah sebabnya ras Akila jenis keempat memilih pulau terpencil itu sebagai tempat tinggal mereka.”
“Benar juga apa yang Anda katakan, Dok. Memang bukan sesuatu yang mustahil. Mungkin menurut mereka, jika tinggal di sekitar Daratan Asterovos, itu bisa saja memudahkan petinggi Kota Plataia untuk menemukan mereka. Apalagi, jenis keempat merupakan jenis istimewa yang bahkan kabarnya belum tersiar di seluruh penjuru.” Acacio meletakkan tangan di dagu lancipnya, mengerutkan dahi sembari berpikir dengan serius.
“Semoga saja ini menjadi perjalanan terakhir mereka dan menemukan kawan-kawan yang telah hilang. Dengan begitu, kita tidak akan takut lagi bila sewaktu-waktu Kota Plataia menyerang,” komentar Antonius yang sedari tadi duduk di sebelah Acacio sembari mendengarkan dengan saksama.
“Ya, semoga saja,” ucap Acacio penuh harap.
***
“Bagaimana dengan percobaan nomor 036?”
“Saya harap dia menjadi yang terakhir. Sejam lagi siap.”
“Baiklah, saya akan menunggu. Panggil saya jika sudah siap.”
“Baik, Panglima!”
Panglima Anderson, dia merupakan panglima yang ahli dalam pembentukan strategi serta analisis kekuatan. Pria dengan tinggi satu meter sembilan puluh tersebut juga adalah orang kepercayaan para petinggi.
Panglima Anderson segera keluar dari laboratorium Kota Plataia. Ia menunggu di lobi untuk sejenak menyesap rokok dengan khidmat.
“Sebentar lagi, seisi dunia ini akan melihatku sebagai orang yang hebat.”
Anderson menyorot dingin dan tajam sembari membatin. Disesap rokoknya dengan pelan, lantas bersandar di punggung kursi. Fantasinya telah jauh melayang, membayangkan bahwa pandangan seluruh manusia di dunia tertuju padanya.
Bukan sesuatu yang baru lagi, Anderson semenjak berusia lima belas tahun sudah memiliki dendam yang tinggi terhadap dunia yang ia tinggali. Terlebih kepada seluruh kota selain Kota Plataia tempatnya mengabdi. Ia memiliki sebuah mimpi untuk membuat mata dunia hanya tertuju padanya. Membuat semua orang mengakui kehebatannya. Dia panglima yang congkak dan sombong. Tampak jelas di balik wajah tegasnya.
Hingga satu jam kemudian, Anderson mendapat panggilan dari Professor Arial. Anderson menjejakkan langkah menuju laboratorium demi menyaksikan kelinci percobaannya telah sempurna dan memenuhi syarat untuk diturunkan ke medan perang yang direncanakan beberapa pekan ke depan.
“Percobaan 036 siap diuji coba! Buka tabung!” Profesor Arial memerintahkan operator untuk membuka tabung silinder berisi air, tempat kelinci percobaan berada.
Satu per satu kabel yang menempel di punggung percobaan 036 terlepas. Air yang memenuhi tabung perlahan terkuras. Tak lama kemudian, kedua mata percobaan 036 membuka. Hitam pekat dengan setitik warna merah menyala di tengah bola matanya, menandakan bahwa percobaan 036 merupakan iblis yang diciptakan Kota Plataia.
Kaca tabung kemudian mengangkat sepenuhnya. Percobaan nomor 036 sejenak menatap bingung. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan. Jejaknya mulai mengangkat secara perlahan, dan terhuyung.
“Apakah ini artinya kita berhasil?” tanya Anderson pada Profesor Arial di sampingnya.
“Saya belum dapat memastikan, Panglima. Tampaknya dia begitu lemah. Berjalan saja dia hampir tidak mampu—“
Sayang sekali, Profesor Arial tidak sempat menyelesaikan ucapannya. Dengan waktu seper sekian detik saja, kepalanya telah berpisah dari tubuh. Bercucur darah. Lantas, Anderson yang sedari tadi memandang sang profesor, membelalakkan mata. Ia bahkan tidak percaya bahwa makhluk yang ia ciptakan itu melebihi ekspektasinya.
Ya, hampir tidak ada suara pada langkah makhluk iblis itu. Begitu senyap. Tahu-tahu dia sudah memenggal kepala profesor malang itu dalam sekejap mata.
Anderson dan semua yang ada di dalam laboratorium dengan langkah cepat menjauh dari makhluk iblis itu.
“Gawat! Jika tidak dihentikan, dia akan membunuh kami semua di sini.”
Anderson berpikir, mencari-cari cara untuk segera mengatasi masalah yang sedang dihadapinya. Matanya bahkan tidak luput dari memandangi makhluk yang tengah kebingungan itu.
Percobaan nomor 036 adalah ras Akila yang dimodifikasi untuk menjadi lebih kuat. Seperti monster bernama Gola, tetapi percobaan 036 tidak ditanamkan racun di sel-sel tubuhnya. Dia sedikit berbeda daripada Gola yang jauh lebih besar dan bertenaga. Percobaan 036 kali ini lebih mengandalkan kecepatan serta kuku-kukunya yang sangat tajam dan runcing. Lihat saja, bahkan kuku-kukunya telah memakan satu korban dalam beberapa menit semenjak kebangkitannya.
“He, kalian! Carilah cara untuk menghentikan makhluk itu.” Anderson memerintahkan profesor lainnya agar makhluk tersebut tidak menjadikannya sasaran empuk.
“Menurut saya, kita harus memanggil pasukan militer untuk—“
“Tidak ada waktu!” potong Anderson dengan lugas. “Cepat, kalian hentikanlah dia!”
“Baik, Tuan!”
Percobaan nomor 036 mencabik-cabik mayat Profesor Arial, lalu memakannya mentah-mentah.
“Sial! Menjijikkan sekali. Sepertinya dia percobaan gagal,” gumam Anderson. “Tidak. Mungkin aku akan mencoba untuk berkomunikasi dengannya.” Anderson lantas melangkah dan berhenti beberapa meter dari Percobaan 036.
“Hei, Iblis! Kau makan lahap sekali. Bagaimana kalau kita buat kesepakatan? Aku punya tawaran bagus untukmu.” Anderson tersenyum miring.
Percobaan 036 berhenti melahap mayat Profesor Arial. Ia kini menatap ke arah Anderson. Berdiri.
“Apa itu?” Suaranya berat dan menyeramkan.
Anderson lantas menyeringai licik.
***
Matahari sebentar lagi terbenam di ufuk barat. Setelah enam jam mengendarai, Darien, sang ayah, beserta dua kawannya sampai di sebuah pulau terpencil. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Yang ada hanya hutan belantara seluas mata memandang.
“Ada apa dengan pulau ini? Sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini.” Alexio berkomentar, kemudian turun dari Jet Surf.
“Ya, tidak ada apa-apa di sini. Sangat berkebalikan dengan yang diceritakan Ayah,” timpal Darien yang kemudian menyusul Alexio. Dia sedikit berlari.
“Aneh,” desis Julio, mengerutkan dahi. “Coba kita telusuri lebih dalam lagi ke hutan.”
Keempat manusia itu berjalan, memasuki hutan belantara yang terkesan sangat mengerikan. Ya, aura dan suasana yang memancar dari hutan begitu menyeramkan.
Mereka telah berhasil masuk ke dalam hutan, terus berjalan lantas tidak menemukan apa-apa.
“Bagaimana sekarang? Apakah kita akan bermalam di sini?” tanya Alexio seraya menyesap rokoknya dengan khidmat.
“Tidak ada pilihan lain. Kalau begitu, kita lanjutkan dulu perjalanan untuk mencari tanah yang lapang,” sambut Julio.
“Achila? Kau kenapa?” tanya Darien kepada Achila yang berjalan di sampingnya.
“Tidak. Aku hanya ... lapar.”
“Oh, baiklah. Kita belum memakan apa pun sejak berangkat ke pulau ini. Tahanlah sejenak,” kata Darien penuh perhatian.
“Baik.”
Beberapa menit berjalan, mereka belum juga menemukan tempat nyaman untuk dijadikan peristirahatan. Achila berhenti sebab lelah, lantas menjongkok.
“Achila? Apakah kau kelelahan”—Darien membelalak ketika menyadari sepasang mata yang menyala di kegelapan, tepat di belakang Achila yang sedang menjongkok—“Achila, awas!”
Terlambat, gadis kumal telah berhasil disandera oleh seorang pria berwajah sangar. Mengacungkan sebilah pisau pada leher gadis itu.
“Apa yang terjadi?”
Alexio dan Julio membalikkan badan. Mereka bergeming melihat Achila yang kemudian dilarikan dengan kecepatan kilat.
“He, kau mau bawa ke mana gadis itu!” Darien terpekik sekuat tenaga.
Tak lama kemudian, ketiga pria tersebut dikelilingi manusia bertubuh kekar dan menyeramkan.
“Ada apa ini sebenarnya?”
***