Satu hari berjalan kaki dari Kota Eleusina melewati daratan gumpalan debu menuju sebuah kota bernama Dystychia. Tidak sesuai yang diharapkan. Dystychia adalah kota yang penuh penderitaan. Di sepanjang jalan terdapat banyak bangkai manusia terbengkalai. Menurut apa yang dikatakan Alexio, kota ini sudah lama ditinggalkan pemimpinnya. Selain itu, tanah ini sudah diklaim sebagai milik orang-orang berwibawa. Meski begitu, pemandangan di dalam kota akan dapat membuat siapa pun terpukul dan merasa kasihan bila melihatnya.
Anak-anak, orang tua, tak peduli tua atau muda, mereka menderita kelaparan. Sebagian penduduk mati akibat kekurangan makanan. Tubuh mereka menjadi sangat kurus, sehingga tulang dapat terlihat jelas.
Saat memasuki kota, para penduduk yang berbaring di sekitar jalan memandangi kami penuh harapan. Entahlah. Tatapan mata mereka begitu memilukan.
“Hei! Achila! Berikan aku beberapa kentang rebus yang tersisa!” ujarku sambil menghentikan langkah.
“Apa yang akan kau lakukan, Darien?” tanya Achila yang kemudian ikut berhenti. Alexio berjarak sedikit jauh di depan kami.
“Berikan saja padanya. Kau akan tahu nanti,” timpal Alexio sambil merogoh kantong rompi yang digunakannya, mengeluarkan sebatang rokok dan membakarnya.
“Baiklah! Ini, kita masih punya dua kentang rebus yang tersisa.” Achila mengulurkan tangannya, memberikan dua buah kentang rebus seukuran kepalan tangan.
Kuambil kentang tersebut, lalu berjalan menuju seorang wanita yang dengan pilu menyorotkan tatapan padaku semenjak menginjakkan kaki di kota tersebut.
“Hei! Makanlah ini. Maaf, tapi kami tidak punya apa-apa selain ini.”
Tanpa pikir panjang, si wanita kurus tersebut merampas dua buah kentang dari tanganku. Ia melahapnya dengan buas. Mirip seperti binatang liar yang baru saja menangkap mangsa buruannya.
Beberapa saat, sekelompok orang kelaparan lainnya berjalan gontai ke arah si wanita kurus. Orang-orang tersebut mencoba merampas sisa kentang darinya, sampai saat perebutan itu berubah menjadi pertarungan yang mengerikan. Mungkin ini bisa disebut hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang bertahan dan mendapatkan kekuasaan. Seorang lelaki yang tentu juga adalah bagian dari kota tersebut mendapatkan sisa kentang si wanita. Tak ada yang dapat mengalahkannya. Mereka yang mendekat akan terluka atau bahkan kemungkinan terburuknya adalah mati.
Pemandangan yang begitu mengundang rasa iba. Debaran di dadaku kembali berontak. Rasanya ingin sekali kucincang si lelaki tanpa menyisakan sedikit pun bagian tubuhnya.
Akan tetapi, suara itu menyadarkanku, “Darien!” Alexio mendaratkan tangannya di pundakku, lalu menatapku. Tatapannya seperti mengatakan, “jangan lakukan itu”.
“Ayo. Kita cari tempat untuk beristirahat,” lanjut Alexio.
Aku masih terdiam, tanpa sedikit pun membuat pergerakan, sampai akhirnya Achila mendekatiku. “Darien. Ayolah, ini adalah sebagian kecil dari kehancuran yang kau lihat!”
“Bagaimana bisa kau mengatakan ini adalah sebagian kecil dengan bangkai-bangkai manusia yang berserakan seperti sampah di sepanjang jalan kota ini? Ini ....”
“Darien! Tahan dirimu! Kita harus mencari tempat beristirahat terlebih dulu. Kita bisa membicarakan rencana setelahnya.” Alexio kembali menatapku. Ya ampun, kurasa lelaki ini memang memiliki raut wajah yang tenang. Sejak kedatangan kami di kota ini, dia bahkan tidak menunjukkan kesedihan sedikit pun. Namun, aku yakin, jauh di dalam hatinya, dia juga begitu ingin menyelamatkan semua orang.
“Baiklah!”
***
“Tunggu di sini! Aku akan memeriksa apakah tempat ini aman.” Alexio masuk ke sebuah gedung, yang tentu saja tampak lusuh. Ada banyak bekas retakan di dinding bangunan tersebut. Di atas bangunan terdapat sebuah antena, mirip seperti tower atau menara tinggi yang terbuat dari besi.
Bangunan tersebut berada di sisi Kota Dystychia, tepat di samping pintu keluar.
“Di sini sepertinya aman,” kata Alexio yang baru saja keluar dari dalam gedung. “Ayo, masuk ke dalam!”
Sudah menjadi hal yang biasa jika terdapat bau-bau menyengat di dalam atau bagian luar gedung. Karena abad ini dipenuhi perang di mana-mana, pun pembunuhan sudah menjadi hal yang biasa bagi semua orang. Jangan salah paham. Meskipun aku seorang ras Akila yang dikenal sebagai makhluk tanpa perasaan, tetapi aku merasakan kesedihan yang sangat dalam melihat keadaan dunia ini. Entah bagaimana harus kuekspresikan perasaanku.
Bagian dalam gedung sangat luas, terdapat banyak meja kayu dan kertas yang berserakan di lantai. Entah gedung tersebut mempunyai berapa lantai, tetapi dari yang tampak sepertinya ada 20 lantai. Tidak ada akses menuju lantai kedua. Karena alat untuk menuju lantai dua tidak dapat dioperasikan.
“Sepertinya gedung ini adalah pusat pengelola informasi dan komunikasi.” Alexio meletakkan senjata di sebuah sofa memanjang.
“Pusat komunikasi?” desisku.
“Iya. Teknologi abad 25 sudah sangat canggih. Tapi, sayang ini semua tidak ada gunanya lagi. Dunia sudah hancur, produksi-produksi teknologi canggih di seluruh penjuru sudah macet akibat kematian kota. Tentu saja, satu-satunya kota yang masih terus menciptakan teknologi adalah Kota Plataia.” Alexio membanting tubuhnya, duduk dan bersandar di sofa. Sementara aku dan Achila masih menatap sekeliling gedung.
“Jadi, seperti yang dikatakan dokter Elasmus. Bumi sudah kembali seperti keadaan di zaman dulu.” Achila menimpali.
“Benar. Kota ini adalah bukti terkuat di mana nyawa orang banyak yang mati akibat kelaparan. Bahkan, abad ini sudah lebih parah dari zaman dulu. Setidaknya, di zaman dahulu semua orang tidak kekurangan bahan pangan. Karena setahuku sawah dan ladang banyak yang subur.”
Hari sudah semakin gelap. Di gedung tidak ada sumber cahaya. Oleh karena itu, Achila mencoba mengumpulkan kertas bekas yang ada di dalam gedung untuk membuat api sebagai penerang, juga sebagai penghangat tubuh.
“Alexio, bisakah kupinjam korek apimu?”
“Ini.” Alexio melemparkan korek api miliknya kepada Achila. Gadis kumal segera menangkapnya dengan lugas.
Api unggun yang dibuatnya sudah menyala, cahayanya merambat ke seluruh ruangan. Hangat juga terasa. Kami duduk melingkari api unggun.
“Kita masih punya makanan cadangan. Ini untukmu, Darien!” Achila mengulurkan tangannya, memberikan buncis rebus yang terbungkus dengan kertas bening.
“Terima kasih,” ucapku kemudian.
“Alexio, ini untukmu!”
“Ah, terima kasih.”
“Ngomong-ngomong, apa rencana kita setelah ini?” tanya Achila.
“Entahlah. Tapi, kita harus pergi besok pagi dari kota ini. Firasatku buruk berada di sini. Sebenarnya kita harus pergi secepatnya, tapi karena lelah mungkin kita bermalam saja dan pergi besok pagi,” jelas Alexio.
“Darien, kenapa kau melamun?” Achila menatapku lamat.
“Ah, tidak ....”
“Kau sedang memikirkan orang-orang itu, kan?”
“....” Aku terdiam, tak menjawab pertanyaan Achila.
“Hei, Darien! Apa kau mendengarku?”
“Ya, ya. Aku mendengarmu,” jawabku, kemudian melahap buncis rebus di tanganku.
“Kau tahu? Mungkin jika kau tak menyelamatkanku dan memberiku air waktu itu, aku akan bernasib sama seperti orang-orang di sini.” Tiba-tiba si gadis kumal menatap sedih. Iris matanya berkilau-kilau dan aku tersentak kaget melihatnya. “Aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu. Tapi, aku berjanji akan menemani perjalananmu, Darien.”
“Seharusnya aku yang mengucapkan terima kasih padamu, Achila. Jika saja aku tidak bertemu denganmu, aku mungkin tidak akan berada di sini, atau mungkin aku masih akan terus membunuh orang-orang yang tak bersalah.”
“Ya, inilah yang disebut takdir, Darien. Seorang manusia sejak lahir sudah punya takdir di masa depan. Namun, takdir masa depan itu ... kau masih bisa mengubahnya,” ucap Achila, bijak.
“Jadi, masa lalu tidak bisa diulang kembali, ya?”
“Mana mungkin kau bisa mengulangi masa lalu. Jangan berharap hal yang mustahil,” timpal Alexio.
“Ya, kau benar. Dulu, aku pernah punya keinginan kembali ke masa lalu, kemudian mengubah masa depan di masa lalu. Tapi, setelah kupikir-pikir kembali memang sangat mustahil memperbaiki apa yang telah menjadi kesalahan di masa lalu.”
“Benar. Hal yang harus kau lakukan saat ini adalah mengubah masa depan dunia ini. Kau menginginkan kedamaian, kan? Semua kesalahan di masa lalu bisa kau tebus di masa kini.”
“Iya, tentu saja. Aku sudah bertekad mengubah dunia ini bahkan semenjak aku berusia 10 tahun.”
“Baiklah. Kalau begitu, cepat habiskan makananmu dan segeralah tidur. Besok kita akan berangkat saat fajar,” ujar Alexio, mengunyah buncis terakhirnya.
Setelah menghabiskan makananku, aku membentangkan sehelai kain lusuh di atas lantai sebagai alas tidur.
“Kau tidurlah di sofa itu, Achila. Jika kau kedinginan dan jatuh sakit, akan sangat merepotkan nantinya,” ujarku.
Tanpa berucap kata, Achila segera berbaring di sofa.
***
Hei! Selamatkan kami, Tuan!
Berikan kami sedikit makanan.
Jangan biarkan kami mati kelaparan.
Tuan! Tuan! Tuan!
Tolong kami!
Di sebuah tempat yang gelap, suara-suara bisikan itu memekakkan telingaku. Lagi-lagi aku terdampar ke sebuah tempat asing. Sekelompok orang kurus berjalan gontai ke arahku sambil terus menyuarakan jeritan permintaan tolong.
“Tidak! Aku tidak bisa!”
“Darien! Darien! Hei, Darien!”
Sayup-sayup terdengar sebuah suara. Aku membuka mata perlahan. Alexio dan Achila terlihat cemas. Segera aku bangkit dan duduk.
“Darien! Apa yang terjadi padamu? Aku mendengar kau berteriak,” ujar Achila dengan dahi berkerut.
“Aku ... aku melihat mimpi orang-orang di kota ini datang kemari. Mereka dipenuhi air liur di sekitar mulut mereka. Sepertinya ... mereka terlihat seperti ingin memakanku,” jelasku.
“Ya, Tuhan! Sudah kuduga! Ayo, kita tidak boleh tinggal di sini. Kita harus pergi sekarang juga!” Alexio mengambil senjata miliknya dengan buru-buru. “Achila! Cepat kau kemas barang-barangmu!”
“Hei! Kau kenapa, Alexio?” tanyaku.
“Kita tidak boleh tinggal di sini. Nyawa kita sedang terancam. Orang-orang di sini akan kehilangan akal sehat, lalu berubah menjadi monster yang akan memakan kita.”
“Apa?! Manusia memakan manusia?! Bagaimana bisa?!” tanyaku, terperangah.
“Begitulah, Darien. Ini dinamakan kanibalisme. Manusia akan kehilangan akal sehat mereka lambat laun karena rasa lapar yang tidak bisa mereka bendung.”
“Tapi—”
“Aku akan menjelaskannya nanti ....” Alexio tiba-tiba membisu.
“Alexio!” pekikku.
“Hei! Ayo, cepat! Ini lebih cepat dari yang kukira!” Nada suara Alexio terdengar panik. “Mereka sudah datang untuk memakan kita. Mereka semakin mendekat!”
Dengan langkah yang tergesa-gesa, kami keluar dari gedung tersebut. Namun, orang-orang itu sudah sangat dekat. “Teruslah berlari!” pekik Alexio, seraya terus menembakkan amunisi.
Aku menggapai tangan Achila, “Ayo, lebih cepat lagi!”
“Tunggu, Darien!” Achila menghentikan langkahnya.
“Hei, kau kenapa?” tanyaku.
“Lihat!” ucap gadis kumal, lirih sembari menunjuk ke depan.
Tidak hanya di belakang kami, tetapi juga di depan. Kini, para monster kanibal telah mengepung kami.
“Kalau begini, aku terpaksa harus membunuh mereka semua,” ucap Alexio.
“Hei, jangan! Jangan bunuh mereka, Alexio!” pekikku, kemudian menahan senjata Alexio, berusaha merebutnya.
“Hentikan, Darien! Jika kita tidak memusnahkan mereka, kita tidak akan bisa melarikan diri. Lihat, mereka sudah berdatangan semakin banyak!”
“Tapi ... tapi ....”
“Darien! Ini tidak sama seperti membunuh orang-orang yang tidak bersalah, tapi ini adalah tindakan yang dibutuhkan untuk perlawanan. Ini adalah hukum rimba, Darien! Terkadang, kau harus terpaksa menjadi manusia keji dalam keadaan terdesak!” jelas Alexio sambil menepuk pundakku.
“....”
“Darien, jika kau tidak ingin membunuh lagi. Maka, biarkan aku yang mengotori tanganku. Biarkan aku yang melindungi kalian,” ucap lagi Alexio, berusaha meyakinkanku.
Kulepaskan senjata Alexio, lalu berkata, “Baiklah!”
Alexio segera mengatur ledakan, menarik tuas di bagian kanan senjata. Ia membidik, menghela napas dengan tenang. Dan akhirnya melepaskan tembakan ke kedua sisi yang telah dipenuhi para monster kanibal.
Mereka lenyap. Seketika itu juga, mentari fajar mulai timbul di ufuk timur. Seluruh langit menjadi jingga. Hangat. Fajar pagi ini, bagai memberitahukan kepada kami bahwa hari ini akan menjadi hari yang lebih berat dari hari sebelumnya.
Dengan begitu, kami melanjutkan perjalanan ke timur tanpa hambatan.
***