Matahari telah naik semakin tinggi dan kini berada di tengah-tengah kubah bumi. Teriknya semakin terasa menyengat. Sejak fajar mulai menyongsong hari, kami tak pernah berhenti berjalan meski hanya sejenak. Sebab, kota yang akan kami tuju kali ini berjarak dua kali lipat dari jarak yang pernah kami tempuh sebelumnya dari Kota Eleusina menuju Kota Kesengsaraan atau Dystychia.
Bibir Achila tampak mengering dan dia sesekali menyapu peluh di dahinya. Sementara itu Alexio, meski tak pernah minum, ia sama sekali tak tampak dahaga. Sepanjang perjalanan ia hanya mengisap rokoknya, entah sudah berapa batang ia habiskan. Yang jelas, bukankah itu bisa merusak jantungnya?
“Achila. Minumlah! Kita masih punya sedikit air minum, kan?” ucapku, sembari terus melangkah.
“Ah, tidak. Aku tidak apa-apa. Atau kau dahaga? Apa kau ingin minum?”
“Tidak. Aku menyuruhmu. Bukan untukku. Tapi, kau. Minumlah! Di kota berikutnya kita pasti menemukan sumber air.”
“Bagaimana denganmu, Alexio? Apa kau mau minum?” tanya Achila, sembari mengulurkan tangannya yang sedang memegang sebotol mineral.
“Tidak. Selama aku masih punya rokok, aku tidak perlu air,” jawab Alexio, tanpa sedikit pun memandang ke belakang.
“Baiklah. Aku akan minum sedikit. Aku bukan orang kuat seperti kalian berdua.” Achila mendongak, kemudian menuangkan seteguk mineral ke dalam mulutnya. Hanya sedikit. “Ah, seteguk saja sudah cukup. Siapa tahu nanti kita butuh air ini dalam keadaan darurat,” lanjutnya.
“Alexio. Kotanya tak kunjung kelihatan. Masih seberapa jauh lagi kita harus berjalan?” tanyaku pada Alexio, sedikit mengejarnya, kemudian berjalan di sampingnya.
“Kota yang akan kita tuju kali ini lebih jauh dari sebelumnya. Kita harus melewati satu bukit dulu untuk sampai di sana. Jika bukitnya sudah terlihat, maka itu menandakan perjalanan kita untuk sampai di kota sudah dekat,” jelas Alexio.
“Tidak ada apa pun di sini. Yang ada hanya gumpalan debu dan bekas-bekas reruntuhan bangunan. Apakah ini salah satu medan perang, Alexio?”
“Ah, benar. Tempat ini salah satu korban dari pembumihangusan yang dilakukan dengan invisible destruction. Tidak ada lagi yang membangun ulang tempat ini dan itu karena semua penduduk dan para pemimpinnya sudah lenyap tak tersisa. Mungkin, ada satu atau dua yang berhasil bertahan dari serangan itu.”
“Kalau mereka bisa bertahan dari serangan itu, maka artinya mereka adalah ras Akila, kan?” Achila menatap Alexio.
“Tidak. Maksudku bukan bertahan dari penyakit aneh akibat serangan invisible destruction. Tapi, mungkin ada segelintir orang yang berhasil selamat dari serangan masal, tanpa terkena penyakit.”
“Jadi, ada juga manusia yang dapat bertahan dari serangan masal gelombang elektromagnetik itu?”
“Kau masih belum mengerti, Darien? Jika semua manusia terkena penyakit aneh, kemudian berubah menjadi Akila, maka kau pikir dari mana aku dan Achila berasal kalau bukan dari manusia biasa? Invisible destruction sebenarnya tidak bertujuan membuat penyakit aneh pada manusia, tetapi tidak lain untuk membumihanguskan ratusan negara di dunia.”
“Dalam arti, tidak semua manusia musnah dan terkena dampak dari serangan invisible destruction?”
“Ya, benar sekali. Setelah berpuluh-puluh tahun, populasi manusia kemudian bertambah. Mereka beranak. Membangun ulang kota, dan hidup dalam kemiskinan. Meski begitu, para petinggi Kota Plataia kembali menghancurkan kota. Memonopoli setiap bahan pangan, kemudian mewajibkan beberapa kota membayar biaya kedamaian kepada mereka.
Sebagian dari kami membuat perlawanan, tetapi sia-sia. Pada akhirnya kami tidak bisa menang melawan ras Akila.”
Kali ini aku tak menanggapi penjelasan Alexio dan hanya menatap langkah kakiku sendiri. Kata-kata Alexio memang tidak bermaksud menyinggungku, tapi aku merasa sangat bersalah mendengar ungkapan itu darinya.
Meski dikendalikan para petinggi Plataia, tetapi seakan-akan kamilah ras Akila yang harus menanggung semua dosa ini. Kamilah yang telah membunuh dan merenggut kehidupan mereka. Jika dipikir-pikir kembali, ini seperti sebuah rantai makanan, di mana kami adalah predator buas yang memerankan kedudukan pada tempat kedua. Sedangkan, manusia-manusia biasa berkedudukan di tempat ketiga sebagai orang yang sangat lemah. Dan terakhir adalah para petinggi Kota Plataia yang berada di tingkat pertama. Mereka berkuasa atas segala-galanya.
“Hei, kau kenapa, Darien?” tanya Alexio sambil menepuk pundakku.
“Ah, tidak ada. Aku hanya kepikiran soal perkataanmu barusan. Aku merasa sangat bersalah dengan apa yang telah dilakukan para ras Akila dan ....”
“Tidak, Darien! Kau tidak salah apa-apa. Orang yang patut disalahkan atas semua kehancuran ini adalah para petinggi Kota Plataia. Merekalah akar dari semua ini.”
“Tapi, Alexio! Kamilah yang telah membunuh kawan-kawan kalian, keluarga kalian yang begitu berharga. Kamilah yang telah melakukannya!” Aku berhenti melangkah. Alexio dan gadis kumal ikut berhenti.
“Darien.”
“Alexio, Achila!” Kutatap mereka berdua, yang kini ada di hadapanku. “Tidakkah semestinya kalian menghukumku? Kalian tidak pantas menunjukkan sikap baik padaku. Sekarang ... ayolah! Hukum aku! Aku pantas mendapatkannya. Lagi pula, aku tidak akan melawan jika kalian ingin menghukumku.”
“Jangan bodoh, Darien! Ingat apa tujuan kita saat ini!” Alexio mengerutkan dahi dan menatapku dengan tajam.
“Tapi, akulah yang salah.”
Tiba-tiba telapak tangan mungil mendarat di pipi kananku. Terasa sakit. Aku terperangah penuh tanda tanya. Ya. Tangan mungil itu adalah milik Achila. Hanya dia satu-satunya orang yang berani menampar dan melakukan kekerasan untuk melawan kekeraskepalaanku. Sepertinya diriku yang merupakan garis keturunan ras Akila ini memudar jika ada di hadapannya. Aku seolah-olah hanya manusia lemah yang tidak dapat melakukan apa pun.
“Dasar kau bodoh!” pekik Achila. “Ini bukan saatnya memperdebatkan masalah itu!”
“Achi ... la ...,” desisku.
“Tujuan kita tidak untuk berdebat, Darien! Kita harus membawamu melihat dunia ini. Kita harus membuatmu paham terhadap dunia ini. Kau harus mencari arti kehidupan ini. Bukankah kau ingin melihat dunia ini dipenuhi tumbuh-tumbuhan hijau, serta langit-langit biru dan setiap daratan di dunia ini subur? Bukan daratan gumpalan debu seperti ini. Lihatlah, Darien!” Achila membentangkan kedua tangannya, menunjukkan daratan gersang yang penuh gumpalan debu ini. Ya, sama sekali tak ada keindahan.
“Aku ... aku ... ya, aku ingin dunia ini sejahtera.”
Achila dan Alexio tersenyum haru. Sepertinya aku sedikit paham soal jenis manusia yang kemudian terpecah menjadi beberapa sifat. Ya, semua memang karena sebuah perasaan yang dimiliki masing-masing manusia.
“Baiklah! Kalau begitu, mari kita lanjutkan perjalanan! Jika kita sempat sampai di bukit, maka kita akan bermalam di sana.” Alexio berapi-api, masih tersenyum penuh gairah.
***
Sebuah perbukitan yang tentunya gersang tanpa satu pun ditumbuhi rerumputan atau sebatang pohon. Setelah mendaki bukit tersebut yang kira-kira memiliki tinggi 500 meter dengan medan yang cukup curam, kami berhasil sampai di puncak ketika cakrawala telah melahap mentari. Angin malam mulai berdesir pelan menyibakkan hawa dingin. Syukurlah. Hawa dingin terasa sedikit menyejukkan meski di tanah gersang ini.
Rembulan telah tumbuh di dahan malam, mampu menerangi kegelapan bukit di mana kami berada.
“Sudah malam. Kita bermalam di sini saja.” Alexio mengambil seonggok batu, lalu membuatnya sebagai landasan tempat duduk. Seperti biasa, ia mengeluarkan sebatang rokok dari saku kemeja tanpa lengan yang dikenakannya. Dibakarnya, kemudian mengisap perlahan dengan penuh khidmat.
“Hei, Alexio! Aku penasaran dengan yang kau isap itu. Bolehkah aku minta sebatang?” pintaku pada Alexio, mendekat padanya.
“Kau ingin merokok?” tanya Alexio.
“Ya. Aku penasaran. Benda itu tampaknya bisa membuatmu tidak haus seharian ini. Padahal, dari tadi pagi kau belum minum seteguk pun.”
“Baiklah. Ini, kuberikan sebatang untukmu!” Alexio melemparkan sebatang rokok padaku. Kutangkap dengan lugas. “Dan ini korek api!”
Meski tak tahu bagaimana benda yang disebut rokok tersebut bekerja, kutiru saja bagaimana Alexio melakukannya selama ini. Segera kubakar dan mengisapnya beberapa kali. Lalu kuhembuskan. Namun, begitu isapan kesekian kali masuk ke dalam dadaku, aku terbatuk-batuk dan merasa sesak.
“Achila! Cepat bawakan minuman untuk Darien!” pekik Alexio pada Achila, sembari mentertawaiku.
“Darien! Kau kenapa?” Achila penasaran, kemudian memberiku seteguk minuman.
“Aku hanya mencoba benda yang biasa diisap Alexio, tetapi seperti inilah jadinya,” jawabku, masih terbatuk meski telah meneguk mineral yang diberikan Achila.
“Ada-ada saja. Lebih baik kau makan ini. Atau kau mau roti? Kita masih punya beberapa.” Achila berjalan beberapa langkah, mengambil sisa roti di dalam tasnya.
“Buanglah rokok itu, Darien! Jika kau tidak bisa dan terus mencoba, itu akan membuatmu sakit,” ucap Alexio.
“Baiklah.”
***
Esok harinya, setelah melalui perjalanan yang panjang dari perbukitan, kami sampai di sebuah kota bernama Byzantium.
Kota Byzantium berbatasan langsung dengan Kota Eretria. Tidak seperti kota-kota lainnya yang berjarak puluhan kilometer dari kota satu ke kota lainnya. Para penduduk di kedua kota tersebut, Byzantium dan Eretria, hidup sebagai nelayan. Dari kedua kota tersebut aku bisa melihat betapa birunya laut yang selalu ada di dalam mimpiku.
Jadi, seperti ini keindahan lautan, pikirku.
Di dalam kota terasa sangat damai. Begitu juga desir angin yang berasal dari pesisir pantai, terasa sejuk melawan terik mentari sore itu.
“Apakah kota ini juga membayar biaya kedamaian kepada para petinggi Kota Plataia, Alexio?” tanyaku, sembari memandangi birunya lautan yang membentang.
“Ya. Sudah kukatakan, semua kota yang didirikan kembali, mereka membayar biaya kedamaian.”
Saat pandanganku tanpa henti tersorot pada laut indah tersebut, aku menyadari sesuatu yang aneh di kota ini. Aku menatap beberapa orang yang tadinya berjalan santai di sekitar pesisir, perlahan-lahan menjaga jarak dari kami.
“Hei, Alexio. Apa kau menyadarinya?” tanyaku, mencoba memastikan.
“Yah. Ini mungkin karena pengaruh orang-orang dari Plataia. Mereka takut dengan orang asing seperti kita. Lihatlah, mereka enggan memandang kita.”
Aku melangkahkan kaki menuju jalanan di sebuah gang kecil kota. Untuk memastikan apa yang terjadi, aku ingin mencoba menyapa para penduduk di Kota Byzantium. Setidaknya, aku berharap mendapatkan tanggapan. Meski bukan tanggapan yang baik, kurasa ide ini perlu dicoba.
“Hei,” ujarku pada seorang lelaki yang sedang berjalan dari arah barat. Namun, setelah memperhatikan dengan saksama, ia berbalik arah dan berjalan tergesa sambil sesekali menoleh ke belakang.
Ternyata memang benar. Para penduduk kota ini ternyata sangat sensitif, batinku.
“Permisi, Tuan!” Sebuah suara terdengar di belakangku. Begitu berbalik badan, tampak seorang pria paruh baya, berdiri tegap dan melemparkan senyuman ramah.
“Apa kau perlu sebuah penginapan, Tuan? Kami masih tersedia beberapa kamar lagi,” tawar pria berkumis hitam dengan hidung lancip tersebut.
Achila dan Alexio yang tadinya masih berdiri di pesisir pantai, kemudan berjalan menghampiriku. Mereka berdiri di samping kananku
“Ada apa, Darien?” tanya Alexio, penasaran.
“Saya menawarkan sebuah penginapan kepada kawan Anda, Tuan. Jika kalian adalah pelancong, itu artinya kalian membutuhkan penginapan, kan?”
“Oh, begitu. Baiklah, di mana penginapanmu?”
“Mari ikuti saya, Tuan.”
Sebuah penginapan. Bangunan yang berstruktur unik, terdiri dari dinding kayu paten dan mempunyai beberapa lantai. Atapnya terbuat dari jerami yang telah diatur sebagus mungkin, berbentuk seperti sebuah kubah.
Mungkin tempat di mana penginapan tersebut berada adalah pusat kota. Dapat dilihat dari ramainya orang-orang melintas dengan segala kesibukan.
“Oh, ya. Penginapan ini adalah satu-satunya penginapan dengan tarif semalam yang sangat murah,” ucap pria berkumis, yang merupakan pemilik penginapan tersebut.
“Memang tarifnya berapa?” tanya Achila, penasaran.
“Tarif semalam untuk satu kamar hanya 2 keping emas, Nona.”
“Baiklah. Kami mau menginap satu malam saja. Dua kamar sudah cukup,” ujar Alexio.
“Hei, bolehkah aku bertanya sesuatu?” ucapku pada pemilik penginapan, yang sedang sibuk menulis pada sebuah buku besar.
“Boleh. Silakan, Tuan.”
“Aku penasaran. Kenapa orang-orang di kota ini begitu takut dengan orang asing seperti kami?”
“Takut? Sepertinya Anda salah paham, Tuan, Nona. Orang-orang di sini sebenarnya tidak takut. Hanya saja, mereka waspada dengan orang-orang asing yang baru pertama kali mereka lihat masuk ke kota ini,” jelas si pemilik penginapan.
“Oh, begitu. Aku pikir mereka ketakutan karena ... ah, lupakan saja,” balasku.
“Kalau begitu, mari saya antarkan Tuan-tuan dan Nona ke kamar di lantai dua.”
***
Duaarr! Duarrr! Duarrr!
Sayup-sayup terdengar suara ledakan di kejauhan. Aku yang baru saja ingin memejamkan mata, mengurungkan niat tersebut dan beranjak dari ranjang.
Alexio sudah tertidur beberapa saat yang lalu.
Aku melangkah keluar dari penginapan, mencari tahu apa yang sedang terjadi. Sebelum mencapai pintu keluar penginapan, seseorang berkata, “Tuan! Ada apa?”
Si pemilik penginapan berkumis hitam menghentikan langkahku. Aku menatapnya dengan lamat.
“Aku mendengar suara ledakan. Apa yang terjadi?”
“Mereka sedang berperang. Ini sudah biasa terjadi di kota ini,” jawab si pria berkumis.
“Biasa? Memangnya dengan siapa mereka berperang?” tanyaku lagi, berusaha mencari jawaban yang jelas.
“Dengan orang-orang dari kota sebelah, Kota Eretria. Di pagi hari memang tidak terlihat seperti ada sebuah masalah di kota ini. Tapi, pada malam hari para pejuang dari kota ini berbondong-bondong menuju sebuah tanah luas yang membatasi kota ini dengan Kota Eretria.”
“Tapi ... dengan alasan apa mereka berperang? Apakah perebutan wilayah atau semacamnya?”
“Benar, Tuan. Beberapa tahun yang lalu, Kota Eretria mengklaim tanah yang membatasi kota itu sebagai milik mereka dan ingin memperluas wilayah. Namun, para penduduk kota ini menentang rencana itu. Para penduduk berpikir bahwa jika Kota Eretria memperluas wilayah mereka dengan mengklaim tanah tersebut sebagai wilayah mereka, maka lambat laun mereka juga akan mengklaim bahwa kota ini adalah milik mereka. Itulah yang ditakutkan oleh penduduk kota ini. Dan tanah luas tersebut dulu adalah tempat sesembahan para Dewa. Namun, karena perang yang berlangsung, kuil tersebut telah rata dengan tanah. Tidak ada yang tersisa dari tanah itu selain hanya bangkai para prajurit yang tak punya sanak saudara.
Setiap malam, setidaknya ada lebih dari 100 penduduk kota ini meninggal dunia akibat perang. Anak-anak kecil sudah biasa hidup tanpa ayah. Para istri juga sudah harus siap kehilangan suami mereka.
Meskipun telah membayar biaya kedamaian pada para petinggi Kota Plataia, pada akhirnya tidak jauh berbeda. Selain itu, kami membayar untuk mendapatkan kedamaian. Namun, lagi-lagi perang yang lain telah banyak merenggut kedamaian kami.”
Penuturan pria pemilik penginapan mengingatkanku pada ras Akila. Perang merenggut segalanya. Anak-anak kecil hidup tanpa orang tua.
Pada akhirnya, perang adalah malapetaka yang diciptakan manusia. Perang merenggut kedamaian kami. Perang merenggut segalanya dari kami. Hidup yang tak pantas disebut sebagai hidup ini tak pernah berakhir.
Dengan begitu, aku pun membulatkan tekad untuk meraih kedamaian dunia ini. Bara di dadaku semakin bergelora. Dan juga tak lupa bahwa perjalanan jauh ini telah banyak membuatku mengerti akan istilah dunia, sifat manusia, dan segala yang disebut perasaan.
***