POV 3
Gurun Xino merupakan gurun pertama yang harus dilewati Darien beserta dua kawannya. Tidak ada jalan lain untuk sampai di sebuah kota bernama Forlibia. Di Gurun Xino, segala hal bisa terjadi, begitu juga dengan kematian. Mereka yang dengan gagah berani pun, setelah melewati Gurun Xino, pada akhirnya akan mengalami keputusasaan. Terlebih lagi, mereka yang pernah melintas di gurun tersebut, tidak dapat kembali dengan selamat. Hanya ada dua pilihan yang mereka miliki: jalan terus atau mati di tempat.
Karena tekad ketiganya telah bulat, maka tidak sedikit pun keraguan terlihat di wajah mereka. Sementara untuk saat ini, Gurun Xino masih terlihat baik-baik saja. Tidak ada yang aneh dengan cuaca hari ini.
Setelah menghabiskan makan siang, ketiga kawanan ini kembali melanjutkan perjalanan. Jubah tebal yang mereka dapatkan dari Kota Eleusina membungkus seluruh tubuh mereka sehingga hanya mata yang tampak.
Tidak dimungkiri bahwa Darien memang orang yang ideal menjadi seorang pemimpin. Jika tekadnya berhasil menjadikan dirinya sebagai pemimpin dan mampu menyelamatkan dunia ini dari kekhawatiran, maka sejarah dunia semestinya akan berubah. Namun, dibandingkan mimpi yang ingin diraihnya, Darien saat ini telah memenuhi mimpi tersebut 2 persen dari 100 persen keseluruhan mimpinya.
“Aku lelah sekali, Darien. Bisakah kita istirahat sejenak?” Achila tampak telah mencapai batasnya sehingga berhenti dan mengempaskan pantatnya di atas tanah berpasir Gurun Xino.
“Baiklah. Kita istirahat sejenak.”
Darien dan Alexio memaklumi sebab Achila adalah seorang perempuan. Meski begitu, untuk ukuran seorang perempuan, Achila termasuk dalam kategori perempuan tangguh. Ia beruntung dapat bertemu Darien. Oleh karenanya, Achila dapat mempertahankan hidupnya meski telah menyaksikan perang menerkaparkan kedua orang tuanya. Itu sungguh neraka yang menyedihkan. Kehilangan orang tua di usia terbilang masih muda seharusnya menghancurkan semua tekad hidup yang ia miliki. Namun, bagaimanapun, Achila adalah gadis yang tegar.
“Kau, minumlah! Jangan tahan rasa hausmu!” ucap Darien penuh perhatian pada Achila.
“Baik.” Achila meneguk minuman pada botol plastik yang dibawanya dari Kota Eleusina.
Alexio menghela napas panjang, lalu mulai mengeluarkan sebatang rokok di saku baju bermotif naganya.
“Kau tidak minum dulu?” Achila menawarkan air minum segar itu pada Alexio.
“Tidak. Nanti saja setelah aku menghabiskan sebatang rokokku.” Alexio memercikkan api ke sebatang rokok miliknya, kemudian mengisapnya dengan khidmat.
“Aku mau minum, Achila.” Darien mengulurkan tangannya, lalu mengambil botol minuman dari tangan Achila.
“Kira-kira berapa lama lagi kita akan berjalan di tengah gurun ini? Aku merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi di sini.” Gadis dengan bentuk mata seperti kacang almond tersebut memandangi sekitar gurun. Tidak ada apa pun. Hanya gurun kering yang dia saksikan seluas mata memandang.
“Sepertinya masih sangat jauh. Menurut Umba, kita akan sampai di kota berikutnya dalam waktu dua minggu jika perjalanan lancar. Mungkin saja kita bisa sampai ke Bukit Montius dalam empat hari perjalanan,” timpal Alexio yang sedari tadi tertunduk memandangi pasir-pasir Gurun Xino dan sesekali memainkannya.
“Ya. Kalau tidak salah, Umba memang berkata seperti itu. Kita akan sampai di Bukit Montius dalam empat hari perjalanan untuk mengambil beberapa tumbuh-tumbuhan,” komentar Darien.
Selama empat hari ke depan mereka akan terus-menerus menyaksikan gurun kering ini. Tersengat panas yang menyengat selama empat hari berturut-turut. Perjalanan mereka tidak akan lepas dari rasa dahaga.
Achila yang sedari tadi mengedarkan pandangannya ke sekitar, tiba-tiba membelalak. Ia bagai melihat iblis menyeramkan yang siap memakannya.
“Kau kenapa, Achila?” Darien menyadari bahwa ada yang aneh dengan tatapan Achila. Namun, karena Achila tidak menjawab, Darien memfokuskan pandangan ke arah yang sama seperti perempuan itu.
Memang benar bahwa di arah barat terdapat pusaran angin yang tampak sangat aneh, yang mana di atasnya dikelilingi awan hitam dan petir yang menyambar-nyambar. Hal tersebut sepertinya terlalu menakutkan sehingga membuat Achila dan Darien kini tak berkedip sedikit pun.
“Kalian berdua kenap—“
Alexio mengurungkan niatnya untuk bertanya sebab ia pun kini menyaksikan hal yang sama. Mereka bangkit secara perlahan. Pandangan mereka masih tak lepas dari pusaran angin yang menerbangkan seluruh pasir gurun ini yang entah setinggi apa.
“LARI!” Alexio berseru kencang hingga kemudian melesat ke arah timur untuk berlari dari kejaran badai.
Sementara itu, Darien yang sedikit berada di belakang Achila, menambah kecepatannya dan menggapai tangan gadis tersebut. “Ayo, lebih cepat lagi! Jangan sampai perjuangan kita berakhir sampai di sini!”
Sekencang apa pun mereka berlari menjauh dari kejaran badai, badai itu masih jauh lebih unggul daripada langkah kaki mereka. Ketika akhirnya badai berhasil melahap ketiga kawanan tersebut, mereka merintih dan memekik. Ke mana badai akan membawa mereka? Entahlah. Yang pasti badai memang bergerak ke arah timur sesuai tujuan mereka. Meski begitu, hal yang paling ditakutkan jika badai telah menyedot mangsa, akankah mereka dapat bertahan hidup ataukah salah satu dari mereka akan mati?
--xxx--
20 tahun yang lalu.
“Keputusan hakim telah menjatuhkan kepada kalian hukuman mati! Kesalahan pertama yang kalian lakukan adalah mencoba melarikan diri dari sangkar. Kesalahan kedua kalian dan yang paling tidak bisa dimaafkan, yaitu telah membangkang pada semua petinggi! Setelah perang usai, Akila kode 665 akan dibumihanguskan. Sementara Akila betina dengan kode 756 akan dihukum mati ketika anak yang dilahirkan telah berusia 5 tahun.”
Tok! Tok! Tok!
Sidang telah usai dan hakim memutuskan pasangan Akila ini wajib dihukum mati. Akila dengan kode 665 dan Akila756 telah melakukan kesalahan fatal, yang mana para petinggi Kota Plataia tidak bisa memaafkannya.
Hukuman mati yang pertama dijatuhkan untuk Akila kode 665 setelah perang dengan pemberontak berakhir sore ini. Merupakan perang terakhir bagi Akila665. Meski telah dijatuhi hukuman mati, tetapi ia ternyata diharuskan ikut dalam perang kali ini.
Akila665 sendiri adalah Akila yang gagah berani. Ia selalu berada di barisan terdepan untuk membunuh pasukan musuh. Keputusan para petinggi Kota Plataia merupakan keputusan berat yang mau tidak mau harus dilaksanakan demi perihal tersebut tidak terulang lagi pada Akila-Akila yang lain.
Akan tetapi, ketika perang berlangsung, Akila665 tiba-tiba menghilang. Saat Akila yang lain telah kembali dari bertugas, hanya Akila665 yang tidak pernah kembali. Para militer Kota Plataia berbondong-bondong mencari keberadaan Akila665 ke semua penjuru di Daratan Asterovos. Namun, salah satu petinggi Kota Plataia beranggapan bahwa Akila665 telah mati terbakar di sebuah tempat di Daratan Asterovos.
“Dengan ini saya menyatakan bahwa pencarian Akila dengan kode 665 resmi ditutup! Tidak ada lagi yang boleh membicarakan Akila665. Semua berkas dan laporan yang berhubungan dengan Akila665, saya perintahkan untuk segera dimusnahkan!”
Masalah tentang Akila665 akhirnya resmi ditutup. Para militer dan petinggi lainnya tidak diperbolehkan berbicara perihal tersebut. Sementara itu, di waktu yang sama, Akila756, yang merupakan pasangan Akila665 sangat terpukul oleh berita tersebut. Ia memiliki dendam tersendiri pada seluruh petinggi Kota Plataia. Meski begitu, tidak ada yang dapat dilakukan oleh Akila756 sampai ia melahirkan anaknya, Akila666.
Tiba saatnya di mana Akila756 akan melahirkan anaknya. Seorang Akila betina yang akan melahirkan dibawa ke laboratorium khusus di dalam gedung penelitian Kota Plataia. Kemudian, kelahiran ini akan dijaga ketat beberapa kompi militer di setiap penjuru ruangan.
Seorang ras Akila bisa saja melahirkan manusia biasa dikarenakan lemahnya suatu genetik di dalam tubuh mereka. Jika hal itu terjadi, maka bayi tersebut akan dibunuh dan dianggap tidak pernah lahir.
Di dalam ruangan laboratorium penelitian, beberapa profesor hebat membantu kelahiran Akila756. Salah satu profesor yang tak asing namanya adalah Profesor Elasmus. Ya, dia yang kali ini memimpin persalinan Akila756.
Tak lama kemudian, bayi Akila756 lahir, yang kemudian akan masuk ke tahap validasi ras Akila. Pemeriksaan ini akan berjalan beberapa jam terhitung sejak bayi Akila telah dimasukkan ke dalam tabung silinder transparan.
“Coba kita lihat!”
Profesor Elasmus dan yang lainnya dengan sabar memantau pemeriksaan yang dilakukan sebuah komputer. Hingga beberapa jam kemudian, komputer pun selesai melakukan pemeriksaan. Profesor Elasmus segera menghadap layar monitor dan memeriksa hasilnya.
“Bagaimana, Dok?” tanya salah satu profesor berjanggut rimbun bernama Arsan pada Elasmus.
“Baik. Hasilnya sangat baik. Dia lahir sebagai Akila murni.”
Semua profesor di dalam ruangan tersebut kemudian tersenyum gembira, termasuk Akila756. Sang bayi dibawa menuju ruang khusus untuk diberikan vaksin dan imun yang berfungsi mempertahankan genetika Akila di dalam tubuhnya. Kemudian, barulah saat itu akan diberikan kode khusus, yang merupakan hasil dari turunan sang ayah. Karena sang bayi adalah anak dari Akila tangguh dengan kode 665, maka sang bayi akan diberikan kode 666.
Dengan begitu, selama lima tahun ke depan, Akila666 akan dirawat ibunya dan diberikan ASI layaknya manusia normal.
--xxx--
“Aku ....”
Perlahan-lahan Darien membuka kedua matanya. Ia bangun meski kepalanya masih terasa sempoyongan. Dikibas-kibaskan kepalanya guna membersihkan pasir yang menempel.
Tentu saja Darien merasa sangat bingung. Pertanyaan seperti, “aku di mana?” merupakan hal yang wajar karena ia sudah terbaring selama sehari penuh dalam keadaan tak sadarkan diri.
“Darien!”
Alexio tampak di kejauhan melambai-lambaikan tangannya.
“Hei! Kau sendiri?” Darien mengerutkan dahi melihat Alexio tak bersama Achila.
“Iya. Aku tak tahu di mana Achila berada. Lihat! Aku juga kehilangan senjataku.” Alexio tampak lemas.
“Baiklah, tak apa. Kita harus mencari Achila. Oh, ya! Sudah berapa hari terlewati?”
“Sepertinya kita tidak sadarkan diri selama satu hari.”
“Kalau begitu, kita cari Achila. Dia mungkin terempas atau terlempar di suatu tempat di sebelah timur.”
“Bagaimana kau yakin Achila terempas ke arah timur? Bagaimana jika—“
“Aku yakin sekali. Bahkan mungkin dia tidak jauh dari sini. Pasti ada di sekitar sini!”
“Baiklah.”
Alexio dan Darien kembali melanjutkan perjalanan. Tentu juga sembari berjalan, mereka harus menemukan Achila. Semua persediaan makanan ada padanya. Sedangkan perut kedua pria ini sudah dipanggil alam dan ingin cepat-cepat diisi.
Beberapa menit berjalan, Darien tiba-tiba merasakan sesuatu pada sekumpulan pasir yang dijejakinya. Karena penasaran, dia menghentikan langkahnya.
“Kau kenapa?” Alexio ikut berhenti beberapa meter darinya sambil mengernyitkan dahi.
“Aku merasakan sesuatu di bawah kakiku.” Darien menggesek-gesekkan kakinya. “Aku penasaran!”
Rasa penasaran Darien yang semakin kuat mengharuskannya menggali pasir dengan tangannya.
“Ayo, bantu aku, Alexio!” pinta Darien seraya kedua tangannya dengan cepat menggali pasir di sekitarnya.
“Ah, iya.”
Keduanya berhasil membuat lubang sedalam satu meter dan mendapati seorang gadis dengan mata almond tertimbun di sana.
“Hei! Achila! Astaga!” Darien menggapai tangan gadis itu, lalu menariknya hingga keluar dari timbunan pasir.
“Alexio, apa yang harus kita lakukan?” Darien panik melihat Achila yang belum juga sadarkan diri. Namun, dia perlahan-lahan membersihkan tubuh Achila dari pasir, terutama di bagian kepala dan wajahnya.
“Coba kulihat!” Pria bertopi koboi ini mengulurkan tangannya dan menempelkan beberapa jarinya ke leher Achila guna mengetahui denyut nadinya. “Dia baik-baik saja. Menurutku ketika dia terlempar ke tempat ini, dia tidak langsung tertimbun pasir. Tapi, yang membuatnya tertimbun mungkin karena angin yang terus-menerus menerbangkan pasir selama seharian ini.”
“Syukurlah!”
“Tunggu sebentar!” Alexio menjejakkan langkahnya ke arah utara. Di sana ia melihat sebuah ransel yang dibawa Achila, yang juga mereka gunakan menampung semua persediaan makanan.
“Bagaimana dengan persediaan makanannya?” tanya Darien sekembalinya Alexio mengambil ransel tersebut.
“Baik-baik saja. Untung saja ransel ini sangat kuat. Ransel yang terbuat dari kulit harimau.”
“Darien ... jangan ... lakukan itu ... kau akan ....”
“Sepertinya dia sedang bermimpi aneh,” tukas Alexio.
“Achila! Hei, hei! Achila! Bangunlah!” Darien menepuk kedua pipi Achila guna membangunkannya dari mimpi buruk yang tengah ia alami.
“DARIEN, JANGAN!” Achila terbangun seketika seraya terpekik keras. Ada sebuah kecemasan dan rasa takut yang membalutnya. Perlahan-lahan, dia menatap Darien dengan wajah takut.
“Hei, kau kenapa, Achila?”
“D-Darien? Kau ... kau tidak apa-apa, kan?” Achila meraba-raba wajah Darien, memastikannya tidak kurang satu apa pun. Tangan Achila beralih ke rambut panjang Darien.
“Aku tak apa, Achila. Justru, aku mencemaskanmu. Kau kenapa?”
“Syukurlah. Aku tidak apa-apa. Aku hanya bermimpi buruk.” Gadis bermata almond pun tersenyum lega.
“Baiklah. Kita istirahat dulu di sini. Aku sudah lapar.”
Ketiga pengembara ini ternyata masih diberikan kesempatan hidup dan melanjutkan mimpi mereka. Pastinya, rintangan-rintangan lain yang lebih mengerikan daripada sebelumnya telah menanti mereka. Misteri dan apa yang tidak pernah dimengerti Darien, perlahan-lahan mulai terkuak. Perjalanan mencari jati diri ini tidak hanya sebatas mengerti tentang dunia, tetapi juga untuk belajar bahwa hidup bukan hanya untuk merasakan bahagia dan sakit. Lebih dari itu, hidup adalah bagaimana bertahan dan tidak menyerah dan berputus asa.
--xxx--