Bukit Montius

2299 Kata
Sesuai yang telah diprediksi bahwa ketiga kawan ini sampai di sebuah bukit bernama Bukit Montius dalam empat hari perjalanan. Tidak seperti Gurun Xino, Bukit Montius tidak gersang. Ini sama seperti hutan di area Kota Plataia. Ada banyak tumbuh-tumbuhan langka dan berbagai macam buah-buahan yang tumbuh di bukit ini. Ketiga kawan tersebut seolah menemukan oasis setelah berjalan berhari-hari di tengah padang pasir yang kering. Ini adalah eden. Sampai pada Bukit Montius merupakan bukti bahwa tekad mereka benar-benar kuat. Darien masih takjub akan hijaunya Bukit Montius hingga kedua matanya tidak lepas dari memandangi sekeliling bukit. Ini bagai surga yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Akan tetapi, pemandangan gersang di bawah bukit membuat dahinya tiba-tiba berkerut. “Kau kenapa?” Achila mulai penasaran dengan tatapan prihatin Darien. “Tidak. Bukit ini sangat indah dan sejuk. Hanya saja ... pemandangan gersang di bawah membuatku sangat prihatin. Aku rasanya ingin cepat-cepat mengubah dunia ini.” “Tidak semudah itu, Darien. Aku yakin kau sudah tahu banyak tentang dunia ini semenjak kita melakukan perjalanan panjang ini. Ada banyak hal yang belum cukup kau pahami. Perjalanan kita masih sangat panjang.” Achila kemudian duduk pada rerumputan hijau sejuk bukit ini. Kedua tangannya sesekali meraba-raba tekstur rumput yang tumbuh di sekeliling. “Kau kenapa Alexio?” tanya Darien sebab melihat Alexio tak bersuara sejak datang di bukit ini. “Tidak apa-apa. Aku memikirkan senjataku. Bagaimana kalau kita bertemu orang-orang yang tidak kita inginkan, sementara itu kita tidak punya senjata apa pun untuk melawan mereka?” “Kau benar juga. Tapi kita masih punya dua bilah pisau, bukan? Kita bisa menggunakannya.” Darien mencabut dua bilah pisau yang terselip di pinggangnya. “Ini, satu untukmu!” Kemudian diberikannya satu untuk Alexio. “Aku tidak terlalu pandai menggunakan senjata tajam. Tapi, apa boleh buat.” Alexio pun mengambil sebilah pisau dari tangan Darien dengan pasrah. “Tidak apa-apa. Aku bisa menggunakan senjata apa saja.” “Yah, itu kau. Aku tahu. Kalau begitu, bagaimana kalau kau mengajarkan sedikit tekniknya padaku?” “Baik. Kapan kita mulai?” “Sekarang saja. Sebelum matahari semakin tinggi dan sementara kita menunggu perut lapar.” Alexio bangkit dari duduknya dan mengeluarkan pisau sepanjang tiga puluh sentimeter dari sarungnya. Darien dan Alexio saling berhadapan dan memasang kuda-kuda. Sementara itu, pandangan Achila tak lepas dari pria bermata biru yang ia beri nama Darien itu. “Ah, kuda-kudamu sepertinya terlalu lemah, Alexio.” Darien membenarkan kuda-kuda Alexio yang memang masih tampak sangat lemah. Dia membawa kaki kanan Alexio ke depan, lalu sedikit melebarkan jarak di antara keduanya. “Baiklah. Ini dia.” “Teknik menggunakan pisau pada intinya sama seperti bagaimana mempelajari teknik bela diri. Hal-hal yang harus kita perhatikan adalah kuda-kuda. Jika kau menggunakan tangan kanan untuk memegang pisau, maka gunakan tangan kiri untuk menangkis serangan lawan. Lalu, kau harus bisa memprediksi gerakan lawan, ke mana pisau akan diayunkan oleh musuh. Bagaimana? Kau mengerti, kan, dengan penjelasanku?” Darien kembali memasang kuda-kuda dan mengangkat tangan kanan yang memegangi pisau di depan d**a, dimiringkannya beberapa derajat ke kiri. Alexio membentuk posisi seperti yang dilakukan Darien. “Apa kau sudah siap?” Darien memastikan. “Ya.” Darien melesat menggapai leher Alexio, tetapi mampu ditangkis pria bertopi koboi ini. “Bagus!” seru Darien semakin bersemangat. Denting riuh dua pisau saling menggigit menghiasi suasana Bukit Montius. Keduanya masih saling beradu untuk membuktikan siapakah yang paling tangkas di antara mereka. Namun, tentu saja kita sudah bisa melihat pemenangnya di antara kedua lelaki ini. Alexio tetap fokus pada gerakan pisau Darien, tetapi sebenarnya ada banyak sekali daerah terbuka yang tidak diperhatikan Alexio. Sehingga pada akhirnya Darien memutuskan untuk menyudahi latihannya dengan men-sliding kaki kanan Alexio yang telah kehilangan kekuatannya. Alhasil, Alexio rubuh, tak dapat melakukan apa-apa. Darien segera mengacungkan pisau pada mata Alexio. Membuatnya membelalak sebelum akhirnya Darien menghentikan gerakan pisau yang beberapa sentimeter lagi menusuk matanya. “Kau lengah, Alexio. Kau terlalu fokus dengan gerakan pisauku. Kuda-kudamu lama-kelamaan juga semakin melemah. Jadi, pelajaran terpenting dalam latihan ini adalah bagaimana kita tetap waspada terhadap semua gerakan anggota tubuh lawan.” Darien berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Alexio bangkit. Hasil latihan tersebut membuat Alexio terpukau dengan kemampuan Darien. Khususnya karena temannya itu merupakan seorang ras Akila murni yang semenjak kecil sudah dibekali kemampuan bertarung. Berbeda sekali dengan dirinya yang hanya berasal dari keluarga miskin. Bahkan dia menjadi seorang prajurit hanya karena kota memberikan perintah wajib militer pada setiap laki-laki yang cukup umur di saat keadaan genting. Alexio tersenyum lebar dan memperhatikan Darien yang berlalu meninggalkannya menuju Achila. --xxx-- Plataia City Department of Defense “Lapor! Saya mendapatkan sebuah informasi dari salah satu militer bahwa Akila dengan kode 666 melakukan perjalanan ke timur dengan seorang gadis!” Salah satu pasukan militer Kota Plataia melaporkan dengan tegas pada seorang petinggi berkumis tebal yang sedang duduk di atas singgasananya. “Tangkap dia! Bunuh di tempat! Jangan biarkan lolos!” Petinggi Plataia bernama Robertinus menyeringai jahat seraya mengelus kumis tebalnya. “Siap, laksanakan!” Kemudian akhirnya pria berseragam corak-corak ini melangkah keluar dari ruang tahta salah satu petinggi Kota Plataia. “Kau pikir bisa lolos dariku? Hahaha. Kau ternyata sama seperti ayahmu, Nak. Kau akan bernasib sama. Tamatlah riwayatmu!” Tidak dimungkiri bahwa para petinggi memang memiliki dendam pribadi pada Akila665. Bagi mereka, Akila665 dan istrinya memang harus dibumihanguskan sebab telah melahirkan keturunan Akila pembangkang untuk pertama kalinya dalam sejarah. Selain itu, ternyata laporan tentang kematian Akila665 beberapa tahun silam terbukti tidak benar. Laporan tersebut tidak mempunyai bukti kuat untuk membuktikan bahwa Akila665 telah mati di Daratan Asterovos dengan tubuh yang terbakar. Begitu juga dengan Akila756. Ketika Akila666 berusia lima tahun, berita tentang kematian Akila756, yang merupakan ibu Akila666 ini ternyata tidak pernah diketahui keberadaannya. Sama seperti Akila665, laporan soal kematian Akila756 juga telah dipalsukan. Namun, karena menurut para petinggi masalah kedua Akila tersebut benar-benar tidak penting, maka mereka memutuskan untuk menutup perkara tersebut. Para petinggi yakin bahwa Akila tidak bisa bertahan hidup kecuali di dalam sangkar. Pemikiran inilah yang akhirnya membuat para petinggi menyesal setelah tragedi tersebut terulang untuk kesekian kalinya pada keturunan Akila665. Para petinggi Plataia telah sadar dengan langkah keliru yang mereka ambil. Seharusnya, kasus Akila pembangkang itu tetap mereka lanjutkan sampai benar-benar melihat sendiri kematian mereka. --xxx-- Malam telah tiba dan mengharuskan Darien dan dua temannya bermalam di Bukit Montius. Sebelumnya mereka memang berencana bermalam di sini untuk mengembalikan tenaga mereka yang terkuras karena melewati Gurun Xino. “Achila? Mengapa kau belum juga tidur?” Darien menghampiri Achila yang sedang duduk sembari menengadah ke langit. “Ah, tidak apa-apa. Aku hanya ... belum mengantuk saja.” Darien pun duduk di samping Achila. “Apa yang sedang kau pikirkan?” “Tidak ada.” “Ayolah, ceritakan padaku! Tidak perlu menyembunyikan sesuatu dariku. Kita sudah melalui berbagai hal sejak kita bertemu, Achila. Apa kau belum juga percaya padaku?” “Baiklah.” Achila menarik napas panjang. “Aku memikirkan soal mimpiku ketika di Gurun Xino waktu itu.” “Memangnya ... ada apa dengan mimpimu?” Tatapan Darien penuh selidik, semakin penasaran menunggu jawaban Achila. “Aku bermimpi tentangmu, Darien.” Ditatapnya Darien lamat-lamat. “Tentangku? Coba kau ceritakan!” “Di dalam mimpiku, kau seperti kehilangan dirimu sendiri. Kau melupakan segala hal tentang impianmu. Impian kita. K-kau ... mencoba membunuhku. Aku .... Maafkan aku. Seharusnya aku tidak mengatakan hal ini padamu.” “Jadi, begitu.” Darien mulai meratapi sesuatu di dalam dirinya. “Maafkan diriku di dalam mimpimu itu, Achila. Aku tahu aku hanya ras Akila. Dan kau tahu kami pun seperti binatang buas. Bahkan lebih dari itu. Kau bisa menyebut kami iblis nyata di dunia ini.” “Ah, tidak! Jangan katakan itu lagi, Darien!” “Namun, selama kau ada di sampingku, aku yakin aku akan selalu mengingat tentang diriku. Jika aku kehilangan kendali suatu saat, kau bisa membunuhku, Achila. Aku tidak ingin berubah menjadi iblis mengerikan itu lagi.” Darien tertunduk. Dia mulai terlihat murung dan memikirkan segala hal tentang dirinya. Kenyataan tak dapat dielak, dia memang ras Akila yang dilahirkan untuk membasmi manusia lemah di muka bumi. “Aku mungkin tidak pantas berada di samping—“ “Tidak, Darien! Hentikan!” potong Achila, lugas. Ia tampak sangat benci ketika Darien mulai berbicara bahwa dirinya adalah iblis atau binatang keji yang menjadi sebab kekacauan dunia ini. “Kau tidak perlu melanjutkan kata-katamu. Aku sudah mengatakannya padamu. Kau tidak perlu merasa bersalah dan merasa bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di dunia ini. Kau hanya perlu mewujudkan impianmu. Aku dan Alexio ada untuk membantumu.” “Kau tahu? Aku sangat takjub dengan kealamian bukit ini. Aku ingin semua penjuru dunia seperti ini. Hijau dan menyejukkan. Sunyi dan penuh kedamaian.” “Kalau begitu, jangan pernah berpikir kalau kau tidak bisa melakukannya! Kita akan sama-sama mengubah dunia ini, Darien.” Achila membentuk kurva di wajahnya. Sehingga Darien tak mampu untuk tidak menyambutnya. “Yah. Aku bersyukur bertemu kau dan Alexio.” Srek! Srek! Srek! Derap langkah kaki menyentuh semak-semak di tanah Bukit Montius meningkatkan kewaspadaan Darien dan Achila. Mereka berusaha fokus dan tidak sedikit pun bergerak. Apakah itu Alexio? pikir Darien. Akan tetapi, nyatanya Alexio telah lelap dalam tidurnya beberapa waktu yang lalu. Karena suara tersebut terdengar semakin jelas, Darien bangkit dari duduknya. Perlahan ia menghunus pisau sepanjang 30 sentimeter yang terselip di pinggangnya. “Siapa kau?!” Darien mengambil posisi bertarung ketika orang misterius tersebut terhenti beberapa meter darinya. “....” Orang misterius yang berpakaian serba putih ini kemudian mengangkat tangan dan terlihat cemas. Darien mencoba mendekat untuk melihat dengan jelas wajah orang tersebut. “D-Darien? Kaukah itu?” Setelah melihat orang misterius itu ternyata adalah Dokter Elasmus, Darien sedikit merasa terkejut dan tak percaya bisa bertemu dengannya di Bukit Montius. “D-Dokter?! Kenapa kau bisa ada di sini?” Darien mengendurkan kewaspadaannya. “Dengar, Darien!” Tampak sebuah kecemasan di dahi Dokter Elasmus. Ia dengan lugas menggapai tangan Darien, lalu berkata, “Pasukan militer Kota Plataia sedang menuju kemari.” “APA?!” Darien melejit dan bernada tinggi setelah mendengar hal tersebut dari Dokter Elasmus. “Darien? Kau bersama siapa?” Alexio terbangun sebab mendengar pekikan. “Hei, Alexio. Maaf, kau terbangun oleh suaraku?” “Dokter? Mengapa kau ada di sini?” Alexio mendekat pada sang dokter. “Aku ingin menyampaikan sesuatu yang sangat genting untuk kalian semua.” “Ada apa?” Alexio masih belum bisa menangkap maksud dari kata-kata sang dokter. Lantas dahinya mengerut dan dia menunggu dokter itu melanjutkan kalimatnya. “Pasukan militer Kota Plataia sedang menuju kemari untuk menangkap kalian.” “Apa?! Bagaimana mereka bisa tahu kami sedang ada di sini?” Tak seperti Darien, Alexio justru terlihat tenang. Dia sudah mengira hal ini sebelumnya karena Kota Plataia tidak mungkin membiarkan mereka berkeliaran dengan bebas. “Salah satu pasukan melihat kalian. Entahlah aku juga tidak tahu bagaimana secara rinci.” “Lalu, apa yang harus kami lakukan? Dengan peralatan canggih yang mereka miliki, mereka pasti dengan mudah sampai ke tempat ini.” Alexio berpikir keras sembari meletakkan tangannya di dagu lancipnya. Jika hanya melawan pasukan militer, Alexio tak terlalu khawatir. Namun, seperti yang dia ketahui, Kota Plataia memiliki banyak peralatan canggih, sehingga itu, menangkap keroco seperti dirinya akan sangat mudah dilakukan. “Tenang! Aku membawa sesuatu untuk kalian bertiga.” Dokter Elasmus mengeluarkan beberapa benda yang dibawanya, dibungkus kain hitam. “Apa itu, Dok?” Darien menatap benda yang kini ada di tangan sang dokter. “Ini adalah rocket float. Kalian gunakan ini! Pasang di punggung kalian, kemudian gunakan helm ini.” Sebuah roket terbang yang mana dapat dipasang di punggung. Dokter Elasmus mencoba benda tersebut pada Darien. “Ini adalah helm. Helm ini akan berfungsi membaca pikiran kalian. Jika kalian berkehendak melajukan roket ke timur, maka benda ini akan membawa kalian ke arah timur. Namun, kalian harus mencobanya dulu agar terbiasa.” Benda bernama rocket float itu telah terpasang di tubuh Darien beserta helm-nya. Pada bagian helm terdapat sebuah tombol untuk mematikan dan menghidupkannya. “Sekarang, coba tekan tombol merah pada helm di sebelah kiri!” perintah sang dokter pada Darien. Dia pun dengan lugas melaksanakan perintah tersebut. Selepas roket telah menyala, tidak terjadi apa-apa. “Tidak ada yang terjadi, Dok?” Darien mengernyit. “Pikirkan kau mau ke mana! Misalnya ke arah timur, barat, selatan, ataupun utara,” kata Dokter Elasmus, menginstruksi. “Kalau begitu ... aku mau ke timur saja.” Tepat setelah ucapan Darien berakhir, benda di punggungnya melesat, membawanya ke arah timur dengan sangat kencang. “Woooooow! Hei! Dokter! Bagaimana cara menghentikannya?!” tanya Darien. Ia melesat kencang, tetapi sang dokter masih dapat mendengarnya. “Kau cukup berpikir untuk mendarat saja!” teriak Dokter Elasmus. “Hei, apa yang terjadi dengan Darien?” tanya Achila yang telah berada di hadapan sang dokter dan Alexio. Namun, matanya tak kunjung berhenti menatap Darien yang sedang terbang dengan rocket float. “Dia terbang,” jawab Alexio, singkat. “Terbang? Jangan bercanda!” Achila justru menampakkan senyuman tak percaya. “Kita akan pergi dari tempat ini, Achila. Kemungkinan kita bisa sampai lebih cepat  dengan alat yang dibawa Dokter Elasmus.” “Pergi? Maksudmu apa, Alexio?” Achila terlihat belum mengerti. “Kita sedang diburu pasukan militer Kota Plataia. Mereka sedang menuju kemari. Jadi, kita akan meninggalkan bukit ini sekarang juga,” jelas Alexio. “Kau kemasilah barang-barang kita!” lanjutnya. “Jadi, begitu. Baiklah! Aku berkemas dulu.” Setelah Darien kembali dari percobaannya menggunakan rocket float, ketiga kawan ini setuju untuk segera melanjutkan perjalanan. Sementara itu, Dokter Elasmus segera kembali ke Kota Plataia agar para petinggi tidak mencurigai aktivitasnya. Akan tetapi, setelah ternyata sang dokter sampai di Kota Plataia, ia telah dinanti barisan tentara beserta para petinggi kota yang lainnya. Aktivitas mencurigakan sang dokter telah diketahui para petinggi. Dan atas perihal tersebut, Dokter Elasmus dinyatakan bersalah karena telah membantu pasukan pemberontak beserta membantu Darien, Akila666, melarikan diri dari sangkar. --xxx--
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN