POV 3
Setelah prajurit Kota Eretium cukup lama berkutat dengan fokus menyerbu Robert yang dengan mode iblisnya, tidak satu pun dapat mengalahkannya. Akan tetapi, berkat prajurit Eretium, pasukan militer Kota Plataia dapat berkurang sehingga menghentikan serangan beruntun yang diluncurkan.
Sedang Darien di sana masih dalam mode lemah. Betapa menyedihkan dirinya yang tengah bergeming bak batu karang di tepi lautan.
“Darien.” Achila segera menyejajarkan tinggi dan memeluk lelaki yang telah berjasa dalam hidupnya itu penuh kasih.
Sambil menangis Achila berkata, “Aku mohon jangan terpancing dengan kata-kata iblis itu. Kau adalah penyelamat bagi kami, Darien. Tolong, semangatlah. Ingatlah apa tujuanmu memicu peperangan ini.”
Belum, Darien masih bungkam. Pandangannya masih kosong dan tertunduk. Helaan napasnya pun begitu lambat.
“Darien, bangkitlah. Aku ingin kau seperti dulu yang selalu antusias untuk mewujudkan mimpimu. Lihatlah, apa kau tidak prihatin terhadap dunia ini?”
Alexio melangkah tertatih sembari memegangi lengan kanannya yang terluka, mendekati Darien. Entah, apa yang ingin dia sampaikan pada lelaki yang sudah ia anggap sahabat itu.
“Darien, aku kecewa padamu. Aku pikir kau adalah pahlawan kami. Ternyata kau hanya sampah. Ya, betul apa yang dikatakan olehnya. Kau hanya pecundang yang bahkan butuh seseorang untuk menuntunmu bangkit. Aku kecewa.
Lihat kekacauan yang telah kau sebabkan. Jika bukan karena ingin membantumu mewujudkan mimpi itu, kami tidak akan pernah ingin mengawali peperangan ini. Toh, kami masih bisa hidup dengan nyaman jika tidak melawan Kota Plataia.
Darien, lihat!”
Alexio sengaja memekik pada kata-kata terakhirnya. Ia ingin Darien membuka matanya lebar dan melihat perjuangan serta pengorbanan yang dilakukan semua orang untuk membantunya.
“Kau tahu sudah berapa orang yang mati? Berapa penduduk yang kehilangan sanak saudara mereka?! Kau tahu berapa istri yang kehilangan suami mereka?! Kau tahu berapa anak yang menjadi yatim?!
Dan setelah semua ini, kau ingin menyerah begitu saja?! Sampah!”
“Alexio! Hentikan!”
Achila mendadak memekik dan berdiri. Ia tatap mata lelaki bertopi itu dengan lamat. Ini tatapan peringatan untuk menghentikan ocehannya yang semakin dapat melukai hati Darien.
“Kau tahu apa yang sudah ia lakukan, dan kau masih membelanya, Achila?” Alexio menatap balik Achila dengan serius.
“Darien itu butuh motivasi, bukan kata-kata penghinaan seperti yang kau katakan. Dia butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Memangnya kau bisa mengalahkan iblis itu? Bisa? Kalau bukan Darien, siapa lagi?
Jadi, kau sudah lupa Darien pernah menyelamatkan kita dari serbuan tentara Kota Plataia di bukit waktu itu? Kau lupa jasa-jasanya? Aku harap kau tidak membanding-bandingkan penderitaan orang lain dengan apa yang dijalani oleh Darien.”
“Huh, terserah kau saja.” Alexio mengambil sebatang rokok di saku kemeja sebelah kanan dengan tangan kiri, lalu dibakarnya. Ia hisap dengan khidmat, lantas membelakangi Achila dan Darien.
“Jika kau ingin menyerah, ini bukan waktu yang tepat. Jika perasaan menyerah itu masih ada di dalam dirimu, maka lihatlah seberapa jauh perjalanan yang sudah kau tempuh.” Alexio berjalan, berlalu pergi ke kamp pengungsian.
Setelah Alexio mengecil di pandangannya, Achila kembali menatap Darien, lantas menyejajarkan tinggi kemudian menggapai kedua pipi lelaki itu.
“Darien, lihat aku,” kata Achila dengan tegas.
Darien menuruti perintah gadis di hadapannya. Ya, matanya memang beradu pandang dengan Achila, tetapi kosong.
“Kau adalah manusia. Tidak peduli siapa pun menganggap kau sebagai iblis, tetapi bagi kami yang telah kau selamatkan, kau bahkan melebihi definisi manusia itu sendiri.
Sekarang dengar aku. Kau harus bangkit, Darien. Kalahkan dia yang sudah menghina cita-cita mulia yang kau miliki. Jangan biarkan lagi dia merenggut segalanya darimu.”
Kata-kata Achila mampu mengetuk pintu hati Darien, sehingga membuatnya meneteskan air mata. Ya, sebelah matanya mengalir cairan bening itu.
“Darien.” Bariton itu menyapa.
Ditolehkan pandangannya ke arah kanan, ternyata Julio—ayahnya.
“Lihat orang-orang yang sedang bertarung itu. Mereka hadir untukmu karena menghormati mimpi yang kau bangun. Mereka adalah prajurit dari Kota Eretium yang pernah kau satukan dan menjadi sejahtera hingga detik ini,” jelas Julio, menatap penuh harapan bahwa anaknya bisa bangkit kembali dari keterpurukan yang kini membalutnya.
Darien menghela napas panjang, ia tampak akan mengatakan sesuatu. Pandangannya kembali tertunduk, “Aku tidak bisa.”
Julio dan Achila pun tampak putus asa. Mereka tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat lelaki itu bangkit dengan semangat yang bergelora.
Mereka gusar, kesal, tetapi begitu peduli dengan sosok lelaki yang dikenal dengan nama Darien itu.
***
“Alexio, bagaimana luka-lukamu? Apa sudah kau obati?” Acacio bertanya, lalu duduk di samping Alexio yang sedang menyesap rokoknya.
“Ah, ya. Sudah kuobati. Prajurit Eretium sudah berbaik hati membawakan perbekalan dan obat-obatan untuk kita.”
“Ya, itu semua juga berkat kau dan Darien yang sudah berjasa bagi kota itu.” Acacio menghela napas panjang. “Bagaimana dengan Darien? Apakah dia masih kehilangan semangat?”
“Ya, aku tidak tahu lagi bagaimana caranya membuat dia bangkit dari perasaan terpuruknya. Aku berharap banyak pada Achila saja.
Aku tidak bisa memberikan kata motivasi tanpa emosi.”
“Memang sulit. Sepertinya Robert sudah meracuni pikiran Darien dengan menyebutnya sebagai iblis tak berperasaan. Saya yakin Darien belum sepenuhnya mengerti tentang apa itu perasaan.
Padahal kita sebagai manusia biasa saja bisa menjadi iblis keji. Ya, masing-masing dari manusia punya iblis di dalam diri mereka. Dan saya yakin Darien bahkan tidak menyadari hal-hal di sekelilingnya, seperti; manusia-manusia jahat yang mencoba menghancurkan kota ini,” jelas Acacio, kemudian menumpu tubuh dengan kedua tangan di samping kiri dan kanan.
“Itu adalah sesuatu yang wajar bagi saya.”
Acacio dan Alexio serentak menoleh ke depan. Dokter Elasmus menghampiri, duduk di sebelah Alexio.
“Perasaan yang kita bicarakan ini adalah sesuatu yang langka bagi ras Akila. Apalagi ras Akila seperti Darien. Dia masih sangat rentan jika membicarakan perihal itu.”
“Apakah karena itu Akila jenis keempat disebut dengan Last Affection, Dok?” Acacio bertanya.
“Betul. Sebenarnya tidak semua Akila jenis keempat dapat dikatakan sebagai Last Affection. Akan tetapi, orang seperti Darienlah yang pantas disebut dengan Last Affection.
Dia hanya masih bingung dengan sesuatu yang dinamakan perasaan kasih sayang itu. Meskipun sebenarnya dia sedikit mengerti.”
Aacacio dan Alexio manggut-manggut.
“Hanya satu kuncinya, yaitu menyadari kasih sayang yang ia miliki,” lanjut Dokter Elasmus.
“Tapi bagaimana caranya? Bahkan aku sampai emosi dengan Darien, Dok.”
“Ya. Sekarang seseorang yang tepat sudah ada di sampingnya.
Apa kalian lupa insiden sebelum-sebelumnya yang pernah terjadi dengannya?”
“Maksudnya apa, Dok?” Acacio semakin seru dan gencar untuk mengetahui lebih jauh tentang Last Affection dalam diri Darien.
“Apakah yang Anda maksud itu adalah Achila, Dok?” Alexio menebak, menyipitkan mata dan serius.
“Betul sekali. Kita bisa belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya. Saat Darien dirasuki jiwa iblisnya, siapa yang tetap ada di sampingnya? Achila.
Jadi, Last Affection di dalam diri Darien semacam mencari perasaan kasih sayang itu. Dan saya yakin bahwa Achila merupakan seseorang yang tepat dikatakan sebagai belahan jiwa lelaki itu.
Dia harus bisa membuat Darien bangkit dari perasaan kelamnya.”
“Saya mengerti sekarang, Dok. Ya, saya sangat berharap dengan Achila. Sebelum prajurit Kota Eretium dihabisi oleh Robert, saya harap Darien bisa bangkit dari rasa terpuruknya itu,” ungkap Acacio pasti.
Sementara itu, prajurit Kota Eretium yang tengah berkutat dengan pertempuran melawan Robert telah dibantai habis-habisan.
Ya, bahkan ribuan prajurit itu tidak bisa mengalahkan satu orang. Sedang napas Robert pun masih mengembus dan terhela secara teratur. Sungguh, Robert sepertinya hanya bisa dikalahkan oleh Darien.
“Ayo, maju kalian! Aku belum cukup terhibur dengan pertempuran ini.”
Robert mengibaskan pedang dari kanan ke kiri, kemudian menciptakan angin yang langsung merobohkan ratusan prajurit berzirah Kota Eretium.
“Kalian payah! Membosankan,” kata Robert yang kemudian menjejakkan kaki. Langkahnya menuju ke arah Darien yang sedang terpuruk di sana.
“Robert sedang menuju kemari, Achila. Aku akan menahannya. Kau teruslah berusaha memberikan semangat untuk Darien,” tandas Julio, lantas melangkah menyambut kedatangan Robert.
“Berikan Darien padaku. Biarkan dia bermain-main denganku,” ucap Robert dengan baritonnya yang terkesan mengintimidasi.
“Sebagai ayah yang baik, mana mungkin aku akan menyerahkan anakku. Tidak seorang pun ayah di dunia ini yang ingin melihat anaknya sengsara. Jadi, kau harus lengkahi dulu mayatku.” Julio memasang kuda-kuda, bersiap menerima serangan dari Robert.
“Bodoh! Kau hanya menyerahkan nyawamu secara cuma-cuma. Baiklah, mungkin kau sudah rindu dengan alam baka.”
Dalam hitungan detik, Robert melesat bagai tornado. Ia berlari dengan kecepatan tinggi, mengelilingi Julio sehingga mata pria yang merupakan ayah Darien tersebut tak lepas dari memutar bola mata demi mengikuti gerakan Robert.
Sedang Achila masih berusaha untuk menarik pikiran Darien yang tengah bergentayangan di alam pikirannya yang kelam.
“Darien, aku mohon bangkitlah. Ingat perjuangan yang pernah kita lewati bersama-sama.” Achila pun menitikkan cairan bening di maniknya sambil tertunduk di hadapan Darien.
“Nah, Achila. Apakah benar aku iblis? Benarkah aku tidak punya perasaan?” Darien mulai bersuara, tetapi pandangannya tetap tertunduk.
“Darien, dengarkan aku. Kau adalah manusia yang bahkan melebihi definisi manusia itu sendiri. Kami yang tertindas di sini sangat berharap kau mengangkat langkah dan mewujudkan mimpi mulia itu. Darien, bangkit—“
“Tidak, Achila. Aku ini musuh kalian. Aku tidak pantas berjuang di sisi kalian. Aku adalah iblis. Benar, bukan?”
“Lihat, semua orang menatap dengan penuh harapan padamu, Darien. Apa kau masih menganggap kami ini—“
“Tidak, tidak, tidak! Aku ini adalah—“
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya yang terkesan sangat putus asa itu, Achila meraih bibir Darien. Gadis itu mengecupnya dengan lamat.
Persatuan bibir keduanya adalah upacara sakral yang pernah terjadi dalam hidup Darien.
Darien lantas tidak tahu perasaan apa yang kemudian membalutnya. Kenapa aneh rasanya? Tentu saja, ia bertanya-tanya. Darien membalas kecupan sepihak itu sehingga membuat hati kelamnya perlahan-lahan kembali normal.
Ya, ini dia perasaan kasih sayang yang terbentuk, kemudian terjalin antara Darien dan Achila.
Setelah beberapa menit berlalu, keduanya menyudahi upacara sakral itu.
“Aku tidak tahu apa yang aku rasakan. Namun, aku sangat yakin kalau perasaan inilah yang dinamakan dengan kasih sayang. Perasaan menggebu saat bibirmu menyentuh ujung bibirku.
Perasaan baru mulai hadir di benakku, yaitu perasaan yang tidak ingin kehilanganmu, Achila.” Darien lantas bangkit dengan semangat bergelora. “Aku sadar dengan kebodohanku yang membiarkan orang-orang mati di hadapan.
Tapi, sekarang aku ingin memperjuangkan sesuatu yang benar-benar aku tidak inginkan hilang dari peradaban ini.”
Achila tersenyum haru menyaksikan lelaki Akila itu telah kembali dengan semangatnya yang bergelora. Sedang Darien mengepal tinjunya sekuat tenaga. Tak lama kemudian, ia bertransformasi menjadi dirinya yang lain. Ah, tidak. Bukan iblis. Sisi Lain Darien berbeda dari sebelumnya. Ia lebih tampak seperti seorang malaikat dengan sayap putih yang mengepak di punggung.
***