“Mesya bagaimana kabarnya?”
Mesya tersenyum ketika mendengar pertanyaan itu.
Benar apa yang dikatakan oleh Ibunya, orang tua kandung Dira juga selalu menganggap Mesya sebagai anak mereka sendiri. Tapi, tidak seperti Bapak dan Ibu yang bisa berbicara dengan santai ketika sedang bersama dengan Dira, orang tua kandung Dira justru terlihat selalu menjaga perkataan mereka agar terdengar sangat sopan di telinga Mesya.
Sungguh, saat ini Mesya mulai menyadari jika orang tua Dira tampak sangat menghormati dirinya. Tidak, ini adalah hal yang salah. Sebagai orang yang jauh lebih muda, seharusnya Mesya yang malah bersikap hormat dan sopan. Bukan sebaliknya.
Sejujurnya Mesya juga tahu apa yang membuat orang tua Dira berlaku seperti ini, mereka selalu merasa berutang budi pada keluarga Mesya. Bapak dan Ibu, selain merawat dan membesarkan Dira dengan sangat baik, dulu mereka juga tidak pernah lupa untuk selalu membantu saudara Dira yang lain. Bapak dan Ibu tidak pernah lupa untuk mengirimkan bantuan mereka pada orang tua kandung Dira.
Ya, bisa dibilang, dulu mereka memiliki hubungan yang sangat baik.
Oleh karena itu, sama seperti Dira yang memanggil orang tua Mesya dengan sebutan Ibu dan Bapak, Mesya juga selalu melakukan hal yang sama.
“Mesya baik, Bu. Ibu bagaimana?”
Dibanding Mesya yang tampak berusaha membuka ruang percakapan dengan kedua orang tua yang sudah tampak renta, Dira memilih sebaliknya. Wanita itu terus saja menatap ke sekeliling rumah sederhana milik orang tua kandungnya.
Rumah ini memang sudah jauh lebih baik dari yang terakhir kali Mesya lihat.
Mesya sangat ingat jika dulu, pernah suatu saat ketika hari raya tiba, Bapak dan Ibu membawa Mesya dan Dira untuk datang ke rumah ini. mereka berbicara hingga sore, ketika akan pulang, hujan tiba-tiba datang. Mesya sangat ingat ketika itu seluruh keluarga sedang sangat kerepotan karena ketika hujan, rumah ini ternyata memiliki banyak sekali tempat yang bocor sehingga air hujan bisa masuk dengan mudah.
Mesya yang masih kecil tentu saja jadi bingung harus melakukan apa.
Bapak dan Ibu segera membantu keluarga ini untuk sedikit membereskan kekacauan yang ada. Orang tua kandung Dira tampak sangat sedih karena keluarga Mesya harus melihat sesuatu yang tidak menyenangkan ketika mereka berkunjung. Sekalipun mereka sangat tidak nyaman, Mesya tetap berusaha menjaga tingkah lakunya, berbeda dengan Dira yang merengek minta segera pulang padahal saat itu sedang hujan badai.
Mesya ingat juga, beberapa hari kemudian Bapak memesan kayu dan juga atap yang baru untuk keluarga ini. Beberapa hari kemudian keluarga kandung Dira datang sambil menangis dan mengucapkan terima kasih.
Ya, itu adalah satu dari sekian banyak kenangan yang masih Mesya ingat dengan jelas.
Sekarang, anak-anak kecil yang dulu tinggal di rumah ini sudah banyak yang pindah ke kota untuk merantau. Beberapa memang masih ada yang di desa untuk bekerja serabutan mengurus sawah beberapa orang, tapi kebanyakan dari saudara Dira memang merantau ke kota terdekat untuk mendapatkan pekerjaan yang jauh lebih baik. Dan benar, mereka sepertinya memang berhasil membuat banyak perubahan yang baik.
Mesya sangat senang kalau melihat senyum keluarga ini. Mereka begitu sederhana dan juga sangat tulus. Mereka tidak memerlukan barang-barang mahal untuk selalu bahagia. Yang penting mereka selalu bisa hidup cukup tanpa kekurangan.
Benar, masalah yang ada di desa memang hanya seputar ini saja. Mesya sangat senang karena dia bisa menghabiskan masa kecilnya untuk tinggal di tempat yang sangat sederhana ini.
“Ibu juga baik. Dira.. kamu apa kabar?”
Mesya segera tersenyum maklum ketika Dira hanya menjawab dengan senyuman singkat. Wanita itu belum ingin berbicara rupanya.
Ah, seharusnya sebelum datang ke sini, Mesya memastikan kalau Dira tidak akan bersikap seperti ini dulu. Wanita itu ternyata masih sama seperti dulu, dia sangat jarang berbicara dengan orang tua kandungnya sendiri. Mesya sungguh tidak tahu kenapa kakaknya itu terlihat sangat tidak suka ketika harus bertemu dengan orang tua kandungnya.
Dira seharusnya sangat bersyukur karena dia masih memiliki orang tua yang masih hidup. Berbeda dengan Mesya yang sekarang sudah tidak orang tua kandung. Hidup tanpa orang tua itu sangat tidak enak. Tidak ada ada yang bisa merasakannya kecuali kalau mereka benar-benar mengalami apa yang terjadi. Sungguh, jika boleh mengulang waktu, Mesya akan melakukan apapun untuk bisa mengembalikan orang tuanya lagi.
Mesya memang masih memilik banyak orang yang sangat menyayanginya dan memperlakukan dirinya seperti putri mereka sendiri. Tapi, sampai saat ini.. masih belum ada satupun orang yang bisa menggantikan posisi orang tuanya. Ya, mereka memang tidak akan pernah bisa di gantikan oleh siapapun.
Lalu sekarang, melihat Dira yang bersikap demikian, Mesya jadi merasa sangat menyayangkan sikap wanita itu. Sungguh, dia tidak akan memiliki kesempatan kedua jika memang Tuhan sudah berkehendak. Saat itu tiba, Mesya sangat yakin kalau Dira tidak akan sanggup menahan beban kepedihan itu.
“Mbak Dira kayaknya masih capek, Bu. Kita baru sampai di sini kemarin siang..” Akhirnya Mesya mencoba untuk kembali mencairkan suasana.
Dulu, kalau mereka sedang berkunjung seperti ini, pasti akan ada Ibu yang bisa membuat mereka bisa saling berbicara layaknya saudara perempuan. Ya, Mesya rasa mereka memang sudah menganggap satu sama lain sebagai saudara. Ibu selalu ingat pada Ibunya Dira ketika wanita itu belanja ke pasar. Begitu pula sebaliknya, ketika sedang memiliki makanan yang lebih, Ibunya Dira juga tidak akan segan untuk mengirimkan makanan ke rumah mereka. Dulu, awalnya mereka merasa canggung kalau harus mengirim makanan ke rumah Mesya, tapi.. semenjak mereka tahu kalau Mesya selalu menghabiskan makanan yang dikirimkan, mereka akhirnya semakin sering mengirim makanan.
Sungguh, saat itu Dira tidak akan pernah menyentuh makanan yang dibawakan oleh Ibunya. Wanita itu selalu saja menatap jijik ke arah masakan itu.
Sudahlah, tidak baik kalau terus mengingat hal buruk yang terjadi di masa lalu.
Jika dulu Ibu selalu bersikap baik pada orang tua Dira, maka sekarang Mesya akan melakukan hal yang sama. Sampai kapanpun, segala hal yang telah diajarkan oleh Ibu, Mesya tidak akan pernah melupakannya.
Sebagai seorang anak, Mesya ingin selalu mengikuti apapun yang Ibu katakan. Mungkin dulu Mesya memang sering tidak mendengarkan permintaan Ibu, tapi sekarang.. apapun hal yang dulu sudah Ibu lakukan, Mesya yang akan meneruskan semuanya.
“Ya ampun. Memangnya rumah kamu jauh sekali ya, Mesya?” Ibu kembali bertanya sambil menatap Mesya.
Sungguh, jika menyebut dia ‘Ibu’ Mesya jadi teringat pada Ibunya sendiri.
Ya, setidaknya masih ada orang yang bisa Mesya panggil sama seperti dia memanggil ibunya dulu.
“Ya jauh, to, Bu. Mereka itu tinggalnya di kota” Seorang pria yang sudah tampak renta dengan rambut putih dan juga kulit keriput tampak menimpali percakapan yang awalnya hanya didominasi dengan Mesya dan Ibu saja. Beliau adalah Bapaknya Dira. Sama seperti memanggil Ibu, Mesya juga memanggilnya Bapak.
“Tidak, Pak. Tidak terlalu jauh kok. Kalau Bapak mau, kapan-kapan saya bisa ngajak Bapak main ke rumahnya Mesya” Adrel yang ganti menjawab.
Melihat pria itu yang selalu tampak sangat akrab dengan siapapun membuat d**a Mesya jadi menghangat. Adrel sebenarnya tidak harus ikut menimpali pembicaraan mereka. Dira saja memilih pura-pura acuh sambil terus melihat keadaan rumahnya sendiri.
Sangat berbeda dengan Adrel yang selalu saja ingin akrab dengan orang-orang yang masih memiliki hubungan dengan Mesya.
Adrel memang yang terbaik. Mesya harus selalu merasa bersyukur karena memiliki Adrel sebagai suaminya.
“Wah, memangnya boleh?” Bapak kembali bertanya sambil menatap Adrel dengan binar yang tampak sangat ketara.
Mesya tersenyum geli. Sebagai orang desa yang tidak memiliki kerabat di kota besar, orang tua Dira pasti sangat jauh bepergian jauh hingga keluar kota. Mendengar jika Adrel mau mengajak mereka datang ke rumah Mesya, mereka pasti akan sangat senang.
Kata Bude Karti, sekalipun banyak saudara Dira yang tinggal dan bekerja di kota, mereka semua belum ada yang memiliki rumah sehingga masih sering pulang ke desa. Mereka juga tidak pernah mengajak orang tua mereka untuk berkunjung ke kota karena sebenarnya ekonomi mereka juga belum terlalu baik. Sebagai seorang anak, mereka pasti sangat ingin orang tuanya mendapatkan fasilitas yang sangat baik ketika berkunjung ke rumah mereka. Mungkin, mereka merasa belum pantas untuk mengajak orang tua mereka berkunjung ke kota.
Dari tempat ini Mesya berdoa, semoga semua saudara kandung Dira bisa segera diberi kemudahan dalam pekerjaannya sehingga mereka bisa segera memiliki rumah di kota dan bisa membawa orang tua mereka berkunjung ke sana.
“Boleh.. kalau memang mau, Adrel bisa ajak datang ke sana untuk menginap selama beberapa hari..”
Adrel tampaknya memang tidak bercanda. Ya, Adrel juga jelas sangat tahu kapan saat yang tepat untuk bercanda. Ketika sedang berbicara dengan orang tua seperti ini, Adrel juga pasti tidak akan berani kalau sampai bercanda. Hanya saja, mendengar kalimat pria itu yang sama sekali tidak tampak keberatan, semua itu kembali membuat d**a Mesya berdesir nyaman.
Jika dipikir ulang, kedua orang tua yang sedang duduk di depan Mesya ini bukan siapa-siapa Adrel. Mereka tidak memiliki hubungan yang dekat sehingga harus berbicara seakrab ini, tapi.. Adrel tampaknya memang selalu menjadi pria yang sangat peduli. Dia melakukan apapun yang membuat Mesya menjadi sangat bangga karena telah mendapatkan Adrel sebagai suaminya.
Ya, Mesya memang sangat beruntung. Adrel dulu memang memilihnya, tapi Mesya sangat beruntung karena dia dulu tidak membiarkan Adrel begitu saja..
“Wah.. kita bisa jalan-jalan ke kota..”
Mesya kembali tersenyum geli. Jika memang mereka mau datang ke kota, sepertinya memang tidak masalah. Lagi pula, selama ini rumah itu sangat jarang ada tamu yang mau datang sampai menginap.
Sekalipun memiliki kamar tamu, selama ini tidak pernah ada orang yang menginap di kamar itu.
Beberapa tahun yang lalu, Mesya bahkan sampai memberikan kasur yang ada di kamar itu kepada pembantunya karena merasa kasihan.
Ya, dari pada tidak berguna, lebih baik diberikan pada orang yang jauh lebih membutuhkan.
“Jangan, nanti kamu malah masuk angin kalau naik mobil” Ibu berkata sambil mengusap bahu suaminya.
Lagi, Mesya kembali tersenyum ketika melihat mereka berdua.
Mesya harap, dirinya dan Adrel juga bisa tetap bersama sekalipun mereka sudah semakin tua nanti. Sama seperti dua orang tua yang sedang tertawa di depannya. Mereka benar-benar tampak bahagia karena di hari tua mereka, mereka masih memiliki satu sama lain.
***
“Kita mau kemana lagi sekarang?” Adrel bertanya ketika mereka sudah berada di dalam mobil.
Mesya menolehkan kepalanya sekilas, sebenarnya sudah tidak ada lagi yang akan mereka datangi.
Tapi mungkin tidak masalah kalau mereka memutari jalan desa ini sebentar. Jujur saja, ada banyak sekali hal-hal yang sudah berubah sekarang. Mesya memang tidak akan bisa menghentikan perubahan yang akan terjadi, semuanya memang akan bergerak maju seiring dengan berjalannya waktu. Tapi, khusus untuk desa ini, entah kenapa Mesya merasa tidak ingin ada satupun perubahan yang terjadi.
Desa ini menyimpan banyak sekali kenangan ketika Mesya masih kecil. Ada banyak hal.. juga banyak kerinduan Mesya yang rasanya hanya akan bisa terobati dengan kembali ke masa lalu. Sayang sekali, tidak ada yang bisa dilakukan. Mesya akan tetap berada di sini.. bersama dengan waktu yang akan terus berjalan maju.
Sungguh, Mesya sebenarnya ingin jika desa ini selamanya akan tetap sama seperti ketika dia masih kecil. Tapi, tidak ada yang akan selalu sama. Semuanya berubah seiring dengan berjalannya waktu. Mesya juga tidak akan bisa menghentikan semua itu. Tidak, orang di sini juga layak untuk merasakan kemajuan seperti di kota.
“Keliling aja dulu. Aku belum ingin pulang. Nggak pa-pa ‘kan, Mbak?” Mesya menolehkan kepalanya ke belakang. Sekalipun biasanya keputusan seperti ini memang akan Adrel serahkan pada Mesya, kali ini bukan hanya mereka berdua saja yang ada di dalam mobil. Mesya tidak akan mungkin mengambil keputusan sepihak tanpa bertanya pada Dira yang sedang duduk di jok belakang.
Mesya menunggu jawaban Dira. Wanita itu hanya tersenyum lalu mengangguk.
Jujur saja, sejak tadi pagi Dira memang sangat jarang berbicara. Wanita itu hanya mengangguk sesekali ketika ditanyai pendapat. Entahlah, mungkin sama seperti Mesya, wanita itu juga sedang mengingat beberapa hal yang menjadi bagian di masa lalunya.
Mesya membiarkan saja jika memang itu yang diinginkan oleh Kakaknya. Hanya satu hal yang menjadi tujuan Mesya dan Adrel ketika mereka memutuskan untuk pulang ke desa selama beberapa hari, mereka ingin Dira mengingat kembali banyaknya kenangan mereka di masa lalu. Dira juga harus tahu kalau selain Mesya, di desa ini masih ada banyak sekali keluarga yang sangat menyayangi wanita itu. Ya, orang akan terus datang lalu meninggalkan suatu hari nanti. Tidak ada yang tahu kapan kita akan ditinggalkan, yang pasti.. ketika saat itu tiba, semua orang harus bersiap. Memang tidak akan ada yang pernah benar-benar siap untuk menanggung luka itu, tapi.. mau bagaimana lagi?
Sebagai seorang manusia, kita memang tidak akan tahu apa yang terjadi di masa depan. Orang lain bisa meninggalkan, tapi.. sampai kapanpun, kalau bisa Mesya akan selalu bersama dengan Kakaknya. Mesya memang tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi apapun itu.. Mesya akan selalu berusaha mendukung kakaknya. Mereka saling memiliki sejak dulu. Ikatan darah memang tidak akan selalu menjadi dasar dari sebuah hubungan. Mesya ingin semua orang bisa melihat persaudaraan yang terjadi di antara Dira dan Mesya sekalipun mereka memang tidak memiliki ikatan darah.
Mesya sering mendengar jika saudara akan selalu bertengkar ketika bersama dan saling merindukan ketika terpisah. Dulu, saat harus kembali ke kota setelah kematian orang tuanya, Mesya dikuasai oleh amarah dan juga rasa kecewa yang tidak terbendung sehingga rasanya dia ingin melupakan fakta mengenai keberadaan Dira dalam hidupnya. Berulang kali Mesya merasa sangat menyesali keputusan orang tuanya yang mengangkat Dira menjadi anak mereka. Wanita itu sudah banyak membuat keributan yang tidak pernah mau berhenti. Mesya sangat kesal..
Tapi sekarang, bertahun-tahun sudah berlalu. Jika hanya dengan satu masalah saja Mesya sampai memutuskan hubungan yang sudah terjalin selama bertahun-tahun, Mesya pasti sekarang masih menyesali apa yang dia lakukan.
Menerima Dira kembali di dalam hidupnya, berusaha untuk membuat Dira kembali berdamai dengan tempat mereka dulu dibesarkan, ya.. semua itu terasa sangat menyenangkan bagi Mesya.
Tadi, ketika berkunjung ke rumah beberapa saudara yang lain, Mesya memang sempat melihat tatapan sinis mereka ketika tahu Dira datang bersamanya. Tapi, dengan tegas Mesya merangkul Kakaknya, menunjukkan pada semua keluarga kalau mereka sudah berbaikan. Dua orang yang terlibat masalah besar tiga tahun yang lalu, mereka sudah baik-baik saja. Jadi, untuk apa keluarga yang lain masih menyimpan kekesalan mereka kepada Dira?
Untunglah, beberapa saat kemudian mereka semua mulai mengerti. Jika Mesya yang disakiti saja bisa memaafkan Dira, kenapa mereka tidak bisa?
Benar apa yang dikatakan oleh Adrel, Mesya memang harus membantu Dira untuk kembali berdamai dengan desa ini. Di tempat ini mereka dulu dibesarkan, tumbuh berdua menjadi saudara yang saling berbagi satu sama lain. Mesya sangat ingat jika mereka dulu memang bukan tipe saudara yang rukun yang bisa pergi bermain berdua. Setiap kali ada Dira dan Mesya di satu permainan yang sama, mereka pasti akan bertengkar. Semua itu terjadi setiap hari.. tapi sekarang, lihatlah mereka berdua. Mereka bisa duduk bersama dalam mobil yang sama.
“Pasarnya sekarang jadi lebih ramai, ya? Aku ingat dulu aku pernah ngejar kamu ke sini, Sya..” Adrel tiba-tiba berbicara ketika mereka sudah sampai di pasar yang ada di desa ini.
Benar apa yang dikatakan Adrel, pasar ini memang jauh lebih ramai dari yang Mesya ingat.
Ah, bagaimana mungkin pria itu masih mengingat insiden yang terjadi bertahun-tahun yang lalu?
Mesya merasa pipinya jadi memanas ketika mengingat apa yang terjadi saat itu. ya ampun, Adrel benar-benar berusaha membuatnya jadi sangat kesal!
Lihat saja, Mesya akan membalas apa yang Adrel lakukan.
“Iya, terus kamu mohon-mohon ke aku..” Jawab Mesya sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela. Dia menatap banyak orang yang tampaknya masih melakukan kegiatan jual beli padahal hari sudah sangat siang.
Dulu pasar ini hanya akan ramai ketika pagi hari saja. Saat siang dan malam, pasar ini akan tutup. Mesya tidak menyangka kalau sekarang pasar ini tetap ramai padahal sudah tengah hari.
“Wah, kamu masih ingat semua itu? Aku pikir kamu lupa, Sya..” Adrel kembali berbicara. Mesya menatapnya sebelum memutar bola matanya dengan bosan. Hei, bagaimana mungkin dia lupa kejadian itu?
Hanya ada sedikit ingatan yang dimiliki Mesya mengenai Adrel. Entahlah, Mesya sebenarnya juga tidak tahu kenapa semua itu bisa terjadi. Tidak ada yang bisa memberikan penjelasan pada Mesya bagaimana semua itu bisa terjadi. Ketika bertanya pada Adrel, suaminya itu hanya akan menertawakan Mesya yang baginya sangat lucu.
Iya, memang.. bagaimana mungkin Mesya bisa melupakan ketika dia berpacaran dengan Adrel?
Dulu, Mesya ingat jika Adrel memang sangat sering datang ke rumah untuk bertemu dengannya. Tapi Mesya selalu menolak menemui Adrel. Setelah itu.. tidak ada yang Mesya ingat. Dia baru ingat ketika momen dimana mereka lamaran secara tiba-tiba. Eh, menurut orang-orang, itu bukan lamaran yang tiba-tiba. Entah kenapa Mesya saja yang tidak mengingat segalanya. Dia juga tidak mengingat semua persiapan yang dilakukan sebelum lamaran itu.
Setelah lamaran, Mesya ingat jika dia juga sempat menghindari Adrel beberapa kali karena semuanya terasa sangat aneh..
Sungguh, Mesya sungguh tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi saat itu.
Entah bagaimana, tapi Mesya memang tidak mengingat apapun yang terjadi selama mereka berpacaran. Adrel memang sempat memberikan bukti berupa beberapa foto yang diambil pria itu ketika mereka sedang jalan berdua saat sedang berpacaran, sayangnya.. Mesya tetap tidak bia mengingat apapun. Tidak, tidak ada yang bisa dia ingat.
Rasanya mereka seperti tidak pernah berpacaran sebelumnya, ketika Adrel tiba-tiba datang dengan beberapa rombongan, Mesya tentu sangat kaget. Entahlah, jika mengingat hari itu, Mesya rasanya ingin selalu tertawa. Ada banyak hal yang membuat lamaran mereka sangat spesial, termasuk ketika Mesya menatap bingung ke arah Adrel ketika pria itu mendekat untuk menyematkan sebuah cincin yang katanya digunakan sebagai pengikat hubungan mereka. Sudahlah, Mesya tidak akan sanggup kalau diminta mengingat kejadian hari itu. semuanya benar-benar kacau.. dan Mesya tidak bisa mengatakan apapun kepada Ibunya.
Jujur saja, itu adalah hari paling aneh yang pernah Mesya jalani. Semuanya sangat tidak terkendali.
Tapi, sekarang Mesya tentu sangat bersyukur karena dia tidak membatalkan acar lamaran yang memang terasa sangat tidak masuk akal itu. Huh, andai saja hari itu Mesya membaut kekacauan dengan mengatakan apa yang dia rasakan. Semuanya pasti tidak akan berjalan sebaik ini. Mesya pasti tidak akan mendapatkan suami sebaik Adrel. Tidak, Mesya sangat percaya jika dia tidak akan memiliki kesempatan kedua untuk memiliki Adrel. Sekali dia melewatkan satu kesempatan besar, Mesya pasti akan menyesal seumur hidupnya.
Ya, untunglah saat itu sekalipun kebingungan setengah mati, Mesya tetap diam saja dan berusaha untuk menjalani semuanya dengan sangat baik.
Baru ketika mereka sudah menikah, Mesya menanyakan mengenai keadaan yang sebenarnya dia rasakan pada Adrel. Yang pria itu lakukan adalah tertawa. Ya, jelas saja Adrel akan tertawa.. Ada banyak sekali bukti jika mereka memang menjalin hubungan asmara selama beberapa saat. Sayangnya, tidak ada satupun momen yang Mesya ingat.
“STOP!”
Mesya spontan menengok ke arah Dira yang berteriak secara tiba-tiba.
Adrel juga langsung menghentikan mobilnya secara mendadak ketika mendengar teriakan Dira.
“Mbak Dira?! Ada apa?” Mesya tidak sadar jika saat ini suaranya juga sedikit lebih tinggi dari biasanya. Entahlah, dia memang merasa sangat terkejut dengan Dira yang berteriak tiba-tiba. Apa yang dilakukan wanita itu?
“Aku bilang stop!” Lagi, Dira kembali berteriak ketika Adrel menjalankan mobilnya kembali.
Mau tidak mau, Adrel akhirnya menghentikan mobilnya lagi. Kali ini tidak berhenti di tangan jalan seperti yang dia lakukan tadi. Mesya menatap ke sekitar. Apa yang dilakukan oleh wanita ini?
Mesya kembali menatap ke arah Dira yang mulai tampak tidak tenang. Apa yang terjadi?
Mesya menolehkan kepalanya ke ara Adrel, sama seperti dirinya, Adrel juga tampak sangat kebingungan dengan apa yang dilakukan oleh Dira. Tindakan Dira yang berteriak dan membuat kaget seperti ini sebenarnya sangat berbahaya. Bagaimana kalau tadi ada kendaraan yang sedang melintas di belakang mobil mereka? Astaga, Dira hampir saja membuat mereka celaka.
“Ada apa, Mbak?” Mesya kembali bertanya. Matanya terus menelusuri Dira yang tampak tidak nyaman duduk di tempatnya. Apa yang terjadi?
Wanita itu mau melakukan apa sebenarnya?
Beberapa detik kemudian Dira membuka pintu mobil dengan cepat lalu membantingnya begitu wanita itu sudah keluar. Lagi, sekali lagi Adrel dan Mesya kagetkan dengan apa yang dilakukan oleh Dira.
Mesya menatap Dira yang sedang berjalan mendekati salah satu penjual bunga yang biasanya dibawa ke makam. Apa yang akan dilakukan oleh wanita itu?
Mesya sudah akan membuka pintu mobil untuk menyusul Dira ketika tangannya digenggam oleh Adrel.
Mesya mengernyitkan dahinya. Apa yang diinginkan oleh Adrel?
“Biarin..”
Mesya memang merasa sangat bingung dengan apa yang dikatakan oleh Adrel. Tapi, pada akhirnya yang bisa dilakukan oleh Mesya adalah menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Tidak, tidak Adrel memang sudah melarangnya, sepertinya Mesya memang tidak bisa melawan.
Sekarang, yang harus dia pikirkan adalah.. kenapa Dira melakukan ini semua?
Untuk apa wanita itu membeli bunga yang biasanya digunakan untuk ke makam?