Malam hari, ketika makan malam sudah tersaji di meja makan, baik Mesya maupun Adrel tinggal menunggu kedatangan Dira. Hampir sepuluh menit berlalu dengan Mesya yang sepertinya mulai merasa bosan, Dira tetap tidak kunjung datang padahal tadi sebelum Mesya turun dan menyiapkan makan malam, wanita itu sudah sempat datang ke kamar Dira untuk memberi tahu jam makan malam.
Sayangnya, sampai Mesya selesai masak, Dira tetap belum turun.
Baiklah, mereka mungkin memang harus menunggu selama beberapa menit lagi.
“Kenapa Mbak Dira lama banget, ya?” Tanya Mesya yang sepertinya mulai kesal.
Adrel tersenyum kecil. Istrinya itu, selain sangat mudah menangis karena masalah sepele, dia juga sangat mudah kesal karena hal kecil. Karena itulah Adrel sering mengalah jika mereka berdebat mengenai hal yang sebenarnya tidak penting.
“Paling masih siap-siap” Jawab Adrel sambil mengambil keripik kentang yang tersedia di atas meja.
Jika sudah malam seperti ini, Mesya sangat jarang mau makan nasi. Wanita itu lebih memilih makan makanan dengan bahan dasar kentang. Entahlah, Mesya memang sangat menyukai makanan dari kentang. Adrel ingat jika Mesya bisa membeli lebih dari 5 kilo kentang dalam satu minggu.
Tidak masalah, Adrel tidak pernah mempermasalahkan apapun yang ingin Mesya makan. Itu hanya kentang, bahkan jika Mesya mau, Adrel bisa membeli satu ton kentang dari perkebunan. Pokoknya, apapun untuk Mesya, asalkan membuat wanita itu senang, Adrel akan memberikannya.
“Siap-siap apaan? Ini cuma makan malam di rumah. Emang dia mau pakai riasan wajah dulu apa bagaimana?”
Melihat Mesya yang sedang mengembumkan pipinya karena merasa kesal membuat Adrel tidak bisa menahan jarinya untuk mencubit wanita itu. Mesya memang bukan remaja lagi, tapi di beberapa situasi Adre selalu merasa jika Mesya masih cocok kalau kembali menggunakan seragam putih abu-abu. Wanita itu jelas jauh lebih imut dibanding anak SMA yang sekarang banyak menggunakan riasan tebal seperti orang dewasa.
Entahlah, Adrel tidak terlalu mengerti apa alasan anak kecil menggunakan riasan seperti itu.
“Kamu juga itu pakai lipstik” Kata Adrel yang menunjuk bibir Mesya yang berwarna merah muda. Terlihat merona dan tampak sangat menggemaskan. Andai saja di rumah ini hanya ada mereka berdua seperti biasanya, ah Adrel jadi tidak ingin makan malam. Dia ingin kembali ke kamar dan meneruskan apa yang terjadi antara dirinya dan Mesya yang bagi wanita itu sudah selesai, tapi bagi Adrel tidak akan pernah selesai.
Ya ampun, sekarang Adrel juga jadi kesal pada Dira. Kenapa wanita itu tidak segera turun? Adrel ingin agar makan malam ini cepat selesai agar mereka bisa kembali ke kamar. Mesya meninggalkannya begitu saja untuk menyiapkan makan malam ini, tapi Dira malah tidak segera turun.
Mengingat tentang Dira, Adrel jadi kembali teringat dengan apa yang tadi sempat Adrel lihat. Mengenai Dira yang tampak memandang sekitar dengan tatapan tidak fokus. Wanita itu seperti orang yang gelisah dan ketakutan.
Tidak, ini mungkin hanya prasangka buruk Adrel saja. Kata Dira beberapa tahun lalu, wanita itu sudah berhenti. Sepertinya memang begitu. Karena sesaat setelah Dira mengatakan dia berhenti, Adrel juga melakukan hal yang sama.
Tapi sekarang keadaannya sedang berbeda, Adrel masih baik-baik saja dengan Mesya. Sementara Dira? Rumah tangga wanita itu berantakan. Bisa saja Dira kembali melakukan hal yang dulu.
Astaga, tidak.. Adrel tidak boleh memikirkan sesuatu yang buruk.
Pandangan Dira yang terkesan tidak fokus adalah hal yang wajar. Keadaan psikis wanita itu sedang tidak sehat karena merasa sangat tertekan dengan perceraiannya, sangat wajar jika Dira kesulitan mengatur pikirannya.
Adrel sangat tahu apa yang sedang dirasakan oleh Dira. Sama-sama sebagai pihak yang terlalu mencintai hingga rela melakukan apapun, Adrel sangat paham jika Dira bisa saja sampai gila kalau benar-benar kehilangan Damar. Karena Adrel memang tahu bagaimana keadaan Dira, oleh sebab itu Adrel membuat Mesya mau menerima kakaknya datang ke rumah ini.
Dira pasti sangat kesulitan menghadapi ketakutan terbesarnya. Kehilangan Damar setelah Dira mendapatkannya dengan usaha yang luar biasa, pasti semua itu sangat sulit untuk dilalui.
Adrel tahu, sampai sekarang saja Adrel masih sering merasa gemetar saat membayangkan Mesya pergi meninggalkannya. Tidak, kehilangan Mesya juga adalah ketakutan terbesar Adrel.
“Apa aku panggil dia aja?” Mesya bertanya sambil menopangkan dagunya di atas meja.
Adrel memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa dilihat oleh Mesya.
Jika memang hal buruk yang dipikirkan oleh Adrel tidak benar, saat inipun Dira pasti juga tidak dalam kondisi yang baik. Adrel tidak ingin Mesya melihat kondisi Dira dan malah membuat wanita itu bertanya-tanya. Tidak, Mesya tidak boleh terbeban dengan kondisi Dira saat ini.
Adrel memang ingin membantu Dira. Salah satu bantuan yang bisa Adrel berikan adalah dengan membuat Dira bisa di terima oleh Mesya. Kedua saudara itu pasti bisa saling menguatkan, dan dukungan dari Mesya pasti bisa membuat Dira kembali bangkit dari semua ini. Tapi di samping itu, Adrel juga tetap tidak ingin membuat Mesya merasa terbeban dengan keadaan kakaknya. Tidak, Dira memang boleh datang, tapi Mesya tidak boleh terbeban. Adrel pastikan jika wanitanya itu tidak akan pernah merasa tidak nyaman.
“Eh, enggak usah! Biar aku aja yang ke atas. Nanti kamu capek kalau naik turun tangga” Adrel mencegah dengan cara dia yang lebih dulu berdiri.
Melihat jika Adrel yang akan naik ke lantai dua, Mesya tersenyum begitu saja. Perhatian Adrel memang tidak akan pernah pudar meskipun sekarang mereka sudah lama menikah.
Ada yang pernah mengatakan jika pengantin baru akan terus merasa peduli satu sama lain. Tapi semakin lama, mereka akan semakin berubah. Akan ada banyak hal yang berubah. Semua pujian dan rayuan akan semakin berkurang. Begitu juga dengan perhatian. Sayangnya itu semua tidak berlaku bagi Adrel, pria itu malah semakin manis seiring berjalannya waktu.
“Ya udah, panggil aja dia..” Kata Mesya.
Adrel mengangguk. Mulai melangkahkan kakinya menuju lantai atas tempat kamar Dira berada.
Berada di depan pintu kamar Dira, sekarang Adrel merasa ragu untuk mengetuk karena dengan sangat jelas Adrel mendengar suara tangis Dira. Wanita itu pasti masih menangisi Damar.
Dira sudah terlalu dewasa untuk terus bersikap kekanak-kanakan. Sejak dulu Adrel juga sudah memperingatkan Dira untuk tidak berharap banyak pada Damar. Damar bukan tipe pria yang akan setia pada satu wanita. Pria itu, dia terlalu kacau.
Adrel memang berteman dekat dengan Damar, tapi bukan berarti Adrel juga berkelakuan sama dengan pria itu. Tidak, mereka ada dua pribadi berbeda yang kebetulan cocok jika harus duduk di warung sambil menikmati secangkir kopi s**u.
Tapi sekarang, melihat jika harapan Dira kembali dipatahkan setelah sebelumnya wanita itu pernah berhasil, entah kenapa sekarang Adrel yang merasa sedikit takut. Dia takut kalau Mesya akan meninggalkannya seperi Damar meninggalkan Dira.
Tidak, tidak.. Mesya tentu bukan tipe wanita yang seperti itu. Mesya tidak akan meniggalkannya jika rahasia besar di masa lalu yang sudah Adrel jaga selama ini tidak terbongkar.
Tidak, Adrel tidak akan sanggup jika harus kehilangan Mesya.
Lalu sekarang apa? Apa yang harus dilakukan oleh Adrel? Dia tidak mungkin mengetuk pintu kamar Dira. Wanita itu pasti merasa terganggu. Tapi jika dia tidak membawa Dira turun, Mesya pasti yang akan naik untuk melihat keadaan Dira.
“Adrel?”
Adrel terlonjak kaget ketika melihat Dira sedang berdiri di depannya dengan mata merah yang berlinangan air mata. Wanita itu.. kapan dia membuka pintu? Adrel tidak mendengar suara pintu berderit. Bahkan Adrel yakin beberapa sekon yang lalu dia masih mendengar suara Dira menangis di dalam kamar.
Jadi, mengapa wanita itu bisa tiba-tiba ada di depannya? Sangat tidak masuk akal.
“Oh, Mbak Dira sudah ditunggu Mesya di meja makan..”
Dari pada mengulur waktu lebih lama, Adrel memilih untuk segera membawa Dira turun karena di bawah Mesya pasti sudah menunggu sambil mencurutkan bibirnya.
“Ada sesuatu yang perlu aku bicarakan. Nanti malam aku menunggu kamu di kamarku..”
Setelah mengatakan kalimat itu Dira melangkahkan kakinya begitu saja untuk meninggalkan Adrel. Membuat Adrel mematung dan terus menatap punggung wanita yang berjalan dengan langkah gontai. Menuruni satu per satu anak tangga yang memang berada di dekat pintu kamar Dira.
Tunggu dulu, apa yang dikatakan oleh Dira?
Berbicara di kamar wanita itu?
Saat ini, dibanding teman, Adrel jelas lebih menganggap Dira sebagai kakak iparnya. Setelah menikah dengan Mesya, Adrel juga selalu menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengan Dira. Sebenarnya tidak masalah jika mereka dekat dan tertawa seperti seorang teman pada umunya, tapi dibanding melakukan itu semua, Adrel jelas lebih memilih untuk menjaga perasaan Mesya. Meskipun dengan kakaknya sendiri, Mesya jelas tidak akan suka jika Adrel terlalu dekat dengan wanita lain.
Oleh sebab itu, setelah menikah Adrel juga ikut membiasakan untuk memanggil Dira dengan sapaan yang sama dengan yang Mesya berikan. Mereka memang seumuran, tapi setelah menikah dengan Mesya, Dira adalah kakak iparnya. Agar tidak timbul prasangka buruk yang kadang memang sangat mudah dipikirkan oleh orang lain, Adrel semakin menjaga jarak dengan Dira.
Tapi apa yang baru saja dikatakan oleh wanita itu? Bagaimana mungkin Dira ingin mereka bicara di kamarnya saat hari sudah malam? Sekalipun Adrel sangat yakin jika mereka memang akan berbicara saja, tapi Adrel tetap akan memikirkan resiko yang mungkin saja akan menimpanya. Bagaimana jika Mesya melihat mereka? Meskipun memang tidak ada hubungan yang istimewa antara Adrel dan Dira selain hubungan kakak dan adik ipar, Adrel tetap akan berusaha untuk menjaga perasan Mesya. Jangan sampai istrinya mereka tidak nyaman jika bertindak terlalu jauh.
Untuk sesaat Adrel merasa bimbang. Karena jujur saja, Adrel jelas merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan cara Dira berbicara dan cara wanita itu berjalan. Benar, ada sesuatu yang salah.
Dibanding membuat Mesya merasa tertekan karena mengetahui keadaan kakaknya yang sebenarnya, Adrel jelas juga akan memilih untuk menyelesaikan masalah Dira yang mungkin saja masih berhubungan dengan kesalah Dira di masa lalu.
Saat itu mereka adalah remaja desa yang naif. Yang rela melakukan segalanya untuk mendapatkan orang yang kita anggap sebagai belahan jiwa.
Adrel mungkin memang tidak memilih orang yang salah karena Mesya memang pantas untuk diperjuangkan. Wanita itu adalah orang yang sangat tepat untuk mendampingi Adrel sampai selamanya. Tapi Dira, wanita itu mungkin salah memilih. Sayangnya, selain salah memilih orang, Dira juga salah memilih cara untuk mendapatkan orang itu.
Sekarang Adrel jadi semakin merasa ketakutan. Dia takut jika apa yang terjadi pada Dira saat ini adalah salah satu akibat dari kesalahan wanita itu di masa lalu.
Adrel jelas tahu jika apapun yang dipaksakan, hasilnya tidak akan pernah baik.
Adrel menghembuskan napasnya dengan gelisah. Akan ada banyak masalah yang mungkin bisa mendatangi Adrel jika dia memilih untuk tetap membiarkan Dira tinggal di rumah ini. Bukan sekali atau dua kali Adrel melihat Dira bersikap aneh sejak kedatangan wanita itu tadi siang. Sudah sering. Itulah kenapa Adrel berada di dekat Mesya ketika melihat Mesya mulai curiga dengan kelakuan Dira yang tampak tidak fokus.
Awalnyanya Adrel mengira jika Dira hanya sedang tertekan karena masalah wanita itu. tapi setelah melihat tatapan Dira yang kosong juga suara wanita itu yang datar, Adrel yakin jika pasti ada yang salah dengan wanita itu.
Satu hal yang Adrel harapkan, dia tidak ingin masalah ini membuat Mesya merasa terganggu.
Sejujurnya, sekalipun Dira adalah kakak iparnya, Adrel masih menganggap jika wanita itu adalah temannya juga. Sebelum menjadi kakak ipar, Dira adalah temannya. Sekalipun sekarang Adrel lebih sering berbicara sopan dengan kalimat formal, Adrel tetap akan menganggap Dira sebagai temannya. Sangat tidak mudah jika harus membiarkan Dira tertekan sendirian ketika dia ingat apa saja yang Dira katakan di telepon ketika wanita itu menghubungi Mesya yang kebetulan tidak ada di rumah.
Beberapa hari lalu..
Adrel baru pulang dari rumah ketika menyadari mobil istrinya tidak terparkir di halaman.
Itu artinya Mesya sedang tidak ada di rumah.
Mesya sangat jarang keluar rumah sendirian tanpa Adrel. Semua itu karena, meskipun sudah lima tahun tinggal di kota ini, Mesya tetap saja tidak bisa menghapal jalan di sini dengan baik. Wanita itu akan sering tersesat jika dibiarkan keluar rumah sendiri. Untuk saja sekarang sudah ada banyak kemajuan teknologi sehingga Mesya bisa menggunakan ponselnya untuk mengetahu jalan yang tidak dia hapal.
Adrel melangkahkan kakinya menuju pintu rumah. Untung saja di mobilnya ada kunci rumah, kalau tidak, Adrel harus siap untuk duduk di halaman sambil menunggu Mesya pulang.
Biasanya, setelah pulang dari kantor Adrel akan langsung mandi, tapi melihat ponsel Mesya yang tergeletak dengan layar bercahaya menampilkan deretan nomor yang tersimpan atas nama seseorang yang sangat Adrel kenal, tentu saja pria itu lebih memilih untuk mendatangi ponsel Mesya yang entah kenapa tidak dibawa oleh wanita itu.
Adrel mengernyitkan dahinya ketika melihat nama Dira berada di layar pipih itu.
Tunggu dulu, Apa ini memang benar Dira?
Dengan rasa penasaran yang benar-benar tidak bisa ditahan lagi, akhirnya Adrel memilih untuk mengusapkan jarinya ke atas layar itu. Adrel ingin tahu apa yang terjadi hingga membuat Dira yang selama tiga tahun ini seakan hilang dari kehidupan Mesya, pada akhirnya memutuskan untuk menghubungi Mesya kembali.
“Halo?”
Dira tentu tahu jika ini bukan suara Mesya, oleh sebab itu, selama beberapa detik tidak ada suara yang terdengar.
Adrel sudah akan menutup telepon karena merasa jika Dira salah memencet nomor atau sebagainya. Ya, sepertinya terlalu mengejutkan jika wanita itu yang menghubungi Mesya lebih dulu.
Tapi, suara tangisan yang terdengar sama di ujung telepon membuat Adrel mengernyitkan dahinya. Ada apa?
“Adrel?”
Adrel tahu ada sesuatu yang tidak benar ketika mendengar suara tangis Dira. Adrel mengenal Dira dengan sangat baik karena jauh sebelum kenal dengan Mesya, Adrel tentu lebih dulu mengenal Dira sekalipun mereka juga tidak bisa dikatakan sebagai teman dekat.
Orang lain memang berpikir jika Adrel dan Dira hanya teman biasa. Padahal, di balik semua itu, mereka tidak tahu apa saja yang pernah Adrel lakukan bersama dengan Dira. Huh, mereka memiliki rahasia besar yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa Adrel buka pada siapapun. Tidak, itu adalah kesalahan di masa lalu. Adrel tidak akan mempertaruhkan kehidupannya saat ini dengan membuka kesalahannya di masa lalu.
“Mbak Dira?”
Sekalipun sekarang sedang tidak ada Mesya, Adrel tetap memanggil Dira dengan panggilan yang digunakan Mesya. Padahal usia Adrel dan Dira jelas tidak terpaut terlalu jauh. Tapi setelah menikah dengan Mesya, Adrel juga jadi membiasakan dirinya untuk memanggil Dira seperti itu.
Setelah tiga tahun berlalu, ternyata Adrel belum lupa cara memanggil Dira.
“Adrel.. mana Mesya? Aku harus ngomong sama Mesya..”
Adrel masih mendengar suara tangis yang semakin lama jadi semakin jelas. Bahkan Dira sampai kesulitan berbicara karena suaranya tersendat oleh tangisannya.
Tunggu dulu, ada apa ini?
Entah kenapa Adrel merasakan ada sesuatu yang buruk. Ini perasaan sama seperti yang melarangnya untuk melakukan kesalahan seperti yang Dira lakukan di masa lalu. Sudah sangat lama Adrel tidak merasakan ini semua, tapi.. entah kenapa sekarang perasaan itu kembali datang. Apa.. apa yang salah?
“Mesya lagi nggak di rumah. Mbak Dira kenapa?” Adrel memutuskan untuk bertanya karena dia jelas mendengar suara tangis Dira yang seperti tidak bisa berhenti.
Ada sesuatu yang salah. Pasti ini hal yang sangat besar. Karena jujur saja, setelah masalah yang terjadi tiga tahun lalu, Adrel sungguh tidak yakin kalau Dira akan menghubungi Mesya seperti ini.
“Rel, tolongin aku..”
Mendengar suara Dira yang seperti orang sedang dalam masalah, tentu saja membuat Adrel jadi mengernyitkan dahi.
Jika memang Dira sedang dalam masalah dan sedang membutuhkan bantuan, bukankah sebaikkanya wanita itu menghubungi orang yang posisinya sedang berada di dekatnya?
Untuk apa menghubungi Mesya yang tinggal di kota yang berbeda dengannya?
Sekalipun Mesya mau membantu, pasti akan membutuhkan waktu yang sangat lama.
Entah kenapa tiba-tiba ada sesuatu yang melintas di pikiran Adrel. Ini tentu bukan bantuan yang sempat terpikir oleh Adrel, Dira pasti membutuhkan bantuan dalam bentuk yang lain.
Tapi.. ada apa?
“Mbak Dira kenapa?” Adrel kembali bertanya.
“Aku mau cerai sama Damar. Tolong aku, Rel”
Adrel jelas sangat kaget ketika mendengar pengakuan Dira. Dalam pikirannya tentu langsung terlintas ketika dulu Dira selalu mengejar Damar.
Sungguh, sebenarnya saat itu Adrel selalu menyayangkan sikap Dira yang mengejar seorang pria bodoh seperti Damar. Dira terlalu dibutakan oleh cinta yang sebenarnya bisa sangat merugikan dirinya.
Tapi, mengetahui jika ternyata Adrel sama seperti Dira, mencintai Mesya seperti orang gila, akhirnya Adrel mulau menyadari jika Dira mungkin memang sudah sangat jatuh cinta pada Damar.
Cinta yang membuat Dira dan Adrel merasa bisa melakukan apapun asalkan mereka bisa mendapatkan orang yang sangat mereka cintai.
Karena sejujurnya, sama Dira yang merasa tidak bisa hidup tanpa Damar, Adrel juga merasa demikian setiap kali memikirkan Mesya.
Lalu sekarang, menyadari jika cinta yang dipaksakan oleh Dira tidak berhasil dan selesai di tengah jalan, semua itu membuat tangan Adrel jadi gemetar. Untuk sesaat Adrel memikirkan mengenai rumah tangganya dengan Mesya..
Tidak, Adrel tidak akan pernah melepaskan Mesya. Tidak, jangan sampai rumah tangganya berakhir sama dengan Dira. Sekalipun dulu mereka melakukan cara yang sama untuk mendapatkan orang yang mere cintai, Adrel berharap kalau akhir dari kisah cinta mereka bisa sedikit berbeda. Karena jujur saja, Adrel sudah merancangkan masa tuanya yang akan dia habiskan bersama dengan Mesya. Tidak, Adrel tidak akan sanggup jika sampai kehilangan Mesya.