Adrel mengusap lengan Mesya dengan lembut. Kebiasaan wanita itu saat akan tidur.
Entah apa yang akan terjadi jika Adrel harus pergi ke luar kota untuk urusan kantor. Mesya pasti tidak akan bisa tidur semalaman mengingat jika wanita itu memiliki kebiasaan aneh.
Ah, tapi itu sama sekali tidak masalah. Kemanapun Adrel pergi, Mesya akan ikut. Mereka bisa pergi kemanapun karena Mesya tidak terikat pekerjaan.
Setelah memastikan jika Mesya benar-benar tertidur, Adrel berusaha sebisa mungkin untuk turun dari ranjang tanpa membuat suara gaduh. Mesya tidak boleh tahu apa yang akan dia lakukan.
Jujur saja ini adalah kali pertama Adrel bersikap seperti ini. Biasanya jika Mesya akan tidur, Adrel juga akan tidur.
Kali ini sedikit berbeda karena Adrel memiliki satu urusan yang tentu saja tidak bisa ditunda. Dira, wanita itu yang mengatakan jika dia sedang menunggu Adrel.
Kaki Adrel melangkah dengan pelan untuk berjalan menuju pintu kamar. Memastikan jika Mesya benar-benar tidur dan dia yang berjalan seperti seorang pencuri, itu adalah hal yang sangat tidak mudah. Adrel tidak pernah melakukan ini semua. Tentu saja dia merasa kesulitan.
Tapi begitu tangannya meraih gagang pintu dan berhasil melewati pintu tanpa menimbulkan suara apapun, akhirnya Adrel bisa menghela napas dengan lega.
Baiklah, sekarang Adrel masih harus berjalan dilorong gelap yang saklar lampunya sudah dimatikan sejak tadi.
Sambil berusaha menjaga langkahnya agar tidak menabrak meja ataupun beberapa vas bunga mahal yang dikoleksi oleh Mesya, Adrel mengarah tangannya untuk menyalakan lampu. Seketika itu juga Adrel harus menyipitkan matanya karena tidak terbiasa dengan cahaya terang setelah dia keluar dari kamar yang lampunya juga sudah dimatikan.
Untuk beberapa saat Adrel berhenti melangkah. Setelah itu Adrel kembali melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kamar Dira. Sebelum sempat mengetuk pintu, Adrel masih mendengar dengan jelas jika Dira sedang menangis di dalam kamar.
Apa yang dilakukan oleh wanita ini?
Adrel menghela napas. Jika dia masuk ke dalam kamar Dira, artinya dia akan ikut campur dalam masalah wanita itu. Baiklah, ini semua untuk Mesya.
Adrel akhirnya mengulurkan tangannya untuk mengetuk pintu. Menunggu beberapa saat hingga suara tangisan Dira tidak lagi terdengar. Setelah suara tangis itu berhenti, kurang dari satu detik kemudian Dira membuka pintu kamar.
Adrel tahu ketika dia menatap mata Dira, ada sesuatu yang berbeda. Wanita itu bukan lagi Dira yang dia kenal. Ada sesuatu yang lain, yang mungkin asing bagi orang lain tapi tentu saja diketahui dengan jelas oleh Adrel.
Sungguh, ini adalah keputusan yang sangat sulit.
Berusaha menyelesaikan masalah Dira sama saja dengan bermain di belakang Mesya. Menyembunyikan satu lagi masalah besar dari istrinya yang sedang terlelap.
“Adrel..” Seperti panggilan untuk kembali ke masa lalu, Dira menyebut nama Adrel sambil tersenyum.
Adrel tentu tahu bagaimana membuat Dira kembali untuk sementara waktu, tapi tentu saja cara yang dia miliki tidak akan bertahan lama. Tidak masalah, setidaknya Adrel bisa benar-benar berbicara dengan Dira.
“Aku mau berbicara dengan Dira..” Kata Adrel sambil menatap tajam ke arah wanita yang sedang berdiri di depannya itu.
***
10 tahun yang lalu...
Adrel sedang tertawa bersama dengan Damar dan beberapa pemuda lain. Beberapa dari mereka ada yang sedang asyik menghembuskan asap rokok dari mulut mereka. Membuat udara di sekitar dipenuhi dengan asap rokok.
Adrel tidak merasa terganggu dengan beberapa temannya yang memilih menghirup nikotin itu, tidak, itu pilihan mereka. Termasuk juga Adrel yang memilih tetap duduk di sekitar mereka sekalipun dia satu-satunya pemuda yang tidak merokok. Tidak masalah, hanya dengan secangkir kopi s**u, Adrel sudah betah duduk di sini sambil mendengarkan lelucon yang dilemparkan teman-temannya.
“Eh, Damar, kamu dicariin Dira itu!”
Salah satu teman Adrel yang ikut nongkrong menunjuk ke arah jalan dimana ada Dira yang sedang berjalan sambil membawa tas besar yang dia jinjing di tangan kanannya. Wanita itu juga menggunakan rok pendek yang terkesan mekar dengan motif bunga warna merah muda. Juga topi pantai yang entah kenapa digunakan oleh wanita itu malam-malam begini.
Damar yang merasa namanya disebut tentu saja langsung menyahut. Menatap Dira sekilas lalu bergidik ngeri beberapa saat kemudian.
“Kenapa dia selalu ngikutin aku, sih? Perasaan aku nggak pernah ngapa-apain sama dia..” Damar sepertinya sudah benar-benar pusing menanggapi Dira yang terkesan tidak kenal lelah mendekatinya. Adrel juga tahu sendiri bagaimana gigihnya wanita itu.
Astaga, jika dilihat-lihat Dira adalah gadis yang manis dengan lesung pipi di sebelah kiri yang akan langsung tercetak begitu wanita itu tersenyum. Tapi, sayang sekali, perilaku wanita itu sedikit tidak normal.
Di saat gadis lain akan diam-diam mencintai pemuda yang dia suka, Dira sedikit berbeda. Gadis itu menunjukkan dengan terang-terangan, bahkan tidak sungkan untuk bercerita dengan teman-temannya. Ya, Adrel mengetahui itu drai beberapa gadis yang sering ikut nongkrong di warung ini.
Lalu seperti saat ini, Dira yang juga akan datang ke warung untuk menarik perhatian Damar. Astaga, bukan Adrel tidak menghargai keberanian gadis itu. Saat ini memang sudah ada banyak gadis pemberani yang memilih untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung dari pada harus menunggu laki-laki. Tapi, apa yang dilakukan oleh Dira ini terlalu berlebihan. Lagi pula, untuk apa Dira yang seorang anak salah satu orang paling kaya dan juga terpandang di desa ini terus-menerus mengejar Damar yang seorang pemuda tidak jelas. Sekalipun berteman, Adrel tidak lantas buta mengenai apa saja kelakuan buruk Damar. Untuk seorang gadis dengan latar keluarga terpandang seperti Dira, bukankah sangat tidak cocok jika harus mengejar Damar sedmikian rupa?
“Bener nggak pernah ngapa-apa? Aku dengar kalian pergi ke—”
“Ya itu dulu. Sebelum aku tahu dia kayak bagaimana. Mainnya satu malem, tapi diganggu terus selama berbulan-bulan. Aku jadi nyesel pernah main sama dia” Beberapa pemuda yang ada di warung langsung tertawa ketika mendengar cerita Damar. Laki-laki itu tampak tidak ragu untuk mengungkapkan perilaku buruknya.
Ya, karena memang mereka semua yang duduk di warung ini adalah teman yang seakan tidak tahu malu. Tidak ada sesuatu yang perlu ditutup-tutupi jika anak laki-laki sedang nongkrong. Aib satu sama lain, mereka semua sudah tahu.
“Damar..”
Sebelum beberapa temannya berhenti menertawakan cerita Damar, Dira sudah lebih dulu datang dan duduk di dekat Damar. Melihat apa yang dilakukan oleh wanita itu, beberapa pemuda bersiul dengan nakal. Menggoda Dira yang tampak sangat suka jika sedang berada di dekat Damar. Juga untuk membuat Damar kesal karena pada dasarnya, pemuda seperti Damar tidak akan bisa stay dengan satu perempuan. Seharunya Dira tahu risiko yang dia ambil sebelum memutuskan untuk bermain kotor dengan Damar.
Tapi melihat kegigihan Dira, Adrel juga harus merasa kagum. Dia benar-benar wanita yang tangguh.
Sudah beberapa kali Adrel melihat jika Damar benar-benar menolak kehadiran Dira, tapi sepertinya wanita itu berwajah tebal. Dia tidak pantang menyerah.
“Dir, bisa tolong geser nggak? Aku kesempitan ini..”
Benar, bukan? Sudah sering juga Damar menolak dengan cara yang kasar yang tidak jarang membuat mata Dira berkaca-kaca. Baiklah, sepertinya jika sudah seperti itu Damar memang sudah keterlaluan.
Bagi Adrel, semarah apapun seorang laki-laki, dia tidak boleh sampai membuat wanita menangis.
Ya, itu adalah pemikiran Darel. Setiap orang memiliki pemikiran yang berbeda.
“Eh, kamu kapan ada waktu lagi?” Bukannya mendengarkan perintah Damar, Dira justru semakin mendekatkan dirinya.
Semua itu tentu tidak luput dari perhatian Adrel. Dia jelas tahu waktu apa yang sedang ditanyakan oleh Dira. Astaga, wanita itu tidak punya kapok juga.
“Aduh, aku lupa. Aku mau jemput pacarku, aku pergi dulu ya..” Damar segera bangkit berdiri untuk meninggalkan Dira. Juga meninggalkan warung yang sekarang jadi ramai dengan suara tawa beberapa pemuda yang lain.
Adrel sekarang memang tidak selalu menetap di desa karena dia harus kuliah di pusat kota. Tapi, setiap akhir pekan Adrel pasti akan kembali pulang di desa karena neneknya selalu menunggu Adrel pulang. Ya, semenjak SMA Adrel pindah ke desa, sejak saat itu dia jadi semakin dekat dengan neneknya.
Tapi, meskipun tidak selalu tinggal di desa, Adrel tetap selalu tahu hal apa saja yang terjadi di sini. Lagi pula, selain neneknya, ada satu orang yang menarik perhatian Adrel. Yang membuat Adrel jadi semakin sering ingin pulang ke desa. Sayangnya, tidak semudah yang Adrel pikirkan. Mendekati seorang gadis tidak semudah yang orang lain lalukan. Bagi Adrel, dia harus cukup pantas dulu sebelum memutuskan untuk mendekati seorang gadis. Dia harus memiliki pendidikan yang baik dan juga pekerjaan yang mapan, karena Adrel ada tipe orang serius. Sekali dia jatuh cinta, Adrel akan benar-benar mencintai satu orang yang sama selama yang dia bisa.
Dan satu lagi masalahnya, Adrel jatuh cinta pada seorang gadis kecil yang ternyata adalah adiknya Dira.
Astaga, jika sudah begini, akan sama dengan hari-jari yang lalu saat Dira ditinggalkan oleh Damar, Adrel akan menghampiri gadis itu lalu mengantarnya pulang.
Di tempat tongkrongan, biasanya Adrel akan diejek karena dia dikira sedang mendekati gadis yang menjadi bekas mainan Damar. Tapi, kadang juga mereka tidak banyak berkomentar karena beberapa sudah ada yang tahu tujuan Adrel yang sebenarnya. Mengantar Dira pulang pasti bisa membuat Adrel memiliki kesempatan untuk melihat Mesya.
Jika biasanya Adrel hanya bisa melihat gadis itu ketika dia menyapu halaman rumah di pagi dan sore hari, sepertinya malam ini Adrel bisa sedikit lebih beruntung karena bisa merasakan teh panas buatan Mesya. Mengantar Dira pulang membuat Adrel memiliki alasan untuk main ke rumah gadis itu. orang tua Dira sudah hafal dengan apa yang terjadi ketika Adrel mengantar Dira pulang, dan seperti biasanya.. Mesya akan dipanggil untuk membawakan teh panas.
Bailah, sepertinya kedatangan Dira adalah keuntungan besar untuk Adrel.
“Ayo pulang, Dir. Aku antar”
Ketika Adrel mendekati Dira, beberapa teman Adrel ada yang secara terang-terangan melarang Dira untuk ikut. Mereka bahkan langsung mengatakan alasan Adrel yang selalu ingin mengantar Dira pulang. Ya, alasannya adalah Mesya.
Lagi pula, semua pemuda di tongkrongan ini juga akan mengakui jika Mesya adalah gadis yang sangat cantik. Tapi beberapa dari mereka merasa enggan karena Mesya masih terlalu kecil untuk dijadikan boneka. Lagi pula Mesya yang secantik Cinderella tentu juga tidak akan mau diajak nongkrong oleh mereka. Mereka pemuda dengan wajah pas-pasan, kantong mereka juga tidak cukup tebal untuk membelikan jajan bagi Mesya yang adalah anak orang kaya itu. Mereka sudah menyerah sebelum berperang dan hasilnya hanya bisa menatap kagum setiap kali tidak sengaja melihat Mesya sedang duduk di depan rumahnya.
Satu-satunya orang diantara mereka semua yang masih masuk ke dalam standar Mesya adalah Adrel. Dia pemuda yang cukup tampan dengan tubuh kekar dan kulit sawo matang. Adrel juga adalah anak orang yang berdompet tebal. Sangat cocok dengan keluarga Mesya yang sudah dikenal kaya sejak dulu. Sekalipun keluarga Mesya tidak pernah mematok standar kekayaan untuk menjalin hubungan, tetap saja mereka akan mundur sebelum diminta. Ya, mereka sadar diri saja..
“Itu mau ketemu sama Mesya, Dir. Jangan mau pulang sama dia!” Ada satu orang pemuda dengan kulit coklat gelap yang sedang duduk di pojok warung yang memanas-manasi keadaan. Adrel hanya menggelengkan kepalanya tanda agar mereka mau diam.
Sayangnya, bukannya diam, yang lain malah semakin ikut-ikutan memojokkan Adrel.
“Terus kalau nggak sama Adrel, dia mau pulang sama siapa? Sama kamu?”
“Sudah biarin aja Adrel sama Mesya. Mereka cocok, kok!”
“Iya, yang satu ganteng yang satu cantik. Cocok mereka!”
Adrel memang tidak berniat menanggapi apapun yang mereka katakan, tapi untuk setiap orang yang mengatakan jika Adrel dan Mesya cocok, semua kalimat itu akan Adrel aminkan dalam hatinya.
Berharap agar mereka memang benar-benar cocok untuk menjadi pasangan hidup yang sejati. Berharap agar mereka tidak hanya cocok menurut perhitungan wajah dan juga keuangan saja. Tapi di segala situasi, Adrel juga berharap dia akan cocok dengan Mesya.
Ah, rasanya tidak sabar menunggu gadis itu tumbuh dewasa.
***
Adrel melangkahkan kakinya memasuki kamar Dira. Mengikuti wanita yang sedang berjalan dengan langkah gelisah dan pandangan tidak fokus. Dira seperti sedang mengawasi sekitarnya. Melihat apakah akan ada bahaya jika dia membiarkan Adrel masuk ke dalam kamarnya.
Sambil memperhatikan apa yang terjadi pada Dira, Adrel ikut mengamati sekitar kamar Dira. Dia juga memeriksa bagaimana keadaan kamar ini. Selain Dira, orang yang juga bisa mengawasi sekitar dari adanya gangguan adalah Adrel. Mereka sama-sama memiliki kemampuan itu.
Untuk sekarang, Adrel akan mencoba mempercayai apa yang dia lihat.
Tidak banyak hal aneh yang ada di kamar ini. Adrel harap Dira memang seperti yang dikatakan oleh Mesya; wanita itu hanya merasa tertekan dan sedikit tidak bisa menerima keadaan yang ada.
Jika memang Dira hanya mengalami masalah seperti itu, Adrel tentu bisa membawa Dira ke psikolog untuk berkonsultasi mengenai masalah Dira. Atau jika memang Dira membutuhkan obat khusus yang mungkin bisa sedikit membantunya agar bisa lebih tenang, Adrel juga bisa membawa Dira ke psikiater.
Tidak masalah jika memang seperti itu. Tapi, jika ini bukan hanya masalah mengenai kejiwaan Dira, apa yang bisa psikiater dan psikolog lakukan?
Tidak, apa yang dialami oleh Dira tentu bukan sesuatu yang bisa dijelaskan oleh medis.
Adrel memang banyak mengerti mengenai masalah Dira, tapi ini hanya dugaannya saja karena Dira memang belum menjelaskan apapun.
“Kamu bisa melihat mereka?” Dira berbisik ke telinga Adrel dengan suara pelan. Wanita itu menatap ke sekitar kamar dengan pandangan ketakutan. Terlihat jelas jika ada banyak hal yang mengganggu wanita itu.
Adrel menghela napas. Dia harap dia sedang berbicara dengan Dira. Jujur saja mata hitam Dira terlihat sangat tidak fokus, tatapannya kadang gelisah, tapi kadang juga terlihat kosong.
“Dira?” Adrel menyebut nama Dira dengan suaranya.
Beberapa detik setelah Adrel menyebut nama Dira, wanita itu menolehkan kepalanya. Menatap Adrel dengan pandangan ketakutan seperti dia meminta bantuan. Wanita ini memang Dira. Adrel sudah lama mengenal Dira sehingga dia bisa tahu dengan sangat jelas. Lagi pula, dalam hal ini Adrel juga cukup mengerti. Masa lalu mengajarkan banyak hal pada Adrel.
“Adrel, tolong bantu aku..” Dira melangkahkan kakinya untuk berada di dekat Adrel. Bahkan, jika Adrel tidak memundurkan kakinya, Dira bisa saja memeluknya.
Tidak, sekalipun memang ingin membantu Dira, Adrel tidak ingin bersentuhan secara fisik dengan wanita itu.
Satu prinsip yang dipegang oleh Adrel sejak awal dia menikah. Jika Adrel tidak ingin Mesya menyentuh pria lain, Adrel juga akan melakukan hal yang sama. Sekalipun Mesya tidak sedang berada di depannya dan melihat apa yang dia lakukan, Adrel akan selalu bersikap jujur. Hal itu juga berlaku pada Dira. Sekalipun Dira adalah kakak iparnya, ada batasan khusus yang Adrel buat untuk dirinya dan juga Dira. Mereka bukan lagi teman dekat yang bisa tertawa dan bercanda seperti dulu.
Setelah menikah Adrel memang masih tetap berinteraksi baik dengan Dira, tapi perlahan Adrel mulai membatasi dirinya sendiri.
“Ada apa, Dir?” Adrel mendekatkan dirinya juga kepada Dira. Adrel harap Dira masih ada di sini. Adrel harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Adrel tidak akan bisa membantu Dira jika dia tidak tahu apa yang terjadi.
“Mereka.. mereka mau membawaku”
Dengan mata tajam yang terlihat ketakutan, Dira mengangkat tangannya untuk menunjuk ke beberapa tempat yang ada di kamarnya.
Tunggu dulu, apa yang wanita itu lakukan?
“Dir, kamu bicara apa?” Tanya Adrel sambil menatap Dira dengan pandangan panik. Tidak, tidak, Adrel jelas tahu apa saja yang ditunjuk oleh Dira.
Makhluk tak kasat mata..
Mereka ada di sini..
“Tolong aku, Adrel..” Lagi-lagi Dira berbicara dengan suara lirik seakan leher wanita itu tercekik. Tidak, apa yang sudah dilakukan oleh Dira sehingga dia membawa banyak hal ke rumah Adrel?
Sejak awal seharusnya Adrel memang tidak ikut campur dengan kehidupan Dira. Wanita ini banyak melakukan hal yang tidak benar.
Awalnya Adrel mengira jika Dira sudah tidak lagi melakukan semua itu, tapi melihat betapa kacaunya kamar wanita itu, Adrel tahu, dia sangat tahu jika selama ini Dira tidak pernah berhenti. Wanita itu terus menerus meminta kekuatan lain untuk membantunya.
Sebuah energi nyata yang kadang tidak bisa dipercaya keberadaannya oleh manusia. Sayang sekali, sekalipun banyak yang tidak percaya, kekuatan itu tetap ada dari dulu, sekarang, bahkan nanti.
Saat ini, melihat Dira yang sedang terjebak dalam masalah membuat Adrel sadar, wanita itu telah mengambil keputusan yang salah.
Adrel juga salah karena telah membiarkan Dira datang ke sini.
Ini baru hari pertama, tapi lihat apa yang sudah dilakukan oleh Dira.
Tidak, Adrel hanya segera membereskan semua ini sebelum keadaan Dira semakin parah.
“Apa yang kamu bawa ke sini?” Adrel kembali bertanya. Sungguh, sejak awal melihat Dira melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, Adrel memang sudah merasakan ada sesuatu yang gelap yang tiba-tiba menutupi pandangannya. Tapi hanya sampai di situ saja, tidak ada hal aneh lainnya yang membuat Adrel harus merasa curiga. Sayangnya, semua itu salah. Dira membawa kegelapan yang jauh lebih pekat dari yang Adrel bayangkan. Wanita ini, entah kesalahan apa yang membuatnya jadi terjebak dalam masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan cara sembarangan.
Tidak, ini bukan lagi pertempuran antara tubuh manusia. Ini adalah pertempuran untuk menguasa jiwa manusia.