Mesya melototkan matanya ketika Dira tiba-tiba muncul di ujung lorong yang menghubungkan ruang tamu dan juga dapur. Wanita itu tampak berdiri dengan kaku sambil menatap Mesya dengan matanya yang terlihat sayu. Ada lingkar hitam yang terlihat jauh lebih besar dari yang kemarin Mesya lihat di bawah mata wanita itu.
Mesya langsung berdiri, tidak bisa menahan rasa terkejutnya ketika meliat Dira berjalan lalu mendekati ibu mertuanya, mengulurkan tangannya lalu mencium tangan ibu mertuanya. Bertindak sangat sopan dan ramah seakan mereka sudah lama saling kenal.
Tampaknya bukan hanya Mesya saja yang terkejut, tapi Mama juga sama. Bedanya wanita itu mengendalikan dirinya sehingga dia hanya tersenyum sambil menyambut Dira dengan sangat baik.
“Mbak Dira baru bangun?” Mesya masih berdiri, bertanya pada Dira yang sudah duduk dengan anteng di depannya.
Tangan Mesya ditarik dengan pelan oleh Mama, wanita itu meminta agar Mesya bisa segera duduk agar tidak terlihat jika dia terlalu kaget dengan kehadiran Dira yang tiba-tiba datang.
“Enggak. Aku sudah bangun dari tapi pagi. Aku cuma nggak keluar dari kamar karena merasa kelelahan. Pas aku keluar, aku denger kamu lagi bicara, nggak tahunya ada mertua kamu di sini” Dira tampak tersenyum. Sangat berbeda dengan Dira yang tadi malam Mesya temui saat wanita itu mengantarkan handuk ke kamar Dira.
Kemarin malam terlihat sekali jika Dira seperti orang ketakutan yang tidak fokus. Wanita itu terus menyapukan pandangannya ke sekeliling ruangan seakan dia merasa tidak nyaman. Lalu, saat mereka makan malam.. saat itu Dira terlihat lebih berbeda lagi. Dira menghabiskan makanannya dengan sangat cepat. Meninggalkan meja makan padahal Mesya dan Adrel belum selesai makan. Dira juga makan dengan sangat tidak rapi. Bahkan ada bekas cakaran di piring Dira.
Sungguh sesuatu yang sangat tidak masuk akal.
Lalu sekarang Dira kembali lagi seperti Dira yang kemarin baru datang dari bandara. Wanita itu tampak sangat santai. Bisa berbicara dengan lancar juga.
Mesya takut jika Dira memang terkena gangguan mental. Semacam kepribadian ganda. Entahlah, Mesya selalu saja memikirkan sesuatu yang buruk.
Mau bagaimana lagi? Keadaan yang ada di sekitarnya memang sedang sangat buruk.
“Kamu pasti sangat kelelahan karena baru datang dari jauh. Mesya, kamu sudah siapin sarapan buat kakak kamu?” Mama tersenyum lalu menatap Mesya. Memberikan kode agar Mesya segera menyiapkan sarapan untuk Dira.
Mesya mengernyitkan dahinya sekilas. Apa yang Mama katakan? Ini sudah terlalu siang untuk menikmati sarapan. Bukankah lebih baik makan beberapa jam lagi untuk sekalian menunggu makan siang?
“Enggak perlu. Aku nggak biasa sarapan”
Mesya tidak tahu jika kakaknya memiliki kebiasaan baru. Entahlah, dulu saat mereka masih remaja dan masih tinggal di desa, Dira adalah orang pertama yang akan menangis jika sarapannya tidak segera tersedia di meja. Padahal wanita itu tidak akan pergi kemana-mana sehingga harus terburu-buru, tapi setiap membuka mata di pagi hari, hal yang pertama Dira cari adalah sarapan.
Sejak kapan kebiasaan kakaknya itu berubah?
“Oh, tidak biasa sarapan. Kalau begitu, Mesya, ambilkan s**u hangat saja. Minimal harus minum s**u biar badan nggak lemas” Mama kembali menatap Mesya seakan meminta agar Mesya bisa segera bangkit berdiri untuk membuatkan s**u hangat.
Mesya tidak kunjung berdiri, wanita itu menatap aneh ke arah Mama. Dari cara bicaranya saja Mama jelas terdengar sangat berbeda. Apa yang sebenarnya terjadi? Mesya jadi semakin bingung.
“Mesya, ambilkan kakakmu s**u hangat!” Mesya bangkit berdiri ketika mendengar suara Mama yang tiba-tiba meninggi.
Apa yang terjadi?
“Tidak! Tidak perlu! Aku bisa buat sendiri. Aku juga nggak suka minum s**u”
Bohong! Dira jelas sangat berbohong!
Dira sangat suka minum s**u. Wanita itu bahkan selalu meletakkan satu gelas besar s**u hangat di dekat tempat tidurnya agar nanti kalau dia terbangun di tengah malam dia bisa segera minum s**u lalu kembali tidur lagi.
Sejak kapan kebiasaan itu berubah?
Apa dalam tiga tahun ini ada banyak sekali perubahan yang Dira lakukan?
“Apa? Tidak suka minum s**u? Bagaimana kalau teh hangat? Atau coklat panas?”
Lagi-lagi Mama melirik ke arah Mesya.
Sudah lima tahun Mesya mengenal mertuanya dengan sangat dekat. Mesya tahu ada sesuatu yang sedang ingin ditunjukkan oleh mertuannya, sayangnya Mesya sama sekali tidak tahu apa yang sedang dimaksud oleh Mama. Wanita itu terus menawarkan makanan dan minuman pada Dira, sementara itu dia melirik Mesya seakan ingin menunjukkan sesuatu.
Sungguh, Mesya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Tidak perlu repot begitu, nanti kalau aku mau aku akan buat sendiri” Dira tersenyum sambil menatap Mama.
Mesya masih terdiam, dia tidak tahu harus berbuat apa karena sungguh, ini semua membuatnya bingung. Apa yang sebenarnya Mama lakukan?
“Oh, tentu saja tidak repot. Kamu tamu di rumah ini, Mesya tentu harus memperlakukan kakaknya dengan sangat baik..” Mama tersenyum sambil mengambil sebuah kue yang Mesya sajikan di atas meja.
Dengan tangan kanannya Mama mengulurkan piring berisi kue itu, menawarkan pada Dira agar wanita itu juga ikut mencicipi. Sayangnya, lagi-lagi Dira menolak.
Memangnya Dira tidak lapar?
Tadi malam wanita itu makan sangat sedikit karena sisa makannya berceceran di dekat piringnya. Bahkan sampai ada yang jatuh ke bawah meja. Mesya sendiri masih tidak tahu apa yang membuat Dira makan seperti itu. untuk ukuran orang normal, makan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak berceceran seperti yang Dira lakukan tadi malam. Sayangnya, entah apa yang ada dipikiran Dira sehingga wanita itu makan dengan cara yang sangat tidak normal.
“Tidak, aku akan makan kalau aku sudah lapar” Setelah itu Dira bangkit berdiri dan berjalan menjauh begitu saja.
Mesya mengernyitkan dahinya lagi. Apa yang wanita itu lakukan? Kenapa dia berlaku sangat tidak sopan pada mertua Mesya?
Astaga, karena sudah tidak tahan lagi, akhirnya Mesya bangkit berdiri. Berbicara dengan suara lantang yang jelas akan didengar oleh Dira.
“Mbak Dira bisa bersikap sopan sama keluargaku? Kenapa meninggalkan mertuaku yang lagi bicara sama Mbak?” Mesya bertanya dengan suara lantang.
Beberapa detik kemudian Mesya merasa jika tangannya digenggam oleh Mama, wanita itu menggelengkan kepalanya begitu Mesya menatapnya dengan pandangan bertanya.
Sayangnya, sekalipun Dira sudah menghentikan langkahnya, wanita itu sama sekali tidak menolehkan kepalanya. Apa yang dilakukan oleh kakaknya itu? Dia jelas mendengar apa yang Mesya katakan, tapi kenapa sama sekali tidak menanggapi?
“Aku nggak suka bicara dengan orang asing. Kamu tahu itu, kan?” Dira menjawab tanpa menolehkan kepalanya.
Rasanya Mesya ingin menarik kakaknya itu untuk menghadap dan menatap matanya. Apa yang dia lakukan? Menjawab pertanyaan orang sambil memunggungi orang yang bertanya? Apa dia benar-benar kehilangan pikirannya?
Mesya baru akan melangkahkan kakinya untuk berjalan menuju ke arah Dira, tapi tangannya di genggam oleh Mama. Wanita itu kembali menggelengkan kepalanya singkat. Dengan pandangan yang terlampau serius, Mama meminta Mesya untuk kembali duduk.
Tidak, setelah Mesya mengetuk kamar Dira selama 10 menit tanpa berhenti sambil terus memanggil nama wanita itu, tapi di dalam kamar Dira sama sekali tidak menyahut, kekesalan Mesya semakin memuncak setelah tahu wanita itu bertindak sangat tidak sopan pada ibu mertua Mesya.
Sekalipun wanita yang duduk di dekatnya ini hanyalah ibu mertua, Mesya sudah mengaggapnya sebagai ibunya sendiri. Semenjak ibu kandungnya meninggal, hanya Mama wanita yang terus memperlakukan Mesya seperti putrinya sendiri.
Seorang anak tidak akan pernah membiarkan ibunya diperlakukan dengan tidak baik. Bahkan, jika bisa, seorang anak ingin semua orang menghormati ibunya.
“Dia bukan orang asing.. dia mertuaku..” Mesya kembali berbicara.
Kali ini Mama ikut berdiri, menarik Mesya untuk kembali duduk. Entahlah, Mesya benar-benar tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Mama. Mungkin wanita itu tidak ingin Mesya kembali bertengkar dengan Dira.
Tapi jika memang pertengkaran adalah cara untuk menyelesaikan masalah ini, maka Mesya akan melakukannya dengan senang hati. Bagi Mesya, ada beberapa aturan yang tidak boleh di langgar oleh siapapun yang berhubungan dengannya. Menghormati orang yang lebih tua adalah kewajiban setiap anak muda. Dira termasuk ke dalamnya. Wanita itu seharusnya bersikap lebih sopan kepada ibu mertua Mesya. Apalagi saat ini Dira sedang tinggal di rumah Mesya, secara otomatis, wanita itu harusnya mengikuti peraturan Mesya.
Sejak awal Dira tidak menyahuti panggilan Mesya dan muncul seperti orang tanpa dosa, Mesya memang sudah merasa kesal. Apalagi ketika wanita itu pergi begitu saja ketika Mama sepertinya masih ingin berbicang dengan Dira. Jika wanita itu memang tidak ingin berbicara dengan ibu mertua Mesya, seharusnya sejak awal Dira tidak perlu datang ke ruang tamu. Wanita itu bisa tetap berada di kamarnya saja. Jika sudah seperti ini, Mesya merasa semakin malu karena telah membawa Dira ke rumahnya. Wanita tidak mencerminkan sifat seorang wanita dewasa. Jika Dira saja tidak mau menghormati orang, bagaimana mungkin ada orang yang mau menghormati wanita itu.
Mesya benar-benar merasa marah dengan penghinaan Dira. Wanita itu bisa ada di sini karena bantuan banyak orang. Jika bukan karena Adrel dan Mama, mungkin Mesya tidak akan mengizinkan Dira datang ke rumahnya.
Tapi perilaku Dira selama dua hari ini benar-benar membuat Mesya merasa tidak tenang. Wanita itu gelisah memikirkan keputusannya untuk membiarkan Dira tinggal di rumah ini.
“Tapi dia orang asing untukku” Dira sepertinya belum mau diam. Wanita itu memang mencari masalah.
Baiklah, jika memang hubungan mereka sudah tidak bisa diselamatkan lagi, Mesya merasa sudah rela. Kakaknya ini memang bukan orang yang bisa diberi kesempatan ke dua.
Dira melakukan hal yang sangat tidak Mesya sukai. Lagi-lagi sama seperti dulu, Dira tidak bisa menghormati orang lain. Wanita itu selalu bersikap egois seakan dia tidak membutuhkan orang lain.
Baiklah, ini bukan saat yang tepat untuk mengungkit masa lalu, tapi apa yang dilakukan oleh Dira memang sangat tidak patut.
Wanita itu harus sedikit diberi peringatan. Sebenarnya sudah sejak kemarin Mesya ingin mengatakan aturan apa saja yang harus ditaati oleh Dira selama wanita itu tinggal di rumah ini.
“Ini rumahku, kalau kamu lupa, Mbak Dira. Tolong, jangan melakukan sesuatu yang bisa membuat aku marah.” Mesya masih berusaha mengatur emosinya. Mama yang ada di sebelah Mesya juga berusaha untuk menenangkan Mesya.
Tidak, ini tentu bukan hal yang patut untuk dibiarkan begitu saja.
Mesya sempat merasa ragu untuk menerima Dira datang ke rumahnya karena dia takut sama seperti dulu, Dira akan membawa masalah. Tapi Mama datang dan membuat Mesya kembali yakin. Sebenarnya ini juga yang ditakuti oleh Mesya sejak kemarin, dia takut kalau mulutnya tidak bisa dikontrol. Emosi yang seperti ini memang sangat sulit untuk diredakan. Sebenarnya, bukan Mesya yang membuat masalah lebih dulu. Andai Dira bersikap baik, Mesya juga pasti akan melakukan hal yang sama.
Tapi kakaknya tidak tahu bagaimana caranya bersikap baik. Mesya benar-benar malu pada mertuanya.
“Aku memang tidak suka berbicara dengan orang asing. Terlebih, aku juga tidak suka dengan mertuamu!” Dira berbicara sambil melangkahkan kakinya untuk meninggalkan Mesya yang masih sangat terkejut dengan kalimat yang dikatakan oleh Dira.
Kakaknya itu.. dia benar-benar tidak tahu malu!
Apa yang sudah dia katakan?
Bagaimana mungkin dia masih berani membuat masalah dengan Mesya padahal sudah sangat jelas, wanita itu sedang tinggal di rumah Mesya.
Dira, entah apa yang ada di pikiran wanita itu. tapi saat ini Mesya benar-benar sangat marah. Rasanya Mesya ingin menarik tangan kakaknya dan menyelesaikan masalah mereka saat ini juga meskipun harus dengan bertengkar.
“Mesya? Apa yang kamu pikirkan?” Mama yang ada di sebelahnya berbicara dengan suara yang sangat pelan. Mesya sampai harus menajamkan telinganya.
Sekarang apa lagi yang ingin dikatakan oleh Mama?
“Maksud Mama bagaimana?” Tanya Mesya.
Mama menempelkan jarinya di bibir, membuat gerakan seperti meminta Mesya untuk tidak bersuara.
Apa lagi ini?
“Kamu sudah melihat perbedaannya? Orang normal tidak akan mungkin melakukan seperti itu”
Mesya merasa jika detak jantungnya berhenti sesaat. Mama mengatakan kalimat yang sama sekali tidak terlintas di pikiran Mesya.
Astaga, apa yang sebenarnya terjadi?
Jujur saja Mesya memang masih kesal dengan sikap kakaknya yang sangat tidak sopan. Sebagai orang yang lebih muda, seharusnya Dira tidak bersikap seperti itu pada mertua Mesya. Sungguh, Dira seperti seorang wanita yang dikenal oleh Mesya bertahun-tahun yang lalu. Wanita itu sama persis dengan Dira yang dulu.
“Maksud Mama bagaimana?” Tanya Mesya sambil sesekali melirik ke arah lorong tempat Dira menghilang. Wanita itu memang sudah tidak ada di sana, mungkin dia sudah kembali ke kamarnya yang ada di lantai dua.
Apapun yang dilakukan oleh Dira kali ini, Mesya tidak akan melepaskan wanita itu begitu saja. Jika memang Dira masih ingin tinggal di rumah Mesya, wanita itu harus mengikuti aturan yang Mesya buat. Jika tidak, Mesya juga tidak akan segan meminta Dira segera meninggalkan rumahnya.
Tidak masalah jika memang mereka harus kembali putus hubungan. Kadang, dari pada mempertahankan hubungan yang sama sekali tidak berguna, memutuskan suatu hubungan adalah cara yang paling tepat. Kita tidak akan bisa bertahan dengan orang yang sudah tidak sepaham dengan kita.
Di mata Mesya, Dira sudah seperti saudara yang cacat karena masalah mereka di masa lalu. Tidak akan ada yang pernah benar-benar sembuh dari hal yang melukai hati. Mesya sangat kecewa dengan kelakukan Dira bertahun-tahun yang lalu, sekalipun sudah berusaha untuk memaafkan, Mesya tetap tidak akan melupakannya begitu saja. Selalu teringat dengan jelas penghinaan yang Dira lakukan di hari kematian orang tuanya.
Sebagai seorang anak, perbuatan Dira saat itu benar-benar tidak baik.
Lalu sekarang, entah yang keberapa kali Mesya merasa sangat sebal dengan kakaknya itu.
“Ada yang salah dengan kakakmu. Dia mungkin harus segera di bawa ke orang yang lebih ahli, Mesya. Mama punya kenalan psikolog. Kamu mau membawa Dira ke sana?”
Mesya mengernyitkan dahinya. Dira? Psikolog?
Apa Mama melihat keanehan Dira padahal menurut Mesya, tidak ada satupun kelakuan Dira yang aneh. Wanita itu hanya sedikit menyebalkan saja dengan sikapnya yang kurang sopan dengan mertuanya.
Untuk sejenak Mesya hanya diam saja, dia tidak ingin berbicara karena menurutnya Mama masih memiliki hal yang ingin dia sampaikan.
“Matanya Mesya, coba kamu lihat matanya. Dia tidak terlihat seperti Dira. Mama memang tidak mengenalnya Mesya, tapi Mama jelas tahu bagaimana tatapan orang normal yang sebenarnya”
Jadi Mama juga berpikir jika Dira butuk dibawa ke psikolog atai psikiater?
Mesya memang sudah memikirkan hal yang sama, tapi tadi Adrel meyakinkannya jika Dira tidak membutuhkan hal medis. Wanita itu lebih membutuhkan orang yang bisa membuatnya merasa dicintai. Agar dia tidak lagi merasa tertekan dengan keadaan yang ada.
Sayangnya, Mesya tidak sependapat dengan Adrel. Pria itu seperti mengambil keputusan tanpa mau mendengarkan apa yang Mesya pikirkan. Tidak biasanya Adrel berbuat demikian. Biasanya, keputusan sekecil apapun hanya akan Adrel ambil jika dia sudah mendengarkan dari sisi pikiran Mesya. Adrel tidak pernah seperti ini.
Tapi Mesya juga tentu tidak bisa langsung mencurigai suaminya begitu saja. Sama seperti yang Mama katakan tadi, Adrel jelas akan melakukan yang terbaik. Tidak, tidak mungkin pria itu melakukan hal yang buruk pada Mesya. Keputusan apapun itu, Adrel akan melakukan yang terbaik. Ya, Mesya percaya akan hal itu. Tapi, Adrel juga manusia biasa, pria itu juga bisa salah dalam mengambil keputusan.
Baiklah, agar Adrel tidak salah, Mesya akan mengingatkan pria itu.
Adrel harus tahu bagaimana pemikiran Mesya mengenai keadaan Dira yang benar-benar tidak seperti orang normal. Mungkin, dari pada membawa Dira ke desa, wanita itu akan lebih baik jika dibawa ke psikolog. Atau kalau memang Dira membutuhkan obat agar dia bisa lebih tenang, mereka bisa pergi ke psikolog.
“Apa yang harus aku lakuin, Ma?” Mesya kembali bertanya. Untuk saat ini, Mama memang orang yang lebih mengerti mengenai penanganan medis.
Dibanding dengan Mesya, mertuanya itu jelas labih tahu apa yang sebaiknya Mesya lakukan untuk membuat kakaknya menjadi kembali normal lagi.
Ada banyak hal yang Dira lakukan sehingga membuat Mesya mersa gelisah. Wanita itu terus saja melakukan hal yang tidak masuk akal. Mesya sendiri masih bingung memikirkan alasan Dira mematikan lampu dan membuat cahaya lilin di atas lantai kamarnya. Lalu juga kelakuan Dira saat mereka makan malam. Itu adalah yang paling tidak masuk akal. Jadi, sebenarnya apa yang terjadi pada kakaknya?
“Mama juga nggak tahu, Sya. Kakakmu mungkin sangat tertekan sehingga kejiwaannya terganggu”
Mesya menghembuskan napasnya dengan gusar.
Kehilangan orang yang sudah sangat dicintai sejak lama memang bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Tapi, jika memang kenyataan mengatakan mereka harus saling berpisah, mereka mau apa lagi? Apa yang bisa dilakukan oleh Dira?
Dulu saja Dira sampai seperti orang gila ketika sedang mengejar Damar. Lalu sekarang, dia harus kehilangan suaminya yang sudah bertahun-tahun hidup bersamanya. Jika dihitung, sepertinya Dira sudah menikah dengan Damar selama lebih dari 10 tahun. Dulu mereka menikah di usia yang masih sangat belia. Mesya saja tidak tahu kenapa kakaknya sangat ingin menikah saat itu juga. Dulu banyak warga desa yang mengatakan jika Dira ingin segera menikah dengan Damar karena dia sudah terlanjur hamil duluan. Ya, mengingat jika sepak terjang Damar yang bukan pemuda baik-baik, beberapa warga desa jelas langsung curiga saat mengetahui rencana pernikahan Dira yang sangat mendadak.
Ya, jangankan warga desa, orang tua Mesya saja juga curiga kalau putri mereka telah hamil di luar nikah. Sayangnya dugaan itu tidak terbukti. Bertahun-tahun berlalupun Dira juga belum dikaruniai anak.
“Adrel ingin bawa Mbak Dira ke desa biar dia bisa kembali berhubungan baik dengan keluarganya. Aku nggak tahu itu tindakan yang beber atau salah, Ma” Mesya akhirnya mengatakan semua kegelisahannya. Sejak tadi Mama memang sudah mengatakan kalau membawa Dira ke desa tentu bukan pilihan yang tepat mengingat jika Dira sedang mengalami banyak masalah. Tidak seharusnya wanita itu diajak ke desa yang kemungkinan akan menambah bebannya. Sebagai orang yang pernah membuat masalah, Dira pasti juga sangat khawatir karena bertemu dengan keluarga besar yang ada di desa.
Saat kejadian hari itu, yang selalu Mesya sayangkan adalah kelakuan Dira yang benar-benar menunjukkan kalau dia hanya seorang anak angkat.
Sekalipun ibu dan bapak mengerti status Dira, mereka tidak pernah memperlakukan Dira dengan berbeda. Mereka menyayangi Dira dengan amat sangat, menganggap Dira sebagai anak sulung mereka sekalipun sebenarnya tidak pernah ada surat resmi mengenai pengadopsian Dira. Ya, surat itulah yang akhirnya membuat Mesya menang ketika mereka sedang bertengkar tiga tahun lalu.
Sebenarnya Mesya juga tidak pernah menginginkan untuk menguasai semua harta orang tuanya. Tidak.. tidak pernah Mesya memikirkan semua itu.
Semenjak menikah dengan Adrel, kehidupan Mesya berubah menjadi sangat baik. Adrel membuat Mesya menjadi seorang wanita yang sangat beruntung karena telah menjadi istri pria itu. Sejak saat itu, Mesya sama sekali tidak pernah memikirkan harta warisannya yang ada di desa. Bagi Mesya, semua uang yang diberikan oleh Adrel setiap bulan, semua itu sudah lebih dari cukup untuk kehidupan mereka berdua. Tapi, melihat bagaimana kelakuan Dira saat itu, Mesya merasa jika harta orang tuanya tidak boleh jatuh ke tangan orang yang salah.
Akhirnya Mesya yang menguasa semua itu meskipun pada hari yang sama juga Mesya menyerahkan sawahnya untuk menjadi aset salah satu panti asuhan yang cukup besar yang ada di desanya. Mesya juga tidak tahu kenapa ada sebuah panti asuhan di desanya yang terpencil. Dulu panti asuhan itu sedikit kurang terawat karena kurangnya biasa operasional. Tapi, semenjak Mesya menyerahkan salah satu bagian sawah terbesar yang dia miliki, sekarang panti asuhan itu sudah menjadi lebih baik. Mesya selalu bahagia karena setelah meninggalpun orang tuanya masih bisa membantu orang lain.