Bab 17

2588 Kata
Mesya tersenyum ketika melihat Adrel mulai melaju dengan mobil hitamnya. Setelah memastikan kalau pintu pagar rumah terkunci dengan benar, Mesya kembali masuk ke dalam rumahnya. Langkah kaki Mesya menuju ke kamar Dira karena sejak pagi, Dira tidak menampakkan dirinya sama sekali. Sebenarnya Mesya sudah tahu mengenai kebiasaan Dira yang suka bangun siang sejak dia masih gadis. Tapi, karena jam dinding sudah menunjukkan pukul 7:30, Mesya akhirnya memutuskan untuk melihat keadaan Dira. Mesya takut jika Dira mengalami kesulitan atau apapun itu. Jujur saja, sebelum Adrel berangkat ke kantor menggunakan mobilnya, pria itu sempat mewanti-wanti Mesya untuk tidak mengganggu Dira. Sejujurnya Mesya juga merasa sedikit aneh. Lagi pula, untuk apa Mesya mengganggu Dira? Tapi, Adrel kembali meyakinkan Mesya. Katanya, Dira mungkin sedang butuh waktu sendiri dan sebaiknya Mesya tidak perlu mengganggunya dulu. Mesya tentu tidak akan mengganggu Dira, tapi jika wanita itu belum keluar kamar padahal hari sudah hampir siang, tentu saja Mesya merasa khawatir. Tangan Mesya terulur untuk mengetuk pintu kamar Dira. Sejujurnya, setelah apa yang kemarin malam Dira lakukan, sekarang Mesya juga merasa sedikit ragu untuk membangunkan wanita itu. Tidak, tidak akan ada masalah. Dira adalah kakaknya. Memangnya kenapa Mesya harus merasa takut dengan kakaknya sendiri? Dira memang sedikit aneh, tapi itu kemarin. Sekarang Dira pasti sudah baik-baik saja.. “Mbak Dira?” Panggil Mesya dengan suara pelan. Dia tidak ingin mengagetkan Dira dengan suaranya, tapi Mesya juga ingin segera membangunkan Dira untuk sarapan. “Mbak Dira?” Sambil terus mengetuk pintu kamar dengan suara pelan, Mesya kembali memanggil nama Dira. Bermenit-menit kemudian Mesya masih tetap berdiri di tempat yang sama. Memanggil dan mengetuk pintu Dira dengan suara nyaring karena sejak tadi tidak ada suara Dira yang menyahuti panggilannya. “Mbak Dira?!” Tetap tidak ada jawaban. Untuk sesaat Mesya memang merasa gelisah. Dia takut kalau benar seperti dugaannya, ada sesuatu yang terjadi dengan Dira di dalam kamarnya. Mesya berlari menuju kamarnya, mencari letak ponselnya berada dan segera menghubungi Adrel begitu dia menemukan benda pipih itu. “Iya, Sya?” “Adrel, Mbak Dira nggak mau bukan pintunya. Aku sudah ketuk sama panggil dia, tapi dia nggak jawab” Mesya sudah sangat khawatir karena jujur saja, hampir 10 menit Mesya terus berdiri dan mengetuk pintu kamar Dira sekalipun tidak ada jawaban sama sekali. Saat ini mungkin juga Adrel belum sampai di kantor, Mesya harap Adrel mau menepikan mobilnya sejenak untuk mendengarkan Mesya yang sedang sangat khawatir. Andai saja kamar itu memiliki kunci ganda. Sayangnya, sejak beberapa bulan yang lalu, karena tidak pernah ada yang menempati baik Mesya maupun Adrel jadi lupa dimana mereka menyimpan kunci cadangan untuk kamar tamu. “Oh, kamu nggak usah khawatir. Tadi sebelum kamu bangun, dia emang sudah bilang ke aku kalau dia mau ngunci diri di kamar. Jangan kamu ganggu, ya Sya?” Mesya mengernyitkan dahinya. Apa yang dikatakan oleh Adrel? “Adrel, kamu bohong?” Tanya Mesya secara langsung. Entah kenapa penjelasan yang diberikan oleh Adrel terasa tidak masuk akal. Jika memang Dira sedang ingin diam di dalam kamar, kenapa wanita itu tidak mengatakan langsung pada Mesya? Mesya sudah menunggu selama beberapa menit dan terus memanggil nama Dira, tapi wanita itu sama sekali tidak merespon. “Sya, buat apa aku bohong sama kamu?” Mesya masih tidak bisa menerima penjelasan Adrel karena juju saja, saat hatinya terasa sangat tidak enak. Tidak ada yang bisa meragukan firasat seorang wanita. Semua orang tahu akan hal itu. Apalagi keadaan saat ini sangat tidak mendukung. Mesya sudah terlanjur tahu jika ada sesuatu yang aneh dengan Dira. Oleh sebab itu Mesya merasa khawatir. Teringat dengan jelas jika dulu, saat Dira dan Mesya masih tinggal di desa, Dira pernah mengancam tidak akan makan selama satu minggu hanya karena bapak melarang wanita itu pergi nonton bioskop di kota lain bersama dengan beberapa teman sekolahnya. Mesya juga mengingat dengan jelas jika Dira pernah mengancam akan melakukan kawin lari jika bapak dan ibu tidak merestui pernikahannya dengan Damar. Wanita itu adalah manusia yang suka melakukan sesuatu tanpa memikirkan dampak yang bisa saja dia dapatkan setelahnya. Apalagi saat ini, Dira sedang merasa sangat tertekan karena pada akhirnya dia harus kehilangan Damar. “Aku nggak tahu. Tapi aku ketakutan sekarang..” Mesya merendahkan suaranya yang semula sedikit meninggi ketiak menyadari ada kejanggalan dalam penjelasan suaminya. Sungguh, Mesya tidak suka ada rahasia di antara mereka. “Sya, Aku bakal telepon Mama supaya dia bisa temenin kamu. Kamu serang mending duduk di kamar dan kunci pintunya, oke?” Mesya semakin kebingungan karena terdengar dengan jelas dari suaranya jika Adrel sedang merasa sangat cemas. Apa.. apa yang membuat pria itu cemas? Jika memang benar apa yang Adrel katakan mengenai Dira yang ingin berada di dalam kamarnya seharian ini, seharunya bukan Adrel yang merasa cemas seperti itu. Lagi pula, untuk apa juga Adrel harus memanggil Mama datang ke rumah ini jika memang tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan. Mesya tahu ada sesuatu yang salah. Dia sangat tahu, tapi, berdebat dengan Adrel di telepon juga jelas bukan pilihan yang tepat. Tidak akan ada penyelesaian dari perdebatan yang tidak beralasan itu. oleh sebab itu, satu-satunya hal yang bisa Mesya lakukan adalah menutup panggilannya. Setelah itu Mesya kembali ke kamar Dira, sekali lagi dia mengetuk kamar Dira. Sama, tetap tidak ada jawaban. Jika memang Dira masih tidur, dia pasti akan tetap mendengar suara panggilan Mesya dan akhirnya terbangun untuk menyahut. Tidak masalah jika memang Dira ingin berada di dalam kamar selama satu hari ini, tapi bukankah seharuanya wanita itu menyahuti panggilan Mesya? Sejak lama Mesya berdiri di depan kamarnya, tapi tampaknya tidak ada tanda-tanda jika Dira ingin membuka pintu kamarnya. Wanita itu bahkan tidak mau menjawab panggilan Mesya. Akhirnya, seperti yang Adrel minta padanya, Mesya kembali masuk ke dalam kamarnya. Ada banyak hal yang tiba-tiba bergerak di dalam pikiran Mesya, termasuk Adrel yang bersikap sangat aneh hari ini. Pertama, dibandingkan membawa Dira ke psikolog atau psikiater yang bisa memeriksa kejiwaan wanita itu, Adrel lebih ingin membawa Dira pulang ke desa dengan alasan yang menurut Mesya masih kurang masuk akal. Memangnya apa yang akan terjadi setelah Dira bertemu dengan keluarganya di desa? Wanita itu sama sekali tidak pernah menikmati momen pertemuan dengan keluarga kandungnya. Apalagi di keadaan seperti ini, mana mungkin Dira mau pulang ke desa? Lalu, mengenai Dira yang tiba-tiba mengunci dirinya di kamar tanpa mau mengatakan apapun pada Mesya. Semua ini membuat Mesya merasa sangat bingung karena Adrel seperti sedang mengarang alasan mengenai Dira yang tidak keluar dari kamar. Mesya menghela napas pelan. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Semuanya tampak sangat tidak jelas.. *** “Mbak Dira nggak mau keluar kamar sejak pagi. Aku sudah berusaha panggil, tapi dia nggak jawab sama sekali” Mesya menjelaskan apa yang menjadi permasalahannya saat ini. Ibu mertuanya datang sejak 15 menit yang lalu. Pada akhirnya, dibanding menyimpan rasa gelisahnya seorang diri, Mesya lebih memilih untuk bercerita. Mengatakan apa yang membuat dia merasa sangat tidak tenang. Jujur saja sejak telepon tadi pagi, sampai saat ini Mesya tidak menjawab satupun panggilan Adrel. Mesya membiarkan ponselnya berdering lalu mematikannya begitu saja. Entah kenapa hati Mesya mengatakan jika Adrel sedang menyembunyikan sesuatu. Pasti ada yang salah di sini. Sayangnya, Mesya tidak bisa menemukan apapun. “Sudah, biarkan saja dia di dalam kamar. Mungkin benar kata Adrel, dia sedang butuh waktu sendiri” Mesya menghela napas. Sekalipun Mama sudah seperti ibunya sendiri, sepertinya untuk masalah yang satu ini Mesya tidak bisa menceritakannya. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Mesya. Mungkin Mama sudah mendengar alasan dari Adrel. Tapi wanita itu belum tahu apa saja yang sebenarnya terjadi. Sekarang, Mesya jadi semakin cemas. Jam dinding menunjukkan pukul 10 pagi. Dira tidak keluar kamar ataupun menanggapi panggilan Dira. Jika saja Adrel ada di rumah, Mesya pasti sudah memaksa pria itu untuk menghancurkan daun pintu kamar tamu hanya agar Mesya tahu keadaan Dira yang sebenarnya. Tidak ada suara apapun yang keluar dari kamar Dira. Itu membuat Mesya semakin merasa cemas. “Dia baru datang ke sini kemarin. Mungkin dia lagi tidur karena lelah, Sya” Mesya masih tidak bisa menghilangkan kerutan yang ada di dahinya. Mesya masih bertanya-tanya mengenai keadaan Dira yang sebenarnya. Mesya takut jika Dira akan melakukan hal yang berbahaya mengingat betapa anehnya wanita itu sejak kemarin malam. Padahal, siang hari ketika Dira baru datang, wanita itu masih bisa berbicara dengan normal. “Ma, orang yang lagi tidur bakalan bangun kamau aku ketuk pintu kamarnya kaya begitu. Tapi Mbak Dira bahkan nggak menyahut sama sekali” Mesya kembali menjelaskan apa yang membuat dia merasa sangat gelisah. Apapun itu, sejujurnya Mesya sangat ingin mendobrak pintu kamar Dira untuk mengetahu kondisi kakaknya yang sesungguhnya. “Jadi bagaimana? Kamu mau telepon Adrel saja supaya dia dobrak pintunya?” Tanya Mama. Wanita itu terlihat sangat tenang, tidak seperti Mesya yang rasanya sudah tidak tahan duduk di kursi ruang tamu. Seperti ada sesuatu yang bergerak di hati Mesya, suara hatinya mengatakan jika ini tidak benar. Akan ada hal yang tidak benar terjadi di rumahnya. Sayang sekali, ini hanya firasat yang belum ada bukti secara nyata. Mesya jadi tidak bisa mengatakan isi hatinya pada orang lain. Padahal, rasanya sesak di hati Mesya semakin menjadi-jadi. Jantungnya juga berdebar kuat seakan memperingatkan apa yang akan terjadi. “Kalau masalah dobrak pintu, ada satpam juga yang bisa aku suruh. Tapi, Ma, apa Mama nggak merasa ada sesuatu yang aneh dengan penjelasan Adrel?” Mesya sangat tahu jika saat ini ibu mertuanya sedang melayangkan tatapan penasaran yang seakan menuntut penjelasan dari Mesya. Mesya menghela napas singkat. Dia harus menjelaskan secara hati-hati agar tidak sampai menyinggung perasaan ibu mertuanya. Bagaimanapun juga wanita yang sedang berbincang dengannya adalah ibu suaminya. Mesya tidak bisa mengatakan hal yang mungkin akan menyinggung perasaan ibu mertuanya. “Maksud aku, aku merasa kalau Adrel sedang main rahasia sama aku” Mesya kembali berbicara. Untuk sejenak ruang tamu terasa sangat sunyi. Tidak ada satupun suara yang terdengar. Tapi, beberapa saat setelah itu Mama kembali berbicara, satu kalimat yang membuat Mesya merasa jika ibu mertuanya tidak hanya berpihak pada putranya saja. “Sya, Mama nggak tahu apa yang terjadi antara kamu dan Adrel. Tapi sebagai wanita, Mama tahu kalau firasat kita nggak pernah meleset” Benar apa yang dikatakan oleh Mama. Entah karena alasan apa, firasat wanita sangat jarang meleset. Mesya juga tidak tahu apa yang membuat perasaan hatinya bisa sedemikian tajam, apalagi menyangkut orang yang sangat dicintai. Tapi, hati Mesya memang sudah terasa sangat tidak tenang sejak Adrel mengutarakan kalimatnya mengenai Dira yang perlu diajak pulang ke desa. Untuk apa Dira ke desa? Apa benar wanita itu akan lebih baik setelah berdamai dengan beberapa keluarga yang sampai saat ini masih belum memiliki hubungan baik dengan wanita itu? Mesya sejujurnya juga sudah rindu dengan kampung halamannya. Mesya rindu datang ke makam kedua orang tuanya sambil membawa bunga yang harus untuk menghias pusara itu. Tapi alasan Adrel mengajak Mesya pulang desa sangat tidak masuk akal. Sekalipun memang Adrel ada benarnya juga, Dira sepertinya sudah tiga tahun tidak bertemu dengan orang tua kandungnya. Astaga, Mesya kadang berpikir mengenai keadaan orang lain dan juga keadaannya sendiri. Ada orang yang tidak memiliki kesiapan secara mental dan finansial, tapi mereka diberi banyak sekali anak. Sementara itu ada yang sudah menyiapkan segalanya, tapi Tuhan tidak kunjung memberikan. Semua itu membuat Mesya merasa iri. Di desa, banyak orang yang ekonominya masih tergolong rendah tapi mereka memiliki anak lebih dari 5 orang. Sementara itu, Adrel dan Mesya, mereka sudah menyiapkan segalanya. Finansial mereka juga sudah baik, tapi kenapa tidak segera diberi momongan? Kadang Tuhan memang memberikan ujian pada orang yang memiliki keinginan yang besar. Mesya dan Adrel sangat ingin memiliki keturunan, tapi Tuha masih menunda jawaban atas doa Adrel dan Mesya. “Aku tahu ada yang salah dengan Adrel. Dia terlihat menyembunyikan sesuatu dari aku..” Mesya menghembuskan napasnya lagi. kali ini dia mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya Adrel sembunyikan darinya. Memangnya hal apa sehingga Adrel perlu bermain rahasia dengannya? Sejak awal menikah Adrel dan Mesya sepakat untuk satu aturan yang mereka buat sendiri. Tidak akan ada rahasia. Semua yang dirasakan harus dibagi satu sama lain. Mesya jadi merasa takut jika ini adalah salah satu imbas karena sejak kemarin Mesya menyembunyikan apa yang dia rasakan. “Apa yang kamu curigai?” Tanya Mama. Mama memang adalah ibu kandung Adrel, tapi wanita itu tidak pernah memperlakukan Mesya berbeda hanya karena Mesya adalah menantunya. Tidak, jika dalam satu masalah Adrel yang salah, wanita itu akan menegur Adrel. Begitu pula sebaliknya. Mesya menghela napas sekali lagi. sejak tadi pagi, entah sudah berapa kali wanita itu menghela napasnya.  Mesya merasa takut jika ada hal besar yang ditutupi oleh Adrel.. “Aku nggak tahu, Ma. Adrel kaya merencanakan sesuatu yang nggak aku tahu. Dia bahkan ajak aku dan Mbak Dira untuk pulang ke desa” Mesya bercerita dengan raut wajah yang hampir putus asa. Rasanya sangat tidak menyenangkan ketika mencurigai orang yang sangat dekat dengan hati kita. Seperti ada yang salah, tapi kita tidak tahu di mana letak kesalahannya. “Kenapa kalian mau ke desa dengan keadaan Dira yang seperti ini? Kalau ketemu dengan saudara kamu, bagaimana Dira harus bersikap? Dia sedang banyak masalah, jangan menambah pikirannya lagi” Benar, itu juga yang Mesya pikirkan. Entah kenapa tadi pagi Adrel bisa membuat Mesya yakin jika pulang ke desa adalah solusi yang mungkin dibutuhkan oleh Dira. Adrel mengatakan jika Dira akan merasa lebih baik karena bertemu dengan keluarga yang sangat mencintainya. Apalagi orang tua kandungnya, mereka pasti sangat senang. Tiga tahun lalu Dira pergi dengan membawa rasa malunya. Wanita itu m*****i namanya sendiri. Mendatangkan masalah yang pada akhirnya membuat dia harus tersingkir dari desa karena di sana sudah tidak ada orang yang menerimanya. Memang begitulah orang di desa, mereka tidak mudah marah dan terpancing emosi. Tapi, saat satu orang membuat kesalahan yang fatal, mereka akan membuat saksi sosial untuk orang itu. Apa yang dilakukan Dira tiga tahun lalu diketahui oleh banyak orang. Memang kebanyakan yang ada di ruangan adalah keluarga besar saja, tapi beberapa tetangga jelas ada yang mendengar pertengkaran Mesya dan Dira saat itu. Mereka yang mendengar langsung menyebarkan berita menurut versi mereka masing-masing. Akhirnya, hampir semua warga desa tidak mau menerima Dira di sana. Dira dan Damar terpaksa pergi dari desa karena merasa sudah tidak ada orang yang menghormati mereka. Mesya juga pergi dari desa untuk kembali tinggal dengan suaminya di kota. Dua tahun setelah kejadian itu barulah Mesya kembali untuk melihat keadaan di tempat kelahirannya. Saat pertama kali Mesya datang ke sana, semua kenangan masa kecinya terulang kembali. Mesya seperti kembali pulang ke tempat yang tepat sekalipun saat itu sudah banyak yang berbeda. “Aku nggak tahu, Ma. Adrel yang meminta supaya aku dan Mbak Dira pulang ke desa. Aku masih belum menemukan alasan yang tepat untuk kembali ke sana bersama dengan Mbak Dira” Mesya merasakan jika Mama mengusap puncak kepalanya. Ini adalah sentuhan kecil yang sering Mesya dapatkan dari banyak orang. Sekarang, orang yang paling banyak menyentuhnya dengan cara seperti itu adalah Adrel, pria itu sering mengusap puncak kepala Mesya. Tapi dulu, orang tua Mesya yang sering melakukannya. Sekarang, Mesya jadi merasa sangat rindu pada orang tuanya. “Boleh Mama kasih tahu saran buat kamu?” Mama bertanya sambil terus mengusap kepala Mesya. Seperti seorang anak yang merindukan omelan orang tuanya, Mesya mendongakkan kepalanya lalu mengangguk sekilas. “Boleh, Ma” Mama tersenyum lalu sambil terus mengusap kepala Mesya, wanita itu berucap dengan suara lembut. Sama seperti suara ibunya dulu. Ah, Mesya sangat rindu orang tuanya.. “Adrel itu suamimu. Dia akan selalu melakukan hal yang baik untuk kamu. Kamu jangan khawatir, ikuti saja apa yang dia mau. Tapi kamu juga jangan salah, sekalipun Adrel mau yang terbaik buat kamu, Adrel juga manusia biasa yang kadang salah dalam membuat keputusan. Jadi, kamu tetap boleh ingetin dia. Kamu tahu, Sya, tugas seorang istri itu mengingatkan suaminya. Jadi penyeimbang dalam kehidupan suaminya” Seperti ibunya yang sering memberikan nasehat, Mama kali ini melakukan hal yang sama. Mesya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. Setiap nasehat yang Mesya dapatkan, wanita itu akan selalu mendengarkannya dengan baik lalu menyimpannya dalam hati. Tidak ada nasehat yang salah, kadang kita hanya salah dalam menerapkan nasehat itu dalam kehidupan kita. “Bilang sama Adrel, kamu berhak tahu apa alasan sebenarnya dibalik dia yang ingin mengajak kamu ke desa. Kembali ke tempat itu mungkin bukan samalah untuk kamu, apalagi untuk Adrel, tapi bagaimana dengan Dira?” Mesya kembali menganggukkan kepalanya. Dia tahu apa yang harus dia lakukan saat ini. Sama seperti saat dia dan Adrel bertengkar sebelumnya, masalah yang satu ini juga hanya akan bisa diselesaikan ketika Adrel dan Mesya duduk di tempat yang sama lalu saling berbicara dan mencari jalan keluar bersama. Sudah, hanya itu saja. Kunci dalam setiap hubungan adalah komunikasi. Hanya dengan saling berbicara dengan baik, masalah mereka pasti akan terselesaikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN