Jam delapan kurang lima belas menit, aku sudah duduk manis di deretan bangku depan peserta Orientasi hari ke dua. Nita tidak mau duduk di depan, asyik bermain ponsel dan ngobrol dengan peserta lain. Ya, sudahlah.
Pokoknya, aku ingin ikut acara ini sebaik-baiknya. Tidak seperti hari pertama, buku tulis dan pulpen sudah siap di meja. Pokoknya, tidak boleh lagi ada masalah hari ini. Sebuah pelajaran dari orientasi hari kemarin membuatku sadar. Jika hukuman poin dan tugas yang diberikan, ternyata bisa sangat menguras tenaga.
Selain itu aku masih ingat kemarin dijelaskan bahwa, reward sebagai peserta terbaik adalah mendapat piagam.
Piagam itu, sangat berguna bagi mahasiswa pencari 'gratisan' atau pemburu beasiswa sepertiku. Yah, keadaan ekonomi yang tidak seberapa bagus, memaksaku untuk mendapatkannya. Tidak masalah, aku hanya perlu bersyukur. Toh, di luar sana pasti banyak orang lain yang ingin berada di tempatku. So, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
Beberapa kakak pengurus sudah masuk aula. Suara panggilan untuk warga asrama putra yang mengikuti Orientasi pun menggema. Disusul dengan gemerisik suara tes sound system, yang dilakukan oleh Kak Rezi. Eh, Bang Ejik maksudku.
Walau terlihat parlente dengan jas almamater biru dongker dan jeans, tapi wajah usilnya tetep saja mendominasi. Jika saja boleh memilih takdir, mungkin aku akan senang sekali menjadi adiknya. Orangnya lucu sih.
Sepertinya, dia lagi-lagi menjadi moderator kali ini.
Oalaaahh, pantes kak Ejik rapi! Lha wong ada Mbak Rani ikut jadi pemateri di depan. Dia mengambil tempat duduk di sebelah Kak Dion. Kelihatan banget tuh orang capernya, abis salam, ngeliat ke Kak Rani, habis ngomong, liat kak Rani lagi. Sementara Mbak Rani dengan anggunnya, mengacuhkan Kak Eros.
Kasian, kasian, kasian. Eh, kok jadi Upin Ipin.
"Baiklah, saya bacakan dulu susunan acara hari ini." Tuh, kan, kak Ejik noleh lagi.
Peserta OWB ada di hadapannya, tapi dia malah noleh ke arah Mbak Rani.
"Pukul delapan sampai pukul sepuluh adalah: materi tentang Musyawarah Warga dan simulasi pemilihan pengurus. Selanjutnya, pukul sepuluh lima belas sampai 12.15 adalah acara persiapan kreativitas.
Nanti kalian akan dibagi menjadi beberapa kelompok, dan ada satu kakak senior yang akan mengawasi tiap kelompok. Diberikan waktu dua jam untuk mendiskusikan kreativitas apa yang akan ditampilkan pada acara penutupan malam nanti.
Setelah itu ada jeda untuk Ishoma, istirahat, makan. Kumpul lagi pukul 15:30 untuk persiapan penampilan. Gladi bersih sampai pukul 17.15.
Lalu ishoma Maghrib. Semua peserta wajib sudah siap di tempat acara penutupan OWB maksimal 18.45. Acara penutupan dan pentas seni warga baru dimulai pukul 19.00 sampai selesai."
Setelah membacakan susunan acara tersebut, Kak Ejik lagi-lagi memandangi Mbak Rani.
Plisss deh, bucin kok di hadapan orang banyak.
"Ehem. Baiklah, kita mulai saja materi pertama yang disampaikan oleh Mbak Rani. Kepada beliau kami persilahkan," kata Kak Ejik lewat mik, dengan memasang wajah ceria. Sayang Mbak Rani sama sekali tidak menoleh.
"Terima kasih, kak. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh, teman-teman semua ...."
Mbak Rani menjelaskan tentang MUSGA dan proses pemilihan ketua dan pengurus inti. Materi ini lumayan berat sih. Sebelum pengurus inti dipilih ternyata melalui proses sidang segala. Yaitu membuat semacam AD ART dulu. Atau bisa dibilang kayak Sidang MPR DPR, baru pengangkatan presiden.
Aku hanya menyimak sambil sesekali mencatat. Namun, tak ayal lagi pikiranku memunculkan satu pertanyaan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan materi.
Kemana kak Yongkie? Dari tadi kok nggak kelihatan. Padahal aku sudah susah payah mengumpulkan tanda tangan tugas. Masa iya nggak diperiksa, sia-sia dong.
Ya sudahlah, mari kembali ke laaaaptooool. Eh. mending balik fokus ke materi, maksudnya.
*
" ... oke karena tidak ada pertanyaan lagi, kami akhiri untuk sesi materi kali ini. Terima kasih banyak kepada Mbak Rani," kata Kak Ejik di akhir sesi materi. Tetap saja dia menoleh ke arah Mbak Rani. Kali ini dia beruntung, Mbak Rani balik tersenyum padanya. Mungkin dia kasihan kali, masa dicuekin mulu dari tadi.
Akhirnya, bukuku penuh dengan catatan tentang tatacara menjadi presidium sidang. Materi tentang berapa jumlah ketukan palu untuk penetapan, untuk istirahat, dan sebagainya cukup seru juga. Bisalah nanti kupakai sebagai rujukan kalau jadi anggota DPR MPR pas sidang. Hahaha, ngaco!
"Nah, sekarang kita lanjut ke simulasi MusWar (Musyawarah Warga) yang akan dipandu oleh Kak Dion. Silakan Kak." Suara Kak Ejik terdengar sangat antusias. Pasti gara-gara dapet senyuman dari Mbak Rani tadi.
"Makasih, bang Ejik yang selalu semangat. Oke baiklah. Untuk lebih lancarnya simulasi ini. Saya akan menunjuk beberapa orang sebagai presidium sidang, notulen, juga kandidat Ketua umum, dan ketua masing-masing asrama."
Kak Dion berdiri, lalu menghampiri barisan tempat duduk peserta asrama putra.
"Nino, kamu presidium satu."
Walah, si biang kerok ditunjuk.
"Wahyu presidium dua, dan Nora presidium tiga," lanjut Kak Dion.
Hah, kok aku? Duuuhh, nasib! Males banget sama si Nino tukang nyolot itu.
"Kandidat ketua, itu yang ngobrol dibelakang," lanjut kak Dion.
Kontan saja kami semua menoleh ke bangku barisan belakang. Nita, Yeni, dan Rahma terlihat kikuk.
"Iya kamu," kata Kak Dion lagi.
"Saya?" tanya Nita.
"Iya, kamu sama sebelahmu jadi kandidat ketua," ujar Kak Dion menunjuk Yeni. "Yang satunya lagi jadi notulen." Jarinya berpindah pada Rahma.
Jeng jeng jeng jeng... kenak deh semua anggota rumpik grup. Qiqiqiqi. Rasanya pengen ketawa ngakak melihat muka mereka bertiga kepergok pas asyik ngobrol.
Kak Dion lanjut berjalan ke deretan para cowok, eh anak Astra (Asrama Putra) maksudku.
"Kamu, siapa namamu?" tanya Kak Dion pada cowok yang juga duduk di deretan belakang.
"Fakhri, Kak."
"Iya, Fahri jadi kandidat presiden. Terus, kamu," tunjuk kak Dion pada seorang cowok yang duduk di tengah kerumunan. Aku tidak begitu jelas melihatnya.
"Satya," jawabnya.
"Oke sip. Tiga presidium, satu notulen, dua kandidat putra, dan dua kandidat putri. Oke, yang lain jadi warga ya, bareng sama kakak panita. Tolong, panitia, masuk dulu ikut jadi warga. Kita kasih contoh pada adek-adek ini bagaimana serunya MusWar."
Aku berdiri, lantas maju ke depan. Begitu pula dengan orang-orang yang ditunjuk tadi. Secara otomatis aku menghindari berdekatan dengan Nino, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga formasi tempat duduk presidium memaksa Wahyu berada di antara kami. Di sebelahku duduk Rahma, sebagai notulen. Sebuah meja panjang terbentang di hadapan kami berempat.
Role playing games is begin.
Sebagai presidium satu, Nino memegang palu untuk memimpin jalannya sidang. Sesuai dengan azas Pancasila sila keempat, yaitu musyawarah mufakat, maka pada agenda sidang kali ini yaitu menetapkan undang-undang tentang pemilihan Presiden Asrama, dilakukan dengan musyawarah dulu. Kalau musyawarah tidak mencapai kesepakatan, barulah pengambilan keputusan dilakukan dengan pemungutan suara.
Kak Dion lah yang bertugas memandu kami bertiga untuk memimpin proses jalannya sidang. Menunjukkan tata cara membacakan undang-undang, kemudian melemparkan pertanyaan, sah atau tidak, mengesahkannya dengan ketukan palu.
Mendadak ada yang mengajukan interupsi, saat dibacakan ayat, 'Kandidat presiden umum tidak boleh berpacaran'. Peserta sidang tersebut, akhirnya diberi kesempatan bicara oleh Nino, untuk menjelaskan keberatannya.
"Interupsi presidium. Saya tidak setuju, karena berpacaran itu adalah privasi. Jadi poin tersebut sebaiknya di hapus saja," usulnya.
Aku tidak kenal dia, tapi bisa mengenali seseorang yang berada di belakangnya, Kak Ejik. Pasti dia yang mengajari untuk melakukan interupsi.
Selanjutnya, presidium sidang menawarkan pada peserta untuk menyetujui usul tersebut. Namun, ada peserta lain yang mengangkat tangan untuk interupsi. Kali ini sanggahan berasal dari peserta putri, yang setuju dengan adanya poin 'dilarang berpacaran'.
Di tengah perdebatan tersebut, Nino mendadak melakukan interupsi untuk mengalihkan wewenang pemegang palu sidang Dia pura-pura beralasan hendak ke toilet. Kak Dion memandu tata cara pengalihan palu sidang tersebut kepada Wahyu.
Setelah wewenang palu sidang berpindah, Wahyu melanjutkan acara. Akhirnya perdebatan nggak penting itu berujung pada voting untuk pengambilan keputusan.
Sumpah, padahal cuma simulasi ribetnya kayak gini, gustiiiii! Gimana kalau sidang beneran, untuk memutuskan kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pasti lebih menegangkan. Karena setiap keputusan bakal menentukan nasib rakyat ke depan. Ngeri euy pertanggung jawabannya!
Makanya, milih wakil rakyat itu kudu yang jujur dan memihak pada kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi dan golongan.
*
...
Waktu pun bergulir. Kini tiba saatnya simulasi pemilihan Presiden Utama Asrama. Kebetulan palu sidang berpindah padaku. Berdasar undang-undang yang telah ditetapkan, maka pelaksanaan pemilihan dilakukan melalui voting.
Sebelum melakukan voting, masing-masing kandidat memperkenalkan diri dan memaparkan visi misinya. Naahhh, bakalan heboh nih kayaknya.
"Nama saya Nita, jurusan Pendidikan Matematika. Jika anda memilih saya, maka seluruh warga asrama akan bebas tugas piket!"
Perkenalan Nita walau sedikit gugup, tapi mendapat riuh tepuk tangan.
"Nama saya Yeni, jurusan Psikologi. Jika Anda memilih saya, maka akan saya berikan konsultasi psikologi gratis. Curhat tentang apa pun, cinta, keluarga, beban pikiran, kecuali tentang keuangan."
"Huwaaaaaa!" Lagi-lagi sambutan para peserta sangat heboh.
Aku sendiri ngakak, mendengar program kerja Yeni. Bakalan banyak Bucin kayak Kak Ejik yang memanfaatkan kesempatan tuh.
"Nama saya Fakhri, jurusan Teknik Mesin. Jika saya terpilih menjadi ketua, maka akan saya adakan pelatihan tambal ban gratis."
"Cuiittt cuiittt! Bahahahaha, manteb Bro," sahut Nino Heboh.
Apa pula ni anak pake cuitt-cuuiitt, urakan banget.
Kuketok palu tiga kali untuk mengambil perhatian. "Audiens harap tenang dan jaga ketertiban. Jika tidak, saya berhak mengeluarkan Anda dari ruang sidang," ujarku mantab.
"Huuuuuuuuu!" sahut mereka
Nino menoleh padaku dengan tatapan menusuk. Emangnya aku takut. Kubalas dengan tatapan yang lebih mematikan. Hahaha, kan aku yang pegang palu. Maka aku yang berkuasa. Kalau dia macem-macem, bisa kulempar palu ini ke kepalanya. Hehehehe.
"Bagus, Nora. Presidium memang harus bisa mengendalikan sidang," puji Kak Dion, membuatku jadi di atas angin.
"Baik, silakan kandidat terakhir," lanjutku sembari menghadap ke depan. Kuacuhkan saja Nino yang masih menatapku.
Hahaha, tau rasa kamu. Thats a sweet revenge, Dear!
"Nama saya Satya, jurusan Sastra Inggris. Jika saya terpilih menjadi ketua, maka akan saya tetapkan hari Minggu sebagai English day."
"Huuuuuuuuu!" sahut audience serempak.
Tok! Tok! Tok! Lagi-lagi palu kuketukkan ke meja," Harap tenang!"
"Naahhh, terimakasih para kandidat bisa kembali ke tempat. Beri tepuk tangan untuk para kandidat," kata Kak Dion.
Kami semua bertepuk tangan. Bagian ini seru juga ternyata.
"Baiklah untuk pemaparan visi misi telah selesai. Maka prosesi selanjutnya adalah voting. Nah, adek-adek, untuk proses voting semua tentu sudah tahu ya. Maka agar lebih singkat, kita skip langsung ke pembacaan putusan penetapan Ketua umum. Silakan Nora, atau boleh diserahkan ke presidium lain kalau sudah capek," lanjut Kak Dion.
Aku mengangguk, dan memang berniat untuk menyerahkan wewenang ke Wahyu. Males banget ke Nino, resek!
"Dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim, palu sidang saya serahkan ke presidium dua." Tok!
Wahyu bengong menerima palu dariku. "Kok gue lagi Ra, ke Nino dong, ah," bisiknya.
Aku mah cuek saja, "Udah deh aku kebelet, Yu," lalu beranjak pergi meninggalkan ruangan. Asli, pengen ke toilet.
Sampai di lorong aula, aku terkikik. Duh, hari ini acaranya seru-seruan. Banyak praktek gini, lebih enak dari pada dengerin materi kayak kemarin. Ngantuuukkk banget, Rodolfo!
Celingak-celinguk di lorong, aku tidak menemukan toilet. Mau masuk asrama putra juga ga berani, waduh gimana ini? Apa balik aja ke asrama putri ya, buat pipis.
Nggak ah, kejauhan. Mending masuk astra aja deh, paling ada di pojokan toiletnya. Biasanya kan gitu di asrama putri.
Akhirnya dengan mengendap-endap aku masuk melewati pintu tengah ke taman asrama putra. Dengan ngawur belok kanan menuju pojokan, berharap di sana ada toilet.
Aha! Benar saja, ketemu deh toiletnya. Ada empat bilik berderet, satu terkunci tiga terbuka. Buru-buru aku masuk ke salah satu bilik. Waduuhh, toilet cowok bisa bersih gini ya? Rajin-rajin rupanya mereka piket.
Setelah menuntaskan hajat, aku buru-buru keluar. Namun, pintu bilik sebelah juga terbuka.
"Nora?"
Aku sedikit terkejut melihat cowok yang keluar dari bilik itu. Apalagi dia tidak mengenakan kaus, hanya berkalung handuk dan celana tiga pendek selutut.
Ya Ampuunn, mataku ternoda.
Buru-buru aku menunduk. "Maaf Kak Yo, aku kebelet pipis."
"Ya Ampun, nih anak nggak ada takut-takutnya masuk area cowok. Sudah sana buruan pergi!" hardiknya.
"Iya, iya, galak amat," ujarku sambil melipir ke tembok.
Kak Yo juga aneh, masa nyuruh pergi tapi dia berdiri di tengah jalan. Aku kan jadi susah, kudu berjalan miring.
Beberapa langkah, kini jarak kami terlalu dekat, "Misi, kak. Mau lewat." Bahkan bau sabun yang dipakai Kak Yo, tercium dengan jelas. Seperti Dettol cool, iya yang ijo, kesukaan Papa.
"Makanya jangan suka kelayapan di sarang cowok, Ra. Kalo ada yang macem-macem sama kamu gimana?" ujarnya santai, masih berdiri memblokir jalan, tidak bergeser sesenti pun. "Apalagi nggaka d ayang ngelihat kita berdua di sini, gimana hayu?"
"Iya Kak, iya, ampun! Nora ngerti. Misi, dong." Sumpah aku nggak berani mendongak, cukup liat kakinya yang pake sendal jepit ijo. Bulunya cukup banyak juga, eh.
"Jangan diulangi!" Setelah mengatakan itu, baru dia bergerak mundur dan memberiku jalan.
"Iya, Kak. Maaf," ujarku begitu terbebas dari blokiran kak Yo di lorong.
Setengah berlari aku menuju pintu keluar. Rasanya deg-degan banget! Ya Ampuunn, kenapa juga orang itu jam segini baru mandi? Untung saja aku nggak diapa-apain dan bisa balik ke aula dengan selamat.
Eh, emangnya kak Yo mau ngapain coba?
?bersambung....