Eleanora Zein - 5

1945 Kata
Aku nggak bisa tidur semalam gara-gara pesan Kak Yo di buku. Untung saja dia memakai satu halaman tersendiri, jadi aku tidak malu saat meminta tanda tangan pada kakak senior lain yang ada di Asrama putri. Lamat-lamat telingaku menangkap suara, yang semakin lama semakin keras. "Hooeeeiiii, senam oooeeeiii!" Mataku terasa berat untuk membuka, tapi telingaku tidak kuat lagi menahan teriakan yang begitu dekat. "Noraaaaak! Bangoooooon! Udah hampir jam enam nih!" Suara cempreng itu bergaung di kepala. Spontan mataku terbelalak dan aku segera duduk. Dasar! Kebiasaan banget dia! "Nitaaaa, berisik banget sih! Sakit kupingku. Nggak bisa apa, bangunin yang lembut gitu," keluhku. Dia terkekeh. "Lembut? Pake suara volume jebol aja, kamu susah bangun. Apalagi lembut, bisa-bisa makin ngorok kamunya," ledek Nita. Sembari menguap, aku turun dari tempat tidurku di susun atas. Lantas menggeliat sebentar begitu sampai di bawah. Satu tanganku mengucek-ucek mata, dan satunya garuk-garuk kepala. Sumpah, males banget rasanya, bangun kalau pas lagi kurang tidur gini. Aku hendak merebahkan diri di kasur bawah, tapi Nita menarik tanganku dengan sigap. "Eeeh, mau tidur lagi ya! Nggak boleh!" Aku melotot, melihat Nita sudah rapi dengan kaus oblong dan celana training biru dongker nya. "Iihh, kamu ini. Aku masih ngantuk," gerutuku. Teman sekamarku yang berambut ikal sebahu itu lalu berjongkok untuk menalikan sepatu kets putih sebelah kiri. "Ayo buruan, Ra! Cuci muka sana! Tuh lagu senamnya mau mulai," katanya lagi. Kemudian dia bergegas keluar kamar. Oh, iya aku baru ingat, tiap Minggu pagi, di asrama ada kegiatan senam. Dimulai pukul enam, dan instrukturnya dari kakak jurusan fitnes, eh kesehatan dan olah raga. Maklumlah baru sebulan tinggal di asrama putri, jadi belum terlalu hapal jadwal kegiatan. Dengan mata masih setengah terpejam kuserwt langkah keluar kamar. Tidak lupa kakiku memakai sendal jepit yang terparkir rapi di atas keset teras. Tidak langsung mengikuti Nita, aku menuju pancuran di taman yang dipasangi selang untuk menyiram tanaman. Apalagi kalau bukan untuk cuci muka ekspress. Iyalah, mandinya nanti aja, keburu diobrak sama pengurus. "Ya ampun Raaaaaa, masa cuci muka di situ juga? Emang kamu bunga?" tegur Nita, yang ternyata masih berdiri di ambang pintu keluar, sengaja menungguku. "Bawel!" Tapi lumayanlah, setelah cuci muka rasa kantukku langsung hilang. Airnya dingin banget sih! Bukan hanya air, sebenarnya. Udara di sini juga dingin, karena kota ini berada di dataran tinggi. Sangat cocok untuk kembali menarik selimut dan berpesiar ke alam mimpi. "Udah yok. Ntar kena poin kalo telat," kataku sambil berjalan hendak melewati Nita. Namun lengannya yang terentang sengaja menghalangi aku lewat. "Masa pake baju tidur juga sih, Ra?" tegurnya. Aku baru sadar kalau masih memakai piyama babydoll lengan panjang dan juga celana panjang. "Udah ah, ga ada waktu buat ganti baju," ujarku beralasan. Pagi ini aku tidak boleh mendapat poin karena terlambat. Segera kutarik tangan Nita agar kami bisa segera menuju tempat senam. Dia pun hanya pasrah dan menurut saja. Suara lagu senorita terdengar makin jelas begitu kami melewati ruang tamu. Nita masih saja menatapku aneh. Apa rambutku berantakan ya? Alah, cuek aja. Kusisir rambut panjang sepunggung ini dengan jari. Tiba di halaman depan, sudah banyak warga asrama putri yang berkumpul. Rata-rata mereka berpenampilan seperti Nita. Siap untuk senam massal. Sang instruktur berdiri di dekat gedung asrama putri. Sementara peserta lainnya berjajar rapi sepanjang jalan di depan asrama putri yang sekaligus juga jalan menuju asrama putra. Kuseret Nita ke barisan paling belakang. Ya, nggak mungkin aku senam di belakang instruktur. Malulah, penampilanku paling kacau. "Oke, sudah kumpul semua?" tanya Mbak Jasmine, si instruktur. Hampir seluruh penghuni Asrama putri menjawab dengan serempak. "Yok, mulai saja." Mbak Jasmine mengubah lagu Senorita, dengan instrumen senam. Kemudian dia mulai memberikan aba-aba dengan hitungan. Gerakan pemanasan, kulakukan dengan setengah hati. Begitu pula, dengan gerakan utama. Pokoknya asal kelihatan ikut. Berbeda sekali dengan Nita yang benar-benar antusias. Buktinya dia bisa berkeringat, di cuaca sedingin ini. Jujur saja, aku males banget berkeringat, soalnya nanti harus mandi. Mana pake antri pula di kamar mandi. Belum lagi sarapan. Padahal jam delapan tepat Orientasi Penghuni Baru akan dimulai. Nggak mungkin aku tidak telat lagi, kalau harus mandi. "Nora!" Sebuah panggilan dengan nada bercengkok, sukses membuatku menoleh. Sadar siapa yang memanggil, aku jadi salah tingkah. "Hai, Kak!" jawabku, kikuk. "Semangat ya!" kata kak Dion. Sempat-sempatnya ya aku melamun, sampai tidak sadar ada orang yang lewat di belakangku. Maklumlah, senamnya sudah masuk fase relaksasi. Aku memaksakan senyum, lantas bersungguh-sungguh mengikuti gerakan relaksasi. Malulah, kalau terlihat asal-asalan. Begitu Kak Dion sudah menjauh, kembali lagi aku bergerak seadanya. "Cieeee, yang pagi-pagi sudah disapa cowok," celetuk Nita. "Cowok? Barusan itu Kak Dion, Nitaaa." "Kak Dion siapa?" tanya Nita, yang sekarang ikut bergerak ngawur. "Masa kamu nggak kenal? Dia kan ketua geng tetangga sebelah. Kamu sih semalem nggak nemenin aku ke sana. Nggak cuma kak Dion, banyak banget cowok ganteng," ujarku sengaja mengiming-imingi Nita. "Yah, rugi dong," keluhnya menyesal. Aku tersenyum penuh kemenangan. "Eh, itu ada lagi yang mau lewat," ujar Nita. "Mereka habis lari pagi kayaknya." Aku menoleh ke arah yang ditunjuk Nita dengan dagunya. Benar saja, beberapa orang cowok terlihat berlari-lari kecil di kejauhan, menuju ke arah kami. Suara instrumen berhenti dan otomatis senam pun berakhir. Aku dan Nita langsung melipir ke emperan gedung serba guna di sebelah, mencari tempat bersantai sejenak. Kami duduk di lantai sambil menyelonjorkan kaki. Nita mengelap peluh dengan lengan kausnya. "Niat amat kamu," celetukku. "Kamu yang nggak niat," balasnya. "Ogah, kalo disuruh keringetan gitu," timpalku sambil membuang pandangan ke jalan di depan asrama. Gerombolan cowok tadi, telah sampai di dekat penghuni asrama putri yang baru bubar senam. Mereka melempar sapa, untuk mencari perhatian. Ada yang balas menyapa, sehingga membuat yang lain heboh. Sayang, keseruan itu tidak berlangsung lama. Mbak Rani, Mbak Jasmine, dan beberapa pengurus lain, segera menggiring para cewek masuk asrama putri. Dari tempatku duduk, ada satu cowok yang sedang mendekati Mbak Rani dan menggodanya. Sayang, dia dicuekin oleh kakak tingkatku itu. Aku terkikik. "Cowok genit!" celetuk Nita. "Bang Ejik? Dia naksir Mbak Rani," jelasku. "Oh, iya?" tanya Nita. "Heem, kemarin dia titip salam ke Mbak Rani lewat aku." "Wuih, kamu cepet banget kenal para penghuni asrama sebelah ya, Rak," puji Nita setengah menyindir. "Lah, emang kenapa?" tanyaku merasa aneh. "Ya, kan mereka cowok, Ra." Aku semakin tidak mengerti. "Lalu?" "Ih, kamu ini! Ya, cowok! Lawan jenis!" tandas Nita, seolah para cowok itu adalah makhluk aneh yang baru dipiblikasikan dalam saluran Discovery Channel. "Ya tapi kan mereka tetep manusia, Nit Not. Emang bisa milih gender waktu masih jadi embrio di perut emak?" tuturku secara logis. "Astaghfirullah! Noraaaaak, Noraak, bukan itu maksudku. Siapa bilang mereka bukan manusia, Dodol! Karena mereka cowok, maka berpotensi menjadi pacar, tunangan, atau suami kita," jelas Nita dengan gemas. "Oalah, Jadi itu maksudnya?" Aku menepuk jidat. "Kenapa kamu mikirnya sejauh itu sih?" "Kamu yang kuper!" ejek Nita. "Atau kamu nggak normal?" Dia berjengit menjauh. "Ish, amit-amit!" Kutabok lengannya. Nita tertawa. "Nit Noootttt. Asrama putra dan putri kan bersaudara." "Sodara gundulmu, Rak! Beda bapak ibu, juga! Bukan mahram, boleh dinikahi." "Elah, kamu itu mahasiswa jurusan matematika apa jurusan penghulu sih? Bawa-bawa mahram segala," ejekku. "Hmmm. Dibilangin kok ngeyel." "Ya, walau mereka nggak sebapak dan seibu dengan kita, kuanggap kayak sodara aja. Aku gitu sih, sama teman sekelas, seangkatan. Kompak gitu, brotherhood, sister hood!" sanggahku sengit. "Kompak, ya. Nyontek bareng juga kan? Noraaak, noraa, kamu belum dewasa ternyata wahai nyisanak," kata Nita dengan Nada seolah memaklumi kekuranganku. "Kata siapa aku belum dewasa? Sudah banyak yang ngelamar loh, di desa," elakku sombong. "Masa? terus kenapa nggak diterima?" "Ogahlah, nggak suka aku sama orangnya, gak ada yang masuk kriteria. Lagian aku mau kuliah dulu, dapat kerja, nyari duit yang banyak," jawabku jujur. "Hmmm, I see. Tapi, misal yang ngelamar itu orang yang kamu suka, gimana? Eh, emang sudah pernah suka sama cowok?" "Ya pernahlah. Dulu waktu SMP, ada tetanggaku yang baik banget orangnya." Saat bercerita, otomatis muncul seraut wajah yang mirip banget dengan Shawn Mendez di otakku. "Nggak akan ada orang seperti dia." "Wah, kelihatannya, ada kisah menarik nih," kata Nita. "Ah, udah deh! Yuk, balik! Keburu telat lagi ikut OWB," ajakku sambil beranjak. "Tumben rajin, pasti gara-gara Kak Dion tadi ya," ledek Nita, sembari berlari meninggalkanku. "Hei, tunggu!" Saat hendak mengejar Nita, beberapa orang cowok asrama putra lewat menghalangi jalanku. Aku berhenti mendadak, dan tersenyum sopan. "Pagi!" sapa salah seorang di antara mereka. "Pagi, Kak," jawabku. Setelah mereka lewat, langsung saja aku melenggang pergi menyusul Nita. Namun, beberapa saat kemudian terdengar suara siulan. Woh, sialan! Itu mulut belom pernah dicuci pake deterjen rupanya! Catcalling itu salah satu bentuk pelecehan loh! Aku berbalik, Nita menahan lenganku. "Udah biarin, Ra. Ayok masuk!" ajaknya. Aku menepis pegangan tangannya. "Kamu masuk aja dulu.". "Raaaa, udaah!" Tidak kugunris larangan Nita. "Hei! Kalian berhenti!" teriakku. Cowok-cowok itu berhenti. Aku berjalan mendekat, lalu memandangi wajah mereka satu persatu. "Siapa yang bersiul tadi?" tegurku. Ada satu cowok yang menatapku sinis. Ah, iya aku ingat sekarang. Dia itu petugas piket di asrama putra semalam. "Tolong yang sopan, ya sama cewek!" Cowok itu makin cengegesan, sambil melangkah maju mendekat. Perbedaan postur tubuh kami cukup jauh, sehingga aku harus mendongak untuk menatap matanya. Namun, dengan kurang ajar dia terang terangan melihatku dari atas sampai bawah. "Yang nggak sopan siapa, hah? Jangan cuma salahin kita dong! Kalau situ keluar pake baju tidur yang cukup menggoda," katanya. "Menggoda apanya? Jaga matamu, makanya!" sergahku. "Perlu aku jelaskan?" Dia tertawa sinis. Kembali melihatku dari atas ke bawah, lalu berhenti di bagian depan. "Kamu!" Aku menunjuk mukanya. "No, ada apa?" Entah dari mana datangnya, Bang Ejik tiba-tiba sudah berada di dekat kami. Dia menepuk bahu cowok itu, sehingga perhatiannya teralihkan. "Nggak apa-apa, Bro. Cuma ada cewek sok kecakepan ngegas pagi-pagi. Gue cabut," ujar cowok menyebalkan itu. Dia melirikku sekilas, lalu merangkul temannya dan ngeloyor pergi. "Hei, mau kemana kamu?" teriakku. "Nora, kamu kesambet ya?" tanya Bang Ejik, mencegahku. "Dia, b******k itu ..." "Udah, masuk sana! Ntar telat OWB," katanya. "Tapi, dia ... bersiul ... matanya jelalatan ...nggak sopan," gerutuku, melaporkan kelakuan cowok b******k itu. "Siapa sih namanya?" "Nino? Sudah lah, gak perlu dipanjangin. Cowok mah, biasa gitu atuh Ra. Anggep aja dia iseng." Bang Ejik ngomong dengan nada kalem dan menenangkan. "Tapi kamu kan nggak gitu, Bang," sanggahku sengit. "Udahlah, kamu itu pagi-pagi ribut aja. Sono balik! Oh iya, titip salam buat Rani ya," katanya. "Tapi ... " "Balik, Ra!" usirnya. "Hush hush! "Iya, iya. Emang aku kucing apa?" gerutuku sambil berbalik menuju asrama putri. Nita dengan senyum manis menyambutku. Dia menggandeng tanganku sembari berbisik,"Bang Ejik-mu, boleh juga tuh." "Ish! Kamu itu, sempat-sempatnya!" gerutuku sambil berjalan masuk. Namun, saat melewati cermin besar yang ada di sebelah tembok pintu tengah, aku tertegun. "Kenapa Ra?" tanya Nita yang ikut ngerem mendadak begitu aku berhenti. "Apa bener pakaianku terlalu menggoda? Perasaan nggak nerawang deh," tanyaku. "Nggak transaparan kayak kresek gorengan kok, Ra. Cuma pres body gitu," jawab Nita. Iya juga, sepertinya aku tambah gemuk. Di beberapa tempat memang tampak menonjol. Tapi ini kan baju tidur kesayangan. Soalnya paling enak dan nyaman dipakai. "Kamu sih. Dibilangin jangan pakai baju tidur, malah ngeyel," kata Nita. "Iya, iya! Tapi si Nino itu juga kurang ajar! Mata Ama mulutnya kudu dijaga, biar ga jelalatan dan siul-siul seenaknya," bantahku. "He-em. Setuju! Walo cakep tapi kalo modelannya buaya buntung gitu, bikin ilfil jadinya, Ra," kata Nita. "Nino? Cakep? Astaga seleramu, Nit! Abis Bang Ejik yang gondrong, sekarang Nino yang nge punk? Bad boy gitu ya!" celetukku. "Hehehe. Keren Ra! Keren!" kata Nita. "Keren apanya, kayak gembel ga keurus kok keren. Yang keren itu... kayak Kak Yo, eh. Maksudku, orangnya rapi, bersih, parlente," ujarku. "Bang Dion juga masuk Brati?" tanyanya. "Bisa dipertimbangkan." "Hahahaha!" "Hush! Ketawanya!" tegur Mbak Rani yang kebetulan lewat. "Eh, Mbak Rani," sapa Nita "Eh, iya. Mbak, ada salam dari bang Ejik," kataku. Namun dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Maksudnya apa coba? Dia nyerah gitu? Entahlah! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN