Nidya mengepalkan tangannya melihat rekan kerja Mat yang menepuk kasurnya seperti menggodanya. "Sial, mereka menyuruhku untuk melayani rekan kerja mereka," batin Nidya benar-benar merasa terjebak.
"Ini berkas yang harus anda tanda tangani, Pak," ucap Nidya.
Pria itu menggerakan tangannya berharap ia datang kepadanya. Nidya hanya menyeringai, ia tidak mungkin memberikan tubuhnya kepada pria yang ada di hadapannya. Lagi pula itu bisnis Mat bukan bisnisnya, persetan dengan kontrak kerja mereka.
"Kemarilah," ujar pria tersebut dengan nada menggoda. Nidya mengeluarkan ponselnya lalu memotret pria itu berkali-kali. Ia terlihat marah, kemudian beranjak dari ranjangnya. "Apa yang kamu lakukan!" hardiknya.
"Aku hanya memotret kelakukan seorang Bos muda yang melecehkan wanita,"
"Kamu ...."
Nidya diam, sama sekali tidak terprovokasi oleh pria yang kini berdiri di hadapannya.
"Mungkin meniduri sekretaris sudah biasa untuk anda, tapi aku bukan wanita yang seperti itu."
Merasa disepelekan, pria itu menarik tangan Nidya lalu melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Nidya terus meronta ketika pria itu mengungkunya dengan kuat.
"Kamu pikir, kamu bisa lepas dariku, hah! Akan aku pastikan setelah ini kamu dipecat oleh atasanmu itu."
Ketukan pintu mengalihkan perhatian pria itu dan membuat Nidya dengan mudah menendang aset berharganya hingga pria itu tersungkur merasakan sakit di area terlarangnya.
Nidya lalu mengambil tas serta ponselnya, kemudian keluar dari kamar itu. Sesaat ia termenung ketika melihat Mat sedang berdiri di depannya. Namun, sedetik kemudian Nidya berjalan melewati Mat begitu saja tanpa sepatah kata pun.
"Tunggu Nidya."
Nidya benar-benar menutup telinganya, lalu masuk ke dalam lift yang terbuka di susul Mat yang juga masuk ke dalam lift tersebut.
"Maaf, disini aku bekerja sebagai sekretarismu bukan wanita penghibur yang biasa kamu gunakan untuk melancarkan bisnismu," ucap Nidya dengan mata menyalang. "Apa aku serendah itu, sampai kamu melakukan ini kepadaku!"
Mat menatap wajah wanita yang ada di hadapannya. "Bukankah dulu kita sering melakukan itu. Kenapa sekarang kamu menolak rekan kerjaku, bukankah itu hal biasa untukmu?"
Satu tamparan mendarat dengan sempurna di pipi Mat. Nidya lalu keluar dari lift, meninggalkan Mat yang masih mematung di sana. Ia berjalan melewati Leo dan tak memperdulikan pria itu yang terus berteriak memanggil namanya.
“Dasar b******k,” gerutunya sembari meneteskan air mata.
Ia kemudian masuk ke dalam taksi yang sedang terparkir di depan hotel. Tangannya lalu merogoh tas untuk mengambil ponselnya lalu menghubungi Liona.
"Liona," teriak Nidya hingga supir yang ada di depan menoleh ke arahnya. "Ke apartemenmu sekarang juga!"
Nidya mematikan panggilannya, bibirnya terus berkomat kamit merutuki kesialan yang menimpanya hari ini. Tak lama mobil yang ia tumpangi sampai di apartemen Liona.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Liona panik. Tak biasanya Nidya marah besar seperti itu.
"Tuntut pemilik Santorin Hotel atas pelecehan. Tuntut juga M&D Corp yang mempekerjakan sekretarisnya sebagai alat untuk bernegosiasi."
"A-apa kamu, apa dia baru saja menjualmu?" tanya Liona tak percaya.
Nidya berteriak frustasi lalu melempar ponselnya hingga tak tak jelas bentuknya.. Liona lalu menghubungi seseorang yang dapat dipercaya. Terdengar sambungan telepon yang terhubung.
“Halo.”
"Siapkan berkas untuk menuntut Santorin Hotel dan M&D Corp. Urus semuanya dengan baik, karena bos besar sedang marah," ucap Liona lalu mematikan panggilannya.
Liona bergegas mendekati Nidya yang sedang merebahkan tubuhnya di atas sofa.
“Ehm … apa kamu yakin mau melaporkan Mat ke polisi? Kalau itu kamu lakukan, semua rencana yang sudah kamu atur akan hancur seketika.”
Iya, Nidya sudah merencanakan semuanya untuk membalaskan dendamnya kepada Mat. Pria yang sudah mencampakkannya saat mereka akan menikah. Masih teringat jelas kala ia berada di rumah sakit dengan luka bekas sayatan pisau karena percobaan bunuh diri.
“Untuk apa kamu melakukan itu, mereka akan bahagia melihatmu seperti ini. Tunjukkan pada mereka jika kamu baik-baik saja meski dicampakkan oleh pria yang kamu cintai. Buktikan, jika kamu bisa lebih baik dari mereka,” ucap seorang psikiater yang menanganinya.
Bukannya menjawab Nidya malah menangis tersedu-sedu. Ia sadar jika apa yang dilakukannya itu salah. Nidya pun berusaha sembuh dari traumanya, hingga akhirnya ia berniat menghancurkan mantan tunangannya itu.
“Nidya … Halo, kamu dengar aku, kan?” tanya Liona yang membuyarkan lamunan Nidya.
“Iya, aku dengar. Ya udah batalin ucapanku tadi. Aku mau pulang dulu, mana kunci mobilku?”
Liona lalu memberikan kunci mobil Nidya, mengantar atasan sekaligus sahabatnya itu ke basement apartemennya.
“Bye, hati-hati dijalan.”
Nidya tak bergeming, ia melajukan mobilnya dengan kencang, melewati Liona begitu saja.
***
Suara ketukan jemari terus terdengar membuat sebuah irama yang beradu dengan perasaan yang berkecamuk di hati Mat. Bagaimana tidak, Nidya yang baru bekerja 3 hari dengannya sudah mengundurkan diri secara tidak hormat.
"Apa kamu bisa menghubungi dia?" tanya Mat.
Leo menghela napasnya, hal itu terdengar oleh Mat dan membuatnya tak suka.
"Ma-maaf, bukankah Nidya tidak penting? yang penting sekarang itu acara anniversary pernikahanmu dengan Sabrina."
"Apartemen yang ia tinggali, aku dengar dia hanya menyewa apartemen itu?" tanya Mat.
"Iya, dia hanya menyewa," jawab Leo.
"Beli apartemen yang dekat dengan gedung ini dan bawa dia ke sana."
Mat beranjak dari kursinya meninggalkan Leo yang bingung dengan sikap atasannya itu. Ia menatap layar ponselnya dan mulai mencari tahu tahu tentang apartemen yang tak jauh dari gedung yang sedang ia pijak. Tak lama ia mendapatkan unit apartemen yang kosong. Leo bergegas menghubungi manajemen untuk mengurus pembelian apartemen tersebut.
"Tolong persiapkan semuanya. Aku akan segera ke sana," ucap Leo mengakhiri panggilan.
Sedangkan Mat, pergi ke klub malam untuk menghilangkan pikirannya tentang Nidya. Tak bisa di pungkiri, meski dia sudah 3 tahun tidak bertemu dengan mantan tunangannya itu. Namun, hatinya masih menginginkan Nidya.
“Hai, Sayang. Mau di temenin?” tanya wanita yang datang menghampiri Mat.
Mat hanya mengibaskan tangannya, tanda jika ia tidak perlu ditemani. Ia meneguk vodka yang ada di tangannya, sembari menatap layar ponselnya yang berdering. Terlihat nama Sabrina di sana, ia menggeser tombol hijau untuk mengangkat panggilannya.
“Halo, Sayang. Kenapa berisik sekali, apa kamu sedang berada di klub?” tanya Sabrina.
“Aku akan menghubungimu lagi.” Ia lalu mematikan panggilannya sepihak.
***
Liona membuka matanya kala mendengar suara bel berbunyi tanpa henti. Ia kemudian keluar dari kamar untuk melihat tamu yang datang pagi buta. Liona begitu terkejut ketika melihat Mat tengah berdiri di depan pintu apartemennya.
"Oh my god, kenapa dia bisa berada di sini," ucap Liona. Ia bergegas masuk ke dalam kamar mencari ponselnya untuk menghubungi Nidya. "Halo, Nidya. Gawat."
"Gawat kenapa?" tanya Nidya.
"Mat ada di depan apartemenku, aku yakin dia ingin menemuimu."
"Abaikan saja."
Liona menatap layar ponselnya yang mati begitu saja. Ingin rasanya ia memaki atasannya itu yang sudah membuatnya ikut terjerumus dengan masalahnya.
Sementara itu, Nidya mengendarai mobilnya dengan begitu cepat agar segera sampai ke apartemen Liona. Untungnya jalan saat itu sedang sepi, hanya sepuluh menit perjalanan akhirnya ia sampai di gedung apartemen. Dengan langkah cepat dia berlari masuk ke dalam lift yang terhubung ke lantai 8.
"Mat," gumam Nidya ketika melihat pria tersebut berdiri di depan pintu apartemen Liona. Ia berjalan mendekati pria yang sedang berdiri di sana. "Kamu sedang apa disini?" tanya Nidya.
Mat lalu menoleh ke arah Nidya berjalan mendekatinya. "Ka-kamu ...."