Dijebak

1486 Kata
Sekretaris lama menerangkan semua pekerjaannya kepada Nidya. Ia juga mengatakan jika atasannya jarang berada di Indonesia. Jadi dalam waktu dua minggu sekali ia harus datang ke Singapura untuk membahas semua pekerjaannya dengan sang Bos. “Merepotkan sekali,” gumam Nidya. “Hah, apa kamu menanyakan sesuatu?” tanya sekretaris yang bernama Lina itu. "Tidak, aku hanya sedang melihat jam yang sudah menunjukkan waktu makan siang,” ucap Nidya. “Oh iya, perlu diingat. Kamu bisa makan siang jika Bos kita sudah pergi,” bisiknya. Nidya mengangguk lalu melihat notif pesan di ponselnya. Saat ia sibuk dengan ponselnya tiba-tiba saja pintu ruangan Mat terbuka. “Nidya, temani aku makan siang,” perintahnya. “Baik, Pak.” ucap Nidya lalu mengambil tas serta memasukkan ponselnya. “Aku pergi dulu,” bisik Nidya kepada Lina. Lina terus memandangi Nidya dan Mat yang berjalan berjauhan. Ia begitu iri karena selama ia bekerja tidak pernah sekalipun Mat mengajaknya makan siang bersama. Di dalam lift Nidya dan Mat berdiri berjauhan. Sesekali Mat melirik ke arah belakang Nidya yang terlihat padat berisi. Tak lama pintu lift terbuka, Mat berjalan lebih dulu di ikuti Nidya di belakangnya. Mereka lalu masuk ke dalam mobil yang sama, tanpa sopir yang menemani. “Kamu mau makan apa?” tanya Mat. “Bukankah Anda yang mengajak saya makan siang. Saya hanya mengikuti Anda ,” jawab Nidya. Mat terdiam lalu mengemudikan mobilnya ke sebuah restoran yang tak asing bagi Nidya dan juga Mat. Iya, restoran yang pernah menjadi tempat favorit mereka saat masih bersama. “Turun,” ujar Mat. Nidya lalu keluar dari dalam mobil, ia merasa dipermainkan oleh keadaan. Awalnya Nidya yang ingin membuat Mat tak nyaman dengan kehadirannya, malah ia yang mengenang masa lalu mereka. Mat menarik kursi lalu mempersilahkan Nidya untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya. Ia memesan makanan tanpa menanyakan apa yang ingin Nidya makan. Nidya yang bingung hanya memutar bola matanya dan berniat memanggil pramusaji. Namun, ucapannya tertahan ketika Mat mulai bersuara. "Aku akan merayakan anniversary dengan istriku. Aku harap kamu bisa memikirkan rencana untuk memberikan kejutan untuknya." Nidya menatap kedua mata pria yang duduk di hadapannya. Sudut bibir Nidya terangkat lalu berkata, "Apa yang paling disukai oleh istri Bapak?" Mat terdiam, seolah tengah berpikir. Tak lama pramusaji datang dan menyajikan makanan ke meja mereka. Sesaat Nidya terpana dengan makanan yang tersaji di hadapannya. "Dia masih ingat makanan kesukaanku," batin Nidya lalu menoleh ke arah pria yang duduk di hadapannya. "Pikirkan saja apa yang wanita suka. Makanlah, aku paling tidak suka ada pembicaraan ketika sedang makan." Nidya hanya diam menatap wajah pria yang ada di hadapannya, lalu melanjutkan makan siang mereka. Suasana terasa kaku ketika keduanya diam, dan hanya saling mencuri pandang. Setelah menyelesaikan makan siang yang terasa canggung, Mat pun mengajak Nidya kembali ke kantor karena jam makan siang akan segera berakhir. 10 menit perjalanan, tak terasa mobil yang di kemudikan Mat sampai di depan kantornya. Mereka berdua pun keluar dari mobil, berjalan beriringan di lobi kantor menuju lift. Setibanya di lantai 10, keduanya pun berpisah di depan ruangan Mat saat pria itu melangkah masuk tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sementara Nidya kembali ke meja kerjanya yang berada tepat di seberang pintu ruangan Mat. Terlihat Lina yang juga baru kembali dari makan siangnya. “Aku iri denganmu, baru masuk sudah diajak makan siang sama Pak Bos,” ucap Lina. “Jadi baru kali ini Mat mengajak sekretarisnya makan siang bersama,” batin Nidya. “Kami membicarakan acara anniversary pernikahan Bos,” sambung Nidya. “Benarkah, kamu pasti repot. Pak Mat itu perfeksionis, aku sering kena marah karena masalah kecil. Jadi sebisa mungkin kamu jangan membuat masalah.” Nidya hanya tersenyum dan kembali mendengarkan penjelasan Lina tentang pekerjaannya. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore, Mat pun keluar dari ruangannya membuat Nidya dan Lina berdiri seketika. “Aku pulang.” “Iya, Pak. Hati-hati di jalan,” ucap Lina. Nidya menatap punggung atasannya masuk ke dalam lift. Ia merapikan pekerjaannya, kemudian bersiap untuk pulang. Dengan langkah lunglai ia keluar dari M&D, berjalan lurus tanpa melihat ke sekeliling kemudian masuk ke dalam mobil. "Ikuti dia," ucap Mat yang sedari tadi menunggu Nidya pulang lalu mengikutinya. Merasa diikuti, Nidya terus memperhatikan mobil yang berada di belakangnya. Ia kemudian mengendarai mobil lalu masuk ke dalam gedung apartemen Liona. Nidya terus memperhatikan spion, menunggu mobil Mat masuk ke basement. Namun, nyatanya pria itu sama sekali tidak ikut masuk ke dalam basement. "Dimana dia, apa rencanaku sudah terbongkar?” batin Nidya. Ia lalu mengeluarkan benda pipih yang ada di tasnya kemudian menghubungi Liona. "Halo, Nidya. Ada apa?" tanya Liona. "Apa kamu sudah mengamankan semuanya? Mat mengikutiku, aku takut dia mencari tahu semua tentangku,” jawab Nidya. "Kamu tenang saja, semua sudah aman. Mereka tidak akan mendapatkan informasi apapun tentangmu." Nidya menghela napasnya lalu berkata, "Aku menyimpan mobilmu di basement." Lalu mengakhiri panggilan mereka. Nidya keluar dari mobil Liona lalu masuk ke dalam mobilnya, yang berada di samping mobil yang ia parkir. Dengan santainya Nidya melewati mobil Mat yang masih terparkir di depan gedung apartemen rekan kerjanya itu. *** Suara alarm menggema di dalam kamar Nidya, sedangkan sang pemilik kamar masih terjaga dalam tidurnya. Nidya terbangun ketika alarm ponselnya berbunyi, perlahan ia membuka matanya. Tangannya menyusuri bantal untuk mencari ponselnya, tak lama ia berteriak histeris ketika melihat jam yang ada di ponsel. "Telat, bagaimana ini," ucap Nidya. Nidya bergegas masuk ke kamar mandi mengabaikan panggilan dari Leo. Ia tak sempat mandi, hanya membersihkan wajah kemudian mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa ia gunakan untuk bekerja. Setelah siap, ia bergegas berangkat ke kantor menggunakan mobilnya sendiri. "Astaga," ucap Nidya ketika ia keluar dari mobilnya. Nidya lalu menghubungi Liona, menyuruhnya mengambil mobilnya. Ia pun menitipkan kunci ke sekuriti. Dengan langkah yang cepat Nidya bergegas masuk ke dalam lift yang terbuka. Ia merapikan rambutnya yang berantakan, kemudian keluar dari lift. "Astaga!” Nidya terkejut ketika hampir menabrak Mat yang berdiri di depan pintu lift. “Ma-maaf," ucap Nidya. Tanpa bicara Mat masuk ke dalam lift diikuti Leo yang berdiri di belakangnya, sedangkan Nidya berniat keluar ketika mereka sudah masuk ke dalam lift. Namun, langkahnya tertahan ketika Mat menjambak rambutnya yang panjang. "Kamu ikut denganku." Nidya meringis kesakitan, merasakan rambutnya yang seperti terlepas dari akarnya. Ia terus mengusap rambutnya tanpa mempedulikan atasannya yang berdiri di belakangnya. "Baru kerja sudah telat," sindir Leo membuat Nidya menoleh ke arahnya. "Maaf, ini tidak akan terjadi lagi," tuturnya. Mat tak bergeming, matanya masih memperhatikan ujung rambut Nidya hingga berakhir di gumpalan daging yang begitu menonjol serta padat, seolah menantangnya. "Ehm ... kamu tidak memakai make up?" Nidya hanya mengangguk tak berani menatap mata Mat. "Apa kamu ingin aku pecat! Dengar, aku paling tidak suka melihat sekretarisku tanpa make up. Jadi pakai make up-mu sekarang juga, aku tunggu di mobil." Nidya memejamkan matanya kala mendengar teriakan yang terlontar dari Mat. Pria itu keluar dari lift bersama Leo sedangkan Nidya berjalan ke toilet. Ia mencuci muka lalu memoleskan make up ke wajahnya. Setelah siap, Nidya berjalan ke mobil atasannya. "Masuk," ucap Leo. Nidya duduk di belakang bersama Mat, sepanjang perjalanan mata Mat terus melirik ke paha mulus wanita yang berada di sampingnya. Tak dapat dipungkiri jika itu benar-benar meningkatkan libidonya. “Ini benar-benar membuatku gila,” batin Mat. Lima belas menit berlalu, mobil mereka sampai di sebuah hotel. Mat keluar lebih dulu, diikuti Leo dan juga Nidya. Kedatangan mereka pun disambut baik oleh sang pemilik hotel yang sudah menunggu kedatangan mereka. "Selamat datang Tuan Matheo," sapanya. Mat hanya tersenyum lalu menjabat tangan pria itu. Ia langsung mengajak mereka ke sebuah ruang meeting yang terlihat begitu mewah dan klasik. "Apa ini sekretaris baru anda?" tanya pria itu. Matheo mengangguk lalu memperkenalkan Nidya kepada rekan kerjanya. "Namanya Nidya, dia sekretaris baruku." Nidya menunduk, tanda hormat dan kembali duduk di belakang Mat dan Leo. Sedangkan mereka bertiga duduk di kursi yang ada di sana. Nidya cukup tahu diri, ia tidak mungkin duduk jika tidak dipersilahkan oleh atasannya. "Kapan meetingnya selesai," batin Nidya. Leo lalu mengajak Nidya keluar dari ruang meeting. Ia kemudian memberikan berkas ke Nidya. "Itu skema untuk acara anniversary pernikahan Mat dengan istrinya. Jangan sampai ada kesalahan, karena Mat paling tidak suka jika acaranya tak sesuai dengan yang istrinya inginkan," ucap Leo panjang lebar. "Oke," jawab Nidya. Tak lama Mat dan rekannya keluar dari ruang meeting. Mat lalu menyerahkan berkas yang sudah ditandatangani ke tangan Nidya. "Ikuti pria itu dan bujuk dia agar menandatangani perjanjian ini." Setelah mengatakan hal itu Mat dan Leo pergi begitu saja meninggalkan Nidya dalam kebingungan. Ia kemudian mengikuti staf yang sudah menunggunya. “Mari ikut saya,” ucap staf tersebut kemudian menunjukkan kamar pria pemilik hotel. Langkahnya terhenti di kamar 201, ia lalu mengetuk pintu kamar tersebut. Tak lama pintu itu terbuka, ada seorang wanita keluar dari sana dan menyuruh Nidya untuk masuk ke dalam. Tanpa pikir panjang Nidya berjalan masuk ke dalam kamar. Netranya melebar ketika melihat pria itu tengah berbaring di atas ranjang hanya mengenakan panty saja. “Sial.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN