[ 06 ] Vegan v.s Vegetarian

1046 Kata
Perintah dokter yang membuat Rani tersadar. Betapa banyak permasalahan kesehatan yang akan dihadapinya jika ia masih saja bandel untuk tidak menurunkan berat badan. Ditambah pemikirannya tentang suami yang selalu tampak mencurigakan, membuat Rani serius menjalankan program dietnya. Tak boleh ada kata gagal lagi dalam kamus dietnya kali ini. Esoknya, ia memulai dengan Diet Vegan, dengan menu utama sayur. Wanita itu mengganti semua produk olahan hewani, seperti ikan, ayam, dan daging. Dengan tempe, jamur, dan sumber protein nabati lain. Diet Vegan, sedikit berbeda dengan Diet Vegetarian. Jika vegan sama sekali tak mengonsumsi apa pun yang berasal dari hewan, maka vegetarian masih membolehkan kita mengonsumsi s**u, telur, dan madu. Awalnya ia sedikit mual memakan nuget tempe yang diolah sendiri. Sushi atau sate dari potongan-potongan jamur. Selain itu ia mencoba berbagai jenis olahan makanan dari kacang-kacangan seperti almond, kenari, mete, dan sebagainya. Bagi dirinya yang kemarin-kemarin merupakan tipe pemakan segala, beberapa hari belakangan merasa bagai ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Ia bersusah payah harus menahan diri untuk tidak makan pecel lele, ayam geprek, atau beef teriyaki kesukaannya. Godaan paling besardalam menjalankan diet, herannya justru dari orang terdekat. Seperti malam itu. "Ran, besok masak ayam goreng mentega, dong? Bosen makan tempe dan jamur mulu," pesan Mas Dino yang sedang memainkan ponselnya, saat dirinya tengah menggosok gigi. Rani melongokkan kepala dari kamar mandi, menatapnya gemas. Ia merasa, sepertinya suaminya itu sengaja menggodanya terus-terusan. "Tempe dan jamur juga sehat, loh, Mas," katanya tak begitu jelas sebab masih menyikat giginya. "Tapi, ini udah empat hari. Ganti dong menunya, mumpung besok Sabtu." "Kalo dietku gagal gimana?" tanya wanita itu setelah berkumur. "Masih diet lagi masalahnya? Kenapa, sih, semangat amat. Nanti kamu gak empuk lagi kalo dipeluk, loh." "Kalo mau empuk, peluk guling aja sana. Memang aku spring bed, dibilang empuk," sergah wanita itu seraya berjalan menuju tempat tidur dengan memandang suaminya galak. "Meluk kamu itu enak, Sayang. Gak langsung ketemu tulang. Nyaman." Dino mengelak tuduhan istrinya dengan mulai merayunya. "Emang pernah meluk orang yang kurus, ya? Kok, tau bedanya?" mata Rani mendelik, merasa aneh dengan kalimat suaminya. "Lha. Bundaku, kan, kurus. Kakak-kakakku juga. Makanya aku lebih suka meluk kamu." "Ngerayu aja terus. Katanya ngedukung aku diet, ini malah minta dimasakin ayam goreng mentega." "Ya, bedain aja lauknya, kamu jangan makan yang itu. Tetap buat nuget tempenya. Masa kamu yang diet, orang serumah kudu diet juga. Kalo aku dan anak-anak jadi kekurangan gizi gimana?" "Kalo aku tergoda gimana?" Rani balik bertanya. "Nanti aku sumputin pas udah mateng, kamu gak boleh makan, atau makan aja kuahnya. Ha-ha-ha." "Mas, kejam." Rani mencoba memukul suaminya dengan bantal. Suaminya menangkap bantal tersebut dan menatapnya penuh cinta. "Kan, katanya biar kamu gak tergoda. Biar kamu tergodanya sama aku aja." Dino mulai mendekat, Rani paham akan ke mana arah obrolan itu bermuara. Ia, segera menyelubungi tubuhnya dengan selimut. Tepat sepuluh hari setelah ia sukses menahan diri untuk tidak menyentuh menu makanan yang berhubungan dengan hewan. Rani merasakan tubuhnya semakin ringan. Saat menaiki tangga kantor pun, napasnya tak lagi terlalu tersengal-sengal. Yup, ia kini berusaha untuk tidak menggunakan lift atau tangga jalan saat di kantor, mal, maupun tempat umum lain. Pikirnya ini cara lain agar bergerak. Sebab ia masih tidak bisa menyempatkan diri untuk datang ke gym. Akan tetapi, godaan makanan masih menjadi musuh utama bagi Rani. Sepupunya mengundang untuk menghadiri acara akikahan anak pertamanya. Di sana, tidak ada sajian menu pengganti protein hewani. Berbagai olahan daging kambing berupa tongseng, sate, dan gulai tersaji menggugah selera. Satu-satunya sayuran yang ada di atas meja hanya lalapan dan acar timun. Rani jelas dalam dilema. Dimakan program diet rusak, gak dimakan, lha, ya, kok, mubazir. Rani meneguk salivanya. "Kamu gak makan, Ran?" tanya Dino. "Jangan bilang kamu bakal makan lalapan, doang." "Sesekali makan daging gak apa-apa kali, ya, Mas?" Rani jelas saja tergoda dengan makanan serba daging yang disajikan. Apalagi ia telah lama tidak menyantapnya. Ada rindu dihatinya saat itu untuk memakan semuanya. "Kamu bukan kambing yang makan sayur mulu, Yang. Nanti bisa kena anemia, loh." Rani pun nekat, ia ambil daging di setiap menu sedikit-sedikit. "Oke, deh. Hari ini aja, stop dulu dietnya bentaran." Liurnya hampir menetes kala menyuap nasi plus lauk lengkap. Nikmatnya. Perasaan berdosa menggelayut di dadanya akibat makan daging kemarin. Esoknya ia malas-malasan untuk mulai lagi berdiet. Hingga seminggu berikutnya berlalu, program diet yang dijalankan mulai terasa berat. Ia ingin menyantap sop daging, pindang tulang, tumis kikil, rendang, dan makanan lainnya. Ditambah akhir-akhir ini ia sering sakit kepala dan seperti melayang, rupanya tekanan darahnya turun drastis. Dokter klinik mengatakan kalau dirinya mengalami gejala anemia defisiensi B12. "Terus saya harus bagaimana, Dok?"tanya Rani bingung. "Sebetulnya diet vegan dan atau vegetarian yang Ibu jalani itu sangat bagus bagi kesehatan, sebab cenderung kaya nutrisi dan rendah lemak jenuh—" "Lalu apa masalahnya?" potong Rani. "Pada akhirnya, orang hanya makan sayur saja, melupakan bahwa ia telah kekurangan nutrisi lain yang terkandung dalam olahan makanan dari hewan, seperti s**u, telur, dan daging. Nutrisi penting seperti Vitamin B12, Vitamin D, asam lemak Omega-3, dan kalsium yang juga penting bagi tubuh tak didapatkan dari menu pelaku diet vegan." "Efeknya buruk, ya?" tanya Rani mulai putus asa. "Efeknya bisa kena anemia seperti yang Ibu alami sekarang. Nah, dari anemia bisa merembet kepermasalahan kesehatan lain, seperti gangguan kesehatan otak, kekurangan kalori yang merupakan sumber tenaga, kerontokan rambut, bahkan bisa stroke, dan gangguan mental." "Idih, ngeri. Kok, bisa seberat itu efek negatifnya, Dok?" Rani berharap dirinya tak dianggap cerewet karena banyak bertanya hari itu. "Itu sebabnya, Bu Rani harus makan dengan seimbang. Boleh memperbanyak sayur, tapi olahan produk hewaninya juga tetap ada. Jadi nutrisi tubuh tetap terpenuhi. Jangan hanya menuruti tren diet semata." "Baiklah, Dok. Sepertinya kali ini saya salah lagi." Wanita itu tertunduk. "Enggak salah, kok, Bu. Hanya saja kurang tepat. Sebab diet ini harus direncanakan menunya, disesuaikan agar tak salah kaprah dalam pengaplikasiannya." "Jadi, gagal lagi dong diet saya?" "Diet yang baik, adalah yang sesuai dengan kondisi tubuh. Sepertinya model Diet Vegan tidak cocok untuk Bu Rani." Wanita itu mendesah, merasakan betapa sulitnya ia harus menjalankan diet hanya demi menurunkan berat badan. Akan tetapi, jika ia berhenti sekarang maka terasa sia-sia perjuangannya. "Ada sembilan macam jenis diet populer, dan ini semua hasil dari browsing di internet di waktu lalu. Masa iya, harus aku coba satu-persatu?" = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN