[ 07 ] Karbohidrat = Musuhku

1113 Kata
Meja kerja Rani penuh dengan kertas yang menumpuk, ia sendiri heran bagaimana mudahnya tumpukan kertas itu meninggi. Padahal sedari tadi ia belum sempat beristirahat sampai matanya terasa lelah. Pihak Armada baru saja menyetorkan hasil sortir surat jalan selama tiga hari. Belum ditambah Loading Instruction yang harus di input manual serta dicocokkan dengan system penyaluran. "Ran," tegur Sri yang baru saja kembali dari toilet. Panggilan wanita itu membuatnya tersadar dan menurunkan headset yang menggantung di kepalanya. Mendengarkan musik selagi bekerja adalah kebiasaanya agar tetap fokus bekerja dan tidak banyak mengobrol. "Ada apa, Sri," jawab wanita yang tak mengalihkan pandangan dari layar komputernya. "Tadi aku ketemu Mbak Tari, dia bilang kamu di suruh Bos untuk ikut dia menemani klien, makan siang hari ini," jelas Sri segera sebelum ia duduk di kubikelnya yang berseberangan letaknya dengan Rani. "Duh, kerjaan numpuk gini. Gak bisa yang lain aja gitu?" tanya Rani seraya menatap wajah Sri sekilas. "Mbak Santi dan Angel katanya lagi ada kunjungan ke sekolah yang nerima bantuan dari kantor kita. Katanya Mbak Tari, klien kita ini memang banyak kaitannya dengan pekerjaan di Distribusi, makanya si Bos nyuruh kamu." "Iya, deh. Jam berapa katanya?" tanya Rani seraya tangannya yang tidak berhenti memegang keyboard dan mouse bergantian dengan cepat. "Lima belas menit lagi berangkat, ditunggu secepatnya di lobby, katanya." Sri menatap arloji kecilnya di lengan kiri. "Astaga, lima belas menit? Mampus! Ini aja belum kelar," gerutu Rani, ia segera menyingkirkan beberapa pekerjaan yang lain seraya masih mengerjakan pekerjaan yang sedang ditunggu oleh orang pusat itu. "Iya, nanti Mbak Tari juga ikut, kok." "Oke, deh. Bentar aku tinggal nyimpen ini, terus ngirim data ke pusat. Yang lain aku kerjain sepulang dari makan siang aja." Rani berkata sendiri sambil tangannya tak diam mengerjakan dengan cepat. "Kalo ada yang bisa aku bantu, sini aku bantu. Kebetulan konsumen industri udah abis. Jadi aku sedikit longgar." Sri berdiri memandangku yang bekerja dengan kecepatan kilat. "Wah, tumben. Biasanya kamu sibuk mulu, Sri." "Hari ini lagi aman, tapi jangan lupa, ya, bungkus satu buat aku. He he he." "Eh, ternyata ada udang dibalik rempeyeknya." "Enak tuh, peyek udang." Rani tertawa seraya membereskan tas dan barang bawaannya, lalu tak lupa sebelumnya ia menutup semua kertas kerja yang belum selesai dikerjakan. Terakhir ia menekan tombol mouse untuk mengirimkan data. Ia berdiri lalu menuju kubikel Sri, seraya membawa map. "Ini, Sri. Tolong di check list aja, sesuai gak nomor loading order dengan kuantitasnya. Kalo ada yang gak sesuai ditandai aja, nanti aku cek ulang." "Oke, Ran. Cuma selembar?" "Siapa bilang selembar, itu contoh doang. Nih, kerjain aja semampunya." Rani memberikan isi map yang lain. Menyerahkan kepadanya lagi 21 lembar berikutnya kepada Sri. Perempuan dengan rambut pendek itu menengadah. "Ini azas manfaat namanya, kirain cuma selembar." Sri memanyunkan bibirnya. "Deuh, bayaran buat bungkus makan siang masa cuma selembar. Selamat mengerjakan, Mbak Sri yang cantik jelita, tabah-tabah, ya." Sri mencoba mencubit lengan Rani yang tebal, tetapi ia masih gesit. Dengan segera ia mengelak dan keluar ruangan. Selagi berjalan menuju lobby, Rani mengingat lagi pesan dokter klinik langganannya yang menyarankan untuk diet karbohidrat. Diet ini memang sangat besar kemungkinan untuk lebih cepat kurus. Sebab wajib mengurangi nasi dan hanya makan sayur, serta lauk pauk lebih banyak. Pikir Rani, karbohidrat di sini hanyalah nasi saja. Namun, ternyata makanan yang mengandung karbo cukup banyak yang harus dihindari. Apa daya, wanita yang biasa makan mie bersama nasi, gorengan minimal lima sekali makan, siomay, keripik kentang, roti, dan mie ayam dan atau bakso sebagai camilan merasa tersiksa. Setelah ia mempelajari lagi tentang diet karbo. Ternyata, karbo juga terdapat pada buah-buahan, kacang-kacangan, oat, umbi-umbian, kismis, dan kurma. Jadi, sebetulnya selain nasi, jika kita memakan makanan tersebut sudah mencukupi kebutuhan harian. Walau tersiksa ia masih terus menjalankannya, kali ini tidak sekaligus seperti kali yang lalu. Ia mengurangi porsi sedikit demi sedikit. Dari dua piring, menjadi satu piring di dua minggu pertama. Setelah perutnya mulai terbiasa dengan porsi tersebut, ia kembali menguranginya menjadi setengah piring saja. Kini satu bulan sudah ia menjalani diet karbo, hasilnya lumayan memuaskan, badannya terasa ringan. Rani teralih dari lamunannya saat Tari melambai padanya setelah ia keluar dari lift. "Makan di mana, Mbak Tari?" tanya wanita itu segera. "Pindang Dea," jawab perempuan itu seraya menggandeng tangannya. "Waduh!" "Kenapa?" "Gak bisa di tempat lain? Saya bisa khilaf, nih, kalo makan di sana." "Bos, tuh, yang minta ke sana. Lagian kliennya dari Jakarta, katanya pengen cicip masakan khas sini." "Oh, gitu. Terus, kenapa Mbak ngajak saya, sih? Mbak, kan, tau saya lagi diet." "Sekali-kali dietnya libur dulu." Rani menelan ludah, ia membayangkan ikan patin atau baung yang dipindang polos atau diberi tempoyak. Ah, membayangkannya saja liur Rani sudah mengalir. Belum lagi jika ia menyeruput kuah pindang yang segar dengan tambahan irisan nanas di dalamnya. Asam, manis, gurih rasanya. Lalu, ikan dicocol dengan campuran dua macam sambal kesukaannya, yaitu sambal terasi dan mangga kweni. Sebagai tambahan penggugah selera, petikan berbagai macam lalapan yang dicampur menjadi satu. Wanita yang kini sudah mulai terbiasa menahan lapar segera saja merasa sangat lapar. Sesampainya di rumah makan, Tari berinisiatif sebagai sekretaris untuk memesan makanan yang akan disajikan. Sedang Rani langsung memberikan beberapa jawaban terkait hal yang sedang didiskusikan sang bos dengan kliennya. Setengah jam kemudian semua jenis makanan yang sudah dibayangkan Rani telah lengkap berada di atas meja, ditambah ikan seluang goreng kering sebagai makanan pendamping selain tempe, tahu, dan perkedel jagung. Tambahan pesanan Pak Bos berupa udang satang bumbu kari, membuat perut keroncong akan bergetar tak sabar untuk bersantap. Benar saja, semerbak harum berbagai jenis makanan membuat Rani khilaf. Dengan nekat ia mengambil satu piring nasi panas yang baru saja diletakkan. Nasi yang masih mengepul hangat itu jelas akan menambah selera. Setelah berdoa dalam hati masing-masing. Segera saja semuanya mulai makan sambil sesekali bicara tentang nikmatnya makanan, atau tempat wisata yang menjadi ikon kota kami. Pembicaraan yang menyenangkan ditambah lauk favorit, membuat Rani dengan cepat menghabiskan sepiring nasi. Di atas piring makannya masih terdapat sedikit sambal yang tersisa, ditambah ikan patin yang masih setengah termakan. Dia pikir akan memakannya tanpa nasi. Namun, Tari mengambil bakul nasi dan menyendok nasi dengan centong ke piringnya, ia menatap wajah Rani sekilas dan tersenyum penuh arti. "Nambah, ya, Ran." Tanpa menunggu jawaban ia menambahkan dua centong nasi ke atas piring perempuan itu. Rani sedikit bingung, tetapi harum nasi yang masih hangat itu tentu saja lebih menggoda. "Lupakan dulu dietnya hari ini, rugi, loh. Tuh, ikannya masih banyak." Tari menunjuk piring Rani. Rani mengangguk ragu. Setelah suapan pertama. Ah, bodo amat! Perempuan itu pun mengambil lagi sambalnya, dan kembali makan dengan nikmatnya. Urusan berat badan naik, gampanglah. Besok lanjut lagi dietnya. "Sebab, menjadi kurus atau gemuk adalah pilihan, tetapi makan enak adalah kebutuhan." = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN