[ 05 ] No Dinner!

1214 Kata
Sore sepulang kerja, Rani mampir ke rumah kakak perempuannya—Dina. Dina bekerja sebagai guru tari. Tubuhnya tidak pernah berubah meski telah berusia 40 tahun dan memiliki tiga anak. Kakaknya ini adalah orang terdekat Rani setelah ibunya. ia datang karena ingin mencurahkan perasaan tentang permasalahan rumah tangganya. Memasuki halaman depan, Rani disambut beberapa murid Dina yang tubuhnya rata-rata mirip model sampul majalah. Hanya beberapa gelintir yang sedikit berisi, tetapi tetap gemulai ketika menari. Membuat Rani ingin mengembalikan tubuhnya seperti saat masih gadis, tak rela rasanya jika sang suami tergoda perempuan lain di luar sana, gara-gara tubuhnya yang tak lagi aduhai. "Tumben, kamu ke sini di hari kerja, Ran? Pasti ada sesuatu," tegur Dina seraya menatap adik satu-satunya itu. "Mampir bentar, Mbak. Mau lanjutin ceritaku semalem." Rani balas menatap wajah kakaknya yang telah lama menggantikan sosok ibunya. "Kamu telusuri dulu. Jangan percaya gitu aja, mungkin ada seseorang yang tidak suka dengan kedekatan mereka. Apalagi ini kaitannya dengan bisnis." "Iya, Mbak. Tapi hatiku belum bisa tenang. Perempuan itu cantik dan langsing, bikin aku ketar-ketir dan curigaan terus sama Mas Dino." "Cemburu memang menguras hati, jadi berhati-hatilah, tapi kamu harus tetap jaga hati." "Duilah, Mbak. Ribet amat bahasanya." "Ya, wajar memang. Ngejaga hati suami yang ganteng kayak Dino, memang harus rada ekstra. Tapi, jangan sampai malah kamu cemburu buta. Laki-laki kalo terlalu dikekang talinya bisa putus juga." "Terus aku harus bagaimana?" tanya Rani. "Makanya dari dulu Mbak bilang, supaya kamu harus terus jaga badan dengan tetap nari, eh, ini malah berhenti total, langsung melar, 'kan?" "Aku gak kerepotan, Mbak. Urusan kantor dengan rumah aja kadang keteteran." "Ya udah, olahraga ringan aja, yang penting kamu banyak gerak. Jangan duduk mulu depan komputer." "Nah, ini. Susah, Mbak. Aku kadang bisa lebih dari empat jam gak bergerak saking sibuknya." "Kalo gitu, jangan banyak ngemil dan makan malam. Paling gak energi yang keluar sama dengan asupan yang masuk, jadi gak berat sebelah." "Kenapa gak boleh makan malam?" "Kan, katanya mau kurus. Kalau makan pagi dan siang itu harus. Karena kita masih melakukan aktivitas. Tapi, kalau malam, kan, udah gak ada." "Ehm, masuk akal juga, ya." "Tapi, kalau kamu bener-bener laper, boleh makan malam. Yang penting usahakan sebelum jam enam sore." Rani mengangguk-angguk. "Oke, kalau gitu aku coba mulai besok." "Goodluck, Ran. Btw, kenapa mesti besok? Malam inilah dimulainya." "He he he, kirain dapet korting" "Kamu kira ini pasar, apa?" Mereka tertawa bersama. "Thanks, ya, Mbak Din. Aku pulang dulu." Mulai malam itu, Rani tidak menyentuh makan malamnya. Ia menelan ludah saat Mbok Yah menyuapi anak-anak. Beberapa saat kemudian, Dino pulang. Ia mengangkat bungkusan plastik dengan ceria. "Apa itu, Mas?" sambutku. "Martabak Bangka FS. Favorit kamu, rasa jagung manis keju." "Apa?!" Tujuh hari berikutnya. Rani terus menahan diri untuk tidak bersantap malam. Herannya, Dino seperti sengaja menggoda. Ia akhir-akhir ini selalu pulang membawa berbagai macam makanan street food kesukaan mereka berdua. Seperti malam ini. Ia membawa ketoprak Bang Sut, langganan kami. Makanan itu salah satu favorit sejak hamil anak pertama. Bumbunya selalu medok, pedasnya pas, harganya murah, tapi isinya banyak. Bang Sut, juga selalu menambahkan potongan tahu dan kerupuk jika Mas Dino yang membelinya. Tergoda sudah. Rani sudah tak tahan. Diambilnya bungkus dengan ikatan dua karet, yang berarti ekstra pedas. Satu piring penuh dihabiskannya dalam sekejap. "Enak, Yang?" tanya Dino seraya tersenyum. "Iya, enak," jawabku sambil nyengir kekenyangan. Berantakan sudah. Niat, tak lagi makan malam. Tinggal kenangan. Rani menelepon Dina. Malam itu, berniat menyerah pada usahanya kali ini. "Halo, gimana Ran? Sudah dicoba? Gimana hasilnya?" tanya kakak perempuannya itu segera setelah mengangkat telepon dan menjawab salam. "Sudah, Mbak Din. Tapi, aku heran. Kenapa kalau malam, semua makanan terlihat enakkk sekali." "Sabar, Ran. Itu cobaannya Kamu harus tahan." "Harusnya, tapi malam ini godaanya ketoprak Bang Sut. Mana tahan." "Ha ha ha, kasian. Ya udah, gak apa-apa. Anggep aja bonus seminggu udah kuat nahan. Jangan berhenti, lanjutin terus." "Iya, deh. Aku usahakan. Semoga kuat." "Inget, Ran. Di mana ada usaha. Di situ ada jalan." Rani mengangguk mengiakan. Meski kakaknya tak melihat. Kini, dua bulan sudah Rani tidak pernah makan malam. Setelah kembali menimbang, ternyata berat badan hanya turun tiga kilo saja. Lagi-lagi ia merasa hampir putus asa. Sebetulnya hal yang wajar jika hanya turun sedikit. Sebab ia hanya menahan makan malam. Namun, di pagi dan siang hari ia seperti balas dendam. Makan semaunya. Berbagai jenis camilan tersedia di laci, dapat diambil kapan saja, sesuka hatinya. Apalagi untuk banyak bergerak. Rani tidak bisa melakukannya. Berbagai jenis laporan pekerjaan harus diselesaikan setiap harinya. Apalagi saat itu sudah memasuki akhir bulan, dan seperti biasa tiap awal bulan laporan bulanan sudah harus di meja bos untuk diverivikasi. Beberapa hari selanjutnya, pekerjaan Rani hanya duduk di depan komputer dan semakin jarang bergerak. Sampai, selepas ia menyelesaikan laporan terakhir. Ia merasakan nyeri hebat pada punggung dan lututnya ketika berdiri setelah duduk selama lebih dari empat jam. Dokter klinik memarahinya. Ketika ia berkeluh kesah. "Kalo duduk lama begitu, minumnya banyak, gak?" tanya sang dokter. "Enggak, Dok. Soalnya, kalo banyak minum sering pipis. Repot rasanya harus bolak-balik toilet, apalagi kalo sedang tanggung kerja. Nahan pipis, kan, gak enak," jawab Rani jujur. "Dasar bandel. Ehm, berdasarkan keluhan sakitnya. Ini, sih, sindrom tulang belakang akibat jarang bergerak dan sering duduk. Selain itu, nyeri pada kaki, saya pikir lebih banyak disebabkan karena tubuh Bu Rani yang kegemukan sehingga tulang kaki merasa lelah harus menopang beban berat." "Gitu, ya, Dok? Saya juga sering merasa lelah berlebih. Padahal gak banyak aktivitas, apakah karena faktor kegemukan juga?" "Benar, organ tubuh Ibu, terlalu lelah mengedarkan nutrisi di tubuh Bu Rani, karena areanya yang luas. Akhirnya, darah meninggalkan nutrisi di sembarang tempat guna mengurangi bebannya. Ini bisa berakibat penimbunan lemak, jantung koroner, stroke, dan lain-lain. "Kebiasaan Bu Rani yang kurang minum, akan memperburuk keadaaan. Sudahlah organ bekerja berat, ia juga kurang cairan. Jadilah nanti gangguan pada ginjal, hati, dan organ lain. Apalagi Ibu jarang bergerak, otot menjadi kaku dan dapat menyebabkabkan disfungsi tubuh, atau bisa juga apa yang biasa disebut orang sebagai 'otot kejepit'." "Waduh! Banyak amat, Dok?" "Ya, memang begitu. Kebiasaan buruk akan berdampak buruk. Jelas kebiasaan baik akan berdampak baik pula. Tinggal Ibu pilih, mau sehat atau enggak?" "Sehat dong, Dok." "Kalo mau sehat, mulai sekarang atur pola hidupnya dengan gaya hidup sehat, perbanyak minum air putih, berolah raga, dan istirahat cukup. Khusus Ibu Rani, mungkin terasa berat pada awalnya, tapi kalo dilakukan dengan disiplin maka nanti lama-kelamaan akan terbiasa." "Baiklah, Dok. Akan saya lakukan. Terima kasih banyak, ya." "Sama-sama, Bu. Oya, sebagai tambahan. Pola hidup yang sehat juga akan berpengaruh pada cerahnya kulit dan kecantikan, loh." "Sungguh, Dok?" Rani bertanya tak percaya. "Memang saya ada tampang tukang bohong, ya, Bu?" Rani tersenyum malu. "Enggak, Dok. Tapi, saya punya teman tubuhnya kurus. Wajahnya sedikit kusam dan gak cantik-cantik amat. Korelasinya di mana?" "Pola hidup sehat beda dengan sekedar diet, Bu. Dia kurus tapi jarang olahraga dan istirahat cukup, juga gak akan bagus bagi tubuhnya. Pola hidup sehat ini satu kesatuan. Jangan dipisah-pisah." Rani mengangguk tanda mengerti. Sang Dokter melanjutkan, "Ini saya kasih beberapa brosur dan link internet yang bagus untuk pilihan program diet, boleh pilih mana yang cocok." "Wah, terima kasih, Dok." Rani tersadar, betapa dirinya selama ini telah menyia-nyiakan kesehatan tubuhnya. Memperlakukan perut seolah-olah tempat sampah, padahal tak semua makanan baik dan diperlukan bagi tubuh. = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN