[ 18 ] Move!

1048 Kata
Suasana kantor di pagi hari jelas saja sepi. Rani sengaja datang lebih pagi, ia telah berbicara Panjang lebar bersama Dino semalam. Bulan depan ia akan mengundurkan diri. Sekarang ia tengah mengetik surat pengunduran dirinya, berpikir siapa yang layak menjadi pengganti dirinya di antara para sejawat, dan tentu saja selama beberapa hari ini ia harus menyelesaikan laporan yang belum sempat dikerjakan. Mesin printer berbunyi pelan seraya mengeluarkan kertas putih yang bertuliskan permohonannya. Keputusan dirinya sudah bulat, senyum kecil tersungging di bibirnya ketika melipat surat itu dan memasukkannya ke dalam amplop putih. "Pagi, Mbak!" sapa Sri yang masuk ke dalam ruangan distribusi dengan sedikit merengut. "Kenapa pagi-pagi udah manyun gitu?" tanya Rani. "Biasa, Mbak. Pagi-pagi perang dunia dulu di rumah. Si kembar semalam demam, pagi ini sudah mendingan, tapi masih males makan, jadinya nyuapin dulu, deh." "Wah, iya bener banget, aku juga kadang bingung, kenapa, lah. Kalo pagi anak-anak selalu ada aja dramanya." "Nah, bener, Mbak. Pake acara maunya makan di luar rumah, eh, yang satu maunya sambil nonton tivi, udah gitu suami asih molor karena dapet shift sore." "Bukannya ada mbak yang jaga anak-anak." "Berhenti seminggu yang lalu, untung ada tetangga yang mau bantu jaga, Cuma datengnya jam tujuh, gak bisa lebih pagi." "Waduh, ribet banget, ya? Eh, btw, maaf, Mbak tadi bilang suami, emang sudah balikan lagi?" "Iya, Mbak. Kami baru aja rujuk. Doain aja semoga kali ini langgeng." "Aamiin ... Oya, Kenapa gak resign aja, Sri? Suami, kan, kerja." "Maunya, Mbak. Tapi, mana cukup biayain anak kembar hari gini. Aku denger dari tetangga yang baru aja masukin anaknya TK, biaya masuknya udah satu juta dua ratus, karena anakku kembar berarti aku harus siapin dua kali lipat." "Ah, iya. Suami gak coba kerja sambilan?" "Udah, Mbak. Sekarang dia ngojek online, Cuma tau sendiri, ojek online sudah mulai banyak. Pendapatan juga yang penting cukup buat nambah penghasilan. Aku gak mau maksain juga, takut dia sakit, Mbak." "Yang sabar, ya, Sri. Hidup di kota besar bagi wanita pekerja seperti kita ini sepertinya ada aja masalahnya." "Iya, Mbak. Namanya orang idup, gak mungkin ada masalah. Ngomong-ngomong itu surat apa, Mbak? Dari tadi dipegang-pegang." "Aku nunggu Pak Bos, ini surat resign. Aku mutusin buat berhenti kerja bulan depan." "Serius, Mbak?" "Serius, aku pusing ngatur waktu antara rumah dan kantor, sedang aku juga butuh waktu untuk diri sendiri." "Gitu, ya, Mbak. Semangat jadi ibu rumah tangga, Mbak." Rani tersenyum, sempat ia terpikir dengan pertanyaan suaminya tadi pagi. "Kamu yakin, Yang?" "Insyaallah, Mas." "Kalo sudah yakin jangan ngeluh, loh, nanti." "Ngeluh apa, Mas?" "Ngeluh bosan karena di rumah terus, sibuk ngurus anak dan rumah. Mungkin justru waktu me time-mu akan lebih sedikit nantinya." "Kok, gitu ngomongnya. Nanti dukung aku, dong. Kalo aku mulai bosen kamu ajak jalan-jalan, shoping, atau bantuin kerjaan rumah." "Kamu, kan, tau bisnis baruku akan membuat aku sering pulang larut dan keluar kota." "Ya, aku berharap nanti aku bisa kuat, lagian Mbok Yah, kan, masih kerja sama kita." Dino menatap wanita yang tekadnya telah bulat itu, lalu ia mengecup keningnya dan beranjak untuk mandi. Setelah menyerahkan surat pengunduran dirinya, wanita itu keluar dari ruangan Pak Bos dengan senyum lebar. Semenjak hari itu ia disibukkan dengan mengajari Angel yang menjadi penggantinya, pekerjaan yang belum sempat ia kerjakan juga telah selesai hanya dalam waktu satu minggu. Selanjutnya Rani memiliki banyak waktu untuk menjalankan diet yang tdak menyiksa seperti sebelumnya. Selain mengundurkan diri, tekad bulat lainnya adalah menguruskan badan, baginya jika ia telah memulai sesuatu pantang baginya untuk mundur. Sebulan berlalu begitu cepat. Efek diet yang lebih baik membuat dirinya lebih bahagia, senyumnya juga semakin cerah. Walau tubuhnya memang tak terlalu terlihat kurus dalam sekejap. Namun, akibat makan makanan yang baik untuk tubuh berdampak pada kecerahan wajah dan kulitnya yang kini tampak lebih sehat, jauh dibandingkan sebelumnya saat ia lebih banyak mengkonsumsi makanan yang berlemak dan tidak sehat. "Cie, Mbak Rani, makin hari aku perhatikan, tambah segar dan bugar, ya?" ucap Santi seraya memperhatikan tubuhnya dari atas sampai bawah. "Oh, ya? Masa, sih, Mbak?" tanya Rani butuh kejelasan. "Pertahankan, Mbak, jangan berhenti di tengah-tengah, nanti gembul lagi kayak dulu, kan, gak asyik." "Insyaallah, kali ini saya menjalankannya dengan santai, gak terlalu ngotot seperti dulu." "Semangat Mbak Rani." "Siap, Mbak. Saya juga mau ngucapin terima kasih, dulu berkat kata-kata Mbak, saya akhirnya terpicu buat diet." "Ho-ho-ho, saking takut sang suami selingkuh agaknya?" "Ya, namanya perempuan. Walaupun suami jelek dan gak punya kerjaan, kalo dia selingkuh pasti keder juga rasanya, apalagi ganteng dan mapan seperti suami saya." Rani sedikit mengejek Santi, ia kesal dan ingin memberinya sedikit pelajaran akibat kata-katanya yang kadang menyinggung perasaan. "Ah, iya, Mbak. Kalo udah resign, tetap jaga penampilan Mbak, jangan kayak Babu dan bau bumbu, nanti suami cari yang penampilannya bak model dan wangi parfum, loh." Rani terdiam, memang wanita di depannya tak bisa dilawan jika urusan ejek-mengejek secara halus, ia selalu saja bisa berkelit. Meski yang diomongkannya benar adanya. Mau tak mau Rani memikirkannya. Sebulan ini wanita itu memang belum sempat berolahraga rutin. Akan tetapi ia yang dulunya malas bergerak dan malas-malasan berolahraga kini lebih rajin menggerakkan tubuh. Setiap setengah jam sekali ia meregangkan tubuh, berolahraga kecil di tempat, serta mengalihkan pandangan selain ke layar komputer selama 15 menit lalu kembali melakukan aktivitasnya dan diulang beberapa saat kemudian. Lalu ia juga kini lebih memilih menggunakan tangga daripada elevator atau lift, meletakkan tempat sampah jauh dari jangkauannya sehingga ia membutuhkan usaha untuk bergerak meski hanya hal kecil, dan lain-lain. Di hari libur, sengaja mengajak anak-anaknya untuk berjalan-jalan keliling komplek perumahan sambil menyapa tetangga dan menghirup udara segar pagi hari. Dulu ia jarang melakukannya karena di hari libur justru membuatnya ingin banyak di rumah dan memilih berbaring di tempat tidur atau sofa. Pilihan olahraganya pun yang sifatnya menyenangkan dan tidak terlalu serius seperti jogging, sepeda, berenang, dan zumba. Sang suami yang telah memperhatikan kebiasaan barunya tersenyum senang, saat ia menelepon hanya demi mencari tahu keberadaan dan keadaan istrinya. Namun, entah mengapa di hati laki-laki itu, malah tebersit rasa cemburu. Bilakah wanitanya yang kini semakin tampak menawan justru memamerkan kecantikannya pada pria lain di luar sana. Apalagi ia sendiri, saat ini semakin sering berada di luar rumah. Pekerjaan utamanya yang dari pagi sampai sore di bidang IT, ditambah bisnis barunya sepulang kerja hingga larut malam, membuatnya jarang bersentuhan dengan sang istri. = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN