[ 19 ] Cemburu Lagi

1433 Kata
Hari itu, hari Senin pertama Rani tidak bekerja, ketika alarm membangunkannya ia terbangun dengan segera. Namun, ketika mengingat ia tidak perlu terburu-buru sebab tak harus ke kantor membuatnya kembali membiarkan matanya terpejam. “Lima menit lagi,” lirihnya pada diri sendiri. Sebuah lengan kekar keluar dari selimut. Meraba lembut perutnya yang berlemak dan empuk. Dengan sekali hentakan ia menarik tubuhnya mendekat ke dalam dekapan laki-laki yang tidur di sebelahnya. Menciumi belakang telinga dan lehernya. “Geli, loh, Mas,” ucap Rani seraya berbalik guna menatap wajah sang suami yang masih memejamkan mata tetapi senyum terukir di bibir yang tipis. “Sekali lagi, ya, Nis.” Rani terbelalak. Ia langsung terduduk dan menatap Dino dengan tak percaya. Pendengarannya masih sangat baik. Dengan geram ia membangunkan laki-laki itu dengan kasar. “Apa kamu bilang? Nis! Nissa! Faranissa maksudmu?!” Laki-laki itu membuka matanya sedikit bingung dengan perlakuan istrinya yang tiba-tiba. “Ada apa, Ran?” tanya laki-laki itu. “Ada apa, ada apa! Kamu tadi mengigau dan nyebut nama Nissa. Jadi kalian sudah berbuat sejauh apa, hah!” “Apa, sih, Ran. Namanya mimpi, mana aku tau dan sadar, bisa aja tadi mimpi tentang pekerjaan yang dikerjakan bareng Nissa.” “Oh, pekerjaan yang dilakukan sembari memeluk tubuhnya erat, lalu mencium belakang leher dan telinganya, membuatnya menggelinjang, dan kamu tak sadar kalau yang baru saja kau peluk itu aku, istrimu!” “A-aku, sungguh, Ran. Aku gak tau. Aku gak sadar, bisa aja tadi kamu salah dengar.” “Rani dan Nissa, mempunyai huruf awal yang berbeda. Kalo aku salah dengar terlalu jauh rasanya, yang pasti kamu sekarang sedang mencari alasan, Mas.” Rani bangkit dari pembaringan, mencari-cari sandal kamarnya, lalu tergesa-gesa menuju kamar mandi dan membanting pintunya. Dino terhenyak, ia tak tahu harus bagaimana meredakan kemarahan istrinya. Ia kini menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Berpikir dan mencari cara agar Rani tak lagi marah. Ia mengetuk pintu kamar mandi perlahan. Namun, wanita di dalamnya tak memberikan jawaban. Malah sepertinya ada bunyi barang-barang yang berjatuhan. Laki-laki itu mundur, sebaiknya ia membereskan kamar agar sang istri melupakan kejadian tadi. Sarapan pagi itu sangat hening, perempuan dengan dagu lancip di depan Dino masih tampak cemberut. Ia hanya meladeni kedua buah hatinya, sedang laki-laki itu dengan diam mengambil piring dan menyendok nasi goreng sendiri. Nasi yang diambil hanya satu centong, tetapi Dino sangat lambat memakannya sebab sekali-sekali mencuri pandang terhadap Rani. “Uhuk!” Dino terbatuk, ia tersedak. Rani menatap laki-laki itu, sedetik pandangan mereka bertemu, Laki-laki itu sempat melempar senyum dan memohon dengan matanya bahwa ia membutuhkan air minum. Rani dengan enggan berjalan menuju dapur mengambil gelas dan teko air minum dan menuangkannya. “Terima kasih, ya,” ucap Dino tulus. “Hem,” jawab Rani pendek. Ia tak tahu apakah kejadian tadi pagi hanya khayalannya atas pemikiran yang masih belum stabil atas kecemburuannya terhadap suaminya atau itulah kenyataannya. Setelah membereskan urusan anak-anak, Rani pun pergi ke kamar. Mendapati sang Suami yang tengah menelepon seseorang. Ketika wanita itu masuk, Dino cepat-cepat memutuskan pangilan yang sedang berlangsung, memasukkan ponsel ke dalam tas kerjanya. Rani masuk ke dalam walking closet dan mengganti pakaiannya. Lalu keluar dengan pakaian lengkap. Dino menatapnya lama, perempuan itu memakai rok plisket berwarna abu-abu dan kaos hitam dan hijab warna senada, tubuhnya tampak sedikit lebih langsing akhir-akhir ini. Memang Rani telah kapok dengan penderitaan yang dialami akibat diet berlebihan, berdasarkan pengalamannya selama beberapa bulan itu, ia kini sedang belajar menerima kondisi tubuhnya dan memulai hidup sehat seimbang. Wanita itu hanya memilih pakaian yang sekiranya akan menutupi kelebihan lemaknya dengan menggunakan warna-warna gelap, corak yang lebih kecil, memilih pakaian dengan bahan bersifat jatuh, atau menghindari bentuk pakaian yang bergaris horizontal. Hatinya yang masih berantakan akibat kejadian pagi ini, membuat dirinya berniat untuk keluar rumah. Ia yang kemarin-kemarin yakin telah mendapatkan cinta sang suami lebih dari orang lain, bahkan mungkin sebetulnya laki-laki itu tidak pernah selingkuh. Akan tetapi, kini rasa ragu kembali menggelayuti pemikirannya. Ia balik memandang sang suami yang menatapnya dengan heran. “Mau kemana, Yang? Tumben pagi-pagi gini udah cantik,” tegur Dino. “Emang kamu aja yang bisa ke luar rumah, aku juga bisa. Aku bosen di rumah, sekali-sekali mau keluar rumah. Aku, kan, bukan tahanan. Sekalian cuci mata.” “Cuci mata gimana? Kamu ini kalo ngomong bikin aku gemes, loh.” “Gemes mana sama Nissa?” “Sama kamu, lah?” “Kalo gitu kamu minta tambah sekali lagi tadi sama dia itu apa?” “Aku? Nambah? Sekali lagi apa? Please, Ran. Udahan ngambeknya. Kamu sengaja, ya, bikin aku kesal begini.” “Kamu kesal? Lalu bagaimana denganku? Kamu bisa berduaan dengan Nissa, aku juga nanti—“ “Rani!” hardik Dino. “Tolong, kalo aku memang salah aku minta maaf, walau aku gak tau salah aku apa. Kamu ngeributin igauan aku tadi pagi, memang aku sadar, aku mengigau tentang apa? Enggak, kan? Bisa aja aku mimpi hal lain.” “Mimpi berduaan dengan Nissa?” sahit Rani sarkas. “Enggak, sejujurnya aku bahkan gak inget mimpiku tadi pagi. Jadi, jangan mengada-ngada hal yang tidak ada, dan kalau kamu mau pergi karena pertengkaran ini, kumohon jangan lakukan. Aku takut kamu malah nekat.” “Aku cuma mau jalan-jalan, aku sumpek di rumah terus.” “Pulang jam berapa?” “Kenapa nanya? Kamu aja pulang malam, bahkan hampir dini hari aku gak nanya.” “Itu karena aku kerja, kalo kamu sekarang sama sekali gak ada alasan untuk keluar.” “Terus aku harus seperti boneka gitu? Diem aja di rumah sedang kamu ke mana aku gak perlu tahu.” “Gak seperti itu juga, jangan biarkan cemburu membuatmu marah-marah seperti ini. Kata kamu, kalian berdua sudah akrab, kenapa sekarang nama Nissa dibawa-bawa lagi?” Rani memandang Dino. “Oke, aku tahu. Pesan yang aku terima beberapa waktu lalu tentang kedekatan kalian adalah kebohongan, aku juga menertawakan diri sendiri karena cemburu buta seperti itu. Tapi ….” “Kamu masih belum percaya padaku?” Rani terdiam, hatinya berkata, ya. Wajahnya mendongak dan menatap mata laki-laki di depannya. “Aku percaya, hanya saja aku tidak mempercayai orang-orang di sekitarmu. Kau mungkin bisa mempertahankan cintamu padaku, tapi mereka akan terus menggoda hingga Mas Dino lengah. Foto-foto itu adalah buktinya.” Dino memeluk sang istri, memeluk seraya mengelus hijabnya dengan rasa sayang. Rani masih terus berkata dalam dekapan sang suami, “Kalo, Mas Dino, berada di posisi aku. Apakah, Mas, akan membiarkan saja aku direbut orang?” “Tidak akan! Aku akan mempertahankanmu. Karena aku mencintaimu.” Dino menggeleng cepat. “Ngerayu!” “Iya, ini memang rayuan. Karena aku gak suka kamu cemberut begini.” “Kata kamu kalo aku cemberut tambah cantik, sekarang gak suka. Jadi aku mesti percaya sama yang mana?” “Kamu memang tambah cantik kalo cemberut, tapi akan lebih cantik kalo tersenyum. Masih gak percaya kalo aku cinta kamu apa adanya?” “Cantikan mana aku sama Nissa?” “Cantikan kamu, karena bisa kusentuh sesuka hati, empuk lagi.” Rani memukul d**a laki-laki di depannya. Sedang Dino menatap matanya. “Senyum, dong, masa suami mau pergi kerja kamu cemberutin?” Rani tersenyum kaku. Dino gemas, ia mengecup bibir wanita itu sekilas, Rani tersenyum malu. Lalu laki-laki itu kembali menciumnya lebih dalam dan mesra. Mereka saling berpagut, laki-laki itu menghabiskan lipstick yang baru saja dipoles Rani saat berhias tadi. Setelah beberapa waktu, Dino melepas ciumannya. Mencubit dagu wanita yang berada di dalam pelukannya. “Kita lanjutin nanti, ya. Aku hampir terlambat, nih. Dan kamu gak usah ke mana-mana. Besok aku bakal cuti, kita jalan-jalan ke luar kota, oke.” “Kamu bukannya lagi sibuk?” “Setelah aku pikir, kita memang butuh liburan. Kalo perlu bulan madu kedua.” Dino mengecup kening wanita itu lalu kedua pipinya. Kemudian keluar dari pintu. Rani menatap punggung laki-laki itu. Ia beranjak menuju balkon, menatap sang suami yang sempat melambai dari depan mobilnya setelah kemudian menghilang di balik kemudi. Mobil pun keluar dari halaman. Pijakan gas dari Dino membawa kepulan debu jalan dan mobil pun melaju meninggalkan area perumahan. Rani berbalik, ia mengambil ponsel di atas nakas. Wanita itu menimbang-nimbang, sebelum akhirnya ia menghubungi sebuah nomor yangsudah.kama tak dihubungi lagi. Panggilan diangkat setelah dering kelima. “Halo,” sahut suara di seberang. “Aku butuh bantuanmu lagi.” “Oke, asal bayarannya sesuai.” “Baik, sebutkan angkanya, aku ingin kau mengikuti Dino hari ini.” Rani menutup panggilan setelah wanita itu menyebutkan sederet nominal angka. Ia tak pernah menyangka akan kembali meminta jasa wanita itu. Akan tetapi, rasa ingin tahunya terlalu besar, ia butuh mencari jawaban atas kekhawatirannya. = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN