[ 17 ] Bukan Tempat Sampah

1047 Kata
Malam sudah semakin larut, udara sedikit lebih dingin sebab hujan rintik membasahi bumi sejak selepas maghrib. Malam itu, Rani dan Dino mengobrol di atas tempat tidur berbalut selimut tebal. Cuaca yang dingin membuat anak-anak tidur lebih cepat sehingga keduanya dapat bercengkerama lebih lama. Seperti biasa, Rani lagi-lagi mengeluh akan berat badannya, meski ia tahu sebab segala sesuatunya adalah dirinya sendiri, bahkan obrolannya dengan Faranissa kemarin sudah cukup membuka matanya. Namun, mengeluh pada sang suami adalah hobinya, baginya laki-laki itu tempat curhat paling nyaman yang ia tahu. "Mas," ucap Rani dengan nada manja yang mampu mengalihkan perhatian Dino dari gawainya. "Apa, sih," jawab laki-laki itu seraya menaikkan bantal agar dapat sejajar dengan posisi wanita di depannya yang bersandar tegak. "Aku ini, sudah banyak melakukan banyak hal untuk menurunkan berat badan, diet makan, berpuasa, sampai tidak lagi makan malam. Tapi kenapa masih gemuk, ya?" tanya Rani. "Mau sekurus apa, sih? Segini aja udah lumayan, kok." Laki-laki di depannya menatapnya saksama dari ujung rambut hingga pinggul, sebab kakinya tertutup selimut. "Ih, dengerin dulu," rajuk Rani, "memang, sih, sejak sebelum aku diet, dan lain-lainnya itu, sudah turun 10 kg, tapi itu dalam jangka waktu lebih dari enam bulan," lanjutnya. Dino mendesah lalu berkata lembut, "Kan, udah dibilang. Gak ada di dunia ini yang instan, Sayang. Segala sesuatu harus kita raih dengan usaha. Nah semua usahamu yang disebut tadi, paling tidak ada hasilnya, 'kan?" "Iya, sih, tapi rasanya kurang optimal, Mas. Aku masih punya PR sekitar 18 kg lagi." "Naik atau turunnya berat badan, normalnya memang 2 kg saja per bulan, gak boleh lebih, karena biasanya gak sehat apabila berlebih." "Oya? Jadi dalam enam bulan harusnya aku bisa turun 12 kg, ya?" "Ya, normalnya seperti itu, jadi 10 kg dalam enam bulan aku rasa sudah cukup, untuk 18 kg berikutnya, ya, kamu harus berusaha sekitar sembilan bulan atau lebih." "Ahhh, masih lama dong, Mas?" Rani mengerang, membayangkan waktu yang harus dilaluinya demi mendapatkan berat badan ideal. "Gak ada usaha yang sia-sia, emang kamu aja yang masih kurang optimal dalam berupaya. Diet berat cuma beberapa hari, giliran ditawarin pizza abis 3 potong, ikutan aerobics, giliran pegel-pegel berhenti. Gimana mau kurus dengan serius, wong, usahamu aja gak terlalu serius." Dino mengulang beberapa curhatan istrinya itu sebelumnya seraya menahan tawa. Rani sedikit ngambek, tetapi ia menyadari semua itu memang kesalahannya. "Iya, deh, iya. Terus, usaha apa lagi, dong, yang harus aku lakukan? Sepertinya semua sudah pernah dicoba." "Segala macam bentuk diet harus dibarengi dengan berolahraga, dan gak boleh malas bergerak, sehingga pembakaran lemak jadi lebih sempurna. Lha, kamu diet tapi kerjanya banyak duduk." "He-he-he, iya, aku begitu, ya?" "Gini, nih. Giliran disinggung baru sadar, besok kamu udah lupa lagi." "Oke! Kalau begitu mulai besok aku mau nge-gym, boleh, kan, Mas?" "Boleh, tapi ingat! Gak boleh maksain diri kayak waktu itu, olahraga harus sesuai dengan kemampuan, gak perlu diforsir. Nanti giliran pingsan, ngerepotin orang, tau. Kasian mereka yang harus angkat kamu, untung aku datengnya pas kamu udah di klinik." "Ish! Malah ngeledek." "Makanya, metang-mentang idet, makannya dikit, gimana mau ada tenaga. Sok-sokan olahraga berat. Belajar, dong, mengatur pola makan sehingga tidak berlebihan ataupun kurang asupannya." "Iya, Mas. Aku akan tetap makan tiga kali sehari. Namun, takarannya akan disesuaikan dengan kebutuhan, di luar jam makan boleh ngemil, tapi dengan camilan yang sehat. Aku juga akan tetap puasa sunah, serta berolahraga teratur. Aku janji gak bakal malas bergerak, dan makan sembarangan." "Nah, gitu. Poin yang paling penting adalah, jangan memaksakan diri. Buatlah dirimu nyaman dengan program diet sehat sesuai kondisi." "Siap, Bos!" "Jangan, sipa-siap aja. Abis itu besok lupa." "Iya, Mas, iya." "Memang, kadang kita lupa sering menjadikan perut kita layaknya tempat sampah, segala macam makanan masuk, tidak lagi menilai baik-buruknya bagi kesehatan. Atau bahkan tak peduli apakah makanan tersebut dibutuhkan tubuh kita atau enggak, hajar, bleh!" "Iya, ya. Astagfirullah." "Nah, tuh. Baru dia istigfar. Coba, deh, kita ganti analoginya. Ingatlah, Allah tidak suka hal-hal yang berlebihan, sebab segala hal yang berlebihan pasti tidak mendatangkan manfaat, contohnya, minum air segentong aja, kita bakal kembung, dan pipis melulu. Gimana kalau kebanyakan makan atau minum yang lain coba?" "Iya, ya. Gak ada bedanya sama tempat sampah. Padahal kalo tubuh gak memerlukan apa yang kita makan, bakal jadi ta—" "Nah, tuh! Paham, 'kan?" "Paham, Mas." "Kenali kebutuhan kalori setiap orang yang berbeda-beda, untuk pria biasanya butuh 2.500 kkal, sedang perempuan lebih sedikit dari itu, yaitu sekitar 2.000 kkal aja, itu pun dengan pertimbangan kalo bergerak aktif, sedang kamu yang kerjanya banyak duduk, jelas perlu lebih sedikit dari kebutuhan kalori rata-rata perempuan. "Oh, jadi harus sesuai dengan aktivitas kesehariannya, ya?" "Iya, Sayang. Kalo kamu atlet jelas butuh lebih banyak, mungkin sama dengan yang dibutuhkan laki-laki." "Oh, I see. Aku noted, Mas." "Jangan dicatet doang! Diinget, pahami, jalani! Ala bisa karena biasa, kalo tubuh sudah biasa dengan makan satu centong, perut pasti protes kalo kamu makan lebih banyak atau kurang." "Selain itu, kenali juga apa itu mineral, vitamin, dan protein, sebab ketiganya harus seimbang, agar tubuh tetap sehat." "Oh, seperti sayur, katanya gak boleh yang hijau terus, harus berganti dengan yang warna lain ya?" "Benar, sayuran dan buah harus dimakan dengan variasi, supaya mencukupi kebutuhan, karena ada sayur yang vitaminnya banyak, tapi kurang dizat besi, semacam itu kira-kira." "Baik Mas. Aku akan ingat semua perkataanmu." "Eits, bentar. Masih ada satu lagi yang harus kamu ingat." "Apa itu, Mas." "Kalaupun kamu gak sukses dalam menjalankan diet, aku akan tetap sayang kamu apa adanya, karena aku telah memilihmu menjadi pendamping hidupku tanpa syarat apapun." Mendengar kalimat laki-laki di hadapannya, membuat mata Rani berkaca-kaca. Ia merasa sangat bahagia memiliki suami yang pengertian seperti Dino. Ia pun tersenyum dan mencium pipinya. "Terima kasih, ya, Mas, atas dukungannya. I love you." "Kok, cuma pipi, ini belum." Dino menunjuk bibirnya. Wanita dihadapannya tersenyum malu dan segera mengecup bibirnya sekilas. Lalu mereka saling memandang, merasakan kebahagiaan melebihi apa pun. Dino kemudian mendekat dan berbisik di telinga Rani. "I love you too, just the way you are." Kemudian ia mencium bibirnya perlahan dan segera saja mereka saling bertaut memadu kasih. Esoknya, Rani bangun lebih cepat, dengan segera ia mandi dan membuat sarapan. Hari ini terasa lebih cerah walau hujan turun hampir semalaman. Ia merasa tak perlu mengkhawatirkan apa-apa, termasuk urusan perselingkuhan. Ia yakin, suaminya dapat dipercaya. Benarkah? = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN