[ 16 ] Genetik dan Pola pikir

1181 Kata
Café Wood Floor, siang itu tak terlalu ramai. Rani bertemu janji dengan Faranissa di sana. Tempatnya sangat kekinian, bagi mereka yang instagramable tentu akan menyukai interior di dalamnya yang didominasi kayu itu. Suara gemercik air dari kolam ikan besar di tengah ruangan menambah kesan nyaman bagi mereka yang ingin makan di sana. Pertemuan dengan Nissa akhir-akhir ini cukup sering. Wanita yang pindah dari Jakarta beberapa bulan yang lalu itu, kini telah memantapkan diri untuk pindah ke kota Bandar Lampung. Wanita itu, yang hari ini menggunakan kulot dengan atasan kaos oblong dipadu cardigan berwarna senada duduk di tengah ruangan. Tentu saja, menjadi pusat perhatian para pria yang duduk di sekitarnya. Ia kini tengah mencoba menerima keadaan dengan lebih dekat dengan Rani. Wanita yang awalnya menjadi rival cinta. Rani yang selalu berpikiran positif menerima uluran tangan pertemanan wanita itu, baginya untuk apa mempersoalkan hal-hal negatif, bukankah ia jadi bisa banyak bertanya dengan Nissa bagaimana dirinya dapat menjaga tubuhnya agar tetap langsing. "Mbak Rani sebetulnya tak perlu khawatir tentang berat badan, wong, Dino sepertinya tak mempermasalahkan hal itu," ucap Nissa setelah mendengar pertanyaannya tentang cara mmenjaga agar tubuhnya tetap langsing. "Tetap saja, Mbak. Sebagai perempuan bukannya akan lebih enak dipandang jika tampak cantik dan ramping selalu seperti Mbak Nissa," mata Rani berkeliling, menunjukkan beberapa orang yang selalu mencuri pandang terhadap dirinya. "Iya, sih. Tapi, tau gak Mbak, aku, tuh makannya banyak, loh." "Masa, sih, waktu makan di rumah tempo hari sepertinya gak terlalu banyak." "Itu karena saya masih malu, Mbak. Masa iya, makan di rumah sejawat makannya banyak. Kecuali kalo udah kenal deket biasanya malah jadi malu-maluin." Rani tertawa mendengar canda wanita di depannya. "Mbak Nissa, ini bisa aja. Tapi, enak banget, sih, apa gak punya keturunan gemuk, ya?" tanyanya. "Alhamdulillah, enggak, Mbak. Kalo Mbak Rani, apakah ibu dan ayahnya gemuk juga?" "Iya, Kakak laki-laki saya malah lebih gemuk, hanya mbak saya yang penari yang kurus, itu juga karena dia diet ketat." Rani menjawab dengan mata menerawang. "Oh, soalnya aku pernah dengar, ada hubungan erat antara faktor genetik dengan berat badan. Katanya, orang yang memiliki gen gemuk biasanya bb-nya lebih berat sampai 3kg bahkan sampai obesitas dari yang tidak memiliki keturunan, selain itu kecendrungan hobi makan datang dari mereka yang memiliki orang tua yang gemuk." "Tuh, kan. Jadi wajar kalo aku gemuk begini." "Iya, Mbak. Kamu harus bekerja dua sampai tiga kali lipat untuk menguruskan badan dibandingkan orang normal. Jadi, sama sekali bukan tidak bisa." "Ehm, berarti masih ada kemungkinan, kah, Mbak. Aku, lha, ya, kok, hopeless." "Masih ada, hanya saja harus benar-benar disiplin." "Aku tuh, orangnya mood-mood-an. Kadang udah niat diet, tapi hanya bertahan dua hari saja." "Nah, berarti bukan gak bisa. Yang harus diubah, adalah pola pikir Mbaknya. Salah justru jangan jika menjarangkan makan. Makanlah lebih sering dengan kalori yang terkontrol, melewatkan sarapan dan makan siang justru membuat kamu bertambah lapar di malam hari." "Kalo ... diet karbo?" tanya Rani tiba-tiba. "Hati-hati, sebaliknya diet rendah kalori justru akan membuatmu merasa tidak puas dengan apa yang dimakan. Saat bertemu dengan makanan favorit godaan akan menjadi lebih tinggi, maka diet pun jadi terabai. Ujung-ujungnya gagal." "Wah, ternyata salah, ya?" "Banget, diet itu mudah, kok. Asal sesuai dengan kondisi tubuh." "Terus, terus, apalagi, Mbak?" "Perbanyak pilihan makanan rendah lemak, seperti sayuran, buah-buahan, Ubi jalar, jamur, ikan tanpa lemak, d**a ayam, s**u rendah lemak, dan putih telur. Kesemuanya, bisa diolah menjadi makanan favorit." "Ah, seperti telur yang bisa kita jadikan orak-arik, sebagai campuran sayur?" "Iya, bisa. Jadi makan tetap menyenangkan." "Ah, benar juga. Oiya, ikan tanpa lemak itu, ikan yang kayak mana?" tanya Rani. "Kalo gak salah, ikan cod adalah ikan yang memiliki lemak terendah. Selain itu ada salmon, tuna, trout, haring, sarden, dan ikan lele." "Untung, saya suka banget pecel lele. Kirain bakalnya ikan yang mahal semua, ternyata enggak." "Aku gak tau dengan ikan lain, yang sering dimakan hanya tuna dan salmon." Nissa berkata sambil berpikir. "Masa gak pernah? Ikan sarden itu nama lainnya ikan layang, ikan haring ini ternyata nama lainnya ikan bandeng, dan ikan trout ini ... kalo gak salah nama lain ikan kerapu." "Oh gitu, ternyata nama-nama ikan di berbagai daerah memang beda-beda." "Kebetulan aja, aku udah biasa ke pasar, nama ikan yang terkenal keren itu, ternyata mudah banget aku temukan." "Wah, Mbak Rani gak jijik kalo ke pasar?" tanya Nissa seraya membayangkan kondisi pasar yang becek dan bau. "Enggaklah, Mbak. Kalo di pasar harga ikan lebih miring dari swalayan. Lumayan bisa lebih hemat uang belanja." "Benar-benar istri idaman, Mbak Rani ini, beruntung Dino memiliki istri seperti kamu." "Mbak Nissa bisa aja, aku malah iri sama Mbak yang langsing begini." "Kalo langsing, ukuran dadanya juga kecil, Mbak. Mbak ini, biar gemuk tapi seksi. Coba lihat aku, harus pakai yang ada busa supaya terlihat bentuknya. Kalo enggak, ya, kecil. Mantan suamiku malah nikah lagi dengan yang bodinya seperti Mbak Rani, loh." "Oh, dasar. Aku ini gak bersyukur, ya?" "Manusiawi, sih, Mbak. Makanya ada ungkapan yang bilang "Rumput Tetangga Lebih Hijau', cara satu-satunya untuk terjauh dari rasa iri, ya, menerima apa adanya." "Bener banget, Mbak." "Aku memang gak mudah gemuk, jelas mudah dalam melakukan berbagai aktivitas yang menunjang tubuh agar tetap indah. Namun, di sisi lain aku seorang janda, di mana kehidupan cintanya gak semanis madu, bahkan kadang cenderung berdarah-darah dan penuh air mata," lanjut Nissa. Rani menatap Nissa yang matanya mulai berkaca-kaca. "Sedang Mbak Rani, kekhawatirannya adalah wanita seperti aku akan merebut tahtanya sebagai istri tercinta, karena tidak percaya diri masalah berat badan. Tapi, Dino tidak mempermasalahkannya, lalu kenapa Mbak harus repot? Bukan berat badan yang harus dijaga, tetapi cinta kasih di antara kalian yang semestinya dipertahankan." Rani terdiam, ia mengangguk-angguk. Apa yang dikatakan Nissa benar adanya. Ia harusnya bersyukur dan memperbaiki pola pikirnya yang terlalu cepat khawatir dan iri pada orang lain. "Obrolan kita random juga, ya, dari masalah berat badan sampai masalah rumah tangga," ujar Nissa sambil menatap jam tangannya. "Iya, tapi aku senang bisa ngobrol banyak sama, Mbak Nissa." "Semua itu berdasarkan pengalaman, kebetulan aja aku hidup lebih lama dari, Mbak Rani." "He-he-he, iya, aku lupa kalo Mbak Nissa teman sekolah Mas Dino, jadi lebih tua lima tahun dari aku" "Maksudnya aku tua, gitu?" seloroh Nissa. "Eh, ya, gitu. He-he-he." Keduanya tersenyum. Memikirkan tentang persahabatan lebih lanjut, karena sepertinya mereka dapat saling mengisi. "Intinya makan jangan berdasarkan keinginan, pengen ini, pengen itu, akhirnya masuk semua ke perut tanpa dipilah. Boro-boro bertanya apa manfaatnya untuk tubuh, hantam aja gak pake mikir. Padahal sekian jam kemudian akan menjadi kotoran karena ternyata tak diperlukan tubuh." "Iya juga, ya. Malah lebih baik makan dengan pola teratur dan tepat pada waktunya." "Betul, memeperlambat jam makan malah akan membuat kita terlalu lapar dan tersugesti makan dua kali lipat demi menutupi jam yang terlewat, padahal gak seperti itu konsepnya." "Benar. Diet gak melulu masalah boleh atau tidak boleh di makan, tetapi pengaturan waktu makan." "Sip. Udah mulai besok, mulai, yuk! Mbak Rani menguruskan badan, saya program menambah. Biar sedikit berisi." "Berangkatttt!" seru Rani semangat. Wanita itu, tak tahu kapan awal mula kedekatannya dengan Nissa, yang pasti ia merasa wanita itu ternyata enak di ajak bicara. = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN