[ 13 ] Percaya

1488 Kata
Malam sudah cukup larut, Rani sendirian di kamar. Ia tidur dengan gelisah. Dino suaminya tak kunjung pulang. Sesekali matanya terbuka lebar, mendapati di sebelahnya tak ada orang. Hanya suara jangkrik di kejauhan yang menemani tidurnya malam itu. "Mas Dino, pulang terlambat lagi?" desah wanita itu resah. Pikiran buruk segera saja menggelayut dalam otaknya. "Sampai kapan begini? Sudah berbulan-bulan seperti ini." Rani terus saja berkata pelan sambil menatap langit-langit kamar yang berwarna pucat. Ia merasakan hubungan dirinya dengan suaminya semakin hari kian renggang saja, terutama sepulangnya laki-laki itu dari luar kota tempo hari. Benarkah suaminya telah merasa dirinya sudah tak menarik lagi? Jika dari perkataannya, jelas tidak. Suaminya masih bersikap manis dan menyayanginya. Hanya saja rasa di hati merasa ada sesuatu yang janggal. "Mungkinkah itu hanya tipu dayanya saja, demi menutupi perselingkuhannya?" Wanita yang mengenakan daster batik cokelat ukuran jumbo itu semakin stres, ia tak dapat menengahi pikiran buruknya, apalagi ditambah betapa putus asa dirinya akibat berat badan yang tak kunjung turun dengan signifikan. Pernah ia kembali berkonsultasi, sang dokter klinik mengatakan tentang beberapa kemungkinan penyebab dietnya tak berhasil. "Ibu, kan, punya hipotiroid. Penyakit ini sedikit banyak berpengaruh pada penurunan berat badan yang sulit turun," kata sang dokter setelah mendengarkan keluh kesahnya. "Mengapa demikian, Dok?" Rani menatap dokter kliniknya dengan penuh tanda tanya. "Hipotiroidisme adalah kondisi di mana kelenjar tiroid bekerja tidak sebagaimana mestinya. Di mana akan menyebabkan metabolisme dalam tubuh berjalan lambat." "Ah. Terus saya harus bagaimana, Dok?" "Harus lebih giat dan disiplin tentunya, dengan tetap mematuhi rambu-rambu diet yang benar. Tak ada yang tak mungkin, hanya saja hasilnya tidak bisa secepat yang Ibu inginkan. Apakah selama ini ibu sudah melakukan itu?" Rani terdiam, jawabannya, tentu saja tidak. Beberapa pola diet hanya ia lakukan dalam hitungan hari, ia mudah menyerah hanya dalam hitungan minggu, belum lagi jika ada undangan makan bersama, bubar sudah dietnya. Kini setelah berkonsultasi pikirannya kembali kalut. Ia berjalan gontai keluar ruang praktek. Langkahnya lambat bukan hanya karena berat tubuhnya yang over, melainkan ia berjalan seraya berpikir. "Apa aku harus lebih memperketat dietku? Olahraga juga? Oya, katanya nge-gym lebih efektif dalam pembentukan tubuh. Bagaimana caranya aku mengatur jadwalnya, ya?" Berbagai pertanyaan berkecamuk, lalu diam-diam ia membuat sendiri jadwal diet yang lebih ketat. "Aku harus kurus! Tak peduli bagaimana caranya." Akan tetapi, kali ini suaminya tak boleh tahu. Programnya kali ini akan dianggap berlebihan, nanti ia akan protes. Sebeyulnya wanita itu kesal, mengapa sang suami malah melarangnya, toh, semua itu dilakukanbuntuk suami tercinta. Lagipula, betapa menyebalkan, setiap kali ia mengingat perempuan itu yang dengan berani menggandeng suaminya di depan umum. "Huh! Dasar perempuan genit! Awas saja nanti. Pengin rasanya kupites," geram Rani. Beberapa hari berikutnya, ia kembali nekat dengan memforsir dirinya dengan tak memberi tubuhnya asupan gizi yang cukup. Kembali banyak mengonsumsi makanan masam, dan olahraga berat. Ia tak peduli meski lambungnya protes. Padahal di saat itu, perusahaannya sedang ada audit dari pusat selama satu minggu. Seperti halnya hari itu. Si Bos, menugasinya untuk mengumpulkan data dari 15 elemen yang akan diaudit. Demi menyelesaikan semuanya ia bahkan melewatkan jam makan siangnya hingga pukul tiga, itu pun bukan karena perutnya yang lapar, tetapi kepalanya mulai sakit. Masih belum selesai urusan audit, esoknya ia masih harus men-scan semua data yang terkumpul, lalu mengumpulkannya ke dalam folder khusus, sekaligus meng-upload ke dalam sistem guna melihat seberapa banyak data yang telah di upgrade. "Rani! Kenapa progress data baru 60 persen, kan, sudah saya bilang, harusnya hari ini paling enggak sudah mencapai 90 persen," sembur Pak Bos di telepon. Suaranya yang begitu nyaring membuat Rani menjauhkan ponsel dari jangkauan. "Maaf, Pak. Seharusnya memang sudah tercapai, tapi ada data dari fungsi yang bertanggung jawab untuk elemen 10 dan 13 yang belum menyelesaikan laporan," jelas Rani. "Ya, di-push, dong. Gimana, sih? Besok auditornya sudah datang, saya gak mau tahu sebelum mereka datang sudah beres semua." "Baik, Pak. Oya, saya izin meminta bantuan Angel dan Santi, ya." "Masa begitu aja harus minta bantuan dari fungsi lain? Kamu bisa kerja gak, sih?" Alhasil Rani pun terdiam, tetapi akhirnya sang Bos memerintahkan Angel untuk membantu. Wanita itu pun dengan sangat memohon Angel untuk membantu men-scan semua data, selagi ia menghubungi fungsi GA agar segera mengumpulkan data yang dibutuhkan. Selepas isya, barulah wanita itu dapat menyelesaikan semua pekerjaannya. Angel mengajaknya untuk makan malam sebelum pulang. Akan tetapi wanita itu terlalu lelah dan ingin segera pulang untuk beristirahat. Esoknya, proses audit berjalan lancar, begitu pula hingga dua hari berikutnya. Kendalanya hanya beberapa hal teknis saja. Kebetulan itu bukan tanggung jawabnya. Sampai di hari terakhir, Rani bersiap untuk rapat closing audit. Ia sedikit bernapas lega, dan senyum terukir di wajahnya. Bagaimana tidak, salah satu auditor yang kebetulan sangat ramah, memberi bocoran info bahwa hasil audit mendapat nilai Gold. Setelah selesai menyiapkan ruang rapat, wanita itu bergegas ke pantry untuk menyeduh segelas kopi. Masih ada waktu 15 menit sebelum rapat dimulai. Ia butuh minuman yang mampu mengusir kantuk. Sebab sudah beberapa malam ia tidak tidur dengan nyenyak. Selagi ia menuangkan kopi sachet ke dalam mug, ia sudah merasa sedikit pusing dan merasa melayang. Wanita itu mengira penyebabnya adalah tensi darahnya yang rendah. Seraya mencoba mengabaikan, ia berjalan pelan menuju dispenser. Jalannya oleng, ia hampir saja terjatuh, untung sempat berpegangan pada sisi meja. Namun, sayang gelasnya tak selamat. Butiran kopi bubuk berwarna kecokletan itu tumpah mengotori lantai. Wanita itu mengambil pecahan mug dengan berjongkok. Setelah serpihan telah bersih, ia bangkit untuk mengambil sapu di ujung ruangan. Akan tetapi, kepalanya terasa berputar, pandangannya kabur dan tampak olehnya bintang-bintang kecil yang mengelilingi kepalanya. Seketika ia tak lagi memiliki kontrol diri, dan pingsan. *** "Istri Bapak tak sadarkan diri karena malnutrisi, berdasarkan info dari rekan kerjanya saya mengetahui jika istri Anda sedang Menjalani diet ketat? Benar begitu?" tanya dokter rumah sakit. Dino mengalihkan pandangan dari wajah pucat istrinya kepada dokter yang baru saja selesai memeriksa Rani. "Iya, betul, Dok. Apakah istri saya boleh pulang jika nanti sudah sadar?" "Saran saya, biarkan ia beristirahat dulu di rumah sakit, karena saya curiga akibat stres dan diet yang tidak benar, istri anda mungkin mengalami pengerasan batu empedu, dan typus. Namun, ini masih dibutuhkan pemeriksaan lanjutan, saya sedang menunggu data dari lab." Dino kembali menatap istrinya iba, ia tahu istrinya pasti kelelahan, sebab harus membagi waktunya sedemikian rupa, untuk mengurus rumah tangga dan membantu mencari nafkah. Laki-laki itu menyesal dirinya akhir-akhir ini tengah abai pada kondisi istrinya. Sekarang, apa mau dikata. Hanya tinggal selangkah lagi usahanya akan berhasil. Demi agar sang istri tak perlu lagi bekerja. Ia rela pulang larut malam atau bahkan terkadang tak pulang untuk hal itu. Esok harinya, Rani pun telah tersadar sepenuhnya, ia kini sedang memandangi sang suami yang tengah tertidur di sisi pembaringan rumah sakit. Ia menatap raut lelah Dino. Wajah tampannya yang terhias kumis, janggut dan cambang yang senakin lebat saja. Laki-laki ini pasti sibuk sekali sampai tak sempat bercukur. Rani terdiam, matanya menelusuri kamar rawat inap itu, bau disinfektan yang menyeruak membuat dirinya mual. "Hoek." Rani menutup mulutnya agar tidak sampai mengotori tempat tidur dan tubuhnya. Laki-laki di sebelahnya itu terbangun. Melihat kondisi istrinya dengan sigap mengambil baskom kecil untuk mewadahi cairan asam dari lambung perempuan itu. Dino memijiti tengkuk wankta yang disayanginya perlahan. Setelah isi perutnya selesai dikeluarkan, dengan segeran ia mengambilkan air hangat. "Kamu kenapa, sih, Yang. Sampai begini?" tanya laki-laki itu dengan pandangan iba. "Aku kecapekan, Mas. Beberapa hari ini aku telat makan." "Boleh gak, aku minta satu hal padamu." "Apa?" "Berhentilah diet. Please." Rani terdiam. Ia memang kapok dengan olahraga beratnya, tubuhnya ternyata tak sanggup menahan semua itu sendirian. "Aku gak mau berhenti, sebab selain untukmu, juga untuk kenyamananku." "Kalo gitu, ganti bentuk olah raganya dengan yang lebih ringan. Mengangkat beban seperti itu, aku takut kamu lebih kedot dari aku, Yang." Di sela khawatirnya ia menyelipkan canda agar sang istri lebih rileks. Ia yakin perempuan itu memiliki beban yang berat. Rani tertawa, ia mengangguk, "Aku sudah putuskan, akan mengganti olah raga dengan Yoga, selain menyehatkan mungkin dapat membantuku menenangkan pikiran yang kalut." "Kamu kalut kenapa, sih? Coba ceritakan sama aku." "Faranissa, aku terlalu khawatir akan hubunganmu dengannya. Aku mendapatkan info kalo kalian dulu pernah pacaran. Mungkinkah ... Kalian berselingkuh di belakangku? Jawab dengan jujur, Mas." "Astagfirullah, kamu tau itu dari mana?" "Gak perlu tau aku tau dari mana, yang pasti benar atau tidak?" "Kami pernah pacaran semasa SMA, iya." Rani mendesah. Ia menunggu jawaban selanjutnya dengan tak sabar. "Untuk selingkuh .... " Dino ragu-ragu. Ia teringat saat dinas luar kota terakhir kali, mereka tidur seranjang. Akan tetapi, ia berani bersumpah kalau ia tak pernah menyentuh Nisa seperti itu. "Kenapa berhenti? Kalian sungguh selingkuh? Sungguh? berarti benar dugaanku." Wajah Rani berubah keras, hatinya sakit, tetapi tak ingin laki-laki di depannya tahu perasaan sesungguhnya. Sedang Dino khawatir wanita itu akan berpikiran buruk, "Tidak, aku yakin aku tak pernah selingkuh. Kami hanya berteman, jangan biarkan pikiran buruk menguasaimu, Ran. Aku mencintaimu dan hanya dirimulah satu-satunya perempuan yang aku sentuh sebagaimana mestinya." "Kalau begitu buktikan," sahut wanita itu dingin. = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN