[ 04 ] Krisis Percaya Diri

1388 Kata
Rani kembali membuka satu persatu foto dengan rasa marah. Ia tak mempercayai pesan itu begitu saja. Akan tetapi, meski foto-foto tersebut hanya menunjukkan kebersamaan suaminya dengan seorang wanita saja. Tetap saja hati perempuan itu geram, melihat senyum Dino yang terlihat bahagia bersama perempuan yang tidak pernah dikenalnya itu. Hatinya bertanya-tanya, apakah kecurigaannya selama ini benar? Wanita itu tak suka berlarut-larut dalam masalah. Ia segera meminta Dino untuk membawanya keluar rumah, malam itu juga. Sebab tak ingin pembicaraan serius mereka didengar anak-anak, dirinya khawatir tak dapat menahan amarah dan berkata dengan intonasi tinggi. Satu jam kemudian, keduanya tengah duduk di atas kap mobil. Sama-sama diam mendengarkan deburan ombak dan desau angin, di tepi pantai yang sepi. "Mas," tegur wanita itu memecah keheningan. Rani yang kini memakai celana kulot bermotif batik dan kaos lengan Panjang longgar berwarna hitam. Ia tak sempat berdandan, bahkan hijabnya pun jilbab langsungan berbahan kaos tanpa merek. Sang suami memandang dirinya, membuat perempuan itu hampir meleleh hanya dengan ditatap sedemikian rupa. "Ada apa? Kenapa kita harus ke sini? Sepenting apa obrolannya sampai harus ke pantai? Kamu kangen masa pacaran dulu, ya?" tanya Dino beruntun dengan nada mengoda. Rani mendesah, ia lalu mengeluarkan ponselnya. Tak ingin terus-terusan berpikiran buruk, ia perlu segera mengonfirmasi rasa penasarannya. Sebab pesan berisi foto-foto suaminya itu sangat mengganggunya. "Jelaskan tentang ini? Kamu lagi dekat dengan seseorang? Atau dia calon penggantiku?" Rani bertanya dengan sedikit geram. Dino menerima ponsel dari tangan istrinya. "Kamu ngomong apa, sih?" Mata laki-laki itu terbelalak melihat gambar dirinya. Keningnya mengernyit, telunjuk kirinya mengusap-usap bibir. Tampak seperti sedang berpikir keras mencari alasan atas keberadaan foto-foto tersebut. Setidaknya itulah yang kini dipikirkan Rani. "Kamu dapat foto ini dari siapa? Jangan percaya hal-hal yang gak pasti begini, lah." Laki-laki berperawakan jantan dengan janggut dan cambang itu, mengembalikan ponsel istrinya dan menggengam jemari. "Gak pasti gimana? Itu bukan foto hasil editan. Kamu pikir aku bodoh?! Jadi benar? Kamu udah selingkuh di luar sana, sudah bosen, ya, sama aku? Kalo udah bosen ngomong, jangan main belakang begini," timpal wanita itu penuh emosi. "Denger dulu, jangan menilai secepat itu." Dino berusaha menenangkan istrinya yang mulai histeris dengan berupaya memeluk. "Kamu keterlaluan, Mas, aku pikir kamu benar-benar sedang sibuk di luar sana, rupanya kamu sibuk main sama perempuan lain." Rani mulai menangis dalam pelukan suaminya. Lengannya mulai memukul-mukul d**a bidangnya. "Main bagaimana? Kami ini rekan kerja, kamu inget gak kemarin aku bilang sedang mulai bisnis baru dengan teman sekolah?" Laki-laki itu menatap perempuan dihadapannya dengan hati gentar, ia paling tak suka jika sampai istrinya itu menangis. Ia segera menghapus air mata di pipinya. Rani menepis jemarinya dan mengusap kasar pipinya dengan telapak tangannya sendiri. "Aku gak percaya!" cetusnya. "Coba perhatikan lagi. Foto-foto itu sengaja diambil dari angle yang hanya memperlihatkan kami berdua saja. Padahal di sebelah kananku ada Tomi dan di sebelah Nissa ada Ronald." Dino mencoba menerangkan. "Bohong! Paling itu cuma buat alibi aja?" "Astaga! Kamu tahu aku bohong dari mana? Kamu sendiri gak ada di sana." "Karena aku gak ada di sana, maka aku gak tau yang sebenarnya, bisa aja setelah kalian berempat bertemu lalu kamu ... ngapa-ngapain dengan si Nisa-nisa itu." "Jangan ngeres, Ran! Otak kamu perlu disapu, tuh. Kalo kamu berpikir begitu maka itulah yang kamu percaya. Aku ngomong apa pun, gak akan ada yang bisa kamu terima." "Wajar aja aku ngomong kayak gini. Wong, sekarang aku udah gendut gini. Hampir setiap hari kamu ketemu dia, lebih lama dari waktu kita ketemu. Bisa aja kamu tergoda, apalagi ... liat, nih. Orangnya cantik dan langsing begini, mau dari sudut manapun aku kalah segala-galanya," cecar Rani masih bersikeras dengan pemikirannya. "Siapa yang bilang begitu? Dia memang cantik, langsing, tinggi semampai, tutur katanya lembut, juga sangat pintar. Laki-laki mana yang gak suka sama dia—" "Tuh, tuh, kan. Bener, kan," potong wanita itu. "Denger dulu!" Dino memegang bahu Rani kuat, wanita itu meringis. Namun, dengan keras kepala ia menatap mata laki-laki itu, menantang. "Dia memang cantik, tapi tak ada satu pun bagian tubuhnya yang halal untukku, paham?!" sambung Dino. Mata wanita itu meredup mendengar kata-katanya. Pandangan beralih ke arah laut luas. Buliran air mata kembali membasahi pipinya. Semakin lama suara tangisnya semakin keras. Ia tak memedulikan jika ada orang yang lewat dan memperhatikan mereka. Dino meneruskan kata-katanya. "Kamu istriku satu-satunya. Jadi jangan bandingkan dirimu dengannya, karena setiap ketimpangan akan menyakiti hatimu. Dia memang cantik, tapi kamu juga cantik, kok, apalagi kalo lagi marah begini," gurau Dino di sela penjelasannya. "Ngerayu! Gombal! Kamu ketahuan selingkuh, makanya berani ngomong begini, coba kalo gak ketahuan." "Kalo kamu gak suka aku rayu dan gombalin, kamu gak bakal jadi istriku sekarang. Masa kamu gak percaya suamimu ini?" Dino kembali mengusap air mata di pipi istrinya. "Iya, karena aku mudah percaya, mudah di olok-olok, gampang dibohongin, dan dipermainkan, iya, kan?" "Kamu menilai dirimu serendah itu, Yang? Padahal aku jatuh cinta padamu karena hal lain yang gak satupun kamu sebutkan, loh." "Emang, kamu masih cinta aku?" tanya Rani, di saat seperti itu mendengar kata cinta dari bibir suaminya biasanya memang mengobati kekesalan hatinya. "Iya, dong. Kalo gak, dua bocil di rumah itu gak bakal ada. Oke, aku akui. Aku memang salah karena gak cerita kamu detailnya." "Tentang bisnis itu?" ucap Rani memastikan. "Iya. Aku, Tomi, Ronald, dan Faranissa ketemu lagi pas reuni beberapa waktu yang lalu. Sejak masa sekolah kami memang cukup dekat, kebetulan mereka memiliki bisnis yang memerlukan jasa seorang IT. Itu sebabnya, mereka ngajak untuk kerja bareng," jelas Dino. Wanita yang masih menyisakan cegukan dari sisa tangisannya tadi, kembali bertanya, "Memang si Nisa ini kerjanya apa?" "Oh, dia itu penasihat hukum kami, selain dia juga pintar mendesain. Rencananya usaha ini akan dipasarkan dua minggu lagi, makanya kami harus ngejar target, itu sebabnya aku akhir-akhir ini sering pulang malam." Rani mengangguk-angguk, mulai memahami. "Dia juga ikut pulang malam?" tanyanya. "Gak selalu. Cuma kalo ada masalah yang berkaitan dengan hukum dan memerlukan pandangannnya tentang desain logo, dan sebagainya aja. Baru dia ikutan." "Suaminya gak marah? Rekan kerjanya cowok semua gitu. Apalagi sampai larut malam juga?" tanya perempuan itu lagi, baginya plot yang disajikan suaminya masih menyisakan bolong di sana-sini. "Ah, itu. Dia ... ehm, janda," jawab Dino ragu-ragu. "Tuh, kan, kamu ragu-ragu gitu ngomongnya?" "Bukan gitu, aku takut kamu mulai lagi. Bener aja, baru denger kata-kata itu aja tanduknya mulai keluar, nih" Dino menyentuh puncak kepala istrinya seraya meniup dan menepuk-nepuk dengan lembut. Rani menepis tangan pria itu, sebab hatinya masih belum terlalu percaya. Laki-laki itu menatap dirinya, mendekatkan wajahnya, dan mencium bibirnya dalam. "Eh, Mas. Kok cium-cium, sih? Aku, kan, masih marah." Perempuan itu segera menjauhkan wajahnya. "Siapa yang nyium? Aku, tuh, barusan ngusir taring yang tadi hampir keluar," "Ih, Mas ini." Jemari Rani hendak mencubit pinggang laki-laki yang selalu saja menggodanya. Dino mengelak. "Udah, ya, marahnya. Pulang, yuk. Udah lama gak sayang-sayangan, nih. Malah dapetnya omelan, nasib, nasib." "Lama, apaan?" tanya perempuan itu pura-pura tak mengerti. "Kalo mau tau, ayo cepet masuk mobil, aku perlu kehangatan." Laki-laki itu segera berjalan dan memasuki mobil. Rani menatap punggung laki-laki itu. Ia masih sedikit tidak percaya. Akan tetapi, ia lelah untuk terus bersikeras. Ia tidak menemukan celah kebohongan dalam cerita suaminya. ia khawatir dirinya hanya menjadi terlalu cemburuan hingga tak dapat berpikir sehat. Bukan tanpa sebab, ketidakpercayaan dirinya yang melorot drastis sejak arisan beberapa hari lalu semakin anjlok saja. Apalagi saat mulai membandingkan dirinya sendiri dengan perempuan dalam foto. "Baiklah, aku akan menyelidiki kebenaran berita ini," putus perempuan itu. Ia segera membuka aplikasi pesan, menghubungi seseorang dengan mengirimkan foto-foto yang diterimanya ke orang tersebut. Cari info tentang perempuan ini. Kalo info lo valid, hutang lo lunas. Oya, ada bonusnya juga. Ketik Rani cepat, dan segera mengirimkan pesan tersebut. "Ayo, Sayang. Dingin, nih," panggil Dino agar ia segera masuk mobil. Esoknya. Pesan yang ia kirimkan semalam telah dibaca, hanya satu kata sebagai balasan. Oke. Selagi menunggu info dari seseorang yang ia hubungi itu, Rani mulai mencari berbagai macam program diet sehat di internet di sela-sela jam kerjanya. Sekilas, ia membaca dalam salah satu situs pencari. Ternyata, ada sembilan pola diet yang paling popular, segera saja ia membuka tautan situs tersebut. Akan tetapi, baru membaca beberapa pola, bos-nya memanggil. Ia meminta agar dirinya mengirimkan melalui surel, data distribusi produk selama enam bulan ke belakang untuk kebutuhan rapat top management besok. Informasi tentang diet terpaksa disingkirkan sejenak. Rani hanya sempat menyimpan tautan dalam catatan ponselnya. "Besok, aku akan diet lagi. Kali ini harus berhasil."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN