[ 09 ] Bulimia? No!

1088 Kata
Rani tak bisa berpikir jernih, berbagai macam pemikiran negatif berseliweran di kepalanya. Ia tak sadar telah menghabiskan lima potong kue dan dua gelas lemon tea. Meski begitu ia tak merasa kenyang. "Tumben, Mbak. Makan kuenya banyak? Kalo laper, makan nasi aja, yuk," ajak Angel. "Mau makan di mana?" tanya Rani yang masih merasa kesal. "Aku pengen coba makan di Resto Steak baru yang di dekat perumnas itu, Mbak." "Oke, kita ke sana." "Mbak yakin? Bukannya lagi diet dan gak makan malam, ya?" "Aku lagi stres, makan satu-satunya cara bagiku untuk melampiaskan kekesalan." Angel menatap seniornya, ia tak berani bertanya lebih banyak lagi. Sebab menjawab pertanyaannya barusan saja nada suara perempuan di hadapannya sudah meninggi. Di restoran, mereka tidak hanya makan steak. Rani juga memesan kentang goreng, pasta lasagna dengan dobel cheese, serta minuman bersoda. Ia tidak dapat menghentikan nafsu makannya yang semakin liar. Hingga beberapa hari berikutnya. Dino yang tidak tahu apa-apa malah tersenyum, sebab senang istrinya kembali seperti sedia kala yang makan tanpa meributkan berat badan. "Aku seneng kamu mulai makan dengan enak gini, Yang." "Kenapa? Kamu jadi pengen nyari istri yang kurus semampai? Gitu." "Loh, enggak dong. Udah punya yang seksi gini di rumah, masa masih nyari yang lain." "Oya? Bukannya kamu suka ngeluh kalo aku gak bisa bergerak bebas saat kita di ranjang." "Waduh, kok galak amat, sih? Kamu, tuh, lebih enak dipeluknya, Yang. Lebih empuk dan bikin nyaman." "Oh ... jadi udah bisa bandingin ya sekarang. Bedanya meluk yang gemuk dengan yang kurus?" Dino mengernyit, ia heran istrinya berkata dengan nada seperti menyindir. "Kamu lagi capek, ya? Sini aku pijitin. Dari tadi kayaknya ngegas terus kayak angkot ngejar setoran." "Mas, aku mau tanya." "Mau nanya apa? Kamu ngomongnya, kok, ngagetin gitu. Bikin dag dig dug?" "Kok, aku yang nanya kamu yang deg-degan? Apa kamu ngerasa melakukan kesalahan?" "Kesalahan apa, sih? Kamu yang dari tadi bicaranya menyudutkan. Aku ngomong begini salah, ngomong begitu salah. Kenapa, sih?" "Aku kemarin lusa liat kamu di hotel S, kamu sepertinya sama si Nisa-nisa itu. Ya, 'kan?" "Memang kamu ngapain ke hotel?" Dino tampak cemburu sekaligus khawatir. "Aku ada urusan kerjaan, tadi ada pelatihan. Dan aku mergokin kamu jalan gandengan." "Aku gak gandengan, si Nisa memang begitu kalo jalan, senengnya ngelendot. Tapi, bener Ran. Aku gak ngapa-ngapain sama dia." "Kamu bohong masalah berkas Ronald yang ketinggalan, kamu gak bilang ngambilnya di hotel, dan kamu bilang kamu sendirian." "Gini, coba dengerin dulu, jangan diputus omonganku." "Ya, udah. Sekarang jelasin. Kalo kamu udah bosen sama aku tinggal bilang, kita cerai sekalian." "Astagfirullah, mulut kamu itu, mbok ya, direm dikit. Aku gak suka ribut, makanya aku mau jelasin. Tapi sampai kamu tenang aku gak mau jelasin ke kamu, biarin aja mikir yang macem-macem, kan, yang susah kamu sendiri." Rani menarik napas kesal. Ia berbalik. Di matanya mulai menggenang air mata, sebentar kemudian terdengar isakan tertahan. Dino menatap istrinya, ia memeluk dengan sayang, menepuk pundaknya perlahan. "Ronald memang meninggalkan berkas, tapi gak di rumah. Kemarin lusa kami menginap di hotel S, aku satu kamar dengan para laki-laki sedang Nisa tidur sendiri. "Hal ini dilakukan untuk memudahkan konsolidasi. Kami sudah memastikan bahwa akan pulang larut malam, gak mungkin kami membiarkan Nisa pulang sendiri setelah rapat selesai. Kamilah yang akhirnya buka kamar di sana." "Bohong!" sahut Rani disela isaknya. Namun, tetap menyembunyikan wajah sembabnya dibalik bahu bidang laki-laki yang dicintainya itu. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, asal kamu tau aku gak seburuk yang kamu pikirkan." "Gimana gak berpikir buruk, kamunya bohong, sih. Bilang sendiri padahal berduaan, gandengan lagi. Kalo gak inget banyak teman kantor di sana, aku pengen bener labrak kamu." "Aku bilang lagi sendirian karena gak mau kamu khawatir berlebihan seperti sekarang. Percaya, deh. Aku gak selingkuh." "Sungguh? Tapi, kenapa mesti gandengan, aku kalo inget itu rasa pengen nyambit tau, gak!" "Tau. Tapi nyatanya kamu gak lakuin, kan? Sebab kamu tau aku gak macam-macam di luar sana." "Aku gak tau masih bisa percaya sama kamu atau enggak, terus terang aja aku akan lebih sering cemburu mulai dari sekarang, bakal aku iket kamu lebih kencang, ngerti?!" "Aku memang udah diikat kuat sama kamu, kok. Dan aku rela lahir batin." "Mulai, ngerayu." "Abis aku jadi semakin tau kalo kamu, tuh, cinta mati sama aku." Dino mendekatkan wajah hendak mencium istrinya. Rani menjauh dan menahan dadanya. "Aku masih ngambek jangan deket-deket. Gara-gara kamu aku jadi bablas dietnya." "Oh, pantes aja beberapa hari ini kamu makan banyak banget. Kira aku udah nyerah, rupanya gara-gara cemburu buta, ya?" Wajah Rani memerah, ia memukul d**a suaminya beberapa kali. Setelah dirasa istrinya itu puas melampiaskan kekesalannya ia menangkap kedua lengannya dan mengecup bibirnya lembut. Rasa marah seketika berganti cinta. Rani merasakan gairah yang berbeda saat menerima kasih sayang dari Dino. Pikiran buruknya berganti. Kini tubuhnya sedang sibuk menikmati indahnya malam bersama sang suami. *** Setelah sembuh dari rasa sakit hati, ia yang sudah terlanjur nge-loss dalam makan. Masih menikmati santapan dengan tanpa pertimbangan. Ia pikir, dirinya akan memakan apa saja. Kemudian, memuntahkannya saja lagi. Untungnya salah satu teman kantor memergoki. "Rani! Kok, habis makan muntah? Kamu lagi ngisi, ya?" tanya Tia. "Enggak, Tia, aku tadi makan banyak banget, habis khilaf, sih, liat lauknya di resto tadi. Sekarang malah nyesel udah makan semua itu, kan, aku pengen kurus. Jadi aku muntahkan lagi aja." "Awas, Ran, kamu bisa kena Bulimia Nervosa, loh." "Bulimia Nervosa? Apa itu, Tia?" Wanita dengan rambut keriting sebahu itu menasihati. Ia kemudian menjelaskan tentang bahayanya bulimia. "Semacam penyakit psikis gitu, atau gangguan perilaku makan. Biasanya memang terjadi pada orang-orang yang merasa memiliki berat badan berlebih, atau takut menjadi gemuk, tapi tidak bisa mengatur pola makan, dan hidup. Akhirnya makan apa saja yang dimau, tapi setelah itu akan merasa menyesal. Nah, untuk mengurangi penyesalan, di muntahkanlah makanan yang sudah dimakan itu." "Astaghfirullah, begitu, ya?" "Memang sudah berapa lama kamu seperti ini, Ran?" "Baru dua hari ini, Tia." "Jangan diteruskan kebiasaan ini. Bahaya untuk kesehatan kamu. Bisa-bisa pecah pembuluh darah di mata, erosi enamel, kerusakan gigi, juga kerusakan esofagus, dan perdarahan internal, ngeri, kan? Hmmm ... memang, sih, kamu bakal kurus, tapi kurusnya tidak sehat." "Ya ampun. Iya, ya, terima kasih atas infonya." Rani tersadar, betapa ia jadi tak bersyukur atas nikmat Tuhan. Ia pun mendesah, merasa dua kali lebih menyesal karena memuntahkan semua makanan tadi. Dengan melakukan ini, bukankah berarti, tidak mensyukuri rezeki dari Allah SWT? Begitu banyak orang yang tidak dapat makan enak karena kondisi keuangan atau kesehatannya yang kritis, dirinya malah memuntahkan makanan yang mungkin diidamkan mereka untuk dapat disantap. Dalam hati ia pun istighfar berkali-kali. = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN