[ 08] Informasi dan Rahasia

1244 Kata
Di dalam kamar, Rani yang baru saja selesai mandi berjalan pelan menuju timbangan di sudut kamar. Setelah berkutat dengan beberapa jenis pola diet, selama hampir empat bulan. Sore itu, Rani mulai merasa yakin dirinya sudah jauh lebih kurus dan kembali menimbang. "Nimbang mulu? Emang udah turun berapa kilo? Perasaan gak ada yang berubah." Dino berkata seraya memandangi tubuh istrinya itu seksama. Baginya yang tiap hari melihat wanita itu, seperti tak ada bedanya, hanya wajahnya kini sudah sedikit tirus. "Aku udah ngerasain perbedaannya, Mas. Baju yang tadinya ketat sekarang agak longgar," jelas wanita itu. "Oya, perasaan pipinya masih chubby, dan bagian tubuh lain masih terlihat besar, Yang." Rani tak menggubris godaan suaminya. Dengan percaya diri ia menaiki timbangan. Sejenak senyumnya yang merekah karena berat badannya kemungkinan telah banyak terbuang. Berganti ringisan tak percaya. "Timbangannya rusak kali, ya? Masa aku cuma turun 5 kilo," ucap wanita itu ragu. "Oya? Coba aku nimbang juga. Tadi di kantor berat aku 70kg." Dino turun dari ranjang dan mendekati istrinya yang baru saja turun dari alat itu. Rani bergeser, ia mempersilakan sang suami untuk menimbang berat badannya. Sedikit penasaran ia memperhatikan angka yang berputar. "Bagus, kok, ini. Sama kayak yang di kantor hasilnya. Memang berat kamu sekarang berapa?" tanya Dino penasaran seraya turun dari alat tersebut. "Apa yang di kantor juga rusak, Mas." lirih Rani mencari pembenaran. "Gak mungkin, timbangan itu baru seminggu yang lalu dibeli. Aku ingat betul. Soalnya klinik juga baru buka di waktu yang sama." Dino menengadah berpikir. "Tapi, masa iya, aku cuma turun segitu? Aku udah banyak ngelakuin ini dan itu, masa hasilnya baru segitu." "Barangkali lemakmu harus dihancurkan dengan cara lain, Yang. Sepertinya sudah mengeras dan menjadi batu, makanya rada susah buat kamu untuk turun bb-nya." "Percuma aja aku udah gak makan malam, terus diet karbo begini. Ternyata turunnya sedikit banget." "Ya, udah. Cari cara lain atau berhenti aja." "Ish, masa berhenti. Ntar mulainya susah lagi. Sekarang aku udah gak terlalu pengen makan ini-itu sesuka hati. Aku kayaknya harus cari cara lain dalam berdiet." "Iya, terserah kamu aja, yang penting kamunya seneng ngelakuinnya. Jangan merasa terpaksa." "Oke, Sayang." Rani mengecup bibir Dino seraya keluar dari kamar. Laki-laki itu menarik lengannya dan memeluk. "Mau ke mana, dikit bener ciumnya." Wajah pria itu semakin dekat. Rani mengelak dan menghindar. "Dikit aja, aku mau ngecek anak-anak dulu." Dengan halus Rani melepaskan pelukan suaminya. *** Besoknya, si Bos memberikan tugas untuk mengawal kegiatan Pelatihan Perhitungan Arus Minyak di Hotel S. Rani dan Angel dijadikan administrasi kegiatan plus seksi bidang acara. "Kamu bantu adminnya, soalnya Pak Hasan butuh orang yang cekatan untuk membantunya selama lima hari ini. Angel, kan, masih baru. Jadi sekalian kamu ajarin dia." Tak ada yang bisa dilakukan Rani, ia hanya dapat menerima penugasan yang diberikan. Sebab pantang baginya menolak sebuah penugasan. Siang itu, selagi ia membantu divisi umum, untuk menyiapkan perlengakapan kegiatan. Ponselnya berdering. Peneleponnya adalah orang yang dihubunginya saat itu, untuk mencari tahu tentang kedekatan suaminya dengan Faranissa. Rani meminta izin untuk menerima telepon dan dengan segera ia menuju tangga darurat. "Halo. Kau sudah dapatkan apa yang aku suruh?" tanya Rani segera setelah menggeser layar ponselnya. "Ya, dan aku meminta tambahan bonus. Sebab info yang akan aku berikan ternyata lebih berharga dari sekedar pelunasan hutang," suara di seberang menjawab tanpa basa-basi. "Dasar tak tahu diri, kau mau memerasku?!" hardik Rani mendengar penuturan tersebut. "Ini bukan pemerasan. Hanya sebuah penawaran kerjasama yang baik." "Baik. Katakan jumlahnya." Sang Informan di seberang sana menyebutkan deretan angka. "Gila! Gimana kalo aku menolak?" "Terserah, info ini, toh, tidak aku butuhkan." "Separuhnya, aku akan berikan separuhnya." "Kau pikir aku tidak butuh uang untuk melanjutkan hidup. Setengah dari angka tersebut hanya cukup buat dua minggu. Aku bisa saja memberikan info ini ke suamimu, ia mungkin akan menawarkan angka yang lebih tinggi." Rani menggeram, ia terlalu penasaran. Jika informasi itu ditawarkan dengan harga tinggi, jelas itu informasi yang sangat luar biasa dan perlu baginya untuk mengetahuinya. "Baik. Aku akan transfer sejumlah yang kau minta. Sekarang katakan—" "Kau pikir aku bodoh? Aku akan memberikan infonya setelah uangnya terkirim." Rani mengentakkan kaki, segera ia mematikan panggilan. Ia lalu masuk. ke aplikasi pembayaran. Mengetikkan sejumlah uang dan nomor rekening lalu menekan tombol send. Setelah memverivikasi dengan pin-nya uang pun terkirim. Ia segera mengunduh bukti transfer dan mengirimkan ke nomor Mila—informannya. Pesan yang dikirim telah dibaca. Kini ia menunggu informasi yang dijanjikan. Rani membaca satu persatu plus foto pendukung dan datanya. Ia tau perempuan itu tak membohonginya. Ia menggeleng tak percaya atas informasi yang diterimanya. Setelah menerima informasi yang tak disangkanya, Rani mematikan layar, ia berjalan gontai kembali ke ruangan guna melanjutkan pekerjaannya. Malam ini, Dino izin untuk tak pulang sebab besok ia harus mempresentasikan bisnis bersama rekan-rekannya, termasuk Nissa. Betapa, jika ditarik garis lurus semuanya menjadi beralasan dan logis. Di saat seperti ini ingin rasanya Rani menjerit dan menangis, tetapi ia harus segera berangkat menuju hotel untuk menyiapkan acara pelatihan. Wanita itu berusaha untuk tetap tegar. Esoknya, saat ia baru saja mempersilakan para peserta pelatihan untuk istirahat sejenak saat coffe break. Ia teringat Mila yang memberitahukannya bahwa partner-partner kerja suaminya menginap di hotel yang sama. Kebetulan yang aneh, pikir wanita itu. Rani mencoba untuk mencari tahu, tetapi tentu saja pihak hotel tidak sembarangan memberikan informasi tersebut. Ia diam-diam memperhatikan lift, restoran, dan lobi di sela-sela waktu luangnya. Hingga siangnya, setelah istirahat makan. Rani duduk di ujung lobi yang sedikit tersembunyi sambil menikmati camilan sisa coffe break kegiatan, sedang para peserta tengah bersiap untuk menerima materi selanjutnya. Tiba-tiba sosok yang ditunggunya lewat, ia sepertinya baru datang dari makan siang di luar. Dibelakangnya, Dino berjalan mengikutinya. Faranissa yang merasa jarak Dino terlalu jauh, segera menggaet lengannya. Hati Rani bergejolak, matanya mengikuti ke arah mana mereka berjalan seraya mengobrol dengan asyiknya. Rani segera mengambil ponsel dan menelepon suaminya itu. "Halo, Sayang." "Di mana, Mas?" tanya wanita itu seraya mencoba mengikuti pria itu dari arah yang cukup jauh. "Oh, habis makan siang, ini lagi ambil berkas klien Ronald yang ketinggalan." "Kok, kamu yang ambil?" "Iya, dia tadi minta tolong soalnya dia harus ngecek lokasi bareng calon customer." "Begitu, ya. Kamu sendirian?" "Iya, sendiri." "Kamu tau rumah Ronald di mana?" "Tau lah, aku kan sering ke sana akhir-akhir ini." "Bu Rani." Tiba-tiba Angel menepuk pundaknya. "Ada apa?" tanya perempuan itu lirih. "Ada yang mau aku tanyakan, kita ke dalam sebentar, yuk." Rani mengangguk dan menunjukkan kalau ia sedang berbicara di telepon. Meminta dengan matanya agar Angel menunggu. "Cepet, ya," sahut Angel. Rani membalas dengan anggukan. "Begitu, ya. Oke, deh, sampai ketemu nanti malam, Mas." "Iya, Sayang." Pintu lift terbuka, laki-laki itu memasukinya dengan masih digandeng Nissa yang menatapnya terus menerus. Rani merasa kecewa, ia merasa dikhianati. Meski masih ada kemungkinan suaminya tidak melakukan hal tabu, tetapi kebohongannya kalau ia sebenarnya sedang berada bersama Nissa, membuat hatinya terbakar. Jika saja bukan sedang bertugas, dirinya ingin melabrak keduanya. Namun, rasa malu juga menggelayut sehingga ia tak melakukan hal tersebut. Bagaimana jika teman kantornya tahu suaminya kini tengah berselingkuh? Mau ditaruh di mana mukanya. Ia tak berani membayangkan. Perempuan gendut yang suaminya selingkuh dengan wanita yang lebih segala-galanya dari dirinya. Bukanlah kondisi yang pantas diributkan di muka umum. Di dalam lift, Dino melepaskan pegangan tangan Nissa. "Kamu, tuh, udah dibilang jangan ngelendot begini. Orang akan berpikir yang tidak-tidak nanti." Dino berkata pelan. "Biar aja, ngomong-ngomong kenapa kamu. Gak bilang kalo lagi sama aku." "Istriku akan khawatir berlebihan jika tau kita sedang bersama." "Kenyataannya kita memang sedang bersama, 'kan?" = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN