[ 20 ] Selesai?

1094 Kata
Udara dingin menyapa Rani, sesuai kesepakatan kemarin ia dan suaminya pergi berbulan madu ke puncak. Anak-anak dititipkan ke rumah mertuanya. Wanita itu awalnya menolak sebab tak ingin terpisah dari buah hatinya. Namun, laki-laki yang kini masih tertidur di atas kasur dalam kamar hotel mengatakan hal yang akhirnya mengikuti kemauan suaminya. "Sekali-sekali, Yang. Aku pengen kasih kamu hadiah liburan, katanya bosan di rumah terus dan ngurus kerjaan rumah." "Iya, sih. Tapi ...." Wanita itu sedikit ragu. "Ibuku, kan, nenek mereka. Biarlah anak-anak akrab dengannya, aku khawatir mereka nanti lebih akrab dengan Mbok Yah, daripasa dengan ibu." "Iya, deh. Tapi jangan lama-lama. Dua hari cukuplah, kalo mau lama mereka harus diajak." Sedikit drama perpisahan antara ibu dan anak-anak sedikit mewarnai kepergian keduanya. Akan tetapi, dasar anak-anak setelah dirayu dengan beberapa camilan manis juga tontonan kartun favorit, keduanya langsung melupakan Rani, yang terkenal tegas terhadap anak. "Ibu sudah membesarkan Ayuk-ayuk Dino dan Dino sendirian. Kamu gak usah khawatir, lagian Ibu juga kesepian. Tiap hari ketemu Ayahmu terus." Dengan alasan tersebut akhirnya Rani melambai dengan enggan. Serta mobil keluaran Korea Selatan itu melaju meninggalkan halaman rumah mertuanya. Rani segera mandi dan mengenakan celana jeans lamanya, dipadu dengan kaos halterneck berwarna biru muda. Dengan bangga ia berputar ke kanan dan ke kiri. Senang sebab jeans lamanya kini muat kembali. Meski berat badannya hanya turun maksimal dua kilo saja setiap bulan, Rani tetap tersenyum dan berpikir positif. Kini ia hanya harus mengurangi berat badan sekitar 10kg lagi saja dan impian berat badan idealnya akan tercapai. Nasihat dari keluarga, kolega, dokter klinik, Nissa, dan tentu saja suaminya telah ia rangkum dalam sebuah buku catatan. Ia memulai kembali program diet ala dirinya sendiri. Ia memulai dengan menerima kondisi tubuhnya yang memang overbig size sebagai sebuah kelebihan. Ia yang tadinya melihat hal tersebut merupakan kekurangan, mulai berpikir terbalik. Betapa banyak wanita yang ingin memiliki tubuh berisi dan seksi hingga sampai menghabiskan banyak uang dan melakukan operasi. Sedang dirinya hanya harus bersyukur. Sebab kelebihan berat badannya adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Ia juga memahami bahwa tidak ada keberhasilan yang diperoleh secara cepat, semua ada prosesnya. Proses tersebut pun harus dijalani dengan menyenangkan, bukan dijafikan beban. Terngiang kata penyemangat dari sang suami tercinta, "Bahkan mi instant pun harus direbus terlebih dahulu sebelum di makan." Analogi yang sederhana, tetapi benar adanya. Rani merasa bahagia dengan keadaannya sekarang, ia hanya harus lebih bersyukur dalam menghadapi hidup. Ia yang hidup tanpa kekurangan suatu apa pun. Suami tampan, anak-anak yang sehat, sampai kondisi keuangan yang berkecukupan. Ia teringat pernah mendengar ajaran, "Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan." Jelas tidak ada, semua berjalan sesuai relnya, walau terdapat gejolak dalam rumah tangga akibat rasa cemburu yang berlebihan, termasuk juga hadirnya orang ketiga. Rani menganggap semua ini adalah skenario Tuhan yang ingin agar dirinya lebih memperbaiki pola hidupnya yang tak sehat. Kini, celana jeans lamanya pun dapat dipakai lagi. Tampak sempurna membalut kakinya. Ia jadi semakin seksi saja. Dino mengamatinya dari balik selimut. Laki-laki itu mengagumi istrinya yang tampak sempurna di matanya. Ia berjalan pelan mendekati sang istri. "Tambah cantik, aku jadi khawatir kalo kamu keluar rumah kalo begini," ucap Dino seraya memeluk wanita itu dari belakang. Ia merasakan pinggang istrinya kembali berbentuk, perutnya sudah tak terlalu menggelambir akibat lemak yang berlebih. Ia mengeratkan pelukannya. "Emang aku tahanan, aku juga perlu bersosialisasi, dong," sahut Rani seraya melepaskan lengan suaminya yang melingkari pinggang dengan lembut. "Aku takut kamu banyak yang ngelirik," "Emak-emak anak dua, mana ada yang mau." "Itu bagimu, tapi bagi laki-laki kamu tetaplah perempuan yang menarik." Rani melepas jeansnya, lalu melipatnya. "Loh, kok dilepas, kamu ngajak 'itu' lagi?" tanya Dino heran. "Bukan, deuh, GR amat, yak!" "Terus kenapa di lepas?" "Aku pakai rok aja, memang sih celana-celana lamaku udah banyak yang muat, tapi kemarin aku bersama teman-teman kajian sedang mengumpulkan pakaian bekas layak pakai untuk disumbangkan." "Maksudmu, jeans ini kamu mau sumbangkan?" "Iya, lagian. Aku udah memutuskan untuk selalu menggunakan pakaian sesuai syari ke depannya. Malu sama umur, bukannya semakin tua kita harus semakin dekat dengan Tuhan." "Wah, istriku tambah sholeha. Terus ... kenapa tadi dipake jeansnya?" "Cuma mau ngobatin kangen aja. He he he." Rani nyengir. "Kalo gitu, kadung udah di lepas. Sekali lagi, deh." Dino menyergap istrinya membantingnya dengan mudah ke atas kasur sebab kini berat badan Rani sudah lebih ringan dari jauh sebelumnya. "Eh, Mas. Kita katanya mau jalan-jalan ke Tangkuban Perahu?" "Ntar aja, mumpung lagi cuti." Akhirnya mereka pun saling memadu kasih. Sejenak melupakan segala macam pikiran yang akhir-akhir ini mengganggu keindahan rumah tangga mereka. Dua jam kemudian, Rani telah kembali bersiap, jika ia kembali memakai pakaian yang sedikit kusut sebab dilempar sembarangan oleh sang suami tadi. Sedang Dino, tengah mandi. Panggilan dari gawainya membuat Rani segera bergerak cepat menuju nakas temoat di mana ia semalam meletakkannya. Nama Mila tertera pada nama pemanggil. Informannya menghubungi. Rani sempat lupa tentang sang informan tersebut juga mengenai apa yang disuruhnya untuk digali. "Halo," kata Rani lirih seraya berjalan menuju balkon dan dengan pelan menutup pintu kacanya agar suaranya tak terdengar dari dalam kamar. "Aku mengirimkan foto." "Foto apa?" "Lihat saja sendiri. Oh, ya. Juga hasil screenshoot percakapan dari ponsel Nissa yang sepertinya itu adalah percakapannya dengan seseorang bernama Tomi." "Oke thanks." "Oya, sandi ponsel suamimu adalah 191898. Itu tanggal jadian dirinya dengan Faranissa." Rani menurunkan ponsel itu, ia tak menyangka informasi kali ini seperti menghujam jantungnya. Hari terasa tak lagi cerah, angin di areal Mega Mendung itu tiba-tiba terasa panas dan membuatnya tak dapat bernapas normal. Ia segera berlari menuju nakas di samping tempat tidur, mendapati ponsel suaminya yang sedang diisi ulang. Dengan kasar ia mencabut catu baterai. Menggeser layar, tampilan permintaan kata sandi pun terlihat. Dengan gemetar ia memasukkan angka yang disebutkan Mila. Ponsel pun terbuka, Rani segera mencari nama Nissa di daftar kontak aplikasi pesan. Menemukan hasil obrolan keduanya yang menggunakan bahasa mesra mendayu-dayu, sekali-sekali saling menggida dan berjanji bertemu di suatu tempat termasuk hotel S. Rani men-screenshot semua obrolan. Lalu segera mengirimkan ke kontak pribadinya, dengan cepat jarinya bekerja, sebelum sang suami keluar dari kamar mandi. Lalu ai mengecekn ponselnya, dan memcari nama Mila, di sana ada foto sang suami sehari sebelum keberangkatan mereka ke Bogor. Saling berciuman di sebuah rumah yang dipastikan adalah rumah peremouan itu. Lalu obrolan singkatnya dengan Ronald. "Sip, foto udah diambil. Selamat bermalam dengan sang pujaan, Nis." Tangis pun tumpah. Dino keluar dari kamar mandi keheranan melihat istrinya mengais dengan bahu yang bergetar. Ia segera mendekati dan memegang bahunya. "Kenapa, Sayang?" tanya laki-laki itu. Rani menatap mata suaminya. Ada kebencian di hatinya. Dengan geram ia berkata. "Dasar munafik!" = = = = = = = = = = = =
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN