Suara alarm dari jam digital yang terletak di atas nakas membuat mata cokelat terang itu perlahan terbuka. Mengerjap beberapa kali sebelum terbuka dengan sempurna. Diva duduk dengan malas, semalas dia menolehkan kepala ke samping kanan di mana nakas tempat dia menaruh jam digital berada. Tangannya terulur untuk mematikan alarm yang sangat mengganggu baginya, seluruh kamar dipenuhi dengan suara alarm. Menguap sekali lantas menurunkan kaki untuk segera ke kamar mandi. Dia harus segera melakukan ritual paginya kalau tidak ingin terlambat tiba di sekolah.
Lima belas menit berselang, Diva sudah duduk manis di meja makan. Menyeruput segelas s*su vanilla kesukaannya. Memang sedikit aneh, gadis seusianya sangat menyukai produk minuman bayi itu. Namun, mau bagaimana lagi. Meski Arkan selalu mengejek, Diva tidak peduli. Dia terlalu menyukai s*su.
"Makannya bisa nggak, sih, nggak pelan-pelan? Masa udah hampir kelas sebelas masih belepotan kayak gitu."
Diva cemberut mendengar sindiran Mama. Iya, dia memang sudah hampir kelas sebelas. Beberapa bulan lagi sekolah akan mengadakan ujian kenaikan kelas. Diva bersyukur selama ini nilainya selalu memuaskan. Tidak pernah dia mendapatkan nilai merah di setiap ujian. Pada pembagian raport semester pertama, Diva meraih peringkat kedua di kelasnya. Benar-benar prestasi yang sangat membanggakan baginya. Tidak sia-sia dia belajar.
Kalau masalah pelajaran, sebenarnya otak Diva cukup encer. Dia termasuk salah satu siswa berprestasi sejak di bangku SMP. Jadi, tidak terlalu mengherankan kalau dia meraih peringkat di kelas. Meski belum bisa menyamai Juna. Secara keseluruhan, nilai Juna yang tertinggi. Diva heran, bagaimana itu bisa terjadi. Padahal kalau dilihat-lihat Juna hampir tidak pernah memasuki perpustakaan untuk meminjam buku. Dia juga ragu kalau Juna pernah memasuki toko buku sekedar untuk melihat-lihat. Diva yakin toko buku bukankah tempat favorit Juna. Namun, nilai Juna lebih tinggi dibandingkan siswa-siswa kelas sepuluh lainnya.
"Ini juga udah pelan, kok, Ma." Diva membela diri. Mengambil tisu dan mengusap sudut bibirnya yang kata Mama belepotan tadi. "Udah Diva bersihin, ya. Nih, liat!" Diva menunjukkan tisu yang kotor karena menyerap s*su di sudut bibirnya. "Nggak belepotan lagi, kan, Ma?" tanyanya.
Mama mengangguk. "Pintar anak Mama."
Pujian Mama menghadirkan senyum manis di bibir Diva. Kembali dia bersemangat menghabiskan sarapannya yang berupa roti selai strawberry dan segelas s*su. Sesungguhnya Diva sangat ingin membawa s*su kotak atau membelinya di kantin saat istirahat, sayangnya dia malu. Jadilah Diva hanya memandangi s*su-s*su kotak itu tanpa dapat membelinya.
*Diva berangkat, ya, Ma," ucap Diva setelah mencium punggung tangan kanan Mama dan kedua belah pipinya.
Mama mencium kening Diva lama sebelum melepaskan pelukan. "Hati-hati, ya, Sayang."
Diva mengangguk. Senyum manisnya kembali merekah.
"Pak Dudung juga hati-hati bawa mobilnya, ya." Kembali Mama berpesan, kali ini kepada sopir yang khusus mengantar-jemput Diva di sekolah.
Diva bukan anak yang suka di luar rumah, dia lebih suka menghabiskan waktunya bersama Mama di rumah. Sehingga Papa tidak memberinya sopir kalau dia ingin pergi selain ke sekolah. Lagipula Diva hampir tidak pernah keluar, kalaupun pergi keluar dia akan pergi bersama Arkan, sepupunya, ataupun bersama Mama. Diva tidak pernah keberatan dengan itu, dia malah senang karena ada yang menjaganya. Diva gadis yang cukup penakut, dia tidak berani berkenalan dengan orang yang berpenampilan sangar.
Diva melambaikan tangan pada Mama begitu mobil mulai berjalan meninggalkan halaman rumahnya yang luas. Tatapan diva tertuju ke luar jendela,.menikmati pemandangan kota Jakarta di pagi hari. Tangannya terulur membuka kaca jendela sedikit, dia memerlukan udara segar pagi ini untuk menuju paru-parunya yang terasa sedikit sesak. Pemandangan Juna bersama Siska di depan toilet di lantai dua kembali terbayang. Napas Diva memberat mengingat peristiwa itu. Ternyata prestasi tidak dapat membuat Juna meliriknya. Pemuda itu malah semakin menjauh sekarang. Mereka tidak pernah terlibat dalam satu pembicaraan lagi.
Entah kenapa, tapi sepertinya Juna benar-benar tidak tertarik pada gadis baik-baik dan pintar sepertinya. Hilda, gadis kelas sepuluh A yang sekelas dengan Arsyi, setahunya juga menyukai Juna. Hilda juga merupakan siswa berprestasi sepertinya, dan Juna juga tidak pernah melirik Hilda.
Membayangkan Hilda membuat Diva meringis. Hilda gadis yang cantik dan pintar, selain pendiam. Sudah menjadi rahasia umum kalau Hilda menyukai Juna. Semua berawal dari status di media sosial Hilda. Entah sengaja atau tidak, Hilda menulis di statusnya kalau dia menyukai pemuda berinisial A sebagai huruf depan namanya, dan huruf J sebagai huruf depan nama panggilannya. Ada seorang temannya yang mengomentari status itu dan menyebutkan nama Juna. Bahkan teman Hilda menandai Juna dalam komentarnya itu. Sejak itulah semuanya terbongkar, kalau Hilda menyukai Juna.
Lalu, bagaimana dengan dirinya? Apakah dia siap seandainya perasaannya diketahui orang banyak, bahkan oleh Juna sendiri? Sepertinya dia tidak siap, tidak akan pernah siap melihat dinginnya sikap Juna pada Hilda. Dia tidak mau seperti itu. Biarlah dia memendam perasaan, asal jangan malu karena ketahuan. Dia tidak akan sanggup bertahan.
"Makasih, Pak Dudung," ucap Diva sebelum keluar dari mobil.
Mereka sudah sampai, dan seperti biasa pak Dudung hanya mengantar di depan gerbang saja. Diva melangkah riang memasuki gerbang sekolah yang masih terbuka lebar. Masih pagi, gerbang sekolah ditutup kalau sudah pukul delapan pagi. Sekarang masih jam 7 lewat 30 menit, artinya masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum gerbang benar-benar ditutup.
Diva terkejut saat sebuah mobil lewat di sampingnya. Dia sangat mengenal mobil berwarna merah itu, mobil Juna. Diva mengembuskan napas kasar dari mulut, Juna memang sangat menyebalkan, hampir tidak mempunyai tata krama, dan anehnya dia jatuh cinta pada pemuda tanpa sopan santun seperti Juna.
Kesal, Diva menghampiri mobil itu ketika pintu depan bagian kemudi terbuka. Juna perlu ditegur, kalau tidak dia akan terus berbuat seperti tadi. Untung saja dia tidak memiliki riwayat penyakit jantung, kalau tidak bisa dipastikan dia akan pingsan.
"Kamu punya mata nggak, sih?" tegur Diva kesal. Suaranya meninggi agar Juna dapat mendengarnya.
"Bukan salah gue, salah lu yang ngehalangin jalan," jawab Juna cuek.
Diva semakin kesal saja mendengar perkataan Juna. Dia tidak terima dikatakan menghalangi jalan padahal jalan kosong banyak si depan. Namun, dibalik kekesalan itu, terselip satu kebahagiaan. Juna mau berbicara dengannya! Diva bersorak dalam hati.
"A-apaan, sih, lo? Siapa yang ngalangin jalan coba?" tanya Diva sambil berkacak pinggang. Dia mencoba berani, meski di dalam hati begitu takut. Dadanya berdebar keras, bukan hanya karena berhadapan langsung dan berbicara dengan pemuda yang disukainya, melainkan karena dia berusaha setengah mati memberanikan diri. Dia ingin Juna melihatnya. "Masih banyak, tuh, jalan kosong!" Diva menunjuk sekeliling mereka.
"Emang masih banyak, tapi lu jalan di depan mobil gue."
Suara datar itu membuat Diva tercekat. Apa Juna marah? Padanya? Diva meneguk air liur susah payah, dia tidak ingin apa yang dipikirkannya benar. Sungguh, dia tidak ingin Juna marah padanya. Namun, dilihat dari tatapan dingin dan suaranya yang datar itu, sepertinya Juna memang sedang marah padanya.
Diva menggigit pipi dalamnya. Menarik napas tak kentara untuk menyembunyikan kegugupan. Dia memang tidak ingin Juna marah apalagi kepadanya, tapi dia tetap harus berani. Kalau memang itu satu-satunya jalan agar Juna melihatnya, dia akan mengambil resiko itu.
"Kata siapa di depan?" belalak Diva. "Gu-gue udah jalan di pinggir, lo yang mau nyerempet!"
Juna mendengkus kasar. "Serah lu!" ucapnya dingin. "Ngapain gue debat sama cewek nyebelin kayak lu? Buang-buang waktu! Minggir!"
Diva tidak bergerak, bahkan saat Juna menabrak bahu mungilnya. Tubuhnya beku. Apa kata Juna tadi, dia gadis menyebalkan? Karena itu kah Juna tidak pernah meliriknya? Karena itu kah Juna tidak mau melihatnya? Diva menggigit bibir saat merasakan matanya menghangat, menahan agar air matanya tidak tumpah.
***
"Juna, bisa pelan-pelan nggak, sih?" tanya Helen untuk yang kesekian kalinya. Mobil Juna melaju terlalu kencang menurutnya. Hari ini dia tidak terlambat bangun tapi Juna yang terlambat menjemput, berarti kalau seandainya mereka terlambat itu bukan salahnya melainkan kesalahan Juna. Entah apa yang dilakukan Juna tadi malam sampai bangun kesiangan.
"Berisik!" bentak Juna. "Kita hampir telat!"
Helen membelalakkan kedua mata sipitnya. Tidak terima bentakan Juna. Meskipun dia tahu Juna tidak serius tetap dia tidak bisa terima. Bukan salahnya, kan, mereka hampir terlambat.
"Salah siapa kita mau telat?" tanya Helen galak. "Yang lama jemput, kan, Juna bukan aku yang bangun kesiangan. Lagian, ya, ini tuh masih pagi, Arjuna, masih setengah delapan. Biasanya juga kita lebih lambat dari ini." Helen bersedekap, membuang muka menatap ke luar jendela.
Juna mendengkus kesal. Bukan karena perkataan Helen, bukan juga kesal pada gadis yang dia yakin sedang merajuk itu. Dia kesal pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia bisa bangun kesiangan tadi pagi? Seharusnya dia bisa bangun pagi seperti biasa. Semua ini gara-gara gadis menyebalkan itu. Diva!
Juna melihat Diva di lorong yang membatasi ruang kosong di lantai dua sekolah mereka, tepatnya beberapa meter dari toilet tak terpakai yang sering digunakannya bermain bersama gadis-gadisnya selama mereka masih di sekolah. Jangan salahkan dirinya, gadis-gadis itu yang menyeretnya ke sana. Sebagai seorang pemuda normal dia menurut saja apa yang diinginkan kekasihnya.
Kekasih?
Juna tersenyum sinis begitu kata itu membayang di otaknya. Entahlah. Dia tidak pernah menganggap serius hubungan mereka. Baginya hanya bermain-main. Usia mereka yang masih muda membuatnya menganggap itu semua hanya bersenang-senang tanpa melibatkan hati. Yang terpenting adalah, sampai sekarang dia belum merasakan apa yang dirasakan Arsyi pada Helen. Sampai saat ini, belum ada seorang gadis pun yang bisa meluluhkan hatinya dan membuatnya bertekuk lutut. Dia akan berhenti berpetualang kalau sudah menemukan gadis yang bisa membuatnya merasakan hal seperti itu.
Bayangan Diva kembali melintas, membuat Juna kembali teringat peristiwa kemarin. Juna mengepal kuat. Entah kenapa dia tidak suka Diva memergokinya saat sedang bersama gadis lain, dalam posisi berbahaya.
Sudah jadi kebiasaan saat berciuman Juna tidak pernah memejamkan mata. Kemarin matanya bertemu dengan mata Diva saat dia sedang berciuman dengan Gladys, perempuan yang baru dipacarinya sebulan ini. Hatinya merasa tercubit melihat mata indah itu membelalak sesaat sebelum memalingkan muka dan berlalu memasuki lorong di samping kelas kosong. Kehadiran Diva membuatnya kehilangan na*su untuk memainkan mainan yang ditawarkan Gladys. Dia mengajak Gladys ke apartemennya sepulang sekolah dan memintanya menginap. Hasilnya sudah dapat ditebak, hampir semalaman mereka bergumul. Berhenti beberapa jam untuk beristirahat kemudian melanjutkan lagi. Sialnya dia justru membayangkan sedang menggagahi Diva bukan Gladys.
Juna meremas rambut hitamnya frustasi. Kegiatan tadi malam itu membuatnya bangun kesiangan, ditambah dia harus mengantarkan Gladys pulang. Namun, semua itu bukan masalah bagi Juna, dia sudah terbiasa. Masalah terbesar adalah dia jadi menginginkan Diva. Ingin melihat gadis itu berada di atas ranjangnya dalam keadaan polos tanpa busana. Satu lagi yang penting, dia tidak akan melakukan hal itu. Diva adalah gadis yang membuatnya ingin melindungi, gadis yang tidak ingin dirusaknya. Dia tidak ingin menjadi penjahat dan menyesal seumur hidup.
Celakanya, Juna justru melihat Diva memasuki gerbang sekolah. Entah set*n apa yang merasukinya sehingga Juna melajukan mobil dan mengambil jalan tepat di samping Diva. Juna nyaris menyerempetnya. Helen bahkan kembali meneriaki dan memukulnya, tapi tidak dihiraukan. Dia sedang kesal, hatinya berperang, dan di tengah peperangan itu sosok yang ingin dihindari sekaligus ingin dilihatnya berdiri persis di depannya dengan wajah yang memerah. Entah karena marah atau apa, yang pasti Diva sangat menggemaskan baginya. Membuatnya semakin ingin menyeretnya ke atas tempat tidur.
"Kamu punya mata nggak sih?"
Tidak ada yang salah dengan pertanyaan Diva. Dia pasti sangat kesal karena nyaris diserempet. Yang salah adalah Juna. Bisa-bisanya dia berfantasi liar sepagi ini, suara Diva terdengar seperti desahan di telinga Juna, sangat merdu. Membangunkan sesuatu di bawah sana. S*al! Juna menggeleng sekali mengusir bayangan itu dari otaknya.
"Bukan salah gue, salah lu yang ngahalangin jalan." Juna mencoba cuek, dia harus segera menghindari Diva atau benar-benar akan melakukan niatnya semula.
Juna mengira Diva akan pergi setelah mendapat jawaban pedasnya, tapi yang terjadi sebaliknya. Diva justru kembali melayangkan protes.
"A-apaan, sih, lo? Siapa yang ngalangin jalan coba?"
Juna mengangkat sebelah alis mendengarnya. Lo? Diva sekarang berbicara seperti itu? Lo-gue bukan aku-kamu lagi seperti yang selama ini didengarnya? Benarkah itu? Juna curiga pendengarannya bermasalah.
"Masih banyak, tuh, jalan kosong!"
"Emang masih banyak, tapi lu jalan di depan mobil gue," sahut Juna datar. Sungguh dia tidak suka dengan cara bicara Diva sekarang. Seperti bukan Diva saja.
"Kata siapa di depan? Gu-gue udah jalan di pinggir, lo yang mau nyerempet!"
Pendengarannya tidak bermasalah, diva memang berlo-gue sekarang. Juna mendengkus kesal. Namun, segera saja kekesalannya hilang melihat mata indah itu membelalak. Ingin rasanya membingkai pipi mulus itu, dan mencicipi bibir yang mengerut.
Astaga!
Juna menggeleng kuat. Sepertinya dia memang harus cepat-cepat pergi dari sini atau tidak bisa menahan diri lagi.
"Serah lu!" sahut Juna dingin. "Ngapain gue debat sama cewek nyebelin kayak lu? Buang-buang waktu! Minggir!"
Juna menabrak bahu mungil Diva hanya untuk mengubur gairahnya pada gadis itu. Mungkin dia jahat, mungkin kata-katanya terlalu pedas, tapi itu untuk kebaikan mereka.
Diva, maafin aku....