bc

Chasing ARJUNA

book_age18+
1.3K
IKUTI
18.5K
BACA
possessive
playboy
dominant
student
drama
tragedy
sweet
bxg
highschool
first love
like
intro-logo
Uraian

WARNING 18+

TIDAK UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR, BIJAKLAH DALAM MEMILIH BACAAN

Spin off Two & One

Juna dan Diva sudah sama-sama saling suka sejak mereka pertama kali bertemu. Namun sikap playboy yang dimiliki Juna membuat mereka hanya memendam perasaan masing-masing dan membuat Juna hampir melupakan perasaannya pada Diva, gadis bertubuh mungil yang disebutnya sebagai salah satu 'cabe' sekolah.

Setahun berlalu, Juna yang baru menyadari perasaannya mengatakan pada Diva kalau ia menyukai gadis itu. Namun Diva menolak untuk menjadi kekasih Juna, meskipun mereka saling mencintai.

Bagaimana kisah cinta Arjuna dan Diva selanjutnya? Dapatkah mereka bersama?

Cover by Me

Pict

https://pixabay.com/photos/heart-peony-white-plant-love-few-3124301/

Font by PicsArt

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1
Gadis itu mematut dirinya sekali lagi di depan cermin. Senyum manis mengembang di bibir mungilnya. Ia tadi tergesa-gesa mengenakan seragam, bukan karena takut telat tetapi ia sudah tidak sabar lagi untuk mengenakannya. Hari ini adalah hari di mana tahun pelajaran baru dimulai. Gadis bernama Diva Sandora Wijaya itu akan menjadi siswa Sekolah Menengah Atas pada hari ini. Senang? Sudah tentu. Bahagia? Rasanya tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Selama ini, gadis yang akrab disapa Diva itu selalu dinilai oleh Arkan Wijaya, sepupunya, sebagai gadis manja dan kekanakkan. Arkan selalu bilang kalau ia tidak akan bisa jadi dewasa. Kalau terus seperti itu ia tidak akan mendapatkan pacar! Mengingat kata-kata Arkan membuat mood Diva hancur seketika. Gadis itu cemberut, pipinya yang sebulat bakpao menggembung, menambah volume pipi itu saja. Diva menepuk pipinya, mengempiskan pipi dengan mengeluarkan udara dari mulut pelan. Ia tidak boleh down, harus tetap bersemangat. Ia harus bisa membuktikan pada Arkan kalau ia juga bisa memiliki pacar tanpa harus merubah sifat dan kelakuannya. Pasti ada seorang pangeran di luar sana yang akan menerima dirinya apa adanya, bukan ada apanya. Diva gadis yang cantik dengan pipi bulat dan mata cokelat cemerlang. Bibir mungil berwarna merah muda alami, serasi dengan hidung mancungnya yang juga terlihat mungil. Semua itu dibingkai dengan kulit putih dan rambut yang sedikit bergelombang. Diva seperti boneka hidup saja. Sayangnya, gadis itu tidak pernah menyadarinya. Ia tidak pernah merasa cantik, apalagi Arkan yang sering mengoloknya tembem dan chubby, membuatnya jadi semakin tidak menyadari bagaimana rupanya. Diva sangat jarang bergaul dengan teman laki-laki, Arkan adalah sepupu yang posesif. Meskipun Arkan sudah memiliki kekasih, ia tetap selalu menjaga sepupu satu-satunya. Mereka memang akrab, seperti saudara kandung saja. Arkan juga memanjakannya. Pemuda itu selalu memberikan apa yang Diva inginkan. "Udah sempurna, Va, nggak ada yang kurang." Diva berbicara sendiri di depan cermin melihat penampilannya. Semua memang sudah dikenakannya. Rambut cokelat gelapnya sudah dikepang dua seperti yang diminta pihak sekolah. Ia juga sudah mengenakan semua atribut sekolahnya. Semua barang yang diperlukan untuk masa pengenalan sekolah juga sudah siap di ruang tengah. Ia yang meletakkannya di situ tadi malam, agar ia tidak lupa untuk membawanya pagi ini. Diva tersenyum manis di depan cermin. Senyum yang mengambang kemudian menghilang. Terganti dengan pipi yang cemberut kesal. Diva berdecak. Arkan benar, pipinya terlalu tembem. Apalagi dengan rambutnya yang dikepang dua seperti sekarang membuat pipinya tambah kelihatan, dan ia tidak suka itu. Ia ingin pipinya tirus seperti teman-temannya yang lain. Seandainya saja ia bisa membuat pipinya terlihat lebih tirus, mungkin ia akan bisa menemukan pasangan dan Arkan tidak akan mengata-ngatainya lagi sebagai gadis tidak laku. Jam alarm yang diputarnya untuk mengingatkan kapan ia harus keluar kamar untuk sarapan berbunyi. Diva menoleh, berbalik dan melangkah ke depan nakas untuk mematikan jam digital yang diletakkannya di sana. Tadi setelah bangun tidur, ia memasang alarm lagi. Pengingat kapan ia harus sarapan. Ia sangat bersemangat hari ini dan tidak ingin terlambat. Diva segera keluar kamar dan turun ke bawah untuk sarapan bersama kedua orang tuanya. Diva tidak memiliki saudara, ia anak tunggal. Ayahnya seorang pemilik perusahaan yang bergerak di bidang real estate, Ibunya hanya seorang Ibu rumah tangga biasa. Namun Ibu Diva juga sering mendampingi suaminya kalau suaminya ada urusan di luar kota atau di luar negeri. Yang menurut Diva hanya alasan, Ibunya hanya ingin piknik saja. Hari ini kedua orang tuanya berada di rumah. Tentu saja Diva sangat bahagia. Mereka jarang berkumpul bersama, Papa sangat sibuk. Acara makan bersama hanya terjadi pada pagi saat sarapan, selebihnya ia akan makan sendiri atau hanya berdua dengan Mama. Papa selalu pulang lewat waktu makan malam. Sedikit menyebalkan, tetapi ia tetap selalu menikmati kebersamaan mereka. "Makannya jangan buru-buru, Sayang," tegur Mama. "Kan waktunya masih lumayan lama." Diva meringis. Ia memang terlalu bersemangat hari ini sehingga makan saja ia cepat-cepat. Mama menggeleng pelan. Tangannya terulur mengambil serbet makan di depan Diva kemudian menyapukannya ke pipi bulat putrinya. "Kayak anak kecil ih, belepotan," komentar Mama. Diva mengusap pipinya yang tadi diusap Mama. Kembali meringis menyadari ada sereal dan s**u yang ternyata menempel di pipinya. "Makasih, Mama," ucap Diva manis setelah menelan sereal yang memenuhi mulutnya. "Makannya pelan-pelan! Kebanyakan itu." Kali ini Papa yang menegur. Diva memang menyuapkan satu sendok makan penuh sereal ke dalam mulut mungilnya sehingga pipinya menggembung kepenuhan. "Awas lho nanti kesedak," sambung Papa. Diva hanya bisa tersenyum. Ia tidak bisa menjawab, mulutnya masih penuh. Mama menggeleng melihatnya. Selalu saja seperti ini. Putri tunggalnya memang selalu bersemangat dalam segala sesuatu. Apalagi hari ini, Diva akan mengenakan seragam putih abu-abu, bukan lagi putih biru. "Nanti diantar jemput sama Pak Dudung ya, Sayang. Mau ya?" pinta Mama. Diva mengangguk. "Siap, Mama," jawabnya setelah menelan semua isi mulutnya. Gadis itu mengacungkan ibu jari tanda setuju. Lantas meminum sisa s**u di gelas dan mengusap sudut mulutnya menggunakan serbet yang tadi dipakai Mama unyuk mengusap pipinya. Untuk s**u, Diva memang sangat menggemari minuman menyehatkan itu. Namun karena s**u identik dengan bayi, Diva tidak pernah mau meminum s**u di depan orang banyak. Ia hanya akan meminumnya di rumah saja. Dalam sehari Diva bisa menghabiskan dua liter s**u. Bahkan saking sukanya gadis itu dengan s**u, parfum, shampoo dan sabunnya juga beraroma s**u. Kalau tidak ada yang seperti itu, ia akan menambahkan s**u cair atau s**u bubuk ke dalam peralatan mandinya itu. "Diva udah selesai," ucap Diva riang. Ia menyelesaikan sarapannya tepat waktu. Satu jam lagi sekolahnya baru akan dimulai. Sementara jarak tempuh dari rumah ke sekolah tiga puluh menit kalau menggunakan mobil. Itu pun kalau tidak macet. Kalau macet bisa sampai empat puluh lima menit baru tiba di sekolah. Ia sudah mengukur jarak dan waktu itu, sehingga ia juga bisa mengatur kapan alarmnya akan dibunyikan. "Berangkat sekarang?" tanya Mama. Diva mengangguk. "Iya, Ma, Diva takut telat," jawabnya. "Satu jam lagi baru masuk lho, Va," ucap Papa sambil memeriksa jam tangan yang melingkari pergelangan lengan kirinya. "Kamu nggak kepagian?" Diva menggeleng. "Nggak dong, Pa. Kan di jalan tuh tiga puluh menit, kalo macet bisa sampe empat puluh lima menit. Jadi Diva nggak kepagian dong." Papa tersenyum. "Hebat anak Papa!" puji Papa. Sungguh, ia tidak menyangka kalau putrinya sudah memperhitungkan segalanya. Ia bangga pada Diva. Diva tersenyum lebar, sangat lebar sampai-sampai matanya terlihat menyipit dan pipinya menggembung. Mama yang gemas langsung mencubit pipi itu. Apalagi Diva sekarang rambutnya dikepang dua, putrinya tampak semakin menggemaskan. "Ihh Mama apaan sih cubit-cubit? Sakit tau!" Diva cemberut. Tangannya mengusap pipinya yang tadi dicubit Mama. Mama tak menyahut, hanya tertawa kecil kemudian memeluk erat putri kesayangannya. "Belajar yang bener ya, jangan sampai kamu dihukum sama kakak kelas ya, Sayang," pesan Mama. Diva mengangguk dalam pelukan Mama. "Hari ini kayaknya belum belajar, Ma. Kan baru hari pertama, masa perkenalan pula." "Oh iya, Mama baru ingat. Mama masih mikir kamu masih SMP, Sayang," ucap Mama sambil mengurai pelukan. Senyum terkembang di bibirnya. Diva kembali cemberut. "Mama gitu deh," sungutnya. "Kan Diva bukan anak SMP lagi, Diva udah pake rok abu-abu, Mama. Lihat nih!" Diva memperlihatkan rok yang dikenakannya pada mama. "Iya iya." Mama mengusap pipi Diva. "Maafin Mama ya, Sayang, ya," pinta Mama. "Kan Mama nggak sengaja, Mama tadi lupa." Diva mengembuskan napas. "Iya deh," jawabnya. Kemudian tersenyum dan mengecup pipi Mama. "Diva berangkat dulu, Ma." "Yang pintar ya, Sayang," pesan Mama lagi mengusap rambut panjang Diva. Diva mengangguk, meninggalkan Mama dan menghampiri Papa. Mengambil tangan kanan Papa dan menciumnya. "Diva berangkat sekolah dulu, Papa." Papa melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Mama, mengusap pucuk kepala putrinya. "Belajar dengan benar ya. Turuti aja apa yang diminta sama kakak kelas yang bimbing," pesan Papa. Diva mengangguk. "Terus kalo ada yang usil atau jahat sama kamu, kamu lawan aja." Diva mengangguk lagi. Sementara Mama menggeleng pelan. Pesan Papa ada-ada saja, tapi ada benarnya juga. Di sekolah biasanya sering terjadi pembullyan terhadap yang dianggap lemah. Karena itu, selain diperlukan pengawasan dari guru, para siswa juga harus bisa bersikap keras dan melawan kalau ada siswa lain yang mencoba mengintimidasinya. "Siap, Papa!" Diva mengangkat tangannya menghormat lantas berbalik cepat. "Diva berangkat!" serunya. *** Tiba di sekolah, ternyata sekolah sudah ramai. Sudah banyak para siswa baru berkumpul di depan sekolah. Diva segera turun dari mobil. Matanya berbinar menatap para siswa-siswi di depan sana. "Pak Dudung, Diva pergi dulu ya. Pak Dudung pulang aja," ucap Diva sebelum melangkahkan kaki memasuki area sekolah. Sebuah mobil sedan berwarna merah lewat di depan Diva. Sejenak gadis itu terpana. Keren, pikirnya, ke sekolah naik mobil tanpa diantar. Diva memang selalu mengangumi orang-orang yang bisa melakukan semuanya sendiri, tidak seperti dirinya yang kemana-mana harus selalu diantar. Seorang pemuda jangkung turun dari mobil itu. Diva mengerjap, dalam hatinya bertanya berapa usia pemuda itu? Apakah pemuda itu sama sepertinya, siswa baru? Ataukah kakak kelasnya? Diva tidak tahu, almamater yang menunjukkan tingkatan pemuda itu terlindung sehingga ia tidak dapat mengetahuinya. Seorang gadis keluar dari bagian penumpang mobil itu. Diva memicingkan mata. Gadis bertampang oriental itu berdandan sama sepertinya, berarti mereka dalam tingkatan yang sama. Lalu, bagaimana dengan pemuda itu? Apakah mereka juga satu tingkatan? Siapa gadis yang bersama dengannya itu? Diva tidak sempat untuk bertanya ataupun sekedar mencari tahu siapa mereka. Bel sudah berbunyi sehingga gadis itu cepat-cepat melangkahkan kaki memasuki lobi sekolah untuk kemudian berkumpul di halaman sekolah bersama para siswa yang lain. Diva yersenyum riang dalam hati. Akhirnya ia menjadi siswa menengah atas, yang artinya ia bukan anak kecil lagi. Arkan tidak bisa lagi mengejek ataupun mengoloknya anak kecil. "Juna, panas." Diva menoleh ke samping kirinya mendengar rengekan itu. Pipinya tiba-tiba saja terasa memanas, pemuda yang tadi dilihatnya di tempat parkir berbaris tak jauh darinya, mereka hanya dipisahkan oleh dua orang siswa. Rengekan itu berasal dari gadis oriental. "Lu kok cerewet banget sih! Yang lain juga panas-panasan kayak kita kok!" Diva makin merasakan pipinya memanas. Suara pemuda itu terdengar dalam dan besar, berbeda dengan suara Arkan yang terdengar cempreng baginya. "Mereka nggak protes tuh!" Diva menggigit pipi dalamnya. Entah kenapa suara itu membuat jantungnya berdebar. Diva diam-diam mencuri lihat ke arah pemuda itu dan terhenyak. Ternyata bukan hanya dirinya yang mencuri lihat, para siswa perempuan yang lain juga melakukan hal yang sama dengannya. Bahkan di antara mereka ada yang terang-terangan menatap pemuda itu. Di sebelah pemuda jangkung yang menarik perhatian hampir seluruh siswa perempuan, berdiri seorang pemuda lain yang juga tak kalah tampan. Pemuda yang satunya hanya sedikit lebih pendek dari pemuda di sebelahnya. Diva mengernyit. Ia tidak apa-apa melihat pemuda yang lebih pendek itu. Wajahnya tidak terasa panas, jantungnya juga biasa-biasa saja, tak berdetak sekeras tadi. Aneh, pikirnya. Diva mengembuskan napas. Seorang guru yang ternyata adalah Kepala Sekolah mereka maju ke depan dan memberikan pengarahan. Setelah upacara bendera nanti kelas mereka akan dibagikan. Diva sangat berharap kalau ia nanti sekelas dengan pemuda jangkung yang juga melihat ke arahnya. Jantung Diva kembali bersalto di dalam rongga dadanya. Pipinya pun terasa memanas lagi. Gadis itu segera memalingkan muka. Ia terlalu malu hanya untuk sekedar membalas senyuman pemuda itu. Upacara bendera yang berlangsung selama kurang lebih tiga puluh menit berjalan khidmat. Tidak ada seorang pun dari para peserta upacara yang berbicara. Mereka semua fokus pada apa yang disampaikan oleh pembina upacara di depan sana. Upacara bendera selesai. Mimbar yang tadi digunakan oleh Kepala Sekolah untuk berpidato dan mengenalkan sedikit tentang sekolah mereka, sekarang digunakan oleh seorang guru lain yang bertugas sebagai ketua panitia penyambutan siswa baru. Guru laki-laki itu yang akan mengumumkan pembagian kelas mereka. Diva sangat gugup ketika guru itu mulai menyebutkan nama-nama siswa yang menghuni kelas A, kemudian kelas B. "Diva Sandora Wijaya!" Diva tersentak. Namanya disebut, yang artinya ia menghuni kelas B. Diva menggigit bibir menahan kecewa, ia tidak sekelas dengan pemuda itu. Namun sepertinya pemuda itu juga tidak sekelas dengan pemuda yang berdiri di sebelahnya tadi. Pemuda yang sedikit lebih pendek yang bernama Arsyi Genero Wiraatmadja sudah memasuki kelas A. Diva berkumpul ke barisan para siswa yang menghuni kelas B. Kepalanya tertunduk. Sungguh ia sangat enggan berada di kelas ini. Semangatnya yang dari tadi pagi selalu membara sekarang meredup. Tidak berada dalam satu kelas bersama orang yang diinginkannya ternyata tidak menyenangkan. "William Arjuna Dirgantara!" Diva kembali tersentak. Pemuda jangkung itu maju. Ternyata itu namanya, pantas saja gadis oriental yang sejak tadi selalu menempel padanya memanggilnya Juna. Diva tersenyum tipis. Tidak apa mereka tidak sekelas, yang penting ia sudah mengetahui nama pemuda itu. Pemuda itu melangkah ke depan. Tak sengaja mata mereka kembali bertemu, dan lagi-lagi Diva yang pertama kali memutuskan kontak mata mereka lebih dahulu dengan menundukkan kepalanya, ia malu. Mata itu terlalu tajam baginya, juga selalu membuat dirinya merasa aneh. *** William Arjuna Dirgantara memarkirkan mobil di tempat parkir yang tersedia. Ini kali kedua ia berada di sekolah ini. Yang pertama adalah beberapa Minggu yang lalu saat ia mendaftarkan dirinya untuk menjadi salah satu siswa di sekolah ini. Yang kedua adalah hari ini. Alis pemuda itu sedikit berkerut melihat keadaan sekolah yang sudah ramai, padahal masih terlalu pagi. Bik Inah tadi terlalu cepat membangunkannya, jam alarm-nya saja belum berbunyi. Juna berdecak kesal mengingat hal itu. Ia masih mengantuk. Peduli setan dengan hari baru ajaran baru. Semua hari baginya sama saja. Juna keluar dari mobilnya. Pemuda itu mengangkat sebelah alis tebalnya. Seorang gadis bertubuh mungil sedang memperhatikannya. Gadis itu tampak menatapnya heran. Gadis yang cantik. Itu yang ada di pikiran Juna pertama kali ketika melihatnya. Dari jarak beberapa meter, mata jeli Juna sudah dapat menangkap kecantikan gadis itu. Mata bulat, hidung mancung dan bibir mungil berwarna merah muda. Bibir itu membuatnya penasaran bagaimana rasanya, apakah manis atau biasa saja? Dan yang paling menggemaskan dari gadis itu adalah pipinya. Pipi gembil yang membuat orang ingin mencubitnya. Mata bulat itu mengerjap sebelum pemiliknya berlari masuk ke dalam lobi sekolah setelah mendengar suara bel berbunyi. Tidak perlu melihat almamater tingkat gadis itu untuk mengetahui kalau gadis itu berada di satu tingkatan yang sama dengannya. Dandanannya yang serupa Helen sudah mengatakan semuanya kalau gadis itu adalah siswi baru. Juna menarik tangan Helen memasuki sekolah. Helen lebih parah darinya. Kalau ia masih sedikit mengantuk, Helen lebih mengantuk lagi. Saat ia menjemput gadis ini, ia masih bergelut dalam selimut tebalnya itu. Kalau saja teriakan Bunda Cana tidak menggema, sepertinya Helen tidak akan bangun. "Kita upacara bendera dulu, Len." Gadis mungil di sebelahnya hanya mengangguk. Sepagian ini suara Helen tidak terdengar. Bahkan gadis itu tidak membuka mulut kecuali menguap. Mereka berbaris bersama di barisan yang dikhususkan untuk para siswa baru. Matahari pagi ini cukup terik, membuat Juna yang memiliki tubuh proporsional kepanasan. Beberapa kali pemuda itu mengusap keringat di pelipisnya. "Juna, panas," rengek Helen. Juna memutar bola mata. Helen memang manja. Gadis ini sahabatnya sejak mereka di dalam kandungan. Sampai sekarang. Helen selai menempelinya kemana pun dan dimana pun ia berada. "Lu kok cerewet banget sih!" Juna menoleh kesal, kemudian tersentak. Sungguh jantungnya rasanya berhenti berdetak, gadis mungil yang menatapnya di tempat parkir tadi berjarak hanya dua orang siswa darinya. Dari jarak sedekat ini Juna dapat melihat wajahnya dengan jelas. Pemuda itu tersenyum tipis, dalam hati mengagumi Indra penglihatannya yang tidak pernah salah dalam menilai seseorang. Gadis ini memang seperi yang dikatakannya tadi. Bahkan lebih cantik dan manis kalau dilihat dari dekat. Juna sangat gemas dengan pipinya yang memerah. Entah karena terkena panas atau dia malu, yang pasti membuat Juna makin gemas ingin mencubit pipi itu. Seandainya saja bisa ia ingin menggigit pipi itu. "Yang lain juga panas-panasan kayak kita kok, tapi mereka nggak protes tuh." Juna berbicara pada Helen, tetapi matanya fokus pada gadis yang sudah mencuri perhatiannya sejak baru menginjakkan kaki di sekolah ini. Juna tak pernah seperti ini sebelumnya, biasanya ia akan cuek dan acuh pada setiap gadis yang menatapnya. Ia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Namun berbeda dengan gadis ini. Juna tak henti-hentinya mencuri lihat ke arahnya. Sesekali mata mereka bertemu, dan gadis itu segera memalingkan muka atau menundukkan kepala sambil menggigit bibirnya. Benar-benar menggemaskan. Upacara bendera dan penyambutan siswa baru dimulai. Juna mengerang, ia paling tidak suka pada upacara seperti ini. Membuang waktu saja menurutnya. Bukannya ia tidak menghormati para pahlawan yang sudah merebut kemerdekaan. Namun kalau bisa menghormati dengan cara lain kenapa harus melakukan upacara bendera yang terkadang hanya sekedar merupakan kegiatan formalitas semata. Banyak guru dan siswa yang berbicara saat upacara tengah berlangsung. Apakah itu yang disebut dengan menghormati? Omong kosong! Beruntungnya upacara hanya berlangsung selama kurang lebih tiga puluh menit saja, kali tidak mungkin Juna akan berpura-pura pingsan kepanasan. Oh ayolah! Ia yang paling tinggi di antara semua siswa di sini. Wajar kalau ia pingsan, ia yang paling terpapar sinar matahari. Selesai upacara, pembagian kelas segera dilakukan. Juna kembali mengerang kesal saat nama sahabatnya, Arsyi Genero Wiraatmadja, disebut. Arsyi memasuki kelas A. Mereka tidak sekelas, sampai nama siswa penghuni kelas A terakhir diumumkan namanya tidak disebut. Namun Juna masih belum kehilangan semangat. Gadis mungil yang menarik perhatiannya belum disebutkan. Ada kemungkian mereka akan berada di satu kelas yang sama. Semoga saja. "Diva Sandora Wijaya!" Sayangnya sekali lagi Juna harus menelan kecewa ketika gadis itu melangkah maju setelah disebutkannya nama cantik itu. Jadi namanya Diva? tanya Juna dalam hati. Nama yang cantik, serasi dengan orangnya. Diva bergabung dalam barisan siswa kelas B. Karena mereka berhadapan dalam jarak yang tidak terlalu jauh, Juna dapat lebih sering memandanginya. Dan Juna semakin gemas saja, pipi Diva semakin memerah. Juna tertawa dalam hati. Selain cantik dan menggemaskan, Diva ternyata juga menyenangkan untuk digoda. Nama semua siswa yang menghuni kelas B sudah disebutkan semuanya. Tak ada nama Juna. Pemuda itu memutar bola mata. Nama Helen juga belum disebutkan, apakah ini artinya mereka akan sekelas lagi? Juna mengembuskan napas melalui mulut. Sekelas lagi dengan Helen tidak buruk, yang pasti ia akan bisa terus menjahili gadis itu seperti biasanya. Dugaan Juna tidak meleset, ia kembali sekelas dengan Helen. Gadis itu memekik gembira, bahkan tanpa tahu malu karena mereka berada di lapangan sekolah Helen memeluknya. Tidak salah memang, Helen hanya meluapkan kegembiraannya. Yang salah adalah tatapan para siswa perempuan yang seolah ingin mengikuti gadis yang sudah dianggapnya sebagai adik hidup-hidup. Juna membalas tatapan mereka dingin. Kalau guru saja tidak peduli, kenapa para siswa perempuan harus terlihat marah? Ada-ada saja. Juna menatap Diva, ia ingin tahu apakah gadis itu juga menatap Helen dengan tatapan sama seperti gadis-gadis lainnya. Ternyata tidak. Diva tampak biasa saja. Juna mengembuskan napas lega, dan ia sedikit terkejut dengan itu. Bingung juga, kenapa ia harus lega?

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Skylove

read
111.5K
bc

MANTAN TERINDAH

read
8.1K
bc

Wedding Organizer

read
48.2K
bc

Love Match

read
176.2K
bc

Sacred Lotus [Indonesia]

read
51.6K
bc

Enemy From The Heaven (Indonesia)

read
61.4K
bc

Dosen Killer itu Suamiku

read
317.4K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook