Diva selalu menyukai sekolah, seperti juga saat ini. Dia tetap menyukai sekolah, meski harus mengorbankan perasaannya setiap kali melihat pemuda yang dicintainya bersama gadis lain. Tadi saat istirahat jam makan siang dia melihat Juna di kantin bersama gadisnya yang baru lagi. Bukan Gladys lagi seperti beberapa hari yang lalu saat dia memergoki kedua orang itu tengah saling menyantap bibir. Diva bergidik saat mengingatnya. Apakah tidak sakit? Bukannya saling santap, dia juga melihat Gladys menggigit bibir Juna. Padahal dia masih ingin melihat lagi, sayang Juna keburu memergokinya. Mau tak mau dia harus pergi tempat itu, dia tidak mau disebut tukang ngintip.
Apakah karena dia telah memergokinya di toilet lantai dua itu sehingga Juna terlihat marah padanya beberapa hari yang lalu itu. Bahkan sampai sekarang Juna tidak pernah menatapnya lagi. Saat mereka berpapasan Juna selalu membuang muka. Seolah wajahnya sangat buruk sehingga Juna tidak ingin melihatnya. Apakah dia merasakan sakit? Jangan ditanya. Setiap kali Juna membuang muka, setiap itu pula hatinya berdarah. Namun, sekali lagi, karena kecintaannya kepada sekolah dia tetap bertahan. Pendidikan dan asmara adalah dua hal yang berbeda, tidak boleh dicampuradukkan. Untungnya mereka tidak berada di kelas yang sama, sehingga dia masih bisa berkonsentrasi pada setiap pelajaran.
Dering bel kembali berbunyi, saatnya pulang. Diva bergegas merapikan alat-alat tulisnya, memasukkan ke dalam tas lantas bersiap untuk pulang. Mrs. Rianti sudah menunjuk salah satu siswa untuk memimpin doa. Setelah berdoa menurut keyakinan masing-masing, seluruh siswa langsung maju serentak. Berlomba untuk mencapai Mrs. Rianti yang menunggu di depan pintu. Diva menjadi siswi terakhir yang keluar ruangan, kedua sahabatnya ikut berdesakan bersama siswa lainnya. Mrs. Rianti tersenyum manis pada Diva. Siswinya yang satu ini Idak banyak cingcong seperti siswa perempuan lainnya. Diva salah satu siswa berprestasi dan siswa kesayangannya di kelas ini.
"Seperti biasa, ya, Va, selalu keluar paling akhir."
Diva mengangguk sopan membalas sapaan guru cantiknya yang terkenal galak itu. Usia Mrs. Rianti tidak terlalu tua, juga tidak terlalu muda. Beliau berada di usia dewasa dan sangat menghargai usianya. Mrs. Rianti sangat cantik, yang tercantik di sekolah bagi Diva. Sayangnya kecantikan itu tertutupi oleh sikap galaknya sehingga banyak siswa yang tidak menyukai bahkan tidak menghormatinya. Padahal sebenarnya Mrs. Rianti tidak segalak itu. Beliau hanya galak pada siswa-siswi yang membangkang saja. Buktinya pada Diva beliau sangat ramah.
"Malas desak-desakan, Mrs. Rianti," jawab Diva. Senyum manis tersungging di bibir mungilnya.
Ada tawa tanpa suara keluar dari mulut Mrs. Rianti. Dia sudah mengenal watak siswanya yang satu ini. Diva tidak akan mau ikut berdesakan bersama teman-teman sekelasnya yang lain, di lebih suka mengantre dan rela keluar paling akhir.
"Hati-hati, ya, Va," pesan Mrs. Rianti.
Diva mengangguk. Senyum manis masih menghiasi bibirnya.
"Saya duluan. Kamu dijemput, kan?"
Lagi-lagi Diva mengangguk. "Iya, Mrs. Rianti. Pak Dudung masih di jalan katanya, bentar lagi nyampe."
Mrs. Rianti mengangguk sebelum meninggalkan Diva sendirian di depan kelasnya. Nora dan Echa sudah berada di depan sekolah menunggu jemputan mereka masing-masing. Bergegas Diva melangkah, setengah berlari menuju pintu gerbang sekolah. Dia akan menunggu pak Dudung di depan gerbang seperti biasanya. Kata pak Dudung hati ini akan sedikit terlambat menjemput. Tadi ban mobil kempes, dibawa ke bengkel. Bagi Diva tidak masalah, dia akan menunggu bersama teman satu angkatan yang lain. Biasanya ada beberapa teman yang sangat lama menunggu baru jemputannya tiba.
"Lu pulang sama Arsyi aja, gue nganterin Rieka dulu."
Suara yang sangat familiar itu menyapa gendang telinga Diva. Cepat dia menoleh mencari asal suara, tersenyum kecut dalam hati ketika dia tahu tebakannya benar. Di mana pun berada dia tidak akan salah mengenali suara Juna. Tubuh Diva bergetar, dadanya berdebar keras. Diva meringis, ternyata Juna sangat berefek padanya.
"Lu, kan, pacar Arsyi ngapain nempelin gue mulu?" Juna bersungut.
Selalu saja seperti ini, Helen akan lebih memilih untuk pulang bersamanya ketimbang kekasihnya sendiri. Alasannya selalu saja karena sudah terbiasa. Benar-benar alasan yang sangat basi menurut Juna, tapi Helen selalu benar. Dia juga tidak dapat menolak keinginannya. Namun, kali ini harus bisa, dia akan pulang bersama Rieka, gadis yang baru dipacarinya dua hari ini. Sebagai permulaan dan kesan yang baik, Juna tadi menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Rieka langsung menyetujuinya. Bahkan Rieka mengundangnya menginap, katanya orang tuanya sedang berada di luar negeri sehingga Rieka sendirian di rumah besarnya. Hanya ada pembantu yang menemani.
Sebagai laki-laki normal dan berpengalaman, Juna mengerti maksud Rieka. Dia juga menerima undangan Rieka untuk menginap di rumahnya. Tentu dia tidak akan menyiakan kesempatan yang diberikan padanya. Percayalah, tidak ada singa yang menolak undangan seekor domba untuk bertandang ke rumahnya.
Helen mengentakkan kaki kesal, setengah berlari menyongsong Arsyi yang terlihat keluar dari lobi sekolah.
Diva melihatnya, melihat dan mendengar semuanya dengan d**a yang semakin berdebar kencang. Juna akan pulang bersama gadisnya, entah kenapa dia sangat tidak suka mendengar itu. Dadanya rasanya sangat perih dan sesak, seolah ditindih sebuah batu yang sangat tajam. Batu tajam itu menusuk hatinya sampai berdarah. Diva menggigit bibir, mengalihkan pandangan dengan cepat kala matanya bertemu dengan mata Juna. Seandainya saja dia bisa tidak ke sekolah, dia akan melakukannya agar tidak melihat Juna yang selalu berganti pasangan setiap bulannya. Sayangnya dia sangat menyukai sekolah, tak ingin ketinggalan satu hari pun. Selain itu juga rasanya tidak mungkin dia bisa tidak melihat Juna. Sehari saja tidak melihatnya rasanya sangat rindu.
Eh, benarkah?
Apakah benar yang dirasakannya adalah rindu? Benarkah seperti itu rasanya rindu? Entahlah, sepertinya dia harus menanyakannya pada Arkan. Sepupunya itu selalu tahu segalanya.
Diva melanjutkan langkah menuju gerbang. Di sana sudah ada beberapa orang siswi seangkatannya, mereka hanya berbeda kelas saja. Diva cukup mengenal mereka, sering bertemu di perpustakaan.
"Nunggu jemputan juga, Va?" tanya salah seorang dari siswi itu saat Diva bergabung bersama mereka. Namanya Vika.
Diva mengangguk. "Boleh, kan?" tanyanya. "Nggak boleh juga nggak apa-apa, aku bakalan nunggu di sana!" Diva memutar setengah tubuhnya, menunjuk tempat parkir kendaraan roda empat para siswa.
"Ada Juna di sana!" seru Sisil lirih, tapi mereka berlima masih dapat mendengarnya. Sisil terkikik, menutup mulutnya dengan tangan kanan.
Diva meringis. Juna memang terkenal, julukannya pangeran sekolah. Tak heran teman-temannya ini juga mengenal Juna.
"Ada Arsyi juga!" pekik Neina tertahan.
Arsyi adalah sahabat Juna, kekasih Helen. Arsyi sama terkenalnya seperti Juna. Sosok Arsyi lebih pendiam dari Juna, wajahnya sedatar papan triplek. Arsyi hampir tak pernah tersenyum kecuali pada Helen, kekasihnya. Juna pun demikian. Tidak ada yang bisa melihat senyum tulusnya kecuali Helen. Oleh karena itu banyak yang iri dengan Helen, hidupnya terlihat sangat sempurna dengan dua orang pangeran yang selalu bersama dan siap melindunginya dengan taruhan nyawa mereka.
"Jangan ngomongin Arsyi kalo nggak mau dimusuhin sama Juna!" ucap Vika setengah berbisik.
"Kenapa emangnya?" tanya Diva. Sungguh, dia tidak mengerti dengan apa yang dimaksud Vika.
"Helen, kan, dekat banget sama Juna, Va."
Diva mengangguk.
"Helen itu pacaran sama Arsyi."
Diva mengangguk lagi. Semuanya sudah tahu dengan hal itu, sudah menjadi rahasia umum. Meski kadang ada yang salah paham melihat kedekatan Juna dan Helen, mengira Helen adalah kekasih Juna.
"Ganggu aja Arsyi maka kamu udah masuk dalam black list Juna."
Diva mengerjap. Benarkah itu? Mendekati Arsyi maka kau akan berada dalam daftar hitam Juna dan bisa berbicara dengannya. Haruskah dia melakukan itu agar Juna mau meliriknya? Haruskah dia menjadi seseorang yang ingin merebut Arsyi dari Helen hanya untuk mendapatkan perhatian Juna? Astaga, itu adalah ide yang sangat gila! Namun, kalau memang terpaksa mungkin dia akan melakukannya. Dia akan mencoba untuk merebut Arsyi dari Helen.
Sampai sudah tiba di rumah Diva masih memikirkan perkataan Vika. Dia tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubungan seseorang, tapi kalau itu untuk mendapatkan dan bisa berbicara dengan pemuda yang dicintainya, kenapa tidak, dia akan melakukannya. Namun tidak sekarang, dia masih belum berani untuk mengambil resiko menjadi musuh Juna.
***
Juna bukannya tidak melihatnya. Dia sadar seratus persen, dia melihat Diva berdiri di sana sedang menatap ke arah mereka. Sepertinya tingkah Helen sudah menarik perhatian gadis itu. Juna sedikit merasa aneh, dia salah tingkah sesaat, berpikir Diva memperhatikannya. Namun, sepertinya dia salah sangka, Diva tidak menatapnya, gadis itu mengikuti langkah Helen yang menghampiri Arsyi. Juna berdecak kesal. Apalagi saat Diva membuang muka saat mata mereka bertemu. Juna mendengkus kesal, geraman tertahan keluar dari mulutnya.
Rieka menghampirinya beberapa saat setelah Diva memasuki mobilnya. Sopir Diva sepertinya terlambat menjemput sehingga gadis itu bergabung dengan kelompok anak-anak alim tukang gosip. Kenapa Juna menyebut gadis-gadis itu kelompok alim tukang gosip? Tentu saja karena keempat gadis sok suci itu memang demikian. Mereka hanya sekelompok gadis suka dan penyebar gosip. Setiap kejadian di sekolah ini mereka pasti mengetahuinya. Gadis-gadis itu juga termasuk kutu buku. Mereka suka menghabiskan waktu berada di perpustakaan.
Diva sepertinya mengenal mereka. Buktinya mereka terus berbicara dan terlihat sangat akrab. Sampai mobil yang menjemput Diva tiba.
Juna juga membuka pintu mobil . Masuk ke dalam mobilnya tanpa membukakan pintu untuk Rieka. Gadis itu bisa membuka pintu mobil sendiri. Bukankah biasanya Rieka juga membuka pintu mobil tanpa dibantu?
Selama diperjalanan menuju rumah Rieka, Juna terus berpikir. Kenapa dia merasa marah saat tahu Diva tidak memperhatikannya? Merasa kecewa saat Diva langsung membuang muka ketika mata mereka bertemu. Apakah Diva merasa jijik padanya karena melihat ciumannya dengan Gladys waktu itu? Astaga! Juna mengusap wajah kasar, memukul setir kesal. Semoga saja dugaannya tidak benar.
Tiba di rumah Rieka hari sudah sore. Rieka benar, kedua orang tuanya sedang tidak berada di tempat. Para pembantu juga sudah pulang sebagian, hanya tersisa dua orang yang biasa menemani Rieka saat malam hari. Rieka langsung membawanya ke kamar, mengunci pintu dan menerjangnya, menghujaninya dengan kecupan-kecupan panas dan basah.
Juna mengerang kesal dalam hati. Bukan ini yang diinginkannya, dia tidak ingin diserang seperti ini. Rieka terlalu agresif. Sama saja seperti Gladys yang selalu menginginkan s*x. Dia lebih menyukai perempuan yang malu-malu tetapi berpengalaman. Namun, Juna tetap meladeni. Rieka sudah membangkitkan singa yang sedang tidur.
Juna melucuti semua yang melekat di tubuh Rieka dengan cepat dan tergesa. Dia sudah tidak sabar, bagian bawahnya sudah berdenyut nyeri sejak tadi. Saking tak sabarnya Juna langsung merobek seragam Rieka, satu kancing begitu sulit dibuka. Mata Juna berbinar melihat apa yang tersaji di depannya. Tubuh bagian depan Rieka terlalu sempurna bagi Juna. Juna membenamkan wajahnya di sana, menikmati sajian pembuka. Erangan dan desahan Rieka berpadu dengan gerakan Juna ketika tubuh mereka menyatu.
Juna tersenyum mengejek. Selalu seperti ini, tak pernah ada kesulitan berarti saat menyatukan tubuh mereka. Penghalang itu sudah tertembus lebih dulu, membuat si kecil masuk dengan lancar.
Rieka menjerit saat mendapatkan pelepasannya. Tubuhnya yang lemah terdorong-dorong ke atas karena Juna yang masih bergerak dengan brutal. Rieka menggigit bibir, tubuhnya kembali memanas. Pemandangan tubuh sempurna Juna yang berkeringat di depannya membuat libidonya kembali naik dengan cepat. Erangan dan desahannya kembali menggema di dalam kamarnya yang terkunci.
Juna mendongak, matanya terpejam rapat ketika dia menghentak untuk terakhir kali sebelum menyemburkan benih-benihnya ke rahim Rieka yang kembali terkulai. Kedua sudut bibir Juna terangkat membentuk senyum manis sempurna manakala otaknya menampilkan bayangan seorang gadis yang selalu mengganggu tidur di setiap malamnya.
Juna membuka mata, senyumnya menghilang begitu matanya bertemu dengan mata Rieka yang selalu menatapnya dengan tatapan memuja.
"Lu udah minum pil penunda kehamilan, kan?" tanya Juna seraya melepas penyatuan mereka. Tak peduli dengan Rieka yang masih memeluknya, Juna melangkah ke kamar mandi setelah melihat anggukan kepala perempuan itu.
Juna menggeram tertahan. Kesal pada otaknya yang kembali memvisualisasikan Diva setiap kali dia mencapai batas. Ini sudah yang kedua, bahkan tadi dia membayangkan Diva yang berada di bawahnya. S*alan! Juna mengepal, bagian bawahnya kembali bangkit hanya dengan mengingat gadis itu saja.
Astaga, Juna! Lu udah gila!
Menginginkan seseorang tanpa dapat memiliki adalah sebuah hal yang sangat tak masuk akal bagi seorang Arjuna Dirgantara. Perasaan ini baru pertama kali dirasakannya. Ingin memiliki tapi tak ingin menyakiti. Diva terlalu berharga untuk dirusak.
Juna keluar dari kamar mandi hanya dengan sebuah handuk yang melilit sebatas pinggul sampai lutut. Alisnya mengerut melihat Rieka yang masih berbaring tanpa busana dengan tangan kiri berada di bagian bawahnya. Erangan dan desahan lirih Rieka menyapa gendang telinganya. Juna menyumpah dalam hati, Rieka memuaskan dirinya sendiri.
"Lu masih belum puas juga?" tanya Juna dengan sebelah alis terangkat.
Tak ada sahutan, Rieka hanya mengangguk-angguk. Dia tak dapat bersuara selain mengerang. Tangan kanannya yang tadi digunakan untuk meremas dadanya berusaha menggapai Juna. Dia menginginkan pemuda itu kembali memasukinya.
Juna mengabaikan, malah kembali memakai seragamnya. Dia tidak berminat kembali untuk mengulang. Bahkan Rieka tidak bisa membuatnya kembali b*******h. Si kecil memang bangkit di bawah sana tapi bukan karena melihat Rieka yang masih polos tanpa busana melainkan karena dia membayangkan Diva.
"Juna, ... tolong ... aku .... Aku ... udah nggak ... kuat," pinta Rieka susah payah di sela erangannya.
Juna menggeleng. "Sorry, gue nggak bisa bantu. Gue bukan g*golo!" ucap Juna pedas. Kemudian tanpa perasaan, Juna melanjutkan ucapannya. "Kita putus!"
Juna langsung keluar dari kamar Rieka setelah berkata seperti itu. Setengah berlari menuruni tangga dan keluar dari rumah mewah Rieka. Juna berkali-kali memukul setir dengan mulut menyumpah. Melirik iba pada bagian bawahnya yang menggembung menginginkan Diva.