Jodoh Buat Kinanti

1713 Kata
Jodoh Buat Kinanti SUDAH seminggu, Kinanti tidak berjualan mi ayam. Dia berada di rumah saja. Jarang keluar rumah kecuali untuk hal darurat. Lebih memilih mengurung diri di dalam rumah. Para tetangganya pun hanya melihatnya ketika Kinanti menjemur pakaian di pagar rumah. Mirna masih setia mengantar jemput ketiga putranya. Dan siang itu, pukul sebelas, Mirna dan kedua cucunya—Baginda dan Satria sudah berada di rumah Kinanti. Sementara Albani, masih berada di sekolah lantaran jadwalnya hingga pukul dua belas lebih. Anak itu pun sudah bisa pulang sendiri dengan berjalan kaki. Bila hendak menyeberang jalan, maka selalu minta bantuan pada orang-orang yang kebetulan berpapasan dengannya meski orang itu asing baginya. “Kinan, kapan kau mau berjualan lagi?” tanya ibunya. Dia pun sedikit heran dengan sikap Kinanti yang lebih banyak diam. Dia menduga putrinya tengah malas berjualan dan ingin rehat sejenak karena letih. Berjualan dengan berkeliling, seorang perempuan mendorong gerobak, itu memang tidak biasa dilakukan pedagang perempuan lainnya. Perlu tenag ekstra. Namun, Kinanti riang melakukan itu dan tiba-tiba setelah seminggu berlalu, Kinanti tampak bingung. “Kinan belum tahu, Ma.” “Lho, ko belum tahu?” dahi Mirna mengernyit. Baginda masuk kamar. Adiknya mengikuti. Lalu terdengar celoteh mereka meski tak begitu jelas lantaran suara Satria yang pelan. Kinanti menghela napas seperti ada beban yang menghimpit dalam dadanya. Sebenarnya, dia tak mau mengatakan pada ibunya perihal apa yang telah dialaminya. Namun bila tidak, ibunya itu akan terus mendesak. Dan Kinanti tak bisa berdalih. Ibunya bisa menduga-duga yang lain. “Bicaralah pada Ibu, Kinan...” ucap Mirna lembut. “Baiklah, Bu...” kata Kinanti akhirnya dia mulai mengungkap. Beberapa kali, kala dia berjualan berkeliling di sekitar komplek tempatnya biasa berjualan di sana, dia dicegat beberapa berandalan dan dimintai uang. Bahkan nyaris dirampas. Dan itu terjadi bukan hanya satu kali. Namun berulang kali hingga Kinanti ketakutan. Bukan persoalan itu saja yang menimpanya. Lalu, seorang perempuan sebayanya yang berjualan dagangan yang sama, sempat mendatanginya dan melarang Kinanti berjualan di seitar situ padahal Kinanti berjualan lebih dulu darinya. Kinanti berusaha bicara baik-baik tetapi dibals kasar oleh perempuan itu. Kinanti tak mau berkepanjangan. Lalu Kinanti pun mengalah dan memilih jalanan yang sekiranya tak akan dilalui pedagang itu. Namun, di sekitar situ pun Kinanti mendapat masalah lagi. Ada dua keluarga yang suka berhutang mi ayam, sehari hingga berporsi-porsi. Lalu hingga seminggu lamanya tetapi tidak mau membayar hutangnya itu. Saat Kinanti mencoba menagih, bukannya mau membayar malah Kinanti dimarahi habis-habisan dan dilarang berjualan di sekitar situ. Sungguh, persoalan Kinanti bukan hanya satu. Namun berlapis-lapis. Akhirnya Kinanti memutuskan untuk berhenti dulu dari berjualan mi ayam dengan berkeliling. Usai mengungkap itu, hati Kinanti sedikit lega. Pada Siti, dia belum bicarakan itu. Dia akan bicara di lain waktu. Terlebih Siti dalam beberapa hari belum bertandang ke rumahnya. Kinanti tentu akan bicara pada Siti, orang baik yang peduli padanya dan yang selalu mendukungnya mencari uang dengan berdagang. Namun pada ibunya, dia pun tak mungkin menyembunyikan hal apa saja yang sudah menimpa dirinya. Sampai kapan dia berisitirahat tidak berjualan? Sementara kebutuhan hidup terus mengepungnya. Untuk kembali berkeliling berjualan di komplek perumahan itu, dia sudah tidak mau lagi. “Kalau kau berjualan lagi di teras, bagaimana?” tanya ibunya.”Memang akan lebih baik kau berhenti berjualan berkeliling di tempat-tempat yang sekiranya mengusikmu dan tak membuatmu tenang, Kinan. Mama khawatir denganmu. Kau itu perempuan. Mama takut ada masalah yang menimpamu. Kau tak suka bermasalah dengan orang tapi orang-orang itu mendatangkan masalah padamu. Lebih baik, menghindar. Jauhi.” “Jadi Mama setuju Kinanti tidak jualan keliling lagi?” “Tidak setuju kecuali di komplek perumahan yang aman, yang membuatmu nyaman dan tak mendatangkan masalah.” “Sepakat, Ma. Tapi Kinan mau jualan lagi. Bagaimana?” “Kalau jualan lagi di teras rumahmu, bagaimana?” Mirna balik bertanya. “Jualan di teras lagi, Kinan akan coba. Meski sebenranya berjualan berkeliling itu lebih berpeluang mendapat banyak pembeli, Mama. Sudah Kinan rasakan. Tapi kalau ada masalah, ya Kinan enggan.” Tangan Mirna menyentuh bahu Kinanti. “Yang sabar ya, Nak. Kau dalam ujian.” “Ya, Ma. Padahal Kinan lagi bersemangat. Kenapa selalu saja ada kendala?” ucap Kinanti lirih. “Kau tenang saja dulu, kalaupun mau berjualan lagi di teras, tunda dulu. Bisa kaupikir-pikir lagi. Urusan dapur dan jajan anak-anakmu, Mama bisa tanggung semua.” Kinanti menatap hari ibunya. Matanya berkaca-kaca. “Mama, Kinan dan anak-anak selalu saja merepotkan Mama. Maafkan Kinan, Mama...” Mirna tersenyum, menenangkan jiwa Kinanti. “Sudah sepatutnya Mama seperti itu, Kinan.” “Harusnya Kinan yang balas jasa pada Mama. Mama yang sudah mengandung Kinan, melahirkna Kinan, merawat Kinan dari kecil hingga Kinan beres kuliah, lalu sekarang di saat Kinan sudah punya tiga anak... Kinan masih saja merepotkan Mama.” “Tidak usah kaupikirkan, Mama tak merasa direpotkan.” “Kinan merasa beban, Ma.” “Mama sama sekali tidak merasa terbebani. Sudahlah, Mama senang ko melakukannya. Dan justru Mama ingin selalu dekat denganmu juga anak-anakmu. Inginnya sih, kalian itu tinggal di rumah Mama. Ketimbang kalian tinggal di rumah yang sempit ini.” Kinanti diam. Dia bingung. Dia memang selalu menolak setiap kali Mirna mengajaknya tinggal bersama. Namun kali ini, dia merasakan butuh dekat dengan ibunya. Bukan karena ingin menumpang tidur dan makan saja, toh Kinanti juga punya niat mencari uang sendiri. Namun, yang dibayangkan, alangkah damai bila saat ada masalah yang melilit, dia bisa dekat dengan perempuan yang pernah mengandungnya selama sembilan tahun. Kasih sayang seorang ibu yang tak akan pernah luntur sepanjang masa. “Bagaimana? Mau kan kalau kau dan anak-anakmu tinggal di rumah Mama? Rumah Mama kan cukup luas, kamar-kamar kosong. Siapa yang akan menempatinya kalau bukan kau... dan ketiga anakmu? Makanan yang terkadang bersisa... itu juga buat siapa? Malah mubazir. Kita tingga berjauhan, terkecuali kalau dekat... ya beda lagi. Tentu Mama bisa bolak-balik ke rumahmu dalam hitungan menit sekali pun...” Mirna berhenti bicara dan menatap anak semata wayangnya. “Kinan belum bisa jawab sekarang, Ma.” “Hemm, baiklah. Tapi harus kaupikirkan, ya?” “InsyaAllah.” Beberapa detik, mereka terdiam. Lalu tubuh Mirna beranjak. “Kinan, Mama mau keluar dulu, nanti kembali ke sini?” “Mau ke mana?” tanya Kinanti. “Pokoknya kau tunggu saja, tak lama ko paling lima belas menit.” Mirna pun keluar rumah. Dan benar saja hanya lima belas menit. Dia sudah berada kembali di rumah Kinanti dengan membawa kantong plastik hitam berisi lauk-pauk. Ada ikan goreng, pepes ayam, pepes tahu, dan acar mentimun juga sambal tomat. “Kau mau memasak nasinya?” tanya ibunya. “Oh, kalau nasi Kinan sudah masak dari pagi, Ma.” Kinanti pun beranjak. Menuju dapur. Mengambil magic com. Lalu menaruhya di lantai keramik putih. Kemudian ke dapur lagi. Menuju lemari kaca. Mengambil piring-piring untuk tempat lauk pauk yang dibeli ibunya dari warung makan depan jalan besar, juga empat piring untuk makan bersama. Tergelar di atas lantai. Kinanti mengambil karpet gulung berukuran kecil lalu menggelarkannya. “Bagindaaaa, Satriaaaaa!” panggil Kinanti. Lalu kedua anaknya muncul dai dalam kamar yang hanya satu-satunya. Mata mereka berbinar melihat makanan yang tersaji di atas karpet beludru hijau. Tampak memancing liur mereka berdua. Terlebih ketika tatapan matanya tertumpu pada ikan goreng yang besar-besar. Mirna dan Kinanti pun tersenyum sembari saling lirik. Kebahagiaan menyusup di hati ibu dan anak mengelupaskan kebingungan yang tadi sempat mengusik pikiran Kinanti. *** Berulangkali HP Mirna berdering. Dia mencoba mengabaikan suara itu. Usai berdoa, tubuhnya pun bangkit. Lalu melepas mukenanya. Dilipatnya mukena putih berenda itu dengan rapi dan disimpannya dalam loker plastik berwarna cokelat. Dia baru solat asar. Di rumah, hanya ada dia dan Baginda. Kinanti dan Satria lagi di rumah kontrakan Siti. Sementara Albani seperti biasa bermain di lapangan dengan teman-teman sepermainannya. Mirna menuju ruang tamu yang merangkap ruang keluarga. Diambilnya HP itu. Lalu ditempelkan di telinga setelah tahu yang menelepon itu Hamidah. “Bu Mirna, pulang jam berapa ke rumah?” “Jam lima, Bu. Sebelum azan magrib, saya sudah ada di rumah. Tadi Bu Hamidah ke rumah saya?” “Tidak, Bu. Takutnya Bu Mirna belum pulang. Dan benar saja.” “Ya, Bu. Nanti kalau saay sudah berada di rumah, saya kabari.” “Tapi mending kita ketemu selepas isya saja, ya?” “Ide bagus. Biar santai, ya?” “Ya. Oh ya Bu Mirna, bagaiaman obrolan kita tempo hari?” tanya Hamidah. “Soal perjodohan saudara misan Bu Hamidah dengan Kinanti?” ucap Mirna dengan suaar dipelankan meski Kinanti tengah tidak aad di rumah. Khawatir pula suaranya terdengar keluar karena batas rumah dan gang yang biasa dilalui orang-orang itu cukup dekat, memungkinkan bisa didengar bila suara dari dalam keras. “Betul, Bu. Saya ko tak sabar banget ya?” “Saya belum bicarakan, Bu.” “Duh, saya pikir karena Bu Mirna sering berada di rumah putrinya, Bu Mirna sudah bicara.” “Saya itu sangat setuju dengan rencana ibu, tentu saja saya pun gembira... apalagi sosok yang ditawarkan itu sesuai dengan kriteria saya. Meski saya belum ketemu saudara misan Bu Mirna. Saya pasti bicara pada Kinan meski ya kadang harus hari-hati bicaranya, dia kan kurang suka bahkan bisa dibilang tidak suka dengan obrolan yang mengarah ke situ. Tapi saya akan berusaha, tunggu saja, ya?” “Siap, Bu. Saya tunggu. Tapi jangan lama-lama?” suara Mirna mendadak merengek seperti anak kecil yang merajuk pada ibunya. Hingga Mirna pun geli mendengarnya. Namun dia menahan mulutnya untuk tak tertawa. “Gini, Bu... saat ini Kinan lagi ada masalah.” “Masalah apa?” Hamidah kaget. “Masalah usahanya. Ya dagangnnya.” “Kenapa denga dagangannya?” “Nanti malam saya cerita.” “Baiklah...” “Bu Hamidah tak usah khawatir, saya sekali lagi ucapkan... saya sangat setuju bila Kinan menikah dengan saudara misan Bu Hamidah.” “Itu yang saya harap.” “Tentu saya akan berusaha membuat hidup anak saya bahagia. Saya pun tak sabar ingin lihat Kinan menikah lagi. Dia bersuami lagi. Suami yang mencintainya juga ketiga-tiga anaknya.” “Siiiiip lah, Bu... kita sama-sama berusaha.” “Lucu juga ya, kita menjodohkan mereka.” “Siapa yang dijodohkan?” suara Kinanti terdengar sembari pintu dikuakkan. Mirna kaget, dia langsung menutup perbincangan dengan Hamidah. Kinanti yang menggendong Satria menatap ibunya. “Pasti Mama hendak menjodohkan seseorang asing dengan Kinan, ya?” “Dia bukan orang asing, Kinan. Tapi saudara misan Bu Hamidah.” “Siapa pun dia... Kinan tak mau dijodohkan.”***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN