KINANTI nyaris teriak saking girang ketika dilihatnya sosok yang berdiri di teras. Sosok tinggi ramping dengan senyum yang seperti dulu—mudah diobral. Kinanti sangat gembira seolah mampu sejenak mengelupaskan persoalan yang tengah menderanya dalam dua pekan ini. Begitu pun dengan perempuan berjilbab itu yang tak lain adalah Firda, salah satu sahabatnya di masa remaja. Firda sungguh gembira. Perjumpaan yang mengharukan. Mereka pun berpelukan, penuh kerinduan. Kinanti sama sekali tak menyangka dengan perjumpaan yang tiba-tiba.
Usai melepaskan pelukan, Kinanti menggamit lengan Firda. Lalu diajaknya masuk ke dalam ruangan. Mereka duduk di sofa sederhana. Firda mengamati sekitarnya sembari tersenyum. Dia tengah menilai kebersahajaan dari Kinanti. Lalu di benaknya menduga-duga apa yang telah terjadi pada diri sahabatnya ini.
Tak berapa lama, muncul seorang laki-laki muda, berdiri di depan pintu yang terbuka lebar. Firda beranjak lalu menghampiri laki-laki itu. Dimintanya agar laki-laki itu memasukkan dua tas plastik besar ke dalam. Laki-laki itu pun kembali berlalu.
“Apa itu, Fir? Ko pakai bawa oleh-oleh segala sih,” ucap Kinanti.
“Itu dari kebunku. Kau masih ingat dengan letak kebunku, kan? Masih seperti dulu. Kau pernah ke sana, bukan hanya sekali tapi beberapa kali. Yang kubawa ini, kripik singkong.... dan ibuku yang mengolah seperti dulu, kripik singkong. Terus, tas satunya lagi, buah nangka dari pohon yang tumbuh depan rumahku. Masih ingat? Nangka kesukaan Mamamu,”jelas Firda menyingkap perlahan kenangan dalam benak Kinanti.
“MasyaAllah, Firda... kau itu selalu peduli padaku. Bahkan untuk nangka dan kripik singkong, dua makanan yang dulu acap aku dan Mama tunggu-tunggu.”
“Aku mau ketemu Mama.”
“Mama masih di sekolah Baginda.”
“Baginda... anakmu?” tanya Firda.
“Ya, anak kedua.”
“Berapa anakmu, Kinan?”
“Tiga, Fir. Semua laki-laki.”
“Wah, hebat! Semua calon pahlawan, ya?”
“Amiiiiin....”
“Pasti ketiga anakmu pintar sepertimu juga.”
“Hehehe, semoga. Bagaimana kabarmu? Ke mana saja selama ini, Fir?” ucap Kinanti dan balik bertanya. Firda pun bertutur mengenai kehidupannya semenjak mereka tak bersua lagi. Kinanti menanggapinya dengan serius. Firda memiliki kehidupan yang jauh lebih baik darinya. Bersuamikan laki-laki yang baik, mapan, dan setia.
“Kau sangat beruntung, Fir. Laki-laki yang tadi itu siapa? Kenapa kau langsung suruh kembali ke depan? Bukannya suruh ikut duduk bersama di sini, aku pun maaf tadi... tak sempat ajak dia.”
“Dia saudara misan suamiku, ya... dia suka bantu aku, bawa mobil, kalau aku kan belum lancar bawa mobilnya, hehehe...”
“Hidupmu sukses, ya?” komentar Kinanti ikut bangga dengan kehidupan sahabatnya.
“Alhamdulillah. Kau sendiri pun begitu kan?” Firda menatap wajah Kinanti.
Kinanti menundukkan wajah sembari mendesah. Tangan Firda menyentuh lengan kiri Kinanti. Sedikitnya, dia mampu menebak meski tak begitu yakin dengan tebakannya. “Kinan... bagaimana kabar suamimu?”
Kepala Kinanti menggeleng. “Firda, aku sudah tidak bersuami lagi.”
“Ya Tuhan!” pekik Firda tertahan.
Kinanti tersenyum tawar. “Kami bercerai lalu sempat kembali tetapi pernikahan kedua kembali gagal.”
“Kenapa bisa begitu, Kinan?” Firda begitu menyesal tak pernah mengunjungi Kinanti hingga tidak tahu nasib pernikahan Kinanti selanjutnya. Bersua terakhir ketika di hari pernikahan Kinanti. Firda menikah jauh hari sebelum Kinanti menikah lantaran Firda tidak kuliah terlebih dahulu. Sudah lama Firda ingin berkunjung ke rumah Kinanti. Namun ketika berusaha ke rumah Kinanti yang dulu, rumah itu sudah kosong dan ternyata sudah dijual pada orang baru. Firda kehilangan jejak Kinanti dan keluarganya. Seminggu yang lalu, dia mengetahui keberadaan Kinanti dari perbincangan dengan salah satu teman suaminya yang kenal dengan Kinanti.
“Kalau kuceritakan... tak akan usai satu hari.”
“Kan bisa kaucicil ceritanya, aku pun akan berkunjung ke sini di hari-hari yang akan datang. Kau sering ada di rumah kan?”
“Lebih banyak di rumah malah.”
“Suamiku menjadi guru di sekitar sini. Sudah lama, ko. Memang, aku tak pernah menduga bila rumahmu di kawasan sini padahal aku dan suami acap melintasinya.”
“Kau... tidak bekerja, Fir?”
Firda menggeleng perlahan. “Tidak, Kinan. Suamiku minta aku bekerja agar aku tak suntuk di rumah terus, tapi aku masih betah sering di rumah. Entah kalau kapan-kapan mendadak aku ingin bekerja. Nah, mumpung aku belum ada kegiatan yang menyita waktu, aku pingin sering ketemu kau. Siapa tahu, jejak teman-teman lain selama di SMA pun, bisa kuketahui. Tentu kau sering ketemu mereka?”
Kinanti menggeleng. Terkadang dia merasa rendah diri bila harus bersua teman-temannya di masa lalu. Kinanti merasa malu dengan keadaannya. Dengan kehidupannya. Dengan rumah tangganya yang gagal. Dengan cita-cita yang dulu di masa remaja yang ternyata tak dapat teraih. Dia hanya seorang janda beranak tiga. Dia tak bisa bekerja sesuai dengan ijazah yang dimiliki. Dia hanya penjual mi ayam. Bahkan lebih buruk lagi, kini dia pengangguran.
“Sabar ya, Kinan...” Firda memegang lengan Kinanti. “Aku yakin, kau akan dapat jodoh lagi. Kau cantik, tak ada alasan laki-laki tidak menyukaimu. Semenjak dulu, kau itu banyak yang suka. Kau idola banyak teman laki-laki di sekolah.”
Kinanti mesem. “Masa lalu.”
“Kau tentu teringat salah satu teman laki-laki yang naksir padamu?” Firda sedikit menggoda untuk menghibur hati Kinanti yang seperti merasa malu dengan keadaannya. Terutama kehidupannya yang dirasa tidak semulus Firda.
“Ingat beberapa tapi kau pun tahu sendiri, aku tak pernah punya pacar.”
“Karena kau terlalu ambisius belajar hingga lupa pacaran.”
Kinanti menanggapi ucapan Firda dengan seulas senyum. Dia hendak beranjak untuk mengambil air minum seadanya tetapi Firda melarangnya. “Aku ke sini bukan minta disuguhin tapi ingin ketemu kau dan Mama.”
“Sebentar lagi Mama datang. Mungkin lagi di jalan.”
“Kinan, apa kau masih ingta dengan guru kita?” pancing Firda.
“Guru-guru kita?”
“Ya, guru-guru kita terutama guru yang satu itu...”
“Hemm, guru yang satu itu... guru yang mana, ya?” Kinanti pura-pura tak paham.
“Pak Rama kesayanganmu,” jelas Firda. Senyumnya menguntai. Rona merah mendadak mewarnai kedua belah pipi Kinanti yang tak berbedak. Firda melihatnya dengn jelas rona merah itu.
“Apa kabar beliau, Kin?”
“Ko tanya aku sih?”
Firda tertawa renyah. “Pernah ketemu kan?”
“Pernah tapi sudah lama.”
“Kapan?”
Kinanti mendesah.
“Kau tak mau jawab, ada apa di pertemuan waktu itu?”
Kinanti menahan bibirnya untuk tidak bergerak dan mengungkap itu tetapi dia ternyata tak mampu menahannya meski sudah berusaha. Akhirnya terucap juga. “Saat aku mau wisuda.”
“Wow!” seru Firda takjub. “Boleh kutahu ceritanya?”
“Untuk apa, Fir?”
“Kinan, apa itu tak boleh?” Firda balik bertanya.
Kinanti mendesah. Sebenarnya dia tak mau mengungkap hal itu. Namun Firda mendesak. Kinanti pun kalah. “Firda, jangan bilang-bilang sama siapa pun, ya?”
“Tidak.”
***
Hamidah mengetuk pintu kamar Rama yang tertutup. Pukul sepuluh pagi. Beberapa detik kemudian, Rama membuka pintu. Dilihatnya saudara sepupunya tersenyum dan menatap dari atas kepala hingga bawah kaki.
“Kenapa kau menatapku seperti itu, Mbak?” Rama sangat heran.
“Ternyata kau itu super ganteng,” ucap Hamidah sembari tertawa.
“Emang dari kecil udah ganteng,” Rama pura-pura berlagak sombong. Lalu tertawa juga.
“Kau mau ke bengkel lagi jam berapa?”
“Satu jam lagi, Mbak. Aku lagi ingin di rumah dulu. Tadi ke bengkel untuk mengecek saja seperti biasa apa sudah buka atau belum.”
“Pantas tadi Mbak ke bengkel, kau tak ada.”
“Tadi?”
“Ya. Kita ngobrol di ruang tamu, yu?” ajak Hamidah serius. Mereka berdua pun menuju ruang depan. Lalu duduk agak berjauhan tetapi saling berhadapan.
“Rama, aku ingin kesungguhanmu.”
“Kesungguhan apanya, Mbak?” tanya Rama heran.
“Perihal putri Bu Mirna.”
“Ada apa dengan dia, Mbak?”
“Lho, ko kau itu tak paham sih, Rama? Mbak ingin kau bertemu dia.”
“Untuk apa, Mbak?”
Hamidah mendecak. Lalu geleng-geleng kepala. Tampak gemas dengan jawaban saudara sepupunya. “Rama, ya kalian kenalan saja dulu.”
“Kalau sekadar berkenalan biasa, ya tak masalah... tapi kalau niat Mbak mau menjodohkan Rama dengannya, aku keberatan, Mbak... maaf.”
“Rama, aku ingin yang terbaik untukmu.”
“Dengan cara menjodohkanku dengan perempuan asing?”
“Putri Bu Mirna bukan perempuan asing.”
“Bukan gimana, Mbak? Aku kan tidak kenal dia. Pada bu Mirna saja aku tak kenal malah belum pernah bersua.”
“Makanya kau berkunjung dulu saja ke rumahnya. Berkenalan dengan Bu Mirna juga putrinya.”
Rama terdiam sesaat.
“Mbak serius, Rama. Ingin kau bahagia.”
Rama masih terdiam.
“Dan menurut Mbak, putrinya Bu Mirna itu sangat cocok buatmu.”
Rama tersenyum. “Ko Mbak bisa menyimpulkan cocok sih, emang bisa menilainya dari mana?”
“Aku saudaramu, aku tahu kau itu bagaimana. Aku juga tahu putrinya Bu Mirna. Dia acap cerita putrinya itu dan aku bisa menyimpulkan bagaimana watak dan pribadi putrinya itu. makanya aku bilang kalian cocok. Paham?”
“Siapa nama putrinya itu, Mbak?”
“Rahasia dulu, ah. Kau harus bilang dulu setuju.”
“Setuju apanya?”
“Setuju kujodohkan, titik!”***