HAMIDAH membayangkan bila Rama itu seorang duda. Lalu dia membayangkan bila Kinanti itu seorang janda. Keduanya orang baik. Keduanya berwajah rupawan. Rama ganteng dengan postur tubuh tinggi tegap. Kinanti cantik dengan tubuh tinggi ramping. Rama dan Kinanti dua sosok ramah. Memiliki hati yang bersih. Disukai banyak orang. Tak banyak tingkah dan sederetan sifat baiknya ada pada mereka. Sungguh sangat serasi bila mereka dipadukan dalam suatu ikatan pernikahan.
“Mungkin ini hanya bayanganku, tetapi sepertinya... orang lain pun akan berpikir sama sepertiku. Bukan tak mungkin. Usia mereka terpaut tujuh tahun. Usia laki-laki lebih tua dari yang perempuan. Memang bagusnya seperti itu, usia laki-laki lebih tua dari perempuan tetapi jangan terlampau jauh beda usiana,” celoteh dalam hati Hamidah. Dia duduk termangu depan beranda rumahnya. Pakainnya sudah rapi. Gamis hijau lumut berpadu jilbab warna senada. Kacamata bertengger di kedua matanya. Dia bukan hendak mengaji. Namun ingin berkunjung ke rumah Mirna. Dia ingin memperbincangkan apa yang dalam beberapa hari ke belakang menjadi pikirannya. Semenjak beberapa kali di rumah Rama saat saudara sepupunya itu sakit, saat dia semakin menyadari bila Rama hidup sendiri, dan Hamidah merasa prihatin. Rama itu belum terlalu tua. Usianya empat puluh. Rama tak layak hidup sendiri. Rama butuh seorang istri yang dapat mendampingi hidupnya. Seorang istri yang akan menemani hari-harinya. Terutama menjelang masa tua. Yang bisa meladeninya lahir batin. Ketika Rama sakit dan tergolek di tempat tidur, bila ada istri, tentu istrilah yang pantas melayaninya. Di rumah itu, Rama tinggal sendiri. Kendati Rama tak pernah menyoal kehidupan pribadinya pada Hamidah, tetapi Hamidah merasakan sisi lain di hati Rama. Ya, Rama memang tertutup untuk hal satu itu. Dia tak mau membahas pernikahan. Pernah Hamidah bertanya tentang itu tetapi buru-buru Rama mengalihkan pembicaraan. Lelaki itu selalu menghindar bila ada yang mengajaknya bertutur seputar pernikahan. Mungkinkah Rama trauma? Pikir Hamidah. Kegagalan rumah tangga pertamanya membuat lelaki itu enggan membuka lembaran baru dengan perempuan lain dan memilih hidup menyendiri.
Mentari bersinar cerah. Sudah pukul sepuluh. Hamidah ragu untuk pergi ke rumah Mirna. Belakangan, Mirna meneleponnya dan menuturkan bila dirinya acap menghabiskan waktu di rumah Mirna lantaran Kinanti yang sibuk berjualan mi ayam dengan cara berkeliling di komplek perumahan yang tak jauh dari tempat tinggal Kinanti. Kalau rumah Kinanti berada di perkampungan biasa. Ketiga anaknya tentu tak mungkin di rumah tanpa ibunya. Mirna sebagai nenek yang baik harus menggantikan peran Kinanti, menemani ketiga cucunya dan melayani mereka sampai Kinanti kembali lagi ke rumahnya.
Hamidah merogoh telepon selular dari dalam dompet panjang yang semula digamitnya. Lalu mencari kontak Mirna. Diteleponnya. Suara Mirna terdengar. Katanya, Mirna masih berada di sekolah cucunya dan seperti biasa akan langsung menuju rumah Kinanti. Menemani ketiga cucunya. Memasak di rumah itu. meladeni ketiga cucunya. Setelah itu akan kembali di rumah Mirna di kala sore terkadang bila langit sudah diselimuti gelap.
“Tadinya saya mau berkunjung ke rumah Bu Mirna,” ucap Hamidah. “Ada yang mau saya sampaikan.”
“Ada apa, Bu Hamidah? Sepertinya serius?”
“Ah, hanya berbincang biasa,” ucap Hamidah.
“Ouh, saya pikir ada apa.”
“Sekadar rindu,” Hamidah berseloroh sembari terkikik.
“Saya juga rindu dengan Bu Hamidah. Bagaimana kalau selepas isya nanti malam, Bu Hamidah datang ke rumah saya?” ucap Mirna.
“Baiklah.”
“Kita makan malam bersama, bagaimana?”
“Saya bawa makanan dari rumah?”
“Tidak usah, saya mau masak agak banyak di rumah Kinanti siang ini. Nanti saya bawa makanan sebagian ke rumah saya. Makanya, saya melarang Bu Hamidah bawa makanan.
“Oh begitu, baiklah, Bu... terima kasih sebelumnya. Maaf menggangu waktunya, ya?”
“Ah, tidak. Saya lagi siap-siap mau ke ke rumah Kinanti. Santai ko...”
“Sampaikan salam saya pada Kinanti.”
Hamidah menutup teleponnya. Tubuhnya pun berbalik. Masuk rumah. Lalu berbincang dengan suaminya sebentar. Mengenai keinginan hatinya untuk menjodohkan Rama dengan putri tunggal sahabatnya. Suami Hamidah tanpa pikir panjang menyetujui niat istrinya.
Tak lama, Hamidah keluar rumah lagi. Menuju rumah Rama. Dibukanya pintu depan. Dia pun memegang kunci rumah Rama hingga bilapun pemilik rumah itu tengah tak berada di rumah, Hamidah bisa masuk. Dia menuju dapur. Lalu mengeluarkan bahan makanan dari dalam kulkas. Dalam waktu tak kurang dari dua jam, masakan sudah tersaji di atas meja makan. Bibirnya tersenyum. Diteleponnya Rama. Tak berapa lama, Rama muncul dengan wajah berseri-seri.
“Banyak pengunjung di bengkel,” ucapnya.
“Alhamdulillah...” Hamidah menanggapinya antusias.
Rama makan di ruang makan. Hamidah menemaninya pula. Makan bersama tanpa mengucap kata-kata selama makan berlangsung. Usai makan, Hamidah menyiapkan makanan dan dimasukkan ke dalam rantang bersusun tiga yang berwarna kuning muda. Untuk makna siang beberapa pegawai di bengkel milik Rama.
“Kau mau solat di sini dulu?” tanya Hamidah. Meski azan zuhur masih setengah jam lagi berkumandang.
“Ya. Mbak, kita duduk dulu di sofa, yu?” ajakan Rama bersemangat. Mereka berdua menuju ruang tamu.
“Kau itu tampak gembira sekali. Apa lantaran bengkelmu yang banyak pengunjung?”
Rama mengangguk. “Betul...”
“Aku ikut gembira. Tapi tadi kupikir ketika kau datang...” Hamidah tak melanjutkan ucapannya dan menatap wajah saudara sepupunya itu. Rama sudah pulih dari sakitnya. Tampak segar bugar.
“Kalau bicara, jangan biasakan digantung, bikin penasaran saja...” senyum manis terbit di bibir Rama. Pada Hamidah, dia merasa bukan sebagai saudara sepupu saja. Namun lebih dari itu. Seperti sahabat.
“Aku pikir kau baru bertemu seseorang,” pancing Hamidah.
“Aku di bengkel ketemu banyak orang. Bukan hanya seorang.”
“Aku serius, Rama.”
“Aku juga serius, Mbak.”
“Begini, Rama. Aku kira... kau itu baru saja bersua seseorang. Maksudnya seorang perempuan.”
“Seorang perempuan?” Rama seolah mengingat-ngingat. “Kalau tadi di bengkel... ada sih pelanggan perempuan yang datang. Bu Susi sama...”
“Bukan pelangganmu!” potong Hamidah cepat.
Rama mendecak. Mulai paham dengan arah pembicaraan saudara sepupunya itu. “Lalu... seseorang yang dimaksud itu siapa, Mbak? Katanya tadi seorang perempeuan.”
“Perempuan yang membuatmu tampak senang. Perempuan yang membuat hatimu berdesir, jantungmu berdetak. Perempuan yang mungkin akan menjadi...”
“Hemmm, mulai deh digantung lagi!” Rama geleng-geleng kepala. “Yang jelas kalau bicara... tetapi kalau Mbak mau bahas yang aku tidak mau... aku memilih pergi saja.”
“Rama! Kenapa kau suka menghindar kalau aku mau bertanya soal perempuan?”
“Mbak, aku tahu arah pembicaraanmu. Tapi aku tak mau bahas itu!” tubuh Rama hendak beranjak tetapi Hamidah melarangnya pergi.
“Apa lagi, Mbak? Aku mau siap-siap solat zuhur! Biar bisa cepet ke bengkel lagi dan antar makanan buat pegawai di sana! Mereka kan lapar! Masa akunya sudah kenyang sendiri tetapi membiarkan perut mereka kelaparan! Aku dosa lho, Mbak!”
Hamidah mengeluh pendek. “Mbak mau kau bahagia.”
Rama yang kembali duduk balas mengeluh pendek. “Selama ini aku bahagia.”
“Tidak sepenuhnya.”
“Ko Mbak so tau sih...”
“Kau butuh pendamping hidup.”
Rama diam.
“Kau butuh seorang perempuan...”
Rama tidak berkomentar.
“Kau itu perlu seorang istri.”
Rama masih belum menguakkan mulutnya.
“Kau harus menikah.”
Rama tetap diam. Hanya seulas senyum di bibirnya. Menanggapi Hamidah berbicara tetapi tidak mau berkomentar.
“Dengar tidak apa yang kuucapkan?” Hamidah jadi agak kesal.
“Dengar, Mbakku sayang...” Rama baru menguakkan mulutnya. Sembari tetap tersenyum. Dan senyumnya selalu terlihat manis.
“Setuju kan?” ucap Hamidah.
“Setuju apa?” tanya Rama.
“Semua yang kuucapkan?”
“Setuju, Mbak. Tapi aku tak sepakat,” tegas Rama lalu berdiri.
“Rama... maukah kau kuperkenalkan dengan putrinya Bu Mirna?” Hamidah tak bisa menahan keinginan hatinya. Ketimbang bicara berbelat-belit.
“Aku tahu maksud Mbak, dengan itu... saat ini, aku menolak diperkenalkan dengan putri Bu Mirna,” ucap Rama lalu membalikkan tubuh tinggi tegapnya. Kedua kakinya yang bercelana hitam melangkah ke dalam. Menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Untuk menunggu waktu solat zuhur datang yang tinggal beberapa menit lagi. Sementara Hamidah hanya bisa geleng-geleng kepala. Namun ia bertekad, akan terus berusaha. Menjodohkan Rama dangan putri semata wayang Mirna, sahabatnya. Semoga ada jalan menuju kebaikan, bisik hati Hamidah. Tubuhnya pun beranjak hendak kembali ke rumahnya. Tanpa pamit terlebih dahulu pada Rama. Yang penting, niat di hatinya kian kuat. Demi kebahagiaan saudara sepupunya. Kinanti perempuan yang sangat cocok untuk Rama. Kendati dia belum kenal dekat dengan Kinanti, tetapi bisa menilai kepribadiannya. Lewat cerita-cerita yang keluar dari mulut Mirna. Yang acap berceloteh mengenai Kinanti yang begitu dibanggakannya. Sepertinya—niatnya tidak salah, terlebih bukankah Mirna pun sedang berharap agar Kinanti mendapatkan suami yang baik dan Mirna masih bingung karena tidak tahu dengan siapa Kinanti akan menikah lagi. Mengingat, Kinanti pun yang begitu tertutup untuk ihwal satu itu.***