13 - Kirana Diinterogasi

1273 Kata
Bab 13 - Kirana Diinterogasi “Untuk apa?” tapi tak urung, Deri mengejar motor itu. “Dia lelaki yang bersama Kirana, pasti tahu dimana rumah orang tua Kirana!” Suara Ragendra setengah memekik. “Oh,” hanya itu respon Deri. Dia mempercepat laju mobil, agar tak kehilangan jejak. “Itu dia!” Ragendra melihat motor berhenti di dekat sebuah gang kecil. “Tapi, rasanya masih agak jauh menuju ke daerah yang seperti disebutkan Nona Lolita,” ucap Deri. “Mungkin ada keperluan lain!” sahut Ragendra. Mobil pun menepi di dekat motor tadi. Rupanya sang pemilik motor sedang menelepon dulu. Deri bergegas keluar, sementara Ragendra menajamkan pendengaran. Andai kakinya tak sedang sakit, dia pasti yang bergegas keluar dan bertanya. Ragendra menatap kedua kakinya dan mengembuskan napas gusar. “Apa reaksi keluarga Kirana saat melihatnya yang cacat, tak bisa berjalan,” tiba-tiba saja dia menjadi minder, takut tak diterima di keluarga Kirana. “Kamu temannya Kirana?” Deri menepuk bahu pengendara motor itu. Pria itu menoleh dan menatap Deri penuh keheranan, merasa tak kenal dan langsung bertanya sok akrab. “Kirana? Kirana siapa?” tanya pria itu mengerutkan dahi. “Hem, Kirana ibu dari anak lelaki yang usianya sekitar enam tahunan,” rasanya Deri bingung harus menjelaskan apa. “Hahaha, nama Kirana di dunia ini banyak. Dan yang punya anak usia enam tahun juga banyak,” kekeh pria itu, yang merasa Deri sangatlah lucu. Deri mendengus, dan memasang raut datar. Tak suka ditertawakan, seumur hidup tak ada yang pernah menertawakan dirinya, eh malah ada orang asing menertawakannya! Sialan sekali orang ini! Gerutunya dalam hati. “Seharusnya anda menunjukkan fotonya,” lanjut Pria itu setelah berhenti tertawa. Deri mendesah, dia tak punya foto Kirana. Lagipula untuk apa menyimpan foto wanita yang bukan keluarga, kerabat atau pun temannya, pikir Deri dengan jengkel. “Saya tak punya fotonya,” ucap Deri dengan embusan napas kesal. “Ya sudah, mana saya tahu kok nanya saya sih?” sahut pria itu menirukan cara bicara tokoh terkenal negeri konoha. Lalu, kembali menaiki sepeda motor dan memakai helmnya, hendak pergi. “Eh mau kemana? Tunggu!” Deri menahan dengan kata-kata. Pria itu menoleh dari atas motornya. “Saya tidak tahu,” sahutnya. “Saya tidak percaya!” sahut Deri memaksa. “Ya terserah mau percaya atau tidak, bukan urusan saya juga! Ah sudahlah, saya buru-buru. Calon istri saya pasti sudah menunggu, mana sekarang sudah malam lagi!” ujar Pria itu, sambil menyalakan mesin motor dan mulai melajukan kendaraan. Deri bergegas kembali ke dalam mobil. “Bagaimana?” tanya Ragendra penasaran. “Orang itu tak kenal,” jawab Deri. “Tak kenal? Masa iya sih? Saya ini orang yang mudah mengenali seseorang hanya dengan sekali lihat saja, mana mungkin saya salah orang. Saya yakin itu dia orangnya, saya ingat betul dengan wajahnya, meski dia pake helm.” Ragendra nyerocos, dia tak percaya kepada Deri. “Tapi, kita tak punya fotonya. Jadi sulit menanyakan tanpa memperlihatkan foto,” ucap Deri menjelaskan. “Foto! Kenapa kamu tak minta kepadaku! Aku menyimpan banyak fotonya!” kesal Ragendra, dia jadi kehilangan informasi penting tentang Kirana sekarang. Deri menatap Ragendra penuh selidik, matanya memicing dengan sudut bibir yang berkedut. “Kok bisa anda punya banyak foto Nona Kirana? Apa dugaan saya benar, kalau anda menyukai Nona Kirana?” Ragendra gelagapan, dia tampak salah tingkah. “Hem, tidak perlu ikut campur,” sambil memalingkan muka, untuk menyembunyikan pipinya yang memerah. “Hem, maaf karena saya terlalu ingin tau, hem,” ucap Deri yang mulai menaruh curiga akan sesuatu. “Ya sudah jalan!” ujar Ragendra, untuk mengejar orang tadi sepertinya sudah terlambat, Dia jadi semakin kesal saja rasanya kepada Deri. Deri memacu mobil dengan kecepatan sedang, saat menemukan penginapan, dia inisiatif berhenti. “Kenapa berhenti di sini?” tanya Ragendra sambil melihat ke luar jendela mobil. “Lebih baik kita menginap, karena hari sudah malam,” ujar Deri. Ragendra tak menyahuti, tapi dari gelagatnya dia setuju, meski dalam hati agak kurang setuju sih. Mereka pun menginap di sebuah hotel terdekat, hotel kecil tanpa bintang atau yang disebut penginapan. Malam ini terasa gerah sekali bagi Ragendra, dia berusaha turun dari tempat tidur untuk duduk di kursi roda. “Aduh!” pekiknya, dia terjatuh dari tempat tidur karena kurang hati-hati. “Kapan kamu akan sembuh kakiku,” memijat-mijat kakinya yang memar. “Tuan? Apa anda membutuhkanku?” terdengar suara Deri disertai pintu terbuka dan muncul lah wajahnya dari balik pintu. “Kau kemana saja?” gerutu Ragendra, dia dan Deri memang selalu tidur sekamar kalau sedang bepergian jauh untuk urusan bisnis. Deri adalah orang yang selalu sigap dan siaga membantu Ragendra dalam segala situasi. “Maaf, tadi ada telepon dari…” Deri terlihat malu-malu. “Cih, pacarmu!” cibir Ragendra. Deri tersenyum, atau lebih tepatnya menyengir. “Calon istri lebih tepatnya,” sahut Deri. Dengan cepat, Deri membantu Ragendra duduk di atas kursi roda. “Sebenarnya anda mau kemana?” tanya Deri. “Ke balkon, Aku mau menghirup udara segar,” jawab Ragendra. Deri segera membantu Ragendra, mendorong kursi roda menuju ke balkon kamar. Kini, mereka sudah ada di balkon menatap indahnya malam ini yang dipenuhi bintang yang bertaburan berkelap-kelip. Tak ada yang berbicara diantara keduanya. Tiba-tiba, Ragendra melihat seseorang yang dia kenal. “Itu Dia! Ayo kejar dan tanya dimana alamat Kirana!” pekik Ragendra, andai bisa, dia ingin sekali berlari dan mengejar pria itu. Pria yang sama yang pernah dilihatnya tadi. Pria yang diyakini pernah bersama dengan Kirana. Dia berada di balkon lantai 2, sehingga cukup jelas saat melihat ke halaman bawah. Deri segera memperhatikan ke arah yang Ragendra tunjuk, benar saja ada pria yang sama yang dia tanya tadi. “Tapi ini sudah malam, lagian pria itu juga sudah kembali menghilang. Nanti pagi kita cari tahu Tuan, sepertinya pria itu menginap di sini juga,” ujar Deri memberi solusi. Lagi-lagi, Deri membuatnya kesal. “Ya sudahlah, terserah!” lalu Ragendra memilih untuk memutar roda kursinya, untuk kembali ke dalam kamar dan tidur. Dia ingin tidur secepatnya, agar segera pagi. Paginya, Ragendra dan Deti tak bisa menemukan pria itu. Karena ternyata sudah cekout sejak pagi. “Ini semua gara-gara kamu,” kesal Ragendra, yang hanya ditanggapi santai oleh Deri. Di tempat lainnya. Waktu menunjukkan jam sepuluh siang, tampak di sebuah tempat yang cukup asri, dengan penduduk ramah yang saling menyapa. “Kami nggak habis pikir, kenapa kamu menikah tanpa kami ketahui! Siapa wali nikahmu! Apalagi saat pulang sudah membawa anak sebesar ini, dan suamimu tak ikut pula!” seorang wanita muda tampak sedang dimarahi oleh kedua orang tuanya, yang tidak lain adalah Kirana. Ya, Kirana terpaksa berbohong dengan sudah menikah dengan seorang pria kota. Dan suaminya sedang bekerja jauh di luar negeri. “Ayah, Ibu, maafkan aku…” air mata terus mengalir, Kirana bersimpuh di kaki ayah dan ibunya. Kedua orangtuanya mendesah kecewa, kecewa atas perbuatan anaknya itu. “Atau jangan-jangan kamu sedang berbohong? Kamu hamil di luar nikah? Astagfirullah!” Ayahnya menggusar kepala kasar dan meremas rambutnya sampai ada yang rontok lumayan banyak, saking kesalnya. “Ayah, tenang dulu,” ujar istrinya, sambil mengelus punggung sang suami. Kirana gelagapan dengan raut cemas, dan muka yang sudah memucat. Kok bisa orang tuanya menduga hal yang benar? Aaah bagaimana ini? Kalau ketahuan bohongnya matilah dia? Tapi, apa harus jujur dengan mengatakan kalau dia sudah memperkosa seorang pria? Yang mengakibatkan dirinya hamil! Aaah, sungguh hal ini memalukan dan diluar nalar! “Katakan yang sebenarnya Kirana!” Ayahnya mulai membentak. Kirana semakin menunduk dalam, dengan kedua tangan saling meremas dan tubuhnya gemetaran. “Kiran!” bentak ayahnya lagi. Mata Kirana semakin deras mengalirkan buliran bening, bagaikan sungai nil. “Ayah, Ibu…” dan akhirnya, apakah dia akan jujur hari ini?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN