22 - Drama di Hari Pernikahan

1425 Kata
Bab 22 - Drama di Hari Pernikahan Brukk Ibu Ragendra jatuh pingsan, beruntung suaminya segera memeluknya sehingga tak jatuh terjerembab ke tanah. Dan beruntungnya, karena masih belum terlalu siang, sehingga belum terlalu banyak orang di rumah orang tua Kirana. Lagi pula, hanya akan ada ijab qobul saja, sehingga tak mengundang banyak orang selain tetangga dekat, dan kerabat dekat. “Ibu!” Ragendra panik. Arsha tampak kebingungan, dia ikut panik karena cemas. Kirana yang baru nongol dari ambang pintu, ikut khawatir. Orang tua Kirana segera membantu menolong dan mempersiapkan kamar untuk berbaring Ibu Ragendra. Semuanya tampak sudah tenang dan terkendali. “Apa ada dokter yang bisa dipanggil disini?” dengan panik , Ayah Ragendra bertanya. “Tidak ada Pak, maaf. Tapi biasanya kalau ada yang pingsan kalau disini, cuma dikasih kayu putih saja, sebentar juga langsung sadar, hehehe,” jawab Ayah Kirana, diiringi kekehan. “Apa? Hanya begitu saja?” rasanya sulit dipercaya, karena kalau di rumahnya, sakit sedikit saja langsung panggil dokter. Meriang sedikit saja langsung panggil dokter, bahkan ke rumah sakit, ah memang kalangan sultan mah beda. “Iya coba saja dulu Pak,” sahut Ayah Kirana lagi. Sementara Ragendra hanya tersenyum, dia pernah merasakan hidup di kontrakan, di masa lalu, sewaktu kabur dari rumah orang tuanya karena suatu hal. Ayah Ragendra, akhirnya mengikuti saran dari calon besan. Dan benar saja, setelah dikasih kayu putih di sekitar hidung, kening, pelipis dan beberapa bagian lainnya, tidak berselang lama, Ibu Ragendra pun siuman. “Ini di mana? Kok pengap? Kasurnya juga keras?” ucap sang sosialita, hadeh. “Mam, ini di rumah besan. Jangan bicara seperti itu,” sahut suaminya sambil meminta maaf kepada orang tua Kirana, lalu menyodorkan air teh manis hangat yang tadi dibuat Ibu Kirana. “Tak apa kami mengerti,” ujar Ibu Kirana, meski dalam hati merasa jengkel juga sih mendengar perkataan Ibu Ragendra. Ibu Ragendra hanya memasang tampang kesal, merasa tak dibela suaminya. “Maaf ya Bu, Pak, saya ini kalau bicara memang suka apa adanya,” ujarnya. “Tak apa,” sahut Ayah dan Ibu Kirana berbarengan. Ibu Ragendra meneguk sedikit air teh manis hangat itu dengan raut kecut. “Tehnya pasti, teh seribuan di warung,” ujarnya. Ayah Ragendra rasanya sudah ingin sembunyi saja di kolong kasur dengan tingkah istrinya yang seolah merendahkan keluarga Kirana itu. “Maafkan Ibunya Gendra, dia suka bercanda orangnya, hehehe.” Kedua orang tua Kirana hanya berusaha menahan diri dari rasa jengkelnya. “Papa ini gimana sih, Mama kan serius nggak bercanda,” mendelik kesal kepada sang suami. Semua yang ada di kamar hanya saling tatap dan geleng-geleng kepala dengan tingkah Ibunya Ragendra. “Anak itu mana? Anak yang mirip Gendra waktu kecil? Atau apa Aku bermimpi ya?” Ibu Ragendra celingukan mencari sosok Arsha, tapi tak menemukannya. Aya Ragendra, dan Ragendra saling tatap, lalu beralih menatap ke arah Orang tua Kirana. “Oh itu, Arsha. Dia sedang di luar bersama Pak Deri,” ucap Ibu Kirana. “Hahaha, Deri dipanggil Bapak? Kasihan sekali dia,” tawa Ibu Ragendra pecah. Ibu Kirana menggaruk pipi, dia bingung juga harus memanggil Deri apa. Ya secara usia masih cukup muda, tapi dia terlihat berwibawa dan selalu berpakaian formal. “Mah,” tegur suaminya yang merasa istrinya terlalu banyak tertawa, lebih tepatnya menertawakan orang. Ibu Ragendra mengerucutkan bibir. Kirana, yang baru saja mau melihat kondisi Ibu Ragendra pun menghentikan langkah di ambang pintu kamar, dia merasa ragu untuk masuk. Padahal, pintu terbuka lebar, dia berdiri di ambang pintu memperhatikan mereka semua. Merasa bingung, dan nyalinya ciut, antara mau masuk atau tidak. Soalnya, melihat raut wajah Ibunya Ragendra saja, dia sudah merasa lemas. Ibu Ragendra terlihat judes dan sepertinya angkuh, ah semoga saja salah menilai, itu yang dia harapkan. Akhirnya, Kirana hanya berdiri mematung dan memperhatikan mereka semua dari ambang pintu dengan raut cemas. Ragendra kebetulan menoleh ke arah pintu, pun menyadari keberadaan Kirana.Dia segera meminta waktu agar mereka berempat diberi kesempatan berbicara. “Ayah, Ibu bolehkah kami berempat berbicara dari hati ke hati? Maksudnya dengan Kirana,” ujar Ragendra meminta izin. “Tentu saja Nak,” jawab Ayah Kirana, langsung saja pamit untuk keluar dari kamar. Kamar yang sempat ditempati Ragendra dan Deri. “Bicaralah dengan sopan dan baik,” ujar Ayahnya sambil menepuk bahu Kirana, yang diangguki anaknya itu. Sementara ibunya, sempat menggenggam tangan Kirana sebelum keluar dari kamar. “Kiran, kemarilah!” panggil Ragendra dengan lembut. Ibunya sampai mencebik geli dengan sikap anak bujangnya itu. “Cih, sok romantis!” Ragendra tidak marah, dia malah terkekeh melihat reaksi Ibunya. Meski seperti itu, tapi dia tahu kalau sebenarnya ibunya itu baik, dan gampang luluh. “Mah, nanti menantu kita takut,” bisik suaminya yang lebih terbuka dalam menerima menantu dadakannya itu. Istrinya mulai merajuk lagi, sang suami hanya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya. “Sudah tua masih saja suka merajuk,” godanya. Kirana melangkah dengan gontai. Kamar ukuran dua meter kali tiga meter itu, seakan mendadak terasa sangat luas seperti lapangan bola saja, mungkin efek dari rasa tidak percaya diri dan takut ditolak mertuanya. “Gen, bagaimana sih kamu milih istri? Lelet banget! Masa jalan kayak siput begitu,” dengan malas Ibunya Ragendra berkata. Mendengar perkataan calon ibu mertua, seketika Kirana merasa kesal juga. Dia segera melangkah dengan cepat, sampai tersandung bawahan kebaya pengantinnya dan jatuh tepat di pangkuan sang Ibu mertuanya yang saat ini sedang duduk menghadap ke arahnya. “Aduh!” pekiknya sangat kaget, juga sedikit ngilu kakinya akibat terbentur kaki ranjang tempat tidur. “Aaaa!” teriak Ibu Ragendra. “Kamu ini kenapa sih? Nggak ada anggun-anggunnya sebagai seorang wanita!”dengan ketus Ibunya Ragendra berkata, tapi dia membantu Kirana bangkit dan duduk di sampingnya. “Maafkan Aku Bu,” rajuk Kirana dengan mata berkaca-kaca, juga menahan malu dan sakit yang bercampur baur. Mata Kirana dan calon mertua bertemu. Untuk sejenak, Ibu Ragendra memerhatikan Kirana lekat. Entah kenapa, tapi dia merasa tiba-tiba saja sayang kepadanya, dan seperti tak asing dengan wajah itu. “Bu!” tegur Ragendra. Ibunya berdehem, “ehem.” “Duduk yang bener saya mau nanya beberapa hal sama kamu,” ujarnya kepada Kirana. Kirana berusaha bersikap tenang, dan duduk dengan santai, meski tetap saja terlihat kaku. “Ngomong-ngomong, kamu cantik juga,” ujarnya tak memungkiri wajah Kirana yang memang cantik natural dan punya daya tarik tersendiri. Kirana tersipu. “Terimakasih Ibu.” “Ya, meski tak secantik Lolita sih. Kamu kenal Lolita? Dia itu calon istrinya Gendra, sebelum seseorang merebutnya,” sindir calon Ibu Mertua. Kirana mengembuskan napas pelan mendengar perkataannya. “Mah!” tegur suaminya. “Ck, Aku dan Loli berteman sejak kecil, Mama saja yang terus jodoh-jodohin Aku sama dia.” ucap Ragendra, berusaha tak marah. “Maafkan saya Bu, tapi saya tak merasa merebut em Gendra. Dia yang ngotot mau menikahi saya. Andai Ibu tak setuju saya tak akan memaksa, karena ada seseorang yang siap menikah dengan saya saat ini, dia adalah Kak Dimas.” Kirana berkata dengan tegas, tak mau ditindas. Ragendra jadi panik. “Kiran, jangan seperti itu,” rajuknya. Ibunya hanya mencebik dan menatap Ragendra kesal. “Kamu serius? Dia ini lebih tua dari kamu sepertinya?” ucap Ibunya, meneliti wajah Kirana. Kirana menghela napas jengkel, dia bukan tipe orang sabaran saat dipojokkan orang. “Iya saya memang lebih tua dari Gendra, eh dik Gendra,” sengaja saja sekalian dengan nada sindiran. “Usia jangan dijadikan alasan Mam, lagian calon mantu kita ini cantik secantik kamu kalau dilihat-lihat,” goda suaminya coba mencairkan suasana. Istrinya cemberut. “Lagipula, mereka sudah punya anak yang sudah sebesar itu pula,” lanjut Ayah Ragendra. “Bagaimana caranya kalian melakukan itu? Sampai punya anak sudah sebesar ini? Apa tidak malu hah? Kamu pasti menggoda dan menjebak anakku kan demi uang?” Ibu Ragendra menatap tajam Kirana. Kirana ingin membantah, tapi nyatanya apa yang dikatakan Ibu Ragendra sebagian benar. ya, dia sengaja memaksa Ragendra waktu itu, karena patah hati. Dia merasa saat itu, pasti dirinya tidak waras! Akhirnya, dia bungkam, dan hanya memberikan afirmasi positif dalam hati, kepada dirinya sendiri. ‘Perasaan cemas ini hanya sementara, aku memiliki kemampuan untuk menghadapi tantangan dan semua kesulitan ini’ Beruntung Ragendra angkat bicara, dan menjelaskan kepada kedua orang tuanya. “Waktu itu, tujuh tahun yang lalu…” Ragendra menjeda perkataannya, menatap Kirana sekilas. Kirana menunduk lemas, sudah pasrah dengan tanggapan kedua orang tua Ragendra setelah tahu cerita sebenarnya. Mungkin, dia akan semakin dianggap perempuan tidak benar, dan w*************a. Dan mungkin juga, pernikahan ini akan gagal. Dia pasrah! Bagaimana tanggapan kedua orang tua Ragendra setelah mendengar penjelasan dari sang anak? Apakah Kirana akan semakin terpojok? Apakah pernikahan mereka akan terjadi? Atau sebaliknya batal
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN