6 - Merah, Anda Mabuk?

1681 Kata
Bab 6 - Mata Merah, Anda Mabuk? “Pulang lah! Aku sedang kesal sekarang!?Ragendra masih berusaha berkata lembut. “Oke, Aku mengerti. Aku mencintaimu, ingat kita sudah tunangan!” ujar Lolita, mengecup pipi ragendra sekilas. Setelahnya, dia keluar dari kamar dengan muka masam karena kesal merasa diusir. Prang… Ragendra membanting vas yang ada di atas meja ruang tamu. Dia tiba-tiba saja merasa sangat kesal, tak tau kenapa. Tapi, hati kecilnya tahu apa alasannya. Dia meremas kepalanya dengan kuat, sampai rambutnya awut-awutan tak karuan. Sementara itu, Kirana pulang dengan naik angkot setelah berjalan agak jauh dari area perumahan tempat tinggal Ragendra, yang memang perumahan elit dan tidak langsung terjangkau mobil angkutan umum. Hanya mobil pribadi yang bisa lalu lalang di sana. Di dalam angkot, Kirana menatap lurus ke arah jalanan lewat kaca jendela mobil. Lalu, mengeluarkan ponselnya dan memperhatikan wallpaper yang menunjukkan wajah seorang anak kecil laki-laki yang wajahnya sangatlah tampan, bibit dari ayahnya. Dalam wallpaper itu, tampak seorang wanita berwajah manis memeluk dan mencium pipinya. Tiada lain wanita itu adalah Kirana. “Putra ganteng Ibu,” gumamnya. Tiba-tiba matanya berkilauan, ada rasa sedih yang menjalar dalam relung hatinya. Membayangkan betapa sulitnya selama ini dalam merawat dan membesarkan putranya yang dia beri nama Arsakha Virendra yang mengandung makna seorang pria yang dermawan, tangguh dan penuh kasih. “Pak Pak saya turun di sini!” teriak Kirana, hampir saja terlewat. Akibat terlalu banyak melamun. Mobil angkot pun berhenti, kemudian dia turun, membayar lalu melangkahkan kaki menuju ke rumah kontrakannya yang tempatnya cukup jauh dari jalan raya. Untuk sampai ke rumah kontrakan, dia harus berjalan kaki lagi sekitar sepuluh menit lamanya. Lelah memang, tapi saat melihat wajah imut sang putra yang berusia enam tahunan itu, semuanya terbayar lunas. “Ibu!” pekik Arsha, itu adalah panggilan kesayangan Kirana untuk putranya. “Arsha!” tak kalah memekik, mereka pun berpelukkan. Kirana menggandeng putranya masuk ke dalam rumah. “Pulangnya masih siang Neng?” tanya Surti, seorang tetangga yang mengasuh Arsha selama ini, jika Kirana bekerja. “Iya, entahlah besok. Mungkin karena sekarang masih hari pertama kerja,’ jawab Kirana diiringi senyuman. “Ibu mau makan?” tanya Arsha dengan ceria. Kirana mengangguk. “Iya laper banget nih,” ujarnya sambil memegangi perut. “Arsha ambilin ya,” dengan sigap, Arsha pergi ke dapur dan mengambil makanan di meja makan untuk Ibunya. Mulai dari memasukan nasi ke dalam piring, dan sepotong ayam goreng yang tadi dimasak Bi Surti. Bi Surti memang tinggal di dekat rumah Kirana, dan sudah menganggap Kirana anaknya sendiri. Dia sudah membantu mengasuh Arsha sejak dari baru lahir. Bahkan, dia juga yang menemani Kirana selama kehamilannya dulu. “Makasih ya Arsha sayang,” ucap Kirana dengan mata berkaca-kaca. Dia selalu sedih saat melihat wajah putranya itu. Arsha pun menemani Kirana sampai habis makannya. Kirana menemani Arsha bermain sebentar, sebelum akhirnya dia main dengan temannya di teras. “Neng Kiran kenapa?” tanya Bi Surti yang memang senang memanggil dengan sebutan Neng. “Nggak ada Bi,” sahutnya berusaha menutupi. “Jangan bohong. Bibi bisa melihat kesedihan Neng,” ujar Bi Surti yang memang peka dan sudah memahami Kirana sejak dulu. Kirana memeluk Bi Surti. “Terimakasih sudah menjadi Ibu keduaku. Ibu memintaku pulang kampung Bi,” ucap Kirana dengan sedih. “Ya pulang saja. Apalagi sudah lama tidak pernah pulang kampung kan?” tutur Bi Surti. Kirana menegakkan tubuh. “Arsha bagaimana? Aku tak bisa membawanya saat sekarang ini,’ tampak raut gelisah dari Kirana. Bi Surti yang sudah mengetahui seluk beluk kehidupan Kirana pun terdiam. Kirana meremas kepalanya pelan. “Mungkin sudah saatnya keluarga Neng di kampung tau,” ujar Bi Surti yang membuat Kirana menggelengkan kepala. “Aku nggak bisa mempertaruhkan masa depan Arsha,” ucap Kirana dengan tegas. “Ya sudah, mending mandi dulu biar seger. Bukan kah hari ini akan ada tamu penting?” Bi Surti tersenyum menggoda. Kirana mengerutkan dahi. “Tamu penting siapa Bi?” dahinya berkerut tanda bingung. “Ish, pura-pura ya.” Bi Surti geleng-geleng kepala. Kirana diam sejenak, coba berpikir. Sesaat kemudian, barulah dia ingat sesuatu. “ Oh, maksud Bibi Kak Dimas? Iya sih tadi Aku nyuruh nunggu di sini. Tapi, kok belum datang ya?” ujar Kirana merasa heran. “Sudah kok,’ tiba-tiba saja terdengar suara seorang pria dari ambang pintu depan. Kirana menoleh. “Eh, kok nggak terdengar suara motornya?” berdiri dan menghampiri Dimas. Dimas adalah tetangganya sebelah rumah. Orangnya ramah dan baik, dia masih singgel dan hanya tinggal sendirian di rumah. Karena memang merantau dari luar provinsi. Usianya dua tahun diatas Kirana. “Cuma lima langkah dari rumah, nggak perlu naik motor, heheh,” kekeh Dimas. Kirana tersenyum simpul. “Aku pikir dari kantor langsung ke sini. Rupanya sudah sampai rumah dulu,” ujarnya. “Ayo masuk,” ajaknya. Mereka membicarakan banyak hal. Setiap hari Dimas memang suka berkunjung dengan berbagai alasan, terutama Arsha yang dijadikan alasan. Sudah jadi rahasia umum kalau Dimas memang menyukai Kirana sejak lama. “Ada pasar malam di daerah dekat sini, pergi yuk ajak Arsha,” ajak Dimas. Kirana berniat menolak secara halus. Tapi, tiba-tiba saja Arsha muncul dan berteriak. “Mau! Ayo Ibu kita ke pasar malam! Aku mau, pasti seru. Tadi, teman-teman juga cerita tentang pasar malam semua,” ujarnya dengan ceria. Kirana bisa melihat sorot mata ceria dan penuh harap dari mata anaknya. Membuatnya tak tega menolak, karena akan membuatnya kecewa. “Iya kita pergi,” jawabnya. Mata Arsha berbinar-binar penuh kebahagiaan. “Terimakasih Ibu!” memeluk Kirana erat. “Yes, ayo bersiap dulu Arsha!” Dimas tampak antusias. Arsha berteriak heboh, dia kegirangan. Dengan cepat bersiap dibantu Kirana. Setelah mengurus Arsha barulah Kirana mandi dan bersiap. Beberapa waktu kemudian, Kirana sudah siap. Dia hanya memakai celana jeans panjang yang dipadukan dengan sweater abu lengan panjang. Rambut sengaja digerai, dan dia hanya memakai lipgloss tanpa warna, serta sedikit sapuan bedak. Namun, justru hal itu membuatnya tampak fresh dan lebih muda. “Ya ampun, Ibunya Arsha cantik banget,” puji Dimas. Kirana tersipu malu. “Bisa aja, tapi memang aku ini cantik loh,” kekehnya. Dimas dan Arsha tertawa. “Ibunya Aku memang nggak ada lawan!” teriak Arsha sambil lari menuju Kirana dan memeluknya. Bi Surti tersenyum melihat mereka. Terlihat seperti keluarga bahagia dan sempurna. Mereka pun berangkat menuju pasar malam. Kirana tak lupa menitipkan kunci kepada Bi Surti. Rumah Bi Surti hanya beberapa rumah saja dari tempat tinggalnya. Di pasar malam, mereka begitu tampak bahagia. Menaiki berbagai wahana yang ada, juga membeli beberapa jajanan khas pasar malam. Arsha yang memang sudah dekat dengan Dimas, tak merasa canggung. Layaknya seorang anak terhadap ayahnya, tak segan untuk mengobrol, bercanda, minta ditemani naik wahana yang menurutnya menakutkan. Karena, Ibunya mana mau. Kirana kan penakut. Mereka pulang larut malam. Jam lima pagi, telepon Kirana berdering. Kring kring Dengan malas, Kirana membuka mata. “Hah kesiangan!” pekiknya. Apalagi, saat melihat nama pemanggil adalah Tuan Bos. Asli jantungnya berdegup kencang, takut dimarahi. “Tuan, kenapa anda menelepon?” tanya Kirana. Hening, tak ada jawaban dari balik telepon. Tapi, masih tersambung. “Tuan?” Kirana merasa kesal, dia mau mandi sudah kesiangan. Eh malah bosnya diam saja, sungguh menjengkelkan! “Kenapa diam saja?” sekarang sudah bercampur nada jengkel dari cara Kirana berbicara. “Kenapa belum datang?Bukankah seharusnya kamu sudah ada di sini jam lima pagi untuk mengurusku?” sekalinya bicara, langsung memberondong. Kirana mengembuskan napas kesal, kok jam kerja sepagi ini sih. Tapi, seimbang sih dengan gajinya, nggak jadi deh Kirana marah. “Maaf, saya kesiangan bangun. Semalam…’” belum selesai berkata, Ragendra sudah memotongnya dengan nada kesal. “Cepat datang! Atau mau kupecat kau!” ucap Ragendra. Tut tut Panggilan terputus sepihak. Kirana tertegun dengan raut syok. “Kenapa dia? Kenapa sepertinya sangat kesal begitu? Ah alamat bakal menderita untuk kerjaan hari ini,” soalnya bosnya sudah terdengar uring-uringan sepagi ini. Karena tak mau tambah pusing, dengan cepat Kirana membersihkan diri dan bersiap. Arsha sudah ganteng diurus Bi Surti, dan dipersiapkan untuk berangkat sekolah. Dia memang sudah masuk SD. Sekolahnya tak jauh dari rumah, sehingga tak perlu antar jemput. Apalagi banyak teman yang berangkat bareng dengannya. “Ibu berangkat dulu ya. Arsha baik-baik di rumah sama Nenek sampai Ibu pulang, oke,” ucap Kirana. Arsha memang memanggil Bi Surti dengan nenek. “Iya Bu. Ibu semangat ya,” ucap Arsha sambil memeluk ibunya. Mata Kirana berkaca-kaca, selalu saja begitu setiap akan berangkat kerja. Tanpa sarapan dulu, dia berangkat ke rumah Ragendra. Sesampainya di sana disuguhkan dengan muka jutek beberapa pelayan rumah. “Masih baru sudah kesiangan aja! Tuan sudah mengamuk dari tadi!” ujar seorang pelayan dengan nada kesal. Kirana tersenyum yang dia paksakan. “Maaf, lain kali tidak akan terlambat lagi,” lalu segera menuju kamar Ragendra. Tok tok, dia mengetuk pintu. “Kiran? Kamu kah itu?” suara Ragendra terdengar serak. “Iya,” sahut Kirana. “Masuk saja,” suaranya melembut. Kirana segera memutar hendel pintu, lalu masuk. tak lupa kembali menutup pintunya. Kirana terkejut melihat seisi kamar yang berantakan. Bantal, guling berserakan di lantai. Selimut pun pada jatuh, ada gelas tergeletak meski tak pecah, namun lantai basah, mungkin tumpah dari dalam gelas. Dia mengembuskan napas kasar. “tuan marah-marah? Apa karena saya datang terlambat? Jadi sengaja ingin mengerjai saya ya? Ah tapi tak masalah, toh kerja saya kan babu,” cibir Kirana. Ragendra tak menyahuti, dia malah buang muka ke arah lain. Kirana merasa aneh, biasanya mulutnya pedas kemarin. Kok dia mengomel, tapi malah diam saja. Kirana membiarkan dulu yang berantakan, dan memilih menghampiri Ragendara. Dia naik ke atas tempat tidur dan sengaja memperhatikan wajah Tuannya itu. “Mata anda merah, apa anda habis mabuk semalam?” tanya Kirana. Ragendra balas menatapnya. “kalau iya kenapa?” sahutnya jengkel. “Tidak boleh. Itu tidak sehat,” ujar Kirana. “Saya sedang banyak pikiran,” sahut Ragendra. Kirana mengerutkan dahi, lalu tertawa renyah sesaat kemudian. “Orang kaya seperti anda memikirkan apa sih? Kecuali kalau uangnya hasil korupsi kayak para koruptor negara sebelah yang mencapai ratusan triliun itu. Barulah anda wajib banyak pikiran.” “Kirana!” bentak Ragendra. Kirana langsung terdiam dan menatap intens Ragendra yang menatapnya dengan tatapan yang membuat nyalinya ciut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN