Marsha memarkirkan mobilnya di depan sebuah salon khusus eyelash dan nail art di sebuah perumahan, sebenarnya itu memang adalah rumah tinggal yang bagian depannya disulap menjadi salon berukuran sedang milik sahabatnya.
Marsha mengintip dari celah dinding kaca, tampak temannya itu asik memainkan ponsel. Dia mendorong pintu dan berucap, “tok tok tok.” Dengan mulutnya.
“Ish, dikira siapa? Mau nail art atau mau gosip?” tanya Adeva, teman Marsha itu sudah menikah dan memiliki dua orang anak, menikah muda juga karena kecelakaan. Dia teman sekampus Marsha, namun ketika hamil di usianya yang dua puluh tahun dia memilih cuti dari kampus dan baru lanjut kuliah setelah melahirkan. Beruntungnya Adeva, karena suaminya mau bertanggung jawab. Bahkan keluarga suaminya menyokong kehidupannya sampai suami Adeva lulus kuliah.
Pergaulan Marsha dan Adeva dulu bisa dibilang cukup nakal, meskipun begitu mereka tetap setia pada satu pasangan. Hanya Adeva yang tahu tentang masa lalu Marsha yang kelam, seandainya Marsha mempertahankan kandungannya, mungkin anaknya kini seusia anak pertama Adeva yang sudah duduk di bangku sekolah dasar kelas empat.
“Kalau Nail art kenapa? Kalau cuma mau gosip kenapa?” tanya Marsha seraya duduk di hadapan Adeva.
“Kalau gosip aku enggak ada waktu, kalau nail art sambil gosip boleh lah,” celetuk Adeva. Marsha hanya mendengus.
“Oke nail art sekalian,” gerutunya. Adeva tersenyum lebar, “dasar emak-emak doyan duit,” imbuhnya.
“Semua hal butuh duit, Sayang!” dia pun mengambil peralatan nail art, untuk pertama dia membersihkan kuku jari sahabatnya itu.
“Kamu tahu manager baru yang pernah aku ceritain?” tanya Marsha.
“Cowok ganteng yang kamu taksir?” tanya Adeva santai.
“Eh enggak ya! Siapa yang naksir dia?” celetuk Marsha.
“Habis, dia jadi cowok pertama yang paling sering kamu ceritakan dengan antusias sih.”
“Ya itu karena dia ambil posisiku aja.”
“Ya sudah, jadi dia kenapa?” tanya Adeva, meskipun matanya tetap fokus pada kuku Marsha yang sedang disikat menggunakan sikat khusus.
“Aku rasanya sial banget deh, kamu tahu enggak kemarin malam aku ketemu dia di gudang, lagi jilatin es krim sambil nonton video plus plus,” ujar Marsha.
“What? Apa yang aneh? Mungkin dia lagi belajar cara bereproduksi?”
“Ckk bukan seperti itu, tapi dia tuh makan es krimnya berantakan banget dan cara makannya aneh, dijilatin semua sampai tangannya yang berceceran, mulut, pipi, dagu kena es krim semua,” decak Marsha, secara tiba-tiba pintu yang tersambung ke bagian rumah Adeva terbuka, muncullah anak kedua Adeva, gadis mungil berusia empat tahun itu memakan es cream cone berwarna pink.
“Bunda mau?” tanya anak itu.
“Hai,” sapa Marsha.
“Tante Mashaaa, mau es krim?” tanyanya dengan suara cadel.
“Enggak Sayang, terima kasih.”
Sementara itu Adeva sudah menjilat es krim itu dan berkata enak, lalu dia meminta anaknya untuk kembali masuk ke dalam.
“Lanjut?” ujar Adeva yang kini bersiap memakaikan cairan berwarna itu di kuku sahabatnya.
“Dia seperti berfantasi lagi menikmati yah you know what kan? Dan kamu tahu???”
“Apa sih cerita setengah-setengah,” cerocos Adeva sambil mengangkat wajahnya hingga menatap sahabatnya yang memasang wajah serius itu.
“Dia kayaknya ngebayangin cewek di video itu mandi es krim deh, beneran sampai berceceran semua di tangannya Adeva,” ujar Marsha meremang.
Adeva membelalakkan mata, lalu teringat dia baru saja memakan es krim, “huweeekkk! Jijik banget Marsha!”
Marsha tersenyum kecil, ya dia memang tak pernah tersenyum lebar sejak kecelakaan itu.
“Apa dia aneh ya?” tanya Adeva kemudian, dia kembali fokus pada kuku Marsha.
“Sehari-hari dia normal kok, bergaul juga secara normal aja ngobrol sama laki-laki dan perempuan ya biasa aja, tapi yang aku sayangkan kenapa harus dia nonton video seperti itu di gudang? Sambil makan es krim kayak gitu pula, tempat itu kan enggak bersih. Apa dia enggak punya kamar? Pakai volume lagi videonya,” gerutu Marsha.
Mereka berdua terdiam karena Adeva kini fokus membuat lukisan di kuku Marsha.
“Apa itu alasannya dia belum nikah sampai sekarang? Bahkan katanya dia belum punya pacar, padahal yang nyatain perasaan ke dia banyak lho. Kok bisa ya orang yang terlihat sangat normal itu ternyata justru freak? Aneh?”
“Kita enggak bisa judge dia aneh juga sih Sha, bisa jadi memang dia sudah sangat pengen jadi enggak tahu tempat untuk menonton itu, masalah fantasi sih normal aja ya terserah dia mau berfantasi seperti apa? Meskipun pasti akan tercoreng banget aibnya kalau sampai orang-orang tahu apa yang dia lakukan di gudang. Hmmm apa dia masih pakai pakaian lengkap?”
“Duh aku enggak terlalu lihat karena kan penerangannya minim ya, tapi aku lihat banget adegan di videonya ketika wanitanya dioral? Aku rasa sih dia beneran deh ngebayangin lagi oral cewek itu. Normal enggak sih? Biasanya cowok kalau nonton kan sambil gitu deh,” ujar Marsha sedikit mencontohkan gerakan yang biasa dilakukan pria saat PMO.
“Masalah normal atau enggaknya ya tergantung pasangannya juga, kalau mereka sama-sama suka dan merasa aman hanya melakukan rangsangan di satu bagian aja ya enggak apa-apa, lagi pula kan itu masih di areal erotis, bibir, p******a dan kemaluan. Aku kenal seorang perempuan yang memuja banget benda laki-laki, jadi dia cuma suka oral aja tanpa mau dipenetrasi,” ucap Adeva.
“Hah? Kamu tahu orangnya?”
“Tahu, dia pelanggan tetap di sini, tapi ya gitu aku enggak boleh bocorin rahasianya, mungkin si manager baru kamu juga begitu, hanya aja sialnya waktu dia lagi memuaskan dirinya eh kecolongan dilihat kamu,” kekeh Adeva membuat Marsha meringis.
“Yang disukain sama cewek itu apa? Bentuknya?”
“Semuanya, bentuknya, aromanya, bagi kita yang normal-normal aja kan berhubungan seksual itu di tiga titik erotis aja kan? Bagi mereka ya hanya di satu titik itu aja.”
Marsha masih berusaha mencerna apa yang diucapkan oleh Adeva, sejujurnya setelah kejadian sepuluh tahun silam itu dia tak pernah lagi berhubungan seksual dengan siapa pun juga. Jangankan berhubungan seksual, menjalin kasih saja dia enggan. Dia selalu menganggap pria itu hanya akan memanfaatkannya saja, lalu meninggalkannya setelah puas.
Luka itu masih membekas dalam ingatan Marsha, bahkan dia tak ada rasa sedih ketika janin dalam kandungannya harus luruh saat kecelakaan, dia justru bersyukur karena anak itu tak terlahir dari seorang ibu yang labil sepertinya, dari keluarga yang tidak utuh. Mungkin beban hidup anak itu akan sangat berat dan memilih untuk pergi saja. Meskipun seharusnya dia membawa ibunya serta.
Terkadang di saat mengalami tekanan kerja, Marsha suka mendengar suara tangisan bayi, yang dia yakin sebenarnya itu berasal dari imajinasinya saja.
Dia memang bekerja cukup keras, selain bekerja sebagai head section dia juga bermain saham dari gaji yang disisihkannya, itu sebabnya dia memiliki tabungan yang cukup banyak. Dia membeli apartmen modal beruntung karena ada kenalannya yang sangat membutuhkan uangnya sehingga dia membeli setengah harga, dia mengeluarkan seluruh tabungannya untuk membayar separuhnya dan sisanya dia mengambil cicilan bank selama beberapa tahun dan sekarang sudah lunas.
“Apa dia ngajak kamu bicara tentang itu Sha? Kamu enggak ambil kesempatan ini untuk naik jabatan?”
“Maksudnya?”
“Ya kamu katakan aja sama komite apa tuh disiplin ya? Atau atasan kalian, atau sebarkan gosip dan dia malu lalu mengundurkan diri, jadi kamu bisa naik jabatan?” ujar Adeva menatap serius pada Marsha.
“Aku emang ambisius Adeva, tapi aku enggak jahat,” ujar Marsha menoyor kepala sahabatnya itu hingga Adeva tertawa.
“Sadissss!” guraunya.
“Aku juga bingung, aku nunggu dia ngomong sih, tapi kalau untuk menyebarkannya atau bilang ke atasan enggak lah. Itu kan privasi dia, aku juga pasti akan marah kalau ada yang menyebarkan aib aku kan?”
“Bagus, tapi kalau dia enggak ngomong terus bagaimana? Kasihan lho dia pasti tertekan, dia tahu kan kamu lihat apa yang dia lakukan waktu itu?”
“Dia tahu, dan kamu tahu? Tadi aku lihat surat pengunduran dirinya jatuh, masih ada di aku nih.”
“Kasihan banget, sebaiknya kamu ngomong sama dia deh, dia baik kan? Sekalian pacarin aja lumayan kamu bisa lega kan dapet kepuasan dijilatin sama dia,” ujar Adeva.
“Eh dasar m***m!”
“Enak tahu,” kekeh Adeva, “aku paling suka tuh digituin, rasanya beuh mantap,” imbuhnya.
“Jangan bikin aku mikir yang aneh-aneh ya Adeva. Sepuluh tahun nih, jadi perawan lagi aku,” gerutu Marsha membuat Adeva tertawa. Lalu dia menyelesaikan hiasan di kuku sahabatnya.
Mata Marsha membesar ketika Adeva membuat hiasan bergambar es krim.
“Adeva!!!”
“Hahhaa maaf habis kita ngomongin es krim sih tadi!”
“Ah benar-benar deh kamu!” celetuk Marsha pada sahabatnya.
“Ajak dia ngomong aja Sha, kasihan di dianya dan kamunya juga pasti kepikiran kan? Bayangkan kalau kamu di posisinya? Pasti tertekan banget,” ungkap Adeva.
“Iya besok deh,” ujar Marsha.
“Besok libur, Oncom!”
“Lha iya, ya sudah senin deh,” ungkap Marsha pada akhirnya. Adeva pun menyetujui ucapan temannya itu, dia sebenarnya cukup kasihan pada sahabatnya yang trauma menjalin hubungan sampai kini.
Padahal Marsha cantik, pintar cari uang, tinggal sebatang kara pula. Hanya Adeva sahabat sekaligus keluarganya. Itu sebabnya Adeva sering melibatkan Marsha ketika ada acara keluarga. Orang tua Adeva pun sudah menganggap Marsha seperti anak sendiri. Dan Adeva yakin Marsha tidak pernah tertarik pada suaminya yang juga sudah dianggap sahabatnya karena mereka dulu sering double date dan satu angkatan.
***
Marsha menghabiskan dua hari liburannya dengan cara produktif, dia melakukan pekerjaan freelance jarak jauh, dia cukup pandai menggunakan bahasa Inggris aktif. Berbekal laptop dan internet yang stabil dia pun mengisi waktu luang dengan mencari uang.
Uang dan uang, katanya hanya uang yang tidak dapat berkhianat, hanya uang yang dapat dipercaya. Dia sudah pernah mempercayai seseorang secara penuh, dan apa yang dia dapat? Ditinggalkan dengan hinaan di dirinya. Dia tak pernah tahu kabar pria itu sekarang seperti apa?
Dia hanya berharap pria itu mendapatkan karmanya, meskipun dia juga tak yakin.
Pada hari senin, Marsha melihat ruangan yang masih sepi, belum ada yang datang. Mungkin karena dia datang terlalu awal, lalu dia melihat seorang pria yang tampak menunduk ke kolong meja seolah mencari sesuatu. Ya pria itu adalah Keilana. Marsha mengambil surat pengunduran diri pria itu yang terjatuh di ruang meeting.
Dia menghampiri Keilana, mengetuk meja pria itu hingga Keilana mendongak dan mengambil posisi duduk. Marsha meletakkan surat pengunduran diri itu di meja Keilana.
“Mencari ini?” tanya Marsha.
“Iya, kamu temukan di mana?” tanya Keilana, wajahnya tampak pucat dan serba salah. Marsha melipat tangan di d**a dan menatap pria itu lekat. Ditatap Marsha seperti itu membuat Keilana semakin gugup.
“Kita harus bicara!”
***