2. Surat Pengunduran Diri

1504 Kata
Keilana Bragaswara, pria berusia tiga puluh dua tahun itu tumbuh dan besar dalam sebuah keluarga cemara. Kakak wanitanya sudah menikah dan memiliki anak, tinggal di perumahan yang berbeda dengan rumah keluarganya. Ayahnya merupakan pensiunan PNS, sementara ibunya memiliki butik di salah satu ruko yang ada di pasar modern tak jauh dari rumahnya. Kehidupan keluarganya merupakan kehidupan keluarga yang diidamkan oleh semua orang. Kedua orang tuanya sangat mensupport dan menyayanginya, tak ada yang aneh dari cara membesarkan dirinya yang dilakukan oleh orang tuanya. Namun, di usianya yang sudah kepala tiga, dia tak dibiarkan tinggal terpisah. Kecuali ketika dia menikah nanti. Keilana pernah menjalin hubungan dengan seorang wanita, cukup lama dia berpacaran, namun kandas di tengah jalan ketika dia jujur dengan apa yang diinginkannya dalam berhubungan. Ya dia pun tak tahu sejak kapan dia sangat mengagumi bagian intim tersebut? Dia selalu memujanya dengan membayangkan saja sudah membuatnya b*******h. Dia kemudian menyadari bahwa dia agak aneh! Namun dia tak bisa melawan rasa itu. Malam tadi merupakan malam paling sial dalam hidupnya, dia tak seharusnya menonton video itu di tempat kerja kan? Ditambah cara dia menikmati es krim karena fantasinya yang liar itu. Siapa pun yang melihatnya akan menganggapnya orang aneh! Terutama Marsha, orang yang paling tak ingin dia jelaskan tentangnya. Sejak awal dia menjabat sebagai manager, Marsha adalah wanita yang selalu bersikap dingin padanya. Ketika dia menanyakan sesuatu pekerjaan, dengan angkuh Marsha berkata, “manager sebelumnya enggak melakukan itu lho! Atau Mas Keilana cari saja sendiri, bapak pasti simpan file di laptopnya, Kan?!” Bukannya menjelaskan tentang hal yang tak dipahami, Marsha justru tampak membandingkan dengan manger yang telah pensiun membuat Keilana merasa bahwa hubungan mereka berjarak dibanding hubungannya dengan asisten manager lain. “Mas Kei! Hallo ada orang? Mas Kei,” panggil seorang staff wanita sambil melambaikan tangan di depan wajah Keilana. “Ah iya Sorry, ada apa Mitha?” tanya Keilana pada asisten manager di lantai dua juga, namun di bagian aksesoris dan stationary. “Sebentar lagi meeting sama pak Prayoga,” ujar Mitha, wanita berusia dua puluh enam tahun itu tampak manis mengenakan rok selutut berwarna putih, juga kemeja hijau sage. Rambutnya dibiarkan tergerai dan ketika dekat dengannya ada aroma menenangkan dari parfum yang dia pakai. “Sudah waktunya ya? Baik aku ke sana,” tutur Keilana. Soft spoken adalah ciri khasnya, tak heran jika banyak wanita kian tertarik padanya setelah berbincang, selain tampan dengan postur tubuh yang ideal, pakaian yang selalu rapih, tubuh yang harum dia juga sangat perhatian dan menggunakan aksen aku-kamu saat berbicara. Siapa kah wanita yang tidak terbawa perasaan? Hmmm terkecuali Marsha mungkin. Wanita itu memang tak memiliki hati seperti julukan orang lain terhadapnya. “Mbak Marsha, ayo,” ucap Mitha setelah meninggalkan Keilana. Ruangan Keilana dan Marsha memang menjadi satu, bahkan hanya kubikel yang memisahkan antara satu meja dengan meja lain. Sementara kubikel Keilana berada di ujung membelakangi dinding kaca. Marsha menoleh ke arah Mitha yang itu juga artinya dia bisa melihat Keilana dari sudut matanya. Keilana tampak gugup dan menunduk, membuat Marsha mengernyitkan kening. Lalu dia mengangkat bahunya acuh. Dia berjalan di samping Mitha, “aku takut deh Mbak, penjualan minggu ini menurun,” keluh Mitha sambil mengamit tangan Marsha, memang dia terkenal cukup manja pada siapa pun mungkin karena dia anak terakhir di keluarganya. “Tenang aja, pak Prayoga kan anggap kamu anak emasnya,” ucap Marsha dengan wajah dingin. “Ish tetap aja,” celetuk Mitha, mereka berjalan bersama menuju ruang rapat yang ada di lantai tersebut. Memang ruang officer di mall itu hanya ada satu lantai, karyawan officernya pun tak terlalu banyak sehingga mereka biasanya saling mengenal satu sama lain. Itu sebabnya mereka cukup bingung ketika Keilana yang baru dua tahun bekerja di perusahaan itu langsung diangkat menjadi manager. Semua head section atau asisten manager, dan juga para manager telah berkumpul untuk menunggu Prayoga, sang general manager itu datang. Pria bertubuh gempal dengan rambut botak itu kemudian melangkahkan kaki ke dalam, diikuti sekretarisnya yang memakai pakaian cukup seksi, semua pria nyaris tak berkedip ketika melihat wanita itu, bagaimana tidak? Dia sering memakai baju berbelahan d**a rendah, padahal dadanya sangat menonjol, juga bongkahan lainnya. ketika dia berjalan, maka semua mata akan fokus menatap ke arahnya, bibirnya tebal dan seksi dan dia selalu mengenakan full make up di wajahnya. Mitha menowel Marsha yang fokus pada kertas di hadapannya, wanita itu menoleh ke arah sekretaris general manager itu dan lagi-lagi hanya mengangkat bahunya acuh, meski ukuran miliknya tak sebesar wanita itu, namun dia juga merasa cukup puas. Justru jika terlalu besar akan aneh kan? “Ayo kita mulai,” ujar Prayoga. Para asisten manager memberikan laporan mingguannya seperti biasa, mereka juga melaporkan hal-hal yang menghambat penjualan, dari segi musim atau lain sebagainya untuk menegaskan bahwa apa yang mereka lakukan tidaklah buruk. Marsha pun berdiri ke arah podium, memberikan pemaparan. “Penjualan dari Fashion naik lima persen dari minggu lalu, mungkin karena awal bulan atau masa gajian sehingga banyak pengunjung yang datang ke mall. Di bidang skincare, penjualan naik delapan persen, angka yang cukup tinggi karena memang sedang ada promosi,” ucap Marsha secara percaya diri. Keilana menggigit ujung pulpennya, menatap wanita tegas itu dengan perasaan gusar. Dia cukup kerasan kerja di sini, dia merasa passionnya berada sebagai pemimpin di mall ini, pekerjaannya yang menantang justru membuat adrenalinnya meningkat, dia suka tantangan. Namun ... jika citranya buruk karena wanita di hadapannya ini, apakah dia akan kuat bertahan? “Kamu terlalu keras bekerja, Marsha,” tanggap Prayoga membuat semua orang menoleh padanya, prestasi Marsha selama ini selalu bagus namun Prayoga tak terlalu menyukainya. “Saya bekerja sesuai dengan tanggung jawab yang saya pegang, Pak,” jawab Marsha menatap pria botak itu. “Ada keluhan dari staff lantai dua, katanya kamu bahkan enggak membiarkan mereka istirahat di jam istirahat,” tutur Prayoga memajukan wajahnya dan merapatkan kedua tangan di atas meja. “Mereka tetap istirahat di jam istirahat mereka Pak, dan jelas itu bukan jam istirahat officer karena memang sudah sejak awal jam istirahat mereka berbeda.” “Terlalu berputar-putar ucapan kamu. Lagi pula wanita itu tak perlu bekerja terlalu keras Marsha, seharusnya di usia kamu itu kamu sudah menikah, kamu hanya harus pandai di dapur, sumur dan pastinya kasur,” guraunya sambil terkekeh. Marsha memutar bola matanya. Seperti biasa, Prayoga selalu melakukan diskriminasi pada kaum wanita. Dia yakin itu yang membuatnya tak diangkat sebagai manager meski prestasinya segudang. “Jika wanita hanya boleh berprestasi di dapur, sumur dan kasur seperti ucapan bapak, saya rasa dunia akan tetap gelap, karena RA Kartini gagal dalam perjuangannya,” ucap Marsha menatap tajam pria itu. “Oh Wohoo serius sekali kamu Marsha, sesekali berkencan lah agar tidak kaku.” “Pak, kita sedang dalam rapat formal,” ucap Marsha mendikte apa yang dilakukan atasannya itu. Prayoga menatap ke sekeliling, tak ada yang tertawa dengan gurauannya hingga dia pun berdehem, “oke jika kamu selalu mau serius, periode liburan akhir bulan, naikkan penjualan sampai sepuluh persen, jika tidak, jangan harap kamu mendapat bonus tahun ini,” ucap Prayoga. “Baik,” jawab Marsha yakin, ditutup kertas laporannya dan dia kembali duduk di tempatnya. Mitha yang berada di sampingnya pun menyenggol sikutnya. “Good job, Mbak,” bisiknya. Marsha hanya mendengus sebal. Sementara Keilana membuka lembaran buku agendanya, di mana dia menyimpan amplop berisi surat pengunduran diri. Haruskah dia menyerahkannya sekarang? Namun, dia masih menunggu langkah yang diambil Marsha, karena sampai sekarang pun wanita itu tampak berpura-pura tak tahu apa yang dilihatnya. Membuat Keilana justru semakin ragu. Meeting pagi menjelang siang itu berakhir tepat saat jam makan siang, Prayoga pergi lebih dulu dengan memberi tatapan tajam pada Marsha yang tak takut dengan intimidasi darinya. Justru dia membalas tatapan itu tanpa gentar. Semua karyawan keluar satu-persatu meninggalkan Marsha yang membutuhkan waktu lebih lama untuk menyusun strategi. Keilana ingin menghampirinya, namun kakinya seolah terpaku di lantai, tangannya gemetar dan keringat dingin membasahi keningnya. Lalu ketika dia mulai menapaki satu langkah. Pintu kembali terbuka Prayoga kembali masuk karena meninggalkan ponselnya. Dia pun menghampiri Marsha dan berdiri di belakangnya. “Saya yakin kamu masih perawan Marsha, semua perawan selalu kaku di awal, tapi jika sudah sekali disentuh laki-laki, mereka akan lemah seperti jelly,” gurau Prayoga. Marsha menoleh dan menjauhkan kursi itu dari tempat Prayoga berdiri. “Pak, saya rasa ini sudah masuk ke pelecehan, apa perlu saya bicarakan ini pada komite disiplin?” tanya Marsha membuat Prayoga tertawa keras. “Komite disiplin? Saya yang mengetuainya kan?” ujarnya, lalu meninggalkan Marsha yang meremas pulpen di tangannya, dia menekan pulpen itu ke buku agendanya yang jelas bisa membuat buku itu robek. Keilana pun cegukan, dia cukup takut melihat ekspresi marah dari Marsha, sebaiknya nanti saja dia berbicara pada wanita itu. Hingga dia terlalu terburu-buru dan tak sadar menjatuhkan surat pengunduran dirinya. Marsha melihat amplop di lantai ketika dia akan keluar dari ruang meeting, dia membuka amplop itu karena tak ada namanya, lalu dia membaca surat pengunduran diri dari Keilana. Dia meletakkan amplop itu ke dalam agendanya. Mungkin nanti jika sempat akan diberikan pada Keilana, karena hari ini, setelah meeting pria itu ada meeting lanjutan di kantor pusat Olimpus. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN