4. Virus Aneh

1573 Kata
Keilana mengekor Marsha ke rooftop, melalui tangga mereka naik ke lantai teratas mall tersebut. Ada pagar pembatas untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan. Beberapa kursi taman tersedia, yang biasa digunakan oleh para karyawan untuk istirahat, sekedar melepas penat dengan meneguk secangkir kopi atau menghisap sebatang rokok. Marsha berjalan menuju salah satu kursi panjang dari besi tersebut, di belakang kursi itu terdapat pot besar yang ditanam pepohonan agar tidak gersang. Mentari pagi masih bersinar terik, mengandung vitamin D yang dibutuhkan oleh kulit sehingga keduanya tak perlu menghindar dari panas matahari tersebut. “Duduk,” ucap Marsha, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Keilana pun duduk di samping Marsha namun sengaja mengambil jarak terjauh yang bisa dia duduki hingga Marsha menghela napas dan menyerahkan kertas pengunduran diri yang sejak tadi dia pegang. “Terima kasih,” jawab Keilana tanpa mau menatap wajah Marsha, dia sungguh takut dengan Marsha saat ini. Hal itu justru membuat Marsha penasaran. Ke mana perginya sosok Keilana yang percaya diri? Kini yang terlihat seperti sosok anak yang ketakutan karena ketahuan mencuri permen? Marsha memajukan wajahnya dan menyilang kaki, ditopang pada kaki satunya. Tangannya di letakkan di atas lutut, dia memetik jarinya agar Keilana menatap ke arahnya. Pria itu dengan pelan mengangkat wajah menatap Marsha, hanya satu ... dua detik, lalu dia kembali menunduk. “M-maaf,” ucap Keilana. “No problem, enggak ada yang salah. Aku melihat surat itu terjatuh di ruang meeting. Enggak ada yang tahu selain kita berdua. Hanya saja aku penasaran tentang malam itu ... ,” ucap Marsha. “Malam itu?” “Ya, aku tahu kamu sudah dewasa, aku pun juga sudah dewasa. Dan jika memang karena kamu ketahuan olehku malam itu dan melatar belakangi kamu untuk mengundurkan diri? Aku rasa itu adalah pilihan yang konyol.” “Konyol?” tanya Keilana, sejujurnya Marsha geram, mengapa dari tadi pria itu hanya meng-copy ucapannya. Namun dia berusaha mengerti, mungkin memang Keilana sedang panik. Wajahnya tampak pias. Ekpresi yang tak pernah dilihat Marsha sebelumnya. “Ya, memangnya salah dengan menonton film porno? Enggak ada yang salah, hanya saja mungkin kenapa harus dilakukan di kantor?” ujar Marsha, pembawaannya yang serius justru membuat Keilana kian tertekan. “Maaf.” Lagi-lagi kata itu yang dikeluarkan oleh Keilana. Membuat Marsha sedikit frustasi hingga dia mengeram dan Keilana menoleh ke arahnya, dan seperti sebelumnya hanya beberapa detik sebelum dia kembali menunduk. “Kenapa kamu menonton itu dengan wajah belepotan es krim? Aku enggak akan judge atau melaporkan ini pada komite disiplin, ini adalah privasi kamu yang enggak perlu aku sebar luaskan, enggak penting juga untukku,” tutur Marsha seraya melipat tangannya. “Aku membayangkan, yah ... aku sedang melakukan oral, maaf Marsha, aku laki-laki dewasa yang mungkin memiliki fantasi, salahku juga kenapa aku enggak bisa menahannya sampai rumah, harusnya aku—“ “Oke case closed, sebentar lagi jam masuk kerja kita enggak boleh telat kan, Pak Manager?” “Marsha,” panggil Keilana ketika Marsha berdiri dan memandang ke sekeliling, sangat sepi hanya ada mereka berdua. “Kamu kenapa enggak melihatku dengan pandangan aneh?” “Kenapa? Enggak ada yang salah kok, bukan kelainan juga melakukan oral?” “Ya, tapi ... tetap saja harusnya kamu memandang aku jijik kan?” “Aku enggak pernah tertarik dengan kehidupan pribadi orang lain. Tapi aku sedikit penasaran,” ucap Marsha. Keilana ikut berdiri karena Marsha yang tak kembali duduk. Mungkin berbicara sambil berjalan menuju ruang kerja menjadi pilihan yang bagus. “Penasaran tentang apa?” “Apa kamu sangat menyukai oral?” tanya Marsha, hendak melangkah, namun dia urungkan langkah kakinya. “Ya, rasanya enak, manis sedikit kecut, aku sangat menyukainya, bahkan setiap barhubungan aku hanya mau melakukan itu saja tanpa penetrasi, rasanya aku sangat b*******h apalagi kalau wanita yang aku cumbu itu puas dan mendapat pelepasan, aku bahagia banget rasanya,” ucap Keilana dengan mata berbinar, kan wajahnya tampak seperti anak kecil! Hingga Keilana menyadari bahwa dia terlalu over sharing dan dia menutup mulutnya. “Maaf,” ucap Keilana. “Sekali lagi ngomong maaf, kamu akan dapat piring cantik tahu?” tanya Marsha. Keilana tersenyum meski Marsha tak mengatakan itu dengan senyum di bibirnya. “Sorry,” ucap Keilana pelan. “Kapan terakhir kamu melakukan itu?” tanya Marsha. Keilana menunjuk kursi itu lagi, Marsha melihat jam tangannya, masih ada waktu sepuluh menit untuk mereka masuk kerja. Hingga dia pun memutuskan untuk duduk kembali. Masih dengan posisi sama melipat tangan di d**a dan menyilang kakinya, cara duduknya cukup tegak dan menatap Keilana dengan pandangan menelisik. “Setahun lalu, sebelum pacarku menganggap aku aneh dan meminta putus,” ucap Keilana, “padahal kami berpacaran cukup lama, lima tahun.” “Anehnya kenapa?” tanya Marsha. “Ya aku hanya tertarik pada itunya, mencumbu bagian itu dan enggak mau melakukan penetrasi, dia pikir aku aneh dan enggak kuat berpacaran denganku.” “Apa yang aneh, itu kan masih masuk bagian erotis, bukan kelainan kecuali kalau yang kamu sukai bagian tubuh tertentu selain bagian erotis itu,” gerutu Marsha. “Entahlah, aku seperti kecanduan dan rasanya sangat menyiksaku,” ucap Keilana, “aku baru terbuka hanya pada kamu Marsha yang memang sudah tahu aibku tapi kamu menutup rapat aib itu,” imbuhnya. “Sangat menyiksa?” tanya Marsha. Keilana mengangguk dengan mata penuh kesedihan. “Kamu pernah hmmm melakukan itu ke sembarang orang?” “Enggak lah, bagaimana kalau kena penyakit? Aku sedang berpikir untuk mencari FWB demi menyalurkan hasratku yang menyiksa ini,” keluh Keilana. “Time it’s over, ayo ke ruangan. Dan semoga kamu mendapat friend with benefit yang kamu inginkan,” ucap Marsha, “jangan mengundurkan diri sekarang, karena kamu harus bantu aku menaikkan omset sepuluh persen sialan itu!” “Ya, aku akan bantu kamu.” Keilana dan Marsha berjalan bersama menuju pintu ke arah tangga, dengan sopan Keilana mendorong pintu itu dan mempersilakan Marsha melewatinya. Parfum Marsha terhirup di hidungnya. Hingga Keilana memberanikan diri mengucap kata-kata yang juga membuatnya terkejut. “Apa kamu mau jadi FWB aku? Aku janji memperlakukan kamu baik dan melakukan semua yang kamu minta,” ucap Keilana. Marsha menghentikan langkahnya yang sudah menjejaki anak tangga. “Tampar aku saja, aku lancang,” ujar Keilana menampar mulutnya sendiri. Marsha memegang tangan Keilana dan sedikit tersenyum. “Kamu kayak anak kecil, apa kamu anak bungsu?” tanya Marsha masih memegang tangan itu. “Dari mana kamu tahu?” “Yah hanya menebak,” ucap Marsha melepas tangan itu dan melangkah turun diikuti oleh Keilana. “Tawaran kamu tentang FWB akan aku pikirkan lagi, dan ini akan jadi rahasia di antara kita, keep it secret,” ujar Marsha, meletakkan jari telunjuk di bibirnya lalu dia mengedipkan mata. Apakah dia sudah mulai masuk ke dalam permainannya? Dia pun melangkah menuju pintu yang menghubungkan tangga dengan ruang kerja mereka. “Serius?” “Ya aku enggak janji memberi jawaban yang kamu inginkan sih. Masuknya gantian, hitung sampai enam puluh baru masuk, oke?” ujar Marsha, pria yang di matanya seperti anak kecil ini pun mengangguk-angguk senang. “Secret romance,” ucapnya pelan karena Marsha sudah meninggalkannya, dia menghitung dari satu sampai enam puluh. Bibirnya terus tersenyum, dia berharap Marsha mau menjadi FWB-nya seperti yang dia harapkan. Akan menyenangkan menjalin kasih di kantor apalagi dilakukan secara diam-diam. Adrenalinenya pasti akan berpacu dengan cepat. *** “Kei ... kok makannya berantakan,” ucap seorang wanita muda mengusap kepalanya dan mengambil tissue untuk menyeka bibir Keilana kecil yang berceceran cokelat. “Kak, terima kasih,” ucap Keilana pada kakaknya. “Kamu tuh kalau makan jangan berantakan, nanti siapa yang bersihkan?” tanya kakaknya, kejadian ini sudah berlalu dua puluh lima tahun lalu, namun masih terekam dalam ingatan Keilana. Saat itu mereka tengah piknik di sebuah taman kota bersama orang tua mereka. “Ya nanti pacar aku yang bersihin lah,” ujar Keilana yang saat itu berusia tujuh tahun. “Ih emangnya, ada pacar yang mau bersihin mulut kamu yang berantakan?” gerutu sang kakak. “Ada lah, pasti ada, pacar yang manjain kau kayak kakak, kayak Bunda dan ayah,” ucap Keilana. “Hmmm mimpi,” ujar kakaknya, tak berapa lama kedua orang tuanya menghampiri mereka. Keilana menatap bibir ayahnya yang memerah. “Ayah, kenapa bibirnya?” Ibunya langsung menyeka bibir ayahnya dengan lengan bajunya, “tadi ayah jatuh,” ujar sang ibu gugup. Kakak Keilana hanya tertawa. “Pasti habis pacaran,” ujar sang kakak membuat kedua orang tuanya tersipu. “Nanti kalian kalau sudah menikah juga tahu rasanya pacaran dengan pasangan resmi,” kekeh sang ayah. Kakak perempuan Kei tertawa santai dan menatap kedua orang tuanya bergantian. Dia senang tumbuh di dalam keluarga bahagia seperti ini. Keluarga yang selalu menyayanginya sepenuh hati. Keilana masih tersenyum sendiri menatap foto keluarganya yang dijadikan wallpaper di layar komputernya, mengingat kenangan itu membuatnya yakin bahwa suatu saat dia juga akan mencontoh ayahnya yang sangat mencintai ibunya. Dia akan mencintai istrinya dan memujanya dalam segala hal termasuk memuja di seluruh tubuhnya. Dia kemudian melihat ke arah Marsha yang tampak serius mengetik sesuatu di komputernya, wajahnya sangat tegas dan tampak kaku. Namun, dia pikir Marsha tak sekaku itu, nyatanya dia sangat terbuka pada penuturan Keilana tadi. Tubuhnya harum, dan dia pasti merawat dirinya dengan sangat baik. Marsha merasa ada yang memperhatikannya, dia pun menoleh ke arah Keilana yang kemudian membuang pandangan dengan melihat langit-langit ruangan. Sungguh orang yang gugup! Marsha sedikit tersenyum lalu dia menyadari bahwa sejak tadi sudah dua kali dia menarik sudut bibirnya untuk Keilana. Apakah dia tertular virus aneh? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN