Bittersweet 06

1094 Kata
Minkyu yang saat itu tengah menyantap teokpokki langsung tersedak. Dengan sigap Seoah memberinya segelas air yang langsung pria itu minum hingga tandas. "Nenek!" sungutnya. "Apa? Nenek hanya bertanya." "Nenek jangan seperti itu. Aku dan Seoah hanya berteman, lagipula kami bertemu belum lama," jawabnya. "Memangnya kenapa? Asal kau tahu, Ibu dan Ayah mu juga belum lama saling mengenal saat mereka memutuskan untuk menikah." "Tapi tetap saja. Jangan berbicara seperti itu dihadapan Seoah, bagaimana jika dia merasa tidak enak?" "Sepertinya justru kamu yang merasa demikian. Kamu saja sampai tersedak seperti itu, Seoah baik-baik saja. Jangan-jangan kau memang menyukainya?" Astaga, Minkyu benar-benar tidak habis pikir dengan neneknya. Bagaimana bisa wanita paruh baya itu berbicara seperti itu di hadapan Yoon Seoah. Ya, memang Minkyu merasa sedikit tertarik dengan gadis di sampingnya ini. Tapi bukan berarti sang nenek bisa bertanya sefrontal itu padanya. "Sudahlah, nek. Lebih baik kami pulang saja. Lagipula hari sudah semakin sore," kata Minkyu berusaha mengalihkan pembicaraan. 'Ya, ya. Antarakan nona ini pulang dulu, jangan kau bawa dia kemana-mana. Tidak baik anak gadis pulang terlalu malam," pesan sang nenek. "Iya, aku mengerti." Setelah berpamitan keduanya pun lantas beranjak pergi dari kediaman sang nenek. Mereka memilih untuk menggunakan bus. Dan saat ini keduanya sedang duduk di halte sembari menunggu bus datang. "Maafkan sikap nenekku, ya," Minkyu membuka obrolan. Seoah yang duduk di sebelah pria itu hanya mengangguk. "Tidak masalah." "Oh, iya. Omong-omong boleh aku bertanya sesuatu?" "Apa?" "Soal lelaki yang kau sebut Oppa. Apa dia adalah orang yang sama yang membuatmu menangis beberapa hari yang lalu?" Pertanyaan Minkyu tidak langsung dijawab Seoah. Gadis itu justru mengalihkan pandangannya ke arah depan dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Ada sirat mata kesedihan juga luka di sana. "Iya. Dia Wonshik Oppa. Dia calon suami kakakku sekaligus orang yang sudah lama aku sukai." Seoah menghela napas, menengadah kan kepalanya ke atas, coba menahan air mata yang sudah bersiap turun di pelupuk mata. "Aku bertemu dengannya lebih dulu, menaruh perasaan padanya lebih dulu. Tapi ia justru menjatuhkan hatinya pada kakakku sendiri." Mendengar jawaban Seoah membuat Minkyu merasa bersalah. Tidak seharusnya ia bertanya demikian. "Maaf, seharusnya aku tidak menanyakannya." "Tidak masalah. Lagipula hal itu sudah berlalu." Ragu-ragu, Minkyu seperti ingin kembali bertanya tapi ragu. "Tanyakan saja. Aku juga ingin membagi bebanku padamu, jika kamu tidak keberatan," tutur Seoah dengan suara mengecil di akhir kalimat. Tiba-tiba saja senyum merekah di bibir Minkyu. Pria itu senang pada akhirnya Seoah mau terbuka padanya. "Tentu saja boleh. Bukankah aku pernah mengatakan jika kamu bisa menggunakan ku? Kau bisa menceritakan semua keluh kesahmu juga hari-hari yang kau jalani padaku. Aku akan mendengarkannya dengan senang hati." Senyum tipis Seoah berikan sebagai reaksi. Ia sedikit bersyukur ada Minkyu di sisinya sekarang. Meski keduanya mengenal belum lama, tapi Seoah merasa jika ia bisa mempercayai pria itu. "Apa yang tadi ingin kau tanyakan?" tanya Seoah mengingatkan. "Oh, maaf sebelumnya. Apa kamu masih menyukainya? Maksudku sebentar lagi dia akan menjadi suami kakakmu, apa kamu masih menyimpan perasaan untuknya?" Sekali lagi Seoah menghela napas. Ia tersenyum getir dan mengusap air mata yang menetes di sudut matanya. "Entahlah. Bohong jika aku berkata sudah bisa melupakannya. Nyatanya aku masih memiliki rasa itu. Tapi bukankah akan egois jika aku masih mempertahankan semuanya? Sedangkan aku sendiri tahu jika perasaanku tidak akan mungkin bisa berbalas." "Aku tidak ingin jadi orang jahat dengan perasaanku ini, tapi aku juga bukan orang munafik yang bisa mengatakan jika aku sudah melupakan semuanya." Melihat Seoah yang menunduk, juga sesekali mengusap sudut matanya sendiri membuat perasaan Minkyu terenyuh. Tanpa sadar tangan besarnya menepuk-nepuk pelan punggung Seoah yang sudah naik-turun dibarengi dengan isak lirih yang keluar dari mulutnya. "Jujur saja aku ingin sekali menghapus semuanya. Aku ingin menghapus ingatan juga perasaanku terhadap Wonshik Oppa, ataupun kenangan bersamanya. Tapi ternyata tidak semudah itu, aku sudah jatuh terlalu dalam." Seoah menoleh ke arah Minkyu. "Apa aku adalah adik yang jahat? Aku masih saja menyukai calon suami kakakku sendiri dan sulit menghapus perasaanku untuknya, aku adalah gadis jahat." Tanpa ragu Minkyu merengkuh tubuh mungil Seoah, membiarkan tangis gadis itu pecah seketika dalam dekapannya. Seoah kembali menangis, meluapkan rasa sesak juga sakit dalam dadanya yang selama ini ia tanggung seorang diri. "Menangislah, menangis sepuasmu jika itu bisa membuatmu merasa lega." *** Saat itu pukul delapan malam. Seoah melangkahkan kakinya ke rumah dengan gontai. Penampilannya agak berantakan dengan mata sembab juga sedikit memerah akibat menangis terlalu banyak. "Seoah?" Sooyoung berlari tergopoh. Ia memegang bahu sang adik dan melihatnya khawatir. "Apa yang terjadi? Kenapa penampilan mu berantakan seperti ini?" Belum sempat Seoah menjawab, Wonshik lebih dulu memotong. Pria itu berjalan cepat ke arah si gadis dan memegang bahunya dengan erat. "Apa dia yang melakukannya? Pria itu melakukan sesuatu padamu bukan?" katanya tegas. Ia terlihat kesal juga marah. Seoah hanya diam, ia melihat lekat ke arah Wonshik kemudian melepaskan cengkraman tangan pria itu dari bahunya. "Satu-satunya yang menyakitiku di sini adalah…." Perkataan Seoah menggantung. Sebelah tangannya terkepal di samping tubuh. Ia mencoba mengungkapkan perasaannya sekali lagi, tapi di sisi lain ia tidak ingin menyakiti perasaan sang kakak jika mengetahui semuanya. Tanpa melanjutkan perkataanya Seoah segera beranjak. Ia memilih mengabaikan panggilan Wonshik maupun Sooyoung dan terus melangkahkan kakinya naik ke lantai dua. Ia menjatuhkan dirinya di atas ranjang, menghela napas beberapa kali berharap hal itu bisa mengurangi sesak dalam hati. Ia tidak bohong saat mengatakan ingin membuang perasaanya, namun seperti apa yang pernah dikatakannya jika hal itu bukan perkara sederhana. Tidak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu. Disusul kemudian suara sang kakak yang memanggil nama Seoah dengan nada khawatir. "Seoah, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi, Wonshik bilang jika kau baru saja bepergian bersama seorang laki-laki, siapa dia? Apa dia yang membuatmu begini?" Seoah hanya bisa tertawa miris. Apa yang Wonshik lakukan sekarang? Kenapa pria itu bersikap seolah ia peduli, padahal ia jelas-jelas tahu apa yang terjadi dan siapa yang menyebabkannya jadi seperti ini. Dan lagi, kenapa ia harus mengatakan soal Minkyu pada Sooyoung. Bukankah dirinya sudah pernah mengatakan jika apa yang terjadi pada Seoah bukanlah urusan pria itu. "Aku baik-baik saja," sahut Seoah pada akhirnya. "Sungguh? Tapi kamu…" Perkataan Sooyoung tertahan saat Seoah menyela lebih dulu. "Aku benar-benar baik-baik saja. Aku hanya kelelahan dan perlu waktu sendiri, tolong biarkan aku sendiri, unnie," katanya lirih. "Baiklah. Jika ada apa-apa kamu masih punya aku, tempatmu untuk bercerita," sahut Sooyoung. Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki menjauh. Seoah sempat menghela napas lega, ia memang sedang membutuhkan waktu sendiri. Namun baru beberapa saat, keheningan itu kembali terusik dengan suara ketukan lirih dari arah pintu. "Unnie, sudah ku katakan…" "Yoon Seoah." Bukan, itu bukan Yoon Sooyoung. Suara berat juga lirih itu, Seoah sangat mengenalnya. Suara milik Jeon Wonshik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN