Bittersweet 07

1112 Kata
Untuk sejenak Seoah terdiam, membiarkan lelaki di depan itu kembali berucap. “Maafkan aku. Ini semua memang salahku, tolong keluar sebentar dan kita bicarakan ini dengan kepala dingin.” Menghela napas. Seoah kembali membenamkan wajahnya pada bantal. Ia merasa Wonshik sedang coba mempermainkan perasaanya lagi, kenapa lelaki itu harus bersikap seolah peduli sekarang. “Yoon Seoah.” Lagi-lagi Wonshik memanggil dengan suara lirih. Ia mengetuk pintu sekali lagi, berharap jika gadis di dalam sana mau bertemu barang sebentar dengannya. Ia tahu semua akar permasalahan ini tidak lepas dari dirinya. Tapi ia sendiri juga tidak bisa menyalahkan sepenuhnya hal itu pada Seoah apalagi dirinya. Semua hanya karena waktu dan perasaan yang kurang tepat. Menghela napas. Pada akhirnya Wonshik menyerah. Memang mungkin Seoah masih membutuhkan waktu untuk sendiri. Sewaktu Wonshik berbalik, ia mendengar suara handle pintu yang terbuka. Di ambang pintu sudah ada Seoah yang berdiri menatapnya dengan pandangan datar. Keduanya terdiam selama beberapa saat. Baik Seoah maupun Wonshik hanya saling menatap tanpa berniat untuk membuka percakapan lebih dulu. “Apa yang ingin Oppa katakan?” pada akhirnya suara Seoah terdengar. Suaranya lirih juga serak. “Kau baik-baik saja?” Wonshik bertanya khawatir. “Jika tujuan Oppa hanya untuk menanyakan keadaanku, ya, aku baik. Lebih baik sekarang Oppa temui Unnie, jangan buat dia bertanya-tanya atau khawatir.” Melihat reaksi Wonshik yang hanya terdiam, terpaku menatap ke arahnya. Membuat Seoah menghela napas. Ia berpikir jika sudah tidak ada sesuatu hal yang harus dikatakan lagi oleh pria itu. Dan disaat Seoah akan menutup kembali pintu kamarnya, Wonshik lebih dulu dengan sigap menahan dengan kedua tangan. “Aku minta maaf. Ini semua juga salahku. Jika saja dari awal aku dengan tegas mengatakan soal perasaanku, kamu tidak akan menyukaiku sampai seperti ini. Tapi aku justru membuatmu kebingungan dengan perilaku ku dan membiarkan mu tenggelam sendirian dengan perasaanmu. Aku…,” Belum sempat Wonshik menyelesaikan perkataan, Seoah sudah memotong lebih dulu. Gadis itu mengangguk meski dengan berat hati. “Ya. Mengaku atau tidak, Oppa memang turut andil dalam semua ini. Oppa juga memiliki kesalahan. Tapi sudahlah, semuanya juga sudah berlalu. Tidak ada yang perlu diperbaiki ataupun disesali. Dan tolong, mulai sekarang jangan pernah lagi mengangguku.” Seoah menarik napas panjang, menghembuskannya dengan perlahan karena terasa terlalu sesak. “Aku ingin move on. Aku ingin melupakan semuanya. Aku tidak ingin menjadi adik yang jahat dengan menyukai suami kakakku sendiri. Tolong menjauhlah sejauh mungkin, aku juga akan melakukan hal yang sama. Mari kita hidup seakan tidak pernah saling mengenal.” Seoah mengakhiri ucapanya dengan seutas senyuman yang sebenarnya berkebalikan dengan apa yang ada di dalam hatinya. Tapi ia tidak boleh egois. Kenyataan yang ada di depan mata adalah, Wonshik calon suami Sooyoung. Dan hal itu adalah mutlak. Tidak ada kesempatan, tidak ada perasaan dan ia tidak mungkin bisa berteman. Ia harus sesegera mungkin menjauhi Wonshik demi mengobati hatinya sendiri. Sedangkan Wonshik yang mendengar hal itu hanya bisa terdiam, bahkan setelah Seoah menutup pintu kamarnya. Meninggalkan lelaki itu terdiam mematung dengan perasaan tidak menentu. Entah mengapa ada rasa tidak suka dalam benaknya. Ada perasaan tidak rela saat Seoah memintanya untuk menjauh. Wonshik juga merasakan perasaan aneh saat ia melihat sorot terluka Seoah. Hal itu seperti ada sesuatu yang melukai batinnya. Ia juga turut terluka. Dan pada akhirnya pria itu hanya bisa menatap nanar ke arah pintu kamar si gadis yang sudah tertutup rapat. *** Pagi-pagi sekali kediaman keluarga Yoon sudah ramai. Sooyoung bolak-balik dari arah dapur ke meja makan dengan beberapa makanan dalam tangan. Wanita dengan rambut dicepol itu tersenyum cerah saat tahu adik satu-satunya sudah mau turun dan menghampirinya. “Sudah rapi? Mau ke mana?” tanya nya. “Ada janji temu dengan editor,” sahut Seoah lirih. Ia mengamati celemek biru muda yang terpasang pada tubuh sang kakak, juga beberapa keringat yang tampak timbul di sekitar dahi. “Unnie memasak?” Dengan semangat Sooyoung mengangguk. Ia kemudian menuntun sang adik untuk segera duduk di meja makan dan menata piring juga mengisinya dengan beberapa lauk pauk. “Cobalah. Lalu beritahu bagaimana rasanya,” kata Sooyoung. Baru saja Seoah hendak menyuap makanan ke mulutnya, suara bel dari arah pintu depan lebih dulu terdengar. Sudah datang. Gumam Sooyoung. Wanita itu dengan cepat berlari kecil ke arah pintu utama dan kembali tidak lama kemudian bersama satu orang lainnya. Seorang lelaki yang amat sangat ingin Seoah hindari. Jeon Wonshik. Gadis itu seketika membuang muka saat tanpa sengaja pandangan keduanya bertemu. Ia sebisa mungkin mengatur emosi juga raut wajahnya agar tetap terlihat normal. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk melupakan perasaannya pada pria itu. Juga untuk belajar menerima kenyataan dan memaafkan. Setelah itu hening. Seoah kembali larut dengan dunianya sendiri, sementara Wonshik hanya diam memperhatikan gadis itu. Ia bahkan tidak mendengarkan Sooyoung yang beberapa kali mengajaknya berbicara sambil menyiapkan sarapan pria itu. Terdengar suara langkah dari lantai dua. Wanita paruh baya yang merupakan Nyonya Yoon itu melangkah menghampiri tiga orang lainnya dengan raut wajah cerah. “Loh, Wonshik datang?” “Aku yang mengundangnya, bu. Aku sedang mencoba belajar memasak, bagaimanapun kami akan segera menikah. Jadi aku harus tahu bagaimana rasa makanan yang disukai Wonshik,” sahut Sooyoung sambil tersipu. Aku tahu rasa dan makanan apa yang dia sukai. Batin Seoah lirih. Ia kemudian menghela napas, menundukan kepala dan mengulum bibir bawahnya sendiri. “Baguslah. Jadi, bagaimana rasa masakannya?” Wonshik mengaduk bubur nasi hangat yang sudah disiapkan Sooyoung. Ekspresinya yang semula tersenyum ramah kemudian terdiam saat ia menyadari ada abalon di sana. Sooyoung yang menyadari perubahan ekspresi Wonshik kemudian bertanya. “Kenapa? Kamu tidak suka bubur?” “Ah, tidak. Aku suka.” “Wonshik Oppa tidak suka seafood.” “Apa?” Seoah merutuk dalam hati. Ia pikir ia mengatakannya hanya dalam hati saja, rupanya ia justru mengatakannya dengan suara dan Sooyoung jelas mendengarnya karena wanita itu berada tepat di sampingnya. “Tidak. Aku hanya harus segera pergi,” sahut Seoah berkilah. Ia dengan segera membereskan barang bawaannya dan hendak beranjak sebelum suara Sooyoung kembali menginterupsi. “Bukankah kantor penerbit mu berdekatan dengan perusahaan Wonshik? Biar Wonshik mengantarmu saja agar lebih cepat.” Seoah berbalik. Ia sempat menatap si pria Jeon yang tengah menatapnya dengan tatapan sulit dijelaskan. “Tidak perlu. Aku harus menemui Minkyu dulu. Aku pergi,” pamit Seoah kemudian hilang di balik pintu. “Minkyu? Siapa dia?” gumam Sooyoung bertanya-tanya. “Bu, apa ibu mengenal siapa itu Minkyu?” Nyonya Yoon menggeleng. “Ibu juga tidak tahu. Setahu Ibu, Seoah tidak memiliki teman bernama Minkyu.” “Dia adalah lelaki yang pergi bersama Seoah kemarin,” Wonshik menyahut dengan suara lirih. Sebelah tangannya terkepal, ekspresi nya mengeras mengingat nama Minkyu dan bagaimana kedekatan Seoah juga pria itu. Wonshik tidak menyukainya. Wonshik tidak suka interaksi Seoah yang terlihat dekat dengan Minkyu.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN