Calvin melihat notifikasi pesan di ponselnya, ada deposit rumah sakit dari kartu asuransi yang terhubung di ponselnya. Matanya membesar melihat nama rumah sakit itu. siapakah yang sakit? Apa Anggita? Atau Bella? Bukankah Bella baik-baik saja saat terakhir dia bertemu.
Calvin langsung menelepon Anggita, panggilan internasional. Anggita menerima panggilan itu setelah menanda tangani berkas persetujuan untuk rawat inap.
“Siapa yang sakit?” tanya Calvin.
“Bella,” ujar Anggita menggigit bibirnya, ini adalah kesalahannya, dia takut Calvin mengamuk karena menganggapnya lalai dalam menjaga anak.
“Sakit apa?”
“Diare,” ujarnya.
“Astaga, kok bisa? Besok aku terbang ke Indonesia,” ucap Calvin, ada nada gusar dari suaranya. Anggita menggigit ujung bibirnya. Sungguh dia takut. Masalah pekerjaannya saja sudah membuatnya kalut. Bagaimana kalau Calvin menuntutnya dan meminta hak asuh Bella kembali? Ah membayangkan hal itu membuat kepala Anggita berdeyut.
“Kamu enggak apa-apa?” tanya Raiz yang memegang bahu Anggita, wanita itu mungkin tak sadar tubuhnya terhuyung tadi.
“Ah enggak apa-apa, makasih,” ucap Anggita. Raiz melepas pegangan tangannya di bahu Anggita.
Seorang perawat menerima panggilan, sepertinya dari petinggi rumah sakit tersebut karena badannya langsung menegang. Melirik Anggita dan kemudian dia hanya berkata iya iya saja. Dia berbisik pada temannya sedetik setelah memutuskan panggilan. Temannya mengangguk dan memprint dokumen lainnya.
“Bu, tanda tangani dokumen ini ya, pasien akan berada di kamar VIP yang telah tersedia,” tutur perawat itu.
“Lho memang kelas satunya kenapa?” tanya Anggita.
“Kami hanya menuruti perintah atasan, Bu,” tutur perawat itu tidak enak.
“Tanda tangani saja, agar Bella lebih nyaman,” pinta Raiz, meskipun dia juga tak mengerti ada hubungan apa pasien dengan atasan rumah sakit ini? Sehingga kelas rawatnya naik.
Anggita kemudian menandatangani lembar persetujuan lagi, dia melihat ibunya yang masih memandangi cucunya dengan lekat. Anggita menghampiri ibunya, tampaknya sang ibu cukup lelah.
Tidak berapa lama, Bella terbangun, dia meminta digendong oleh Anggita. Dengan sedikit sulit Anggita menggendongnya. Lalu dua orang perawat datang membawa kursi roda.
“Ibu duduk saja di kursi roda,” tutur perawat itu. Anggita menolak tak enak, harusnya kan Bella yang duduk. Ketika dia ingin meletakkan Bella di kursi itu, Bella merajuk dan menangis.
“Tidak apa-apa Bu, ayo,” ucap perawat tersebut. Anggita pun menjadi sangat sungkan, dia duduk di kursi roda sambil menggendong Bella yang terus mendekapnya erat. Mungkin tubuh Bella benar-benar tidak nyaman sehingga dia membutuhkan pelukan ibunya.
Perawat mendorong kursi roda yang kini diduduki Anggita dan Bella itu. Menuju bangsal rawat VIP yang telah disetujui Anggita. Anggita memegang infus Bella dan tangan sebelahnya mengusap punggung Bella, melewati koridor rumah sakit, ibunya berjalan di samping perawat itu. Salah satu perawat membawakan berkas untuk rawat inap.
Memasuki lift, kemudian menuju lantai teratas rumah sakit tersebut, lalu di bagian ruang perawat, salah satu perawat yang membawa berkas itu menyerahkan berkas tersebut. Para perawat menyambut Anggita dan Bella dengan senyum yang sangat manis. Jelas mereka adalah pasien Naratama di rumah sakit ini.
Tubuh Anggita didorong memasuki lorong yang tampak jauh berbeda dengan lorong sebelumnya, lorong ini sangat mewah, lebih mirip seperti koridor hotel. Dengan lampu temaram yang tidak menyilaukan.
Seorang perawat membuka pintu salah satu ruangan tersebut, kursi didorong menuju brankar yang tersedia. Anggita mengagumi ruangan rawat ini, sejujurnya ketika dia melahirkan Bella pun dia mendapat kelas yang paling bagus, namun berbeda dengan ruangan ini.
“Nah Bella, ayo kita bobo di kasur,” ujar Anggita. Bella mengangkat wajahnya dan masih mengaitkan tangan di leher Anggita.
“Mama temani Bella kok, sebentar ya,” ujar Anggita membuju Bella karena dia cukup sulit turun dari kursi roda sambil menggendong putrinya itu. Bella kemudian dibantu gendong oleh ibu Anggita, lalu meletakkan di ranjang yang nyaman. Anggita bertanya apa dia boleh tidur bersama Bella? Perawat pun memperbolehkan karena Bella yang tak mau lepas dari ibunya.
“Kalau ada sesuatu ibu tekan bell ini ya, nanti kami akan langsung ke sini, kami bisa memonitor dari ruang sebelah sini,” tutur perawat itu.
“Baik sus, terima kasih ya,” ucap Anggita yang kini berbaring disamping Bella. Bella benar-benar tak mau melepaskannya, dia sudah memegangi baju Anggita. Perawat meninggalkan ruangan itu. Anggita menoleh pada ibunya yang sudah duduk di sofa menahan kantuk.
“Bu, tidur di kasur itu aja,” tunjuk Anggita pada ranjang yang berada tak jauh dari tempatnya berbaring. Ranjang khusus untuk penunggu pasien. Berbeda dengan ranjang pasien.
“Boleh memangnya?” tanya ibu Anggita.
“Boleh lah, memang khusus untuk yang jaga kok,” ujar Anggita.
“Wah benar-benar bagus ya, jadi ingat saat kamu melahirkan Bella, kita juga dapat kamar seperti ini ya,” ucap Anggita.
“Iya, tapi saat itu Bella terpaksa pisah kamar karena observasi, sekarang Bellanya justru sakit lagi, karena kebodohan Gita,” ujar Anggita mengusap rambut putrinya yang menelusupkan wajah di ceruk leher Anggita.
“Sudah lah, namanya musibah, jangan berlarut. Hoam! Ibu ngantuk, nanti gantian jaga Bella ya,” tutur ibu Anggita. Anggita hanya mengiyakan, dia bersenandung seraya mengusap kepala Bella agar terlelap tidur.
Tak lama pintu terbuka, dokter Raiz dan seorang perawat masuk. Anggita terkesiap namun dia tak bisa bergerak karena Bella memeganginya.
“Enggak apa-apa, berbaring saja,” ucap Raiz. “Saya hanya mau menyuntikkan obat untuk Bella,” imbuhnya.
“Silakan Dok,” ujar Anggita. Raiz menyuntik obat ke selang infus milik Bella, obat injection itu akan langsung bekerja melalui saluran darahnya.
“Sesekali dicek diapersnya ya Bu, kalau kotor dia tidak akan nyaman,” ucap Raiz.
“Ah iya, saya lupa,” ucap Anggita. Kemudian Raiz mengecek kondisi perut Bella yang berbaring miring itu, tak sengaja menyentuh Anggita.
“Maaf,” ujar Raiz.
“Enggak apa-apa.” Anggita paham pasti sulit mengecek kondisinya, karena itu dia terpaksa menggeser tangan Bella. Bella sudah tidur namun tidak terlalu lelap mungkin memang tubuhnya sangat sakit.
Raiz mendengar suara perut Bella dari stetoskop, dia juga mengecek bagian atas tubuh Bella. Lalu mencatat sesuatu.
“Saya tinggal ya,” tutur Raiz. Anggita yang sudah turun dari ranjang itu mengucap terima kasih pada dokter tampan berkaca mata tersebut. Sepeninggal dokter Raiz, Anggita mengintip diapers Bella, ah pantas saja dia tak nyaman.
Sudah sepatutnya seorang ibu mengurus putrinya yang sakit, tak ada rasa jijik karena memang dia merasa itu adalah kewajibannya, mengganti diapers putrinya dan membersihkannya. Kalau bukan dia, siapa lagi? Bukankah sejak bayi pun dia sering membersihkannya. Bahkan dia tak lagi jijik ketika makannya harus terinterupsi dengan Bella yang juga pup.
Setelah membersihkan tubuh Bella dengan tissue basah dan washlap hangat yang disediakan di toilet kamar mandi mewah itu, dia memakaikan diapers lagi untuk Bella. Dan mengganti celananya. Bella pasti lebih nyaman sekarang. Baru saja Anggita duduk di sofa, gadis kecilnya itu merengek dengan mata terpejam.
“Mama ... mama,” panggilnya hampir menangis.
“Iya, sayang,” ucap Anggita yang menghampiri ranjang Bella, dia pun kembali berbaring di ranjang itu, menina bobokan putrinya. Meskipun rasanya sangat tidak nyaman karena hanya sebagian tubuhnya yang tertampung ranjang. Posisi Bella tidak terlalu mundur dan dia sudah terlalu lelah memundurkannya.
***