Anggita merasa tidurnya sangat lelap, tangannya tak kebas hingga dia merasakan bahwa Bella tak ada disampingnya. Dia langsung terjaga, menoleh ke arah jendela, di mana Bella sudah berada di gendongan seorang pria yang tangan sebelahnya memegang tiang gantung infus.
Melihat pria yang masih mengenakan kemeja kerja dengan setelan jas itu membuat Anggita yakin, Calvin pasti langsung bergegas kembali ke Indonesia.
“Sudah bangun?” tanya Calvin. Anggita kembali merebahkan kepalanya dan mengangguk.
“Kapan sampai?” tanya Anggita. Bella masih tertidur lelap di gendongan ayahnya.
“Setengah jam lalu, kamu istirahat saja, kata Ibu semalam Bella enggak mau lepas dari kamu kan?” ucap Calvin.
“Ibu ke mana?” tanya Anggita.
“Beli sarapan,” jawab Calvin.
“Aku tidur sebentar lagi ya,” ucap Anggita dengan suaranya yang serak karena kelelahan itu. Dia baru bisa tidur mungkin sekitar satu jam lalu karena Bella yang terus merengek dan tak bisa merasakan gerakannya sedikit pun atau dia akan terjaga.
“Silakan,” ujar Calvin.
Calvin mengusap rambut Bella yang agak panjang. Tubuhnya bergerak menimang Bella yang tertidur, Bella pasti tak mau dilepas. Dia tak bisa menyalahkan Anggita. Ibu Anggita tadi sudah menceritakan semuanya, mata bengkak Anggita menjadi saksi betapa dia merasa sangat bersalah akan sakit yang diderita Bella.
Anggita tertidur sangat pulas di brangkar khusus pasien tersebut. Tak menyadari ada jam visit. Dokter Raiz masuk dengan salah satu perawat. Cukup terkejut mendapati seorang pria menggendong pasiennya.
“Papanya Bella?” tanya Raiz.
“Iya dokter,” ujar Calvin. Bella sudah terbangun, wajahnya terlihat lebih baik dibandingkan kemarin. Sudah tak terlalu pucat.
“Selamat pagi, Bella. Dokter beri obat ya,” ucap Raiz seraya memegang tangan Bella. Bella hanya mengangguk. Dokter itu mengambil alat suntik dan menyuntikkan obat melalui selang infus Bella.
“Masih sakit perutnya?” tanya Raiz. Mengecek perut Bella.
“Sedikit,” jawab Bella.
“Oh sudah membaik ini, kalau terus membaik besok Bella sudah boleh pulang,” ucap Raiz dengan senyum lebarnya.
“Hasil labnya sudah keluar dokter?” tanya Calvin.
“Sudah, pak. Ada infeksi di pencernaannya beruntung belum terlambat jadi kami bisa memberinya pertolongan.”
“Makannya apa harus lebih dijaga lagi setelah kejadian ini?” tanya Calvin lagi.
“Tentu, nanti menu makanannya akan kami share ke keluarga pasien. Untuk saat ini Bella hanya boleh makan makanan dari rumah sakit ya, Pak,” ucap Raiz.
“Baik, terima kasih, dokter,” ujar Calvin. Dokter Raiz pun berpamitan untuk mengunjungi pasien lain. Dia mungkin akan datang lagi siang atau sore untuk mengecek kondisi Bella.
Calvin mengajak Bella duduk di sofa, menyetel televisi yang memuat saluran anak. Bella bersandar di tubuhnya. Calvin sudah menanggalkan jasnya. Suara dengkur halus terdengar dari mulut Anggita. Sepertinya wanita itu benar-benar kelelahan.
“Papa,” panggil Bella sambil memegang tangan Calvin yang melingkar di perutnya yang kecil.
“Ada apa, Sayang?”
“Pulang dari rumah sakit aku mau nginap di rumah papa,” cicit Bella.
“Oke enggak masalah, nanti papa bilang mama untuk ikut menginap ya,” ujar Calvin.
“Benar papa?” tanya Bella dengan suara yang lemah, tidak semangat seperti sebelum sakit.
“Iya, Sayang karena itu Bella sembuh dulu, ya,” ucap Calvin. Hingga ibu Anggita masuk dan membawakan sarapan untuk Calvin dan juga Anggita. Sementara dia menyuapi Bella makanan dari rumah sakit. Bella mau memakan makanannya karena Calvin mengatakan bahwa dia akan mengajaknya menginap jika Bella mau memakan makanannya.
Setelah sarapan, Bella merasa sangat mengantuk, sementara Anggita sudah terjaga, Bella tidur di ranjangnya, dia tertidur sangat pulas sehingga Anggita tak perlu menemaninya. Ibu Anggita sudah pamit pulang setelah memberikan Bella sarapan tadi.
“Kamu mau pulang dulu? Biar aku jaga Bella di sini,” ucap Anggita sambil mengusap wajahnya.
“Nanti saja, aku masih khawatir dengan kondisinya,” ucap Calvin, kemudian ponselnya bergetar dia melihat nama pemanggilnya, lalu memberi kode pada Anggita bahwa dia harus keluar dari kamar itu.
Di luar kamar, Calvin menerima panggilan dari direktur rumah sakit tempat Bella dirawat ini. Kemudian dia melihat pria paruh baya itu menghampirinya. Calvin bersalaman dengannya dan tersenyum tipis.
“Bagaimana kondisi anak kamu?” tanya direktur rumah sakit itu, menunjuk sofa untuk mereka duduki. Di lorong kamar VIP ini memang ada beberapa sofa sebagai kursi tunggu.
“Sudah membaik, Om. Ada infeksi di saluran pencernaannya,” ucap Calvin.
“Syukurlah kalau sudah membaik, dokter yang menanganinya memang baru bertugas di sini, tapi dia adalah dokter yang terbaik di bidangnya, tidak mudah menawarkannya jabatan di sini,” ucap direktur itu.
“Kelihatannya masih muda?”
“Ya memang masih muda namun pengalaman dan ilmunya sangat layak diacungi jempol, dia jadi incaran banyak rumah sakit, jadi kamu tenang saja, anak kamu pasti akan membaik di tangannya,” ucap direktur yang merupakan salah satu kenalan Calvin itu membanggakan stafnya.
“Aku harap begitu,Om.”
“Bagaimana kabar ibu kamu? Sejak ayahmu meninggal, Om sudah tidak pernah bertemu dengan kalian,” ucap kenalan Calvin yang memang merupakan kerabat dari ayahnya itu.
“Baik, masih sering liburan keliling Indonesia sekarang,” ucap Calvin.
“Sudah tidak ada yang diurus lagi ya? Kalau dulu kan saat ayah kamu sering sakit, pasti ibu kamu yang mengantar ke mana-mana.”
“Iya, mami sedang menikmati hidup sekarang,” jawab Calvin. Mereka masih berbincang tentang beberapa hal terutama terkait bidang kesehatan, tak lupa direktur itu membanggakan banyak hal, mungkin dengan tujuan perusahaan Calvin mau berinvestasi di bidang kesehatan terutama di rumah sakit ini. Semua pembicaraaan tentang bisnis tentu saja.
***
Calvin meminta dibawakan baju ganti oleh asistennya, dia telah mengganti pakaian dengan pakaian santainya. Siang ini Anggita izin ke luar dari kamar rawat itu, dia ingin membeli kopi dingin di lobbi rumah sakit. Sehari saja tanpa kopi sepertinya kepala Anggita akan pusing.
Setelah memesan kopi dan kue sebagai pelengkapnya, Anggita pun duduk di salah satu sudut cafe tersebut. Hingga Raiz yang juga membawa segelas kopi itu menunduk dan memastikan bahwa wanita yang duduk termenung seorang diri adalah ibu dari salah satu pasiennya.
“Sendiri?” tanya Raiz.
“Ah iya, dokter. Maaf saya enggak lihat,” ucap Anggita tak enak hati.
“Boleh duduk di sini?”
“Silakan dokter,” ucap Anggita. Dekat dengan dokter anaknya adalah hal yang paling dia harapkan, dengan seperti itu dia tak akan canggung jika ada pertanyaan terkait Bella. Karena kondisi Bella yang unik yang membuatnya harus terus belajar setiap harinya.
Raiz duduk di hadapan Anggita, Anggita menyesap es kopi dengan cream di atasnya itu.
“Sibuk hari ini dokter?” tanya Anggita berbasa basi.
“Ya, ada tiga bedah anak dari pagi, jadi saya mendampingi,” ucap Raiz.
“Operasi apa?”
“Yang dua Hernia, yang satu Ganglion di kaki,” ucap Raiz.
“Astaga,” ucap Anggita bersimpati.
“Mereka sangat survive, sudah sadar dan pindah ke ruangan rawat siang ini, jadi saya bisa agak santai,” ucap Raiz.
“Dokter mungkin enggak ingat, tapi saya sebenarnya pernah melihat dokter sebelumnya,” ucap Anggita pada akhirnya. Raiz hanya menatapnya dengan seksama.
“Kita satu gedung apartmen dokter, saya pernah lihat dokter Raiz di tempat Gym, ehmm saya temannya Melissa, mungkin dokter kenal denga Melissa karena dia cukup terkenal di apartmen,” ucap Anggita memaksakan senyumnya. Raiz kemudian tersenyum dan mengangguk, dia mengingat nama Melissa. Wanita yang sangat ramah dan sering mengajaknya berbincang juga menjelaskan banyak hal tentang komplek apartmen mereka.
“Saya juga pernah melihat kamu, kita tetangga,” ucap Raiz.
“Syukurlah jika dokter ingat, kalau boleh nanti mungkin saya akan sedikit merepotkan dokter tentang Bella,” ucap Anggita tak enak hati.
“Tidak apa-apa ibu, jangan sungkan. Saya pasti akan membantu sebisa saya,” ucap Raiz. Anggita menyodorkan tangannya.
“Anggita, panggil saya Anggita, saya harap kita bisa lebih dekat,” ucap Anggita tanpa maksud apa-apa selain demi putrinya. Raiz membalas jabatan tanganya.
“Raiz, mungkin kalau diluar tidak perlu panggil dokter ya,” ucap Raiz dengan senyumnya yang sangat manis, matanya yang indah masih tetap terlihat meski dibingkai kaca mata tipis.
“Boleh,” ucap Anggita. Raiz kemudian melihat jam tangannya.
“Sepertinya saya harus undur diri, bu ehmm Anggita saya pamit ya,” ucap Raiz.
“Siap dokter Raiz, terima kasih ya,” ungkap Anggita seraya berdiri sopan. Raiz meninggalkan meja itu, Anggita memakan kuenya, dia melihat ponselnya, tidak ada pesan dari Calvin, pasti Bella baik-baik saja. Dia akan sedikit bersantai sejenak sebelum kembali ke kamar rawat dan memikirkan tentang finalty yang harus dia bayar ke perusahaan penerbit.
***